Rumah Baru

Seorang perempuan bertubuh kurus membuka lebar-lebar pintu depan rumahnya. Ia menarik napas lega.

Padahal tiga hari lalu Ayahnya baru saja berpulang, namun entah kenapa ia tak merasa sedih. Mungkin bagi orang-orang yang mengenalnya itu tak mengherankan sama sekali. Semasa hidupnya, keluarga terutama ayahnya, banyak sekali memberi luka batin padanya. Bahkan perempuan berambut panjang itu hampir berpikir bahwa Ayahnya membencinya, tapi ternyata ia masih rela membagi rumah besar di lingkungan elit ini untuknya. Dan yang membuat perempuan itu lebih lega lagi, itu jauh dari lingkungan ibu tiri dan saudara-saudara tirinya.

Nadia, itu adalah nama panggilan dari Ibu kandungannya. Berusia sepuluh tahun saat menyaksikan banyak sekali kekerasan rumah tangga yang menimpa ibunya. Ayahnya tanpa dihantui rasa bersalah sedikit pun terus menjalani hidupnya dengan tenang. Nadia percaya, pasti ayahnya itu mengidap gangguan jiwa atau semacamnya.

Di umur 17 tahun, ia melihat ibunya gantung diri di kamar tidurnya dengan tubuh penuh lebam. Hal itu sangat menggoncang hidupnya. Selama ini yang ia tahu, ibunya selalu merawatnya dengan baik, tersenyum padanya sambil berkata bahwa luka-luka itu tak terasa sakit. Namun ternyata, ibunya hanya berpura-pura kuat.

Dengan kesuksesan yang Ayahnya miliki saat itu, ia menutupi kasus kematian istrinya. Jayadi, seorang pebisnis andal yang mulai melangkahkan kiprahnya ke luar negeri tentu tak boleh tersandung kasus seperti ini, kalau iya, dalam hitungan jam ia bisa bangkrut karenanya.

Nadia akhirnya hanya bisa memeluk luka nya sendiri. Ia tak pergi ke sekolah, tak menyentuh makanan, bahkan tak pergi keluar rumah. Selama seminggu ia terus seperti itu hingga seorang pembantu rumah tangga menemukannya pingsan tergeletak di kamar Ibunya.

Ayahnya? Tidak peduli sama sekali. Ia terus bersikap seperti tak pernah memiliki anak. Tiap diberi tahu kabar buruk soal Nadia, ia meminta orang lain mengurus nya dan tak pernah memeriksanya sendiri.

Sampai suatu ketika, ia membawa seorang perempuan cantik ke rumah. Mengenalkan sebagai calon ibu baru bagi Nadia. Nadia hanya tersenyum tipis, hatinya berkata "Kasihan sekali hidupmu pasti akan sama mengenaskannya dengan ibuku."

Seperti apa yang Ayahnya lakukan, Nadia pun menjadi tak peduli pada keluarganya. Lambat laut motivasi hidupnya terbentuk. Bukan untuk membuktikan pada siapa-siapa atau membalas dendam pada Ayahnya. Ia hanya hidup dengan sebaik mungkin untuk dirinya sendiri.

Mulai dari kuliah dengan rajin, berteman dengan banyak orang, aktif berorganisasi, semua ia lakukan untuk menyembuhkan luka itu. Mendapat pekerjaan di Kota Besar, membuat ia sangat senang. Akhirnya ia bisa melepaskan diri dari rumah keluarganya dan memulai hidupnya sendiri.

Lama semuanya berjalan normal, tiba-tiba Nadia mendapat telepon dari rumah yang mengabarkan bahwa Ayahnya meninggal dunia. Saat mendengar itu, Nadia tidak tahu harus berekspresi bagaimana. Haruskah sedih? Haruskah senang? Ia memasuki rumah lamanya dengan wajah datar sementara Ibu dan Saudara Tirinya menangis sesenggukan.

Dua hari tinggal di sana, ia banyak mendengar cerita bahwa Ayahnya mati terbunuh. Kecelakaan mobil itu sudah diseting. Bahkan ada pihak forensik kepolisian yang datang dan membawa bukti ada luka lebam di beberapa bagian tubuhnya.

Nyonya Fany, ibu tirinya memilih untuk menutup kasus itu. Sebuah pilihan yang bijak menurut Nadia. Tentu saja karena Nadia tak ingin pusing dengan hal seperti itu. Bagaimana pun dia masih menjadi anak yang paling tua di keluarga ini. Saudara tirinya baru saja masuk sekolah menengah, kalau ada hal-hal penting tentu ia akan menjadi penasihat utama bagi ibunya.

Hari ketiga, pembacaan surat wasiat. Ia tak terkejut saat pengacara keluarga mengatakan bahwa perusahaan akan diwariskan kepada Ibu tirinya. Dan ia hanya mendapat sebuah rumah di kawasan elit: Town Hall. Namun yang mengusik pikirannya adalah saat ia melihat ibu tirinya itu tersenyum tipis saat menandatangani surat-surat pemindahan aset. Seolah-olah Nadia dapat membaca kalimat, 'Akhirnya aku mendapatkannya' dari wajahnya yang masih cantik itu.

