Gadis itu hanya menghembuskan napas, kemudian melambaikan tangan pada seseorang yang sedang berlari ke arahnya.
"Gimana?" tanya Juna, mencoba untuk menormalkan deru napasnya
"Nomor empat tiga," sahut Vito yang baru saja datang. Juna tak menjawab ataupun mengucapkan terima kasih. Ia memilih untuk berlari memasuki rumah yang terlihat kosong itu.
"Aish! Si berengsek itu gak ada bilang makasih," gerutu Vito.
"Sabar Dude!" ucap Rahel sambil berjalan menyusul Juna.
Hantu tampan itu hanya mendengus, dan kembali menghilang untuk menyusul Juna yang sedang berusaha mengetuk pintu rumah.
"Permisi!" teriak Rahel sambil berjalan mendekati Juna.
Pintu rumah itu terbuka, menampilkan seorang pria tinggi dengan kumis tipis. Pria itu menatap Rahel, dan Juna dengan kening bertaut.
"Kalian siapa?" tanyanya ketus.
"Gue rahel, ke sini mau minta tolong sama lo," sahut Rahel dengan mendongak.
"Minta tolong apaan? Gue tuh lagi susah, gak bisa nolongin orang!"
"Gak susah, gak sampe bikin lo ngeluarin duit kok. Gue cuman minta tolong ke lo, buat minta maaf sama seseorang," jelas Rahel.
Pria itu menghela berat, "Emangnya apa sih? Gue punya salah apa lagi? Sama siapa?"
"Sama ainun."
Raut mukanya terlihat berubah menjadi pucat, dan takut. Padahal hanya nama Ainun yang di sebut, bukan kejahatan yang ia lakukan.
"Masuk! Cepetan masuk!" titahnya sambil membukakan pintu lebih lebar.
Mereka semua segera masuk, dan Ragil menutup pintunya dengan rapat. Kini wajahnya nampak begitu serius, tapi Rahel hanya memberikan tatapan tajam.
"Santai aja natap gue! Sekarang gue nanya, lo tau darimana soal ainun?" tanya Ragil.
"Gue kenal sama ainun, dia masih ada di dunia. Dia jadi hantu, dan sekarang lo harus minta maaf ke dia supaya dia bisa nyeberang!" ketus Rahel.
"Hel, jangan ketus-ketus!" ucap Vito.
Rahel hanya melirik Vito sekilas, dan kembali menatap Ragil sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Maaf ya, tapi waktu kita gak banyak. Ini udah malem, kita harus pulang. Lo paham kan sama seragam sekolah yang masih kita pake?" ucap Juna yang ikut berdiri di samping Rahel.
Ragil masih terdiam, kemudian menatap Juna dengan tatapan yang tak bisa di artikan.
"Bisa gak sih?! Gue udah capek! Gue juga muak banget sama kelakuan lo yang ngelebihin setan!" teriak Rahel kesal.
"Lo bisa diem gak sih?! Gimana kalau orang-orang denger?! Gue juga gak mau kaya gini, gue juga ngerasa tertekan!" sahut Ragil tak kalah ketus, "Hidup gue juga gak pernah tenang, dia selalu ngehantuin gue!"
"Makanya minta maaf sama ainun bego!"
"Gue udah sering ke makamnya, tapi dia masih masih ngehantuin gue. Gue harus gimana sekarang? Ke makamnya lagi?"
"Makanya jangan bunuh orang bangsat! Elu juga ngapain pake acara kunciin ainun di toilet?! Mana sampe mati lagi."
Ragil kembali menghembuskan napas beratnya, kemudian duduk di salah satu sofa. Ia merasa sangat menyesal dengan perbuatannya dulu, tapi tak ada yang bisa di lakukan selain meminta maaf kepada Tuhan, dan Ainun.
"Waktu itu hari terakhir masuk, besoknya langsung libur selama dua minggu. Waktu masuk sekolah, jasadnya langsung ketemu," jelas Ragil sambil menahan air matanya yang ingin keluar.
"Lo tahu gak? Setan jauh lebih baik daripada lo! Gue sampe bingung harus panggil lo apa," sahut Rahel kesal.
Juna hanya bisa menahan emosi Rahel dengan menggenggam pergelangan tangannya.
"Udah-udah! Rahel jangan marah-marah, dan lo Bang, mendingan ikut kita ke sekolah. Kita selesain masalah ini, dan idup lo bisa tenang," ucap Juna.
****
Suasana sekolah terlihat begitu sepi malam ini. Satpam sekolah pun tak terlihat di tempatnya, di tambah dengan pagar yang sudah terkunci rapat.
Rahel menghela kasar sambil memperhatikan pagar tinggi itu. Tak ada jalan lain baginya, gadis itu segera memanjat pagar tanpa menghiraukan Juna, dan Vito yang memanggilnya sedaritadi.
"Panjat aja udah, gak ada jalan lain!" teriak Rahel yang sudah berada di balik pagar.
Ragil, dan Juna dengan berat menuruti perintah Rahel untuk memanjat. Sementara Vito sudah berdiri di samping Rahel sambil terkekeh.
"Gak usah ngejek lu, mentang-mentang bisa ngilang!" ucap Rahel.
Vito kembali tertawa sambil mengangguk, "Kita mau kemana abis ini? Langsung ke toilet?"
"Kita langsung ke toilet aja? Jangan lupa senter ponsel di nyalain! Lumayan gelap di sini," sahut Juna yang entah sejak kapan berdiri di depan Rahel.
"Gampang!" sahut Rahel.
