"Navy atau Matcha, ya?"
"Navy deh, bosen Matcha mulu."
Perempuan itu memutuskan untuk memakai kemeja bewarna Navy dan bawahan rok yang membentuk pinggul nya dengan sempurna itu.
Navy dan putih memang perpaduan yang pas.
"Mau kemana?" Sean yang sepertinya baru bangun itu berujar sambil menuangkan air putih untuk diminum.
Sena melirik Sean sekilas, tetap berjalan santai. "Minimarket. Bahan masak abis,"
"Gak kerja?" tanya Sean lagi, kini sambil mendekat kearah Sena.
Sena menggeleng, "Saya dikasih cuti 3 bulan, semenjak pertama kali saya kerja, ini cuti pertama saya."
Sean hanya mengangguk sambil bergumam 'oooo' itu. "Gue anter, tunggu."
"Kamu belum mandi, jorok. Mandi dulu,"
"Tapi lama kalo--"
"Mandi dulu, Xasean."
"Gak mau. Gue ganti baju aja,"
"Yaudah kalo gitu saya pergi sendiri aja,"
Sean berlari kecil mengejar Sena, "Yaudah yaudah, tunggu. Gue mandi dulu."
Sean menatap Sena datar, mulai lagi Sena pagi ini, seenak nya saja menyuruhnya untuk mandi.
Padahal mandi adalah pemborosan.
Sena mengerutkan alis nya dan mulai berpikir, lelaki itu kenapa bersikeras untuk mengantarnya? Padahal Minimarket itu terletak tidak jauh, hanya sekitar 2 Kilometer.
"Kemana?" Sanell kini bertanya, lalu dibalas tertawaan oleh Sena.
Rambut Sanell seperti singa, terlebih lagi ia memakai penutup mata diatas rambutnya.
"Lucu banget," Sena menunjuk Rambut Sanell sambil tertawa lebih lanjut.
Sanell menatap Sena datar, apa yang lucu?
Tapi omong-omong, semenjak Sena pindah kerumah ini, ia belum pernah sekalipun melihat Sanell tertawa, yang ia lihat adalah ekspresi datar dan masam.
Padahal Sena ingin akrab dengan Sanell, tapi sepertinya Sanell tidak ingin.
"Ayo,"
Sean muncul, ditatap heran oleh Sanell, harusnya sekarang lelaki itu menghadiri Meeting di Singapore.
"Lo gak pergi?" Sanell bertanya sambil memukul lengan Sean, kode kalau lelaki itu tidak boleh berangkat dengan Sena.
"Gak. Gue punya jadwal lain,"
"Yuk," lanjutnya pada Sena yang mengalihkan perhatian nya pada Kuku yang baru saja ia hias dengan Fake nails itu.
Sena yang merasa Sanell lebih jutek sekarang itu hanya berjalan tanpa menengok lebih lanjut pada perempuan itu. Menyeramkan.
"Kamu kenapa deh dari kemarin ngintilin saya terus?"
Sena bertanya saat Mobil itu sudah berangkat mendatangi tujuan.
"Gapapa." Sean singkat sambil mengotak-atik Radio.
"Eh tapi saya selalu penasaran deh, kenapa setiap malam Sanell selalu pergi, terus lebih anehnya, dia selalu pulang jam 10 malam. Dia kemana?"
Sean melirik Sena dengan kaku, pasti, Sean sudah yakin bahwa perempuan itu akan menanyakan ini pada nya. Ini baru satu keanehan, Sena belum melihat keanehan yang lain.
Sean berdehem sebelum menjawab, "Yaaa gak tau juga sih. Ketemu temen-temen nya, mungkin?"
Sena hanya membalas 'oo' sambil mengangguk, ia menatap Sean (lagi), "Tapi aneh aja menurut saya, kok bisa selalu pas gitu,"
"Dia orang nya tepat waktu, Sya."
Sena dengan cepat menatap lelaki itu, menatap horor. Baru pertama kali, Sean lelaki pertama yang menyebutnya seperti itu.
Memang Sena tidak selalu mempaparkan nama panjangnya, Syanaiza Senada adalah nama panjangnya.
Sena masih menatap Sean hororr, jangan-jangan memang benar Sean adalah stalker nya dari zaman SMA? Sena menjadi merinding sendiri berpikir seperti itu.
Sena menarik nafas panjang, menghilangkan keterkejutan itu.
Sean tersenyum lebar melihat ekspresi yang ditimbulkan perempuan itu setelah mendengarnya menyebut nama 'sya'.
Ekspresi terkejut Sena adalah hiburan tersendiri baginya, jadi ia sering mengejutkan perempuan yang kini sedang memainkan Handphone nya itu.