Nadia benar-benar tak ingin ambil pusing. Ia ingin secepatnya lepas dari drama keluarga yang selama ini mengurung jiwanya. Maka pada hari itu pula, setelah ia menandatangani surat balik nama rumah, ia mengemasi barangnya dan pergi ke rumah itu.

Dan di sinilah ia sekarang. Duduk di sofa yang masih ditutupi kain putih. Ya, seluruh perabot di rumah besar itu masih tertutup kain putih. Ia belum menyewa seorang pembantu dan tentu saja ia tak ingin membawa pembantu dari rumah lamanya. Hubungan mereka harus putus. Nadia bertekad untuk itu.

Setelah lama merenung, Nadia memutuskan untuk berkeliling melihat kondisi rumah itu. Rumah itu memiliki dua lantai dan dikelilingi oleh taman. Rumah-rumah di Town Hall dibatasi oleh dinding yang tingginya mungkin sekitar dua meter dan mengelilingi halaman bangunan. Punya taman halaman yang luas sangat menyenangkan bagi Nadia. Di kepalanya sudah terancang bagaimana ia akan mendesain ulang rumah ini. Ia akan menjadikannya rumah yang nyaman bagi dirinya sendiri.

Halamannya masih rapih, seolah rumput nya baru saja dipangkas. Maka Nadia mencoba menapakkan kaki telanjang nya pada rumput hijau itu. Ia tertawa dalam hati, tak menyangka bahwa Ayahnya yang sadis itu bisa meninggalkan rumah seindah ini untuknya.

Tiba-tiba Nadia berpikir, halaman ini sangat lebar, akan sangat bagus jika ada kolam renangnya. Nadia tersenyum. Tabungannya sangat cukup untuk itu. Bahkan cukup untuk membeki dekorasi tambahan untuk menghias rumahnya.

Nadia mendangakkan kepalanya, menghirup udara di sekitarnya. "Ya ampun, bahkan udara di lingkungan ini begitu bagus." Membuka matanya, ia dapat melihat langit yang cerah. Dan saat melihat ke rumah tetangganya, ia dapat melihat sebuah siluet lelaki dan wanita di jendela.

Sepertinya mereka adalah keluarga dan sedang mengobrol. "Sekarang aku punya tetangga, dan juga harus menyapa mereka." Nadia melangkahkan kakinya kemabali ke dalam rumah. Ia meraih ponselnya dan menghubungi beberapa teman untuk meninta rekomendasi vendor renovasi rumah.

Sebetulnya, rumah ini bisa ia tinggali saat ini juga karena semua perabot dasar telah disediakan. Namun tetap saja, rasanya belum siap dihuni. Salah satu alasannya adalah, banyaknya debu yang menempel pada lantai. Dan rumah ini sangat besar, tak mungkin Nadia bisa membersihkannya seorang diri. Maka ia memutuskan untuk kembali ke Kota Besar dan kembali pada akhir minggu untuk bersih-bersih bersama seorang pembantu.

Hari sudah beranjak malam. Nadia bergegas berangkat sebelum ia benar-benar mengantuk. Ia membawa mobil sendiri dalam perjalanan panjang ini.

Saat ia membuka pagar rumah, ia melihat sebuah mobil hitam terparkir di depan rumah tetangganya. Nadia diam memperhatikan mobil itu karena itu terlihat sangat mahal dan cantik. Ia semakin merasa nyata bahwa ia telah pindah ke lingkungan elit

Tak lama, dua orang yang terlihat seperti pasangan, keluar dari rumah itu. Sang perempuan menggunakan dress merah yang cantik dengan rambut ikalnya yang tergerai. Sedang yang laki-laki, tinggi dengan tubuh proporsional, dengan busana rumahan biasa. Ia mengantarkan wanita itu ke dalam mobil dan ternyata mereka tidak pergi bersama.

Entah kenapa Nadia masih betah memandangi interaksi mereka. Ia menyaksikan bagaimana lelaki itu memeluk wanitanya dan mencium keningnya sebelum ia masuk ke dalam mobil. Bahkan saat mobil itu melaju, Nadia masih tidak beranjak.

Hingga akhirnya, lelaki itu menatapnya. Pada saat itu nadia sadar, bahwa lelaki itu lebih dari tampan. Ia mengangkat kedua bahunya seolah bertanya, 'Ada yang salah?' dan akhirnya Nadia kembali dari lamunannya.

Ia hanya tersenyum dan melanjutkan kegiatannya masuk kembali ke garasi dan memarkir mobilnya keluar. Saat mobilnya sempurna berada di luar rumah. Nadia sudah tak lagi melihat lelaki itu.

"Wah... Tadi itu apa? Malaikat? Baru kali ini aku melihat lelaki setampan itu. Itu berarti aku memang harus menyapa tetanggaku nanti" Nadia bicara sendiri menatap rumah tetangganya. Ia punya firasat, bahwa kehidupannya di rumah baru ini akan sangat menyenangkan.