Nadia mau tidak mau menuruti perintah Louis. Ia tak cukup berani untuk meloloskan diri atau berteriak kepada penjaga di depan. Tatapannya itu sudah cukup menyeramkan dan membunuh bagi Nadia.
Mereka naik ke lantai atas. Kamar yang akan ditempati Louis berada tepat di samping kamar Nadia. Ada pintu penghubung di dalamnya. Tapi kunci itu hanya Nadia yang menyimpannya.
Tak banyak basa basi, Nadia segera beranjak ke kamarnya. Namun, lengannya ditahan oleh Louis.
"Aku benar-benar minta maaf," ujar Louis.
Nadia tidak tahu harus merespon apa. Ia hanya melihat kedua mata abu-abu milik lawan bicaranya. Mencoba menelisik apakah ada maksud yang tersembunyi.
Nihil. Ucapan itu tulus keluar dari mulutnya. Namun maaf untuk hal-hal yang bahkan tidak ia ketahui adalah sia-sia. Semua akan memiliki penilaian baru saat ia mengetahui yang sebenarnya.
Nadia memaksakan senyum kemudian melepaskan tangan Louis dari lengannya. Ia kembali berjalan ke kamarnya dengan lemas. Sebenarnya ia ingin mengingatkan Louis soal teh Camomailnya. Namun itu hanya akan membuatnya besar kepala. Louis harus ingat, hal yang ia lakukan hari ini sama sekali bukan hal sepele.
Louis menyaksikan punggung Nadia yang menjauh. Sebelumnya ia tak pernah merasa perlu menjaga perasaan seseorang. Nadia adalah yang pertama. Ia dibuatnya bimbang harus mengambil sikap seperti apa. Juga bimbang mengapa harus Nadia yang bisa membuatnya tenang.
Louis sebenarnya adalah mafia buangan Eropa. Pekerjaan itu sudah ia warisi dari keluarga besarnya. Namun satu kekurangannya membuat ia di buang ke tempat yang jauh. Negara tempat ia tinggal sekarang dianggap akan memberinya kehidupan tanpa ancaman.
Keluarganya mengira ia tak akan bertahan jika dekat dengan dunia mafia yang kejam di Eropa. Gangguan kecemasan yang selalu menghantuinya saat ia selesai membunuh orang, bukan hanya akan mengganggunya tapi juga akan menggangu pekerjaan orangtuanya.
Itulah sebabnya Louis dipindahkan. Ia dilatih dengan rahasia di Indonesia juga terus menjalani pemeriksaan kejiwaan secara rutin. Ia bergantung pada obat penenang resep dokter. Semua akan kacau jika obat itu tidak ada.
Louis tak bisa keluar dari pekerjaan ini. Sudah untung keluarganya masih mau mengurusnya dari jauh. Tradisi keluarganya memilki cara yang kejam untuk anak yang tidak mau meneruskan pekerjaan mereka. Yaitu disiksa perlahan sampai mati.
Louis duduk di sofa dan menyandarkan punggungnya. Ia merasa lelah dengan semua ini. Ia ingin memiliki kehidupan yang ia pilih sendiri.
Ia meraih teh Camomail yang ada di depannya. Gelasnya sudah tidak terasa hangat namun wangi teh itu masih merebak. Ia meminumnya sampai habis.
'Ada apa dengan respon tubuhku tadi itu?' Ingatan Louis kembali pada beberapa saat lalu ketika ia memeluk Nadia dengan tiba-tiba.
'Tapi di sini memang sangat menenangkan.' Pandangannya berkeliling pada rumah Nadia. Ia sangat menyukai rumah itu, ia terlihat seperti rumah idamannya. Ia juga mulai menyukai pemiliknya. Louis merebahkan tubuhnya di sofa dan ia tertidur di sana sampai pagi.
Nadia tak bisa kembali tidur. Ia hanya menggulingkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri sepanjang malam. Sampai pagi tiba ia baru memberanikan diri untuk keluar kamar.
Dari anak tangga ia bisa melihat Louis tertidur di sofa. Kakinya yang panjang menjalar lewat atas pegangan sofa. "Dia meminjam kamar tapi malah tidur di sofa. Apa sih maunya orang ini," ia berbicara cukup keras karena yakin laki-laki itu pasti masih pulas.
Ia berjalan ke arah pantry dan menggambil segelas air. Saat minum ia hampir tersedak sebab tangan Louis tiba-tiba muncul dan menggambil gelas yang ada di dekatnya. Untung lah air di dalam mulutnya itu tidak meluncur keluar.
'Dia ini hantu atau apa?' batin Nadia.
"Hati-hati dengan ucapanmu. Aku tak pernah gagal mendapatkan apa yang aku mau,"
"Ha?" Nadia merasa tidak mengerti sama sekali dengan apa yanh dibicarakan Louis.
"Hari ini pergilah membeli ponsel sendiri, jangan lupa ganti juga nomer teleponmu,"
"Hei, apa kau pikir mengganti informasi pribadi itu mudah? Aku ini masih bekerja, semua nomer telepon rekan kerja dan clientku ada di sana. Memangnya kau siapa?"
"Kalau begitu, berhentilah bekerja dan aku akan membiayaimu. Kalau yang itu aku yakin pasti mudah bukan?"
Nadia hanya menggelengkan kepalanya. Pembicaraan ini sangat tidak masuk akal. Ia bergerak menjauhi Louis. Takut dia akan berbuat nekat.
"Aku selalu memberimu solusi yang mudah, tapi dirimu sendiri yang mempersulitnya. Aku bisa saja lepas tanggung jawab dari kejadian semalam. Menginap semalam kemudian pergi tiba-tiba lalu mungkin dua hari kemudian kau akam di sekap seseorang untuk ditanyai soal keberadaanku,"
"Kau seorang buronan?" Nadia bertanya serius. Tapi Louis malah tertawa.
"Lebih baik dari itu. Aku tidak akan tertangkap tapi kau bisa saja terbunuh," ucapan Louis itu membuat Nadia menelan ludahnya sendiri.
"Siapa kau sebenarnya?" posisi duduk Nadia makin tegak ia menatap mata Louis dengan tajam menuntut penjelasan.
"Aku terlahir dari keluarga Mafia," mata Nadia semakin membelalak mendengar jawaban itu.
"Kau ingin lari?" tanya Louis.
Nadia tak menjawab, ia malah menunduk dan menghembuskan napas berat. "Kau cukup penakut untuk menjadi seorang mafia. Jadi katakan padaku yang sebenarnya, barang apa yang kau curi?"
Louis tidak tahu, apakah pertanyaan itu bentuk keraguan Nadia pada dirinya atau itu adalah penolakannya sendiri.
"Aku sudah mengatakan yang sebenarnya. Jadi cepatlah kau ganti baju dan pergi membeli ponsel,"
"Ini gila,"
Mereka sama-sama terdiam tak mengerti mengapa takdir gila ini menimpa mereka. Semuanya baik-baik saja beberapa hari yang lalu. Namun dalam semalam semunya menjadi kacau.
"Aku benar-benar minta maaf karena harus melibatkanmu," Louis sebisa mungkin tetap meyakinkan Nadia bahwa ini bukan keinginannya.