"Mulai sekarang gue panggil lo sama nama itu,"
Sena melirik Sean sekilas, "Terserah deh. Mau panggil siti juga nggak papa,"
"Lo bisa ngelawak juga ya ternyata," kata Sean meredakan tawa nya. Lihat lah sekarang betapa cemberutnya wajah Sena, lucu.
Sean memakirkan Mobilnya di Basement tempat Supermarket itu. "Ayo,"
Sena turun dengan kasar, ia masih kesal dengan lelaki itu.
"Sini, gue aja yang bawa keranjangnya." Sean meminta dengan pelan. Siapa tau bisa mengurangi rasa marah perempuan itu.
Sena menatap sinis Sean, lalu memberikannya setengah hati.
Sena langsung mengambil beberapa daging, sayuran bewarna hijau, dan menanyai kesukaan lelaki itu dan Sanell.
"Mau apa lagi? Suka kornet?" tangan Sena memilih-milih Kornet yang sekiranya lebih besar.
Sean mengangguk, " Gue apa aja suka, asal yang masak lo."
"Tunggu. Kenapa gue berdebar?" Sena berujar dalam hati tentu saja.
"Sanell gak suka masakan pedes, gak suka ayam, dia gasuka banget sama bau makanan yang ngga cocok di hidung nya."
Sena mengangguk mengerti, "Kayaknya kamu sudah lama sekali dengan dia ya,"
Sean mengangguk lagi, kini sambil memasukan Paprika ke dalam Keranjang.
"Udah 2 tahunan,"
Tak banyak percakapan saat berbelanja, Sena mengeluarkan ATM nya untuk membayar itu semua.
"Pake ini, Mbak." Sean lebih cepat mengeluarkan ATM nya dan menahan tangan Sena yang memegang kartu itu.
Sena mulai tersenyum tipis, hari ini ia hemat dari beberapa hal.
1. 70 ribu untuk naik Taxi.
2. 1 juta untuk berbelanja ini semua.
Sangat menguntungkan, bukan?
Maka hiduplah dirumah Sean. Eh tapi jangan, nanti kalian suka sama Sean!
"Mau langsung pulang?" Sean bertanya karena memang sepertinya Sena sumpek selalu dirumah. Tidak punya banyak kenalan, ataupun teman membuat Sena menjadi orang yang senang dirumah.
Sena menggeleng, ia ingin diluar saat ini. Ingin pergi ke tempat yang sepi.
"Kamu tau tempat yang sepi nggak?"
Sean mengetuk-ngetuk Jari nya pada Setir, tanda berpikir.
"Oh! Tau, ayo kesana."
Sena sangat tidak sabar.
Setelah sampai tujuan, Sena berbinar. Padang Rumput yang ditengah-tengah itu terdapat seperti Danau? Tapi terlalu besar untuk disebut Danau.
"Sini," menepuk sebelah Sean agar perempuan itu ikut duduk.
Sena memejamkan mata, membiarkan angin pelan itu masuk kedalam Pori-Pori, menusuk nya dengan dingin perlahan.
"Gue gapernah se deket ini sama Perempuan, Sya."
Sean mulai berbicara sambil menatap kearah depan. Sena menatap lelaki itu dengan seksama.
"Gue juga gapernah semau ini deket sama perempuan. Tapi sama lo, itu beda banget. Bener-bener beda. Gue gak pernah nyangka buat duduk ditempat kayak gini sama lo."
Sena masih dalam mode mendengarkan.
"Gue bahkan gak bisa ngendaliin diri gue, ngendaliin diri gue untuk gak terlalu deket sama lo. Gue gak bisa. Ternyata lo emang punya magnet yang buat orang sekitar itu terus nempel ya sama lo?"
Sena mendengar itu sambil tertawa, masih tak mengerti apa yang Sean bicarakan sekarang. Terlalu ambigu.
"Padahal gue juga gak seberapa saat nolongin lo. Tapi lo bersihin Rumah, Masak, anterin Laundry. Itu buat gue kayak merasa berhutang budi? Karena lo baik."
Sena tersenyum ringan, "Saya gak sebaik itu, Xasean."
"Sya, mulai sekarang jangan terlalu berinteraksi sama cowok lain selain gue, ya."
"Umur gue tahun ini 31, gue juga pengen pacaran."
Sena terdiam, ia sudah mengerti kemana jalur pembicaraan ini.
"Kamu ngawur deh!"
"Gue serius, Senada."
Sena melipat bibirnya kedalam, "Saya pulang kalau kamu ngomong ngawur terus."
Sena mulai berdiri dan bersiap untuk pulang.
Sean menahan lengan itu, "Sya, gue masih ngomong."
"Oh ya,"
"Mulai sekarang juga jangan pergi kemana-mana tanpa gue, ya."
"Karena gue emang bener-bener gak bisa tanpa lo, Sya."
Sena terdiam, bukan kah ini terlalu cepat? Baru menginjak 2 minggu 2 hari.
Sean sudah sekalah ini terhadap dirinya?