Prolog (Part 2)

The Servant Girl

Di suatu jalan, terlihat seorang gadis berambut hijau sedang berlari dengan kecepatan penuh menyusuri jalan setapak di tengah hutan tersebut. Dia adalah Midari, dan ia nampak sedang membawa keranjang penuh dengan jamur, tanaman, dan buah-buahan. Itu adalah sebuah keranjang bulat yang sering digendong di punggung yang sering digunakan oleh para pemetik teh atau semacamnya.

Gadis itu melesat menuju sebuah perkampungan yang berada di pinggir sungai. Karena kecepatan larinya yang sangat cepat, hanya butuh beberapa saat saja untuknya agar bisa sampai ke perkampungan tersebut.

"Meniadakan [Wind Walk]" ucap Midari ketika sesampainya di kampung.

Ia berhenti tepat di depan sebuah bangunan yang nampaknya adalah sebuah kuil. Terlihat beberapa biarawan sedang melakukan berbagai kegiatan di kuil tersebut. Ada yang sedang mencangkul di ladang, ada yang menggembalakan ternak, dan ada pula yang sekedar menyapu halaman kuil.

Midari pun menghampiri biarawan yang sedang menyapu.

"Permisi tuan biarawan, apakah sudah bisa menemui anak yang memiliki luka bakar yang dibawa kemari?" tanya Midari dengan sopan.

"Hm? Maaf, bertemu siapa tadi katamu?" tanya balik biarawan dengan nada bingung.

"Anak yang memiliki luka bakar. Bukankah ada seorang anak yang dibawa kemari oleh beberapa remaja yang nampak seumuran saya beberapa saat sebelumnya??" jawab Midari menjelaskan.

"Aku sudah di sini sejak tadi, namun aku tak melihat ada beberapa remaja ataupun anak yang memiliki luka bakar seperti yang kamu sebutkan" ungkap biarawan itu sambil menghentikan kegiatan menyapunya.

"Apa? Tidak mungkin mereka belum sampai, kan? Menurut perhitunganku, harusnya mereka sudah keluar dari tambang dan sampai kemari. Bahkan jika aku terlalu cepat sekali pun, harusnya paling lambat mereka harusnya sudah sampai beberapa saat tadi. Apa yang sebenarnya terjadi?" pikir Midari.

"Nona?" panggil biarawan yang heran melihat Midari yang tiba-tiba terdiam.

"Ah maaf. Kalau begitu saya permisi dulu, maaf telah mengganggu waktu anda, biarawan" ujar Midari dengan sopan membungkuk memberi hormat.

"Oh, tidak apa-apa" sahut biarawan yang lalu melanjutkan menyapu.

Midari berlalu pergi. Ketika sedang berjalan-jalan di jalan kampung, Midari melihat ada ramai-ramai di dekat sebuah rumah yang kelihatannya adalah sebuah rumah yang paling besar dan paling bagus di kampung itu.

"Mengaktifkan [Wind Whispers], North, East, West, South, come to me" ucap Midari sambil memejamkan matanya.

Seketika semuanya menjadi hening, dan seketika juga ia bisa mendengar berbagai percakapan kerumunan tersebut. Namun tidak seperti mendengar biasa yang tak pandang bulu mendengar semua suara, Midari bisa memilih suara mana yang ia ingin dengar jelas dan suara mana yang ingin diredam atau disenyapkan.

"Tuan kandidat pahlawan silakan bersantai di sini. Ah teman-teman anda juga silakan, jangan sungkan."

"Ah terima kasih, tetua kampung. Tapi bukannya ini terlalu—"

"Tetua kampung!"

"Y—ya, ada apa, nona?"

"Pastikan untuk mengundang semua orang. Sebagai kandidat pahlawan, beliau pasti ingin semua orang bisa menikmati pesta ini. Beliau ingin semua orang bahagia ketika beliau bahagia. Beliau tak ingin ada satu orang pun yang terlewatkan dan akhirnya bersedih di saat beliau di sini bersenang-senang. Anda mengerti maksud saya?"

"Oohh... begitu rupanya. Seperti yang diharapkan dari kandidat pahlawan. Beliau sangat peduli pada rakyat. Baiklah, baiklah! Saya akan mengundang semua orang, dan tak ada satu pun yang akan terlewat! Akan saya pastikan itu!"

"Suara ini, pasti ini Aruthor dan Ring. Tapi seperti biasanya ya, Ring selalu mengatur-atur dan ikut campur kalau itu urusan dengan nama baik dan ketenaran pahlawan. Loli baba itu, sebenarnya apa masalahnya dengan pahlawan? [Wind Walk]" gumam Midari sambil membuka matanya.

