Gadis itu berjalan dengan tergesah-gesah. Sesekali ia menabrak tiang lorong karena cahaya lampu yang tidak cukup untuk menerangi kegelapan malam ini.
Langkahnya berganti menjadi berlari ketika menaiki tangga. Raut mukanya terlihat begitu menakutkan ketika memasuki pintu masuk kolam. Langkahnya semakin di percepat, membuka loker miliknya sambil menghembuskan napas lega.
"Lo gak nyariin ini?" ucap seorang gadis sambil memperlihatkan sebuah buku catatan.
"Karin, aku minta tolong balikin Rin!" pinta Ebby sambil berjalan mendekati Karin.
Karin hanya tertawa kecil, kemudian memberikan isyarat kepada dua temannya untuk memegang Ebby.
"Ini apa?" tanya Karin, memperlihatkan sebuah catatan kepada Ebby.
"Itu... itu.. aku bisa jelasin sama kamu Rin."
Plak!!
Tamparan dari Karin membuat pipi Ebby berubah menjadi merah. Air mata mulai memenuhi pelupuk matanya, Ebby tidak kuat untuk menahan rasa sakit itu.
"Lo tau kan siapa kazel?! Dia itu pacar gue, tapi kenapa lo punya perasaan sama dia?!" teriak Karin sebelum kembali menampar pipi kiri Ebby dengan keras.
Gadis itu tak memberontak. Ia hanya bisa menangis dengan kencang. Rasa takut membuatnya membeku dalam kegelapan.
"Makan nih, makan!!" Karin menyobek kertas catatan Ebby, dan memasukkan kertas-kertas itu ke dalam mulut Ebby dengan kasar.
Karin emosi. Gadis itu naik pitam, tak ada lagi kata kasihan untuk Ebby. Hatinya terlanjur sakit, dan merasa cemburu akibat perasaan Ebby yang tiba-tiba muncul.
Gadis itu terus memukul wajah Ebby, sampai darah segar keluar dari pelipis, beserta hidungnya. Setiap darah yang mengalir membuat pipi, dan matanya ikut terkena noda.
"Ampun Rin, ini sakit! Perih Karin!" ucap Ebby pelan.
Karin menggeleng, dan segera menggeret Ebby dengan mencekal rambut panjang itu. Ia mencoba untuk memasukkan kepala Ebby ke dalam loker, dan menutup pintunya rapat-rapat.
Ebby berteriak histeris, tapi ketiga hadis itu hanya tertawa bahagia. Mereka terus tertawa sambil mendengarkan suara teriakan, dan tangisan seperti alunan musik.
Tak ada rasa kasihan kepada gadis malang itu, padahal melalui suara jeritannya manusia akan merasa ngilu dan ingin menolong. Namun, tidak untuk ketiga gadis ini, entah apa sebutan yang cocok untuk mereka, karena kelakuan para setan pun masih lebih baik dari kelakuan mereka bertiga.
"Karin, kok dia diem?" tanya Rere sambil berjalan mendekat, ia mencoba untuk memeriksa denyut nadi Ebby.
"Gimana?" tanya Karin sebelum berjalan menjauhi Ebby.
Rere menggeleng pelan, raut mukanya berubah menjadi pucat pasif, "Dia udah meninggal."
"Oh, bagus deh!" sahut Karin tenang.
"Terus kita harus apa?" tanya Edly.
"Taburin tepung yang gue bawa! Abis itu kita pergi dari sini," sahut Karin.
*****
Gadis pucat itu terbangun dari tidurnya dengan napas yang terengah-engah. Tangan kanannya segera menyeka keringat dingin pada pelipis, dan mencoba untuk menormalkan napas secepat mungkin. Namun, Rahel masih tidak bisa bernapas normal, mimpi buruk itu masih terasa menakutkan sampai sekarang.
"Rahel, lo mimpi buruk lagi?" Juna segera memberikan segelas air mineral dan ikut duduk di bibir ranjang.
Rahel mengangguk, dan langsung menegak habis air mineralnya, "Ini di mana?"
"UKS, lo tadi pingsan di pintu masuk kolam. Jadi gue bawa ke sini, terus nungguin lo sampai sadar," jelas Juna.
"Jam berapa sekarang?"
"Enam, lo pingsan sekitar jam empat sore. Berarti ada dua jam gue nunggu di sini."
"Nyokap, nyokap gue gimana? Ada nyariin gue gak?" tanya Rahel dengan panik.
"Udah gue kasih tau kok, tenang aja!"
Gadis itu bernapas lega, menyandarkan punggungnya pada tembok sambil memperhatikan Juna yang sibuk menatap ubin lantai.