Mereka semua mulai berjalan menuju toilet dengan lampu senter yang menyala. Cukup terang karena ada tiga cahaya yang menerangi jalanan gelap ini.
Rahel tak habis pikir dengan pemilik sekolahnya yang terkesal pelit. Pasalahnya, lampu koridor tak menyala dengan baik. Semuanya mati, tapi ada beberapa yang menyala dan kembali meredup.
"Gak ada saklar lampu apa ya? Toiletnya gelap banget kalau gak ada lampu," omel Rahel.
"Lo gak usah ribet deh Hel! Mendingan lo fokus buat gak bocor, ada banyak makhluk di sini yang bisa aja masuk," sahut Juna ketus.
Rahel langsung bungkam, ia segera menahan dirinya agar tidak bocor. Ia tidak mau ada makhluk yang masuk ke dalam raganya lagi.
"Gue duluan," ucap Juna mendahului Rahel untuk masuk ke dalam toilet.
"Masuk aja sih, gue mah belakangan gapapa," sahut Rahel pelan.
Mereka berjalan menuju ujung bilik toilet. Rahel, dan Ragil berdiri secara berdampingan, sementara Juna berdiri membelakangi pintu toilet sambil memejamkan kedua netranya.
Cowok itu mencoba untuk memanggil Ainun, tapi usahanya gagal untuk beberapa kali.
"Hel bantuin panggil!" titah Juna.
Rahel mengangguk, dan mencoba untuk membantu memanggil Ainun.
Juna membuat gelagat aneh, ia terus menggaruk rambut, dan mengucek kedua netranya yang tertutup rapat.
Gelagat aneh itu membuat Ragil takut, ia segera memberikan isyarat agar Rahel membantunya. Namun, Rahel hanya menatap Juna dengan tatapan tak percaya dengan bibir yang terbuka sedikit.
"Gue kira bakalan gue yang di masukin," gumam Rahel.
"Ajak ngomong bego!" titah Vito.
Rahel terkekeh dan mendekati Juna, "Hallo! Lo pasti Ainun, gue rahel, yang waktu itu."
"Hm, lo bawa siapa?" tanya Ainun dengan suara yang terdengar lebih nyaring.
"Lo Ainun kan? Nun, ini gue ragil Nun. Gue minta maaf sama lo, gue nyesel Nun, gue nyesel banget." Ragil berlutut di depan Ainun dengan isakan yang tak bisa di tahannya.
Ainun terdiam sambil menundukkan kepalanya. Aura jahat kembali terasa begitu pekat, membuat Rahel takut, dan mencari-cari di mana Vito. Hantu tampan itu tak terlihat, bisa di pastikan jika dia takut untuk menemani Rahel.
"Ck! Katanya ini, itu, nyatanya ngilang juga tu hantu - batin Rahel.
"Lo inget gue?" tanya Ainun datar.
Ragil mengangguk tanpa mendongak, "Gue masih inget sama lo sampai sekarang Nun, gue nyesel. Gue minta maaf sama lo ya, dan gue harap lo bisa tenang di alam sana."
Ainun tertawa nyaring, membuat Rahel harus menutup telinganya rapat-rapat. Suara tawa itu terdengar begitu mengerikan, tapi terasa menyakitkan.
Gadis malang itu mulai menangis, suara isakannya membuat Rahel merasa iba. Mengingat tentang kematiannya yang begitu mengerikan, Rahel merasa begitu sedih. Rasanya ingin menendang pria yang sedang bersujud di depan Juna.
"Kenapa lo tega sama gue?! Kenapa lo gak dateng nyelametin gue waktu itu sih Ragil?!" teriak Ainun.
"Gue gak bisa apa-apa Nun. Orang tua gue tahu, dan mereka bawa gue pergi ke Kalimantan. Gue gak bisa nolongin lo, gue cuman bisa nangis, sambil ngasih bunga di makam," jelas Ragil.
Gadis itu mengambil napas dalam, meredam amarahnya, dan mencoba untuk menormalkan deru napasnya.
"Gue maafin lo Gil, tapi gue minta buat lo nyerahin ke polisi tentang kasus gue," ucap Ainun.
Ragil segera berdiri sambil menggenggam tangan milik Juna, "Iya, gue bakalan ngelakuin apa yang lo suruh, tapi lo harus tenang!"
Ainun mengangguk, "Doain gue ya!"
"Tenang ya Nun!"
Ainun keluar dari raga Juna sambil memberikan senyuman. Penampilannya yang sangat jelek itu berubah menjadi cantik. Ia menggunakan gaun berwarna putih, dengan wajah yang terlihat begitu bercahaya.
"Hel, Bang, kita doain sekarang!" ajak Juna sebelum memejamkan kedua netranya.
Rahel, dan Ragil segera berdoa sesuai kepercayaan masing-masing. Mereka berdo'a dengan khusyuk untuk beberapa menit, dan kembali membuka mata.
"Rahel, Juna, makasih banyak," ucap Ainun sebelum akhirnya berjalan masuk ke dalam portal bercahaya itu.
Rahel, dan Juna tersenyum senang. Mereka berdua berhasil membantu satu hantu perempuan untuk pulang.
"Udah selesai, makasih ya Bang!" ucap Juna, menepuk pundak kanan Ragil pelan.
"Makasih udah bantuin gue buat minta maaf langsung sama ainun."
"Sekarang tugas lo ke kantor polisi, jangan sampai lupa!" ketus Rahel.
"Iya, gue gak akan ingkar janji kali ini."