Lalu dalam sekejap sosoknya menghilang dari tempatnya berdiri.

Aruthor dan kawan-kawannya terlihat sedang duduk santai. Sambil menikmati sajian berupa teh hangat dan kue, mereka mengobrol satu sama lain.

"Aruthor! Aku ingin bicara!" ucap Midari yang sosoknya tiba-tiba muncul di belakang Aruthor dan menyentuh pundaknya.

Hal itu tentu saja membuat semua orang terkejut, termasuk Aruthor sendiri yang pundaknya disentuh yang menjadi orang paling kaget.

"O—oh Midari ternyata. Kamu dari mana saja?" sapa Aruthor yang menoleh ke belakang dan menyadari kalau yang menyentuh pundaknya adalah Midari.

"Ya, kenapa kamu tiba-tiba saja muncul seperti itu dan seenaknya mengajak bicara tuan Aruthor!" protes Fellin yang menjadi yang paling keberatan atas kehadiran Midari.

"Aku tak memiliki urusan denganmu, nona puteri bangsawan. Urusanku adalah dengan Aruthor. Jadi, Aruthor, ada yang ingin aku tanyakan padamu" balas Midari yang langsung beralih ke Aruthor.

"Apa maksudnya perkataanmu itu, hah?" protes Fellin.

Namun tentu saja Midari mengabaikan protesan Fellin tersebut.

"Memangnya kamu mau tanya apa sampai seserius itu?" balas Aruthor.

"Kamu bawa ke mana tuanku majikanku orang yang aku layani, Aruthor?" tanya Midari dengan menatap tajam kepada Aruthor.

"Hah? Tuanmu? Majikanmu? Orang yang kamu layani? Apa maksudmu, Midari?" sahut Aruthor tampak bingung dengan perkataan Midari.

"Jika itu orang yang kamu layani, bukankah dia ada di hadapanmu? Aruthor ada di depan matamu dan sedang kamu ajak bicara sejak tadi" tambah Ring.

"Hah? Aruthor? Untuk apa aku melayani Aruthor?" sahut Midari yang malah bertanya balik.

"Lalu yang kamu maksud itu siapa?" tanya Cardion.

"Anak yang terluka yang sebelumnya kalian bawa. Sekarang ada di mana beliau?" tanya Midari dengan tegas.

"Oh anak itu, tentu saja saat ini dia ada di klinik kuil kan!" jawab Aruthor dengan tersenyum yakin.

Mendengar jawaban itu, apalagi melihat Aruthor mengatakannya dengan tersenyum, membuat Midari naik pitam. Ia kemudian kekuatannya, dan seketika angin menyapu segala sesuatu yang ada di atas meja beserta meja itu sendiri. Semuanya terlempar oleh tiupan angin yang sangat kuat yang berhembus keluar dari tubuh Midari.

"Midari! Apa yang kamu lakukan? Cepat hentikan sihirmu sekarang juga! Kamu bisa merusak tempat ini, kamu tahu!" bentak Ring sambil memegangi topi kerucutnya dengan erat agar tak terbawa angin.

"Diam, pendek! Aku bisa saja membunuhmu saat ini juga jika aku mau, tapi itu akan merusak pengabdianku padaNYA juga pada beliau. Jadi aku akan menahan diri saat ini. Karena itu jangan coba-coba memancing amarahku dan membuatku khilaf, anak cucu Adam!" bentak balik Midari tubuhnya mulai melayang dan memancarkan cahaya kehijauan yang sangat mengintimidasi.

"Midari, tenangkan dirimu. Apa yang membuatmu sampai semarah ini? Coba jelaskan kepada kami? Kita bisa membicarakannya baik-baik" bujuk Aruthor.

""Apa yang membuatku marah", hah? Aku tak menyangka kebodohanmu sampai setingkat itu, Aruthor Salazar Üdine" ujar Midari sambil tersenyum merendahkan.

"Hah? Apa maksudmu?" tanya Aruthor dengan wajah bingung.

"Ah... sepertinya kamu sudah tak tertolong lagi. Bukankah aku sudah mengatakannya padamu beberapa saat tadi? Aku menanyakan, kamu bawa kemana anak itu, Aruthor? Jadi sekarang jawab yang benar!" suruh Midari.

"Aku sudah menjawabnya! Dia ada di klinik kuil!" tegas Aruthor.

"Ah... lagi-lagi jawaban yang penuh keyakinan meski itu keliru. Itu benar-benar membuatku kesal. Mau sampai kapan kamu mau main-main denganku, Aruthor! Jawab yang benar!" bentak Midari.

"Aku sudah menjawabnya dengan benar