Keheningan kembali tercipta. Kedua remaja itu hanya terdiam, dan memikirkan tentang pertanyaan yang memenuhi kepala mereka masing-masing.
"Hel, gimana ceritanya lo di kunciin?" tanya Juna yang mencoba memecahkan keheningan.
"Secara tiba-tiba aja hera sama feli ngunciin gue. Pasti mereka iseng, tapi isengnya gak ngotak," jelas Rahel kesal.
Juna hanya tersenyum tipis, kini perhatiannya beralih pada Rahel, "Hel, kenapa muka lo pucet terus? Biasanya kalau udah minum air, wajah pasien udah gak pucet lagi."
Rahel hanya memberikan gelengan kepala, membuat Juna harus beranjak, dan mencari termometer yang di simpan dalam lemari gantung.
Setelah mendapatkannya, Juna segera memeriksa Rahel. Raut mukanya berubah khawatir, angka 39,8°C itu sangat tinggi untuk pasien demam. Juna bingung, ia kembali mencari-cari obat di dalam lemari gantung.
"Nyariin apa sih Jun? Gue demam biasa aja kok, gak tinggi-tinggi banget," ucap Rahel yang terus memperhatikan gerak-gerik Juna.
"Biasa apanya sih Hel? Termometer nunjukin angka tiga puluh sembilan, dan lo masih ngerasa biasa aja?"
"Iya."
"Jangan bohong deh Hel!" Juna membuka paracetamol tablet, dan obat yang tersimpan di dalam kotak kecil. Kedua obat itu segera di berikan pada Rahel beserta air mineral.
Gadis itu segera meminum obatnya dengan perlahan, dan kembali berbaring. Menatap Juna yang masih menatapnya dengan tatapan yang penuh khawatir.
"Gue gapapa," ucap Rahel.
"Lo itu sakit," sahut Juna, kembali duduk pada kursi, dan menggenggam tangan kecil itu dengan erat.
"Tadi gue mimpi, soal kasus bully di sekolah ini. Mereka berempat masih pake seragam, cewe semua, malem-malem dateng ke sekolah," ucap Rahel sebelum berakhir dengan berpikir.
"Terus?"
"Terus cewek yang namanya ebby di siksa sama karin. Gara-gara ebby punya perasaan ke pacarnya karin. Dia di siksa sampai mati, terus di tinggal gitu aja."
"Itu namanya bukan kasus bully, itu kekerasan. Tindak keriminal," sahut Juna sambil mengelus puncak kepala Rahel pelan.
Rahel mengangguk pelan sebelum akhirnya mata kecil itu terpejam dengan sempurna.
"Udah tidur?"
Juna menoleh ke arah pintu, "Baru aja tidur."
🍐
Wangi obat-obatan menyapa Rahel ketika ia membuka matanya. Ruangan yang di bencinya kembali terlihat, ia benci harus kembali tidur di atas ranjang pasien lagi.
Gadis itu mengubah posisinya menjadi duduk. Tak ada Iv catheter yang tertanam pada punggung tangannya hari ini.
"Rahel, mama bawain kamu roti, sama susu. Ini di makan buat sarapan, mama ada kerjaan penting di kantor. Kamu harus cepet sembuh ya, jangan bikin ulah di sini!" ucap Febby, berjalan mendekati ranjang pasien dengan terburu-buru, dan kemudian mencium kening puterinya pelan.
Rahel hanya mengangguk sambil mengambil menu sarapannya.
"Mama pulang malam kayanya, nanti mama minta juna aja ya yang jagain kamu. Kamu mau kan?"
"Hm, iya Ma."
"Oke, mama pergi dulu ya. Kamu jaga diri baik-baik!" ucap Febby sebelum melenggang pergi meninggalkan puterinya sendirian.
Rahel menghela samar. Perasaannya masih terasa tidak enak, di tambah dengan ingatan soal mimpi yang tidak bisa ia lupakan dengan cepat.
Sebenarnya Rahel ingin membantu Ebby, tapi ia perlu bantuan Juna yang paham tentang masalah ini. Apa lagi sekarang kekuatannya sudah terkuras habis, dan sudah bisa di pastikan pergerakannya akan terlihat selama dirinya ada di dalam ruangan ini.
"Minta bantuan gak ya? Tapi kalau dia gak mau gimana?" ucap Rahel bingung, "Atau gue ke sekolah aja ya? Sekarang atau nanti ya?"
Gadis itu masih berpikir sambil memakan roti cokelatnya dengan pelan.
"Oke, pergi sekarang!" ucap Rahel, beranjak dari ranjangnya, dan segera menegak habis susu cokelat itu.
Ia berjalan keluar dengan pakaian pasien yang masih melekat pada badannya. Jalan keluar yang paling aman adalah pintu belakang.
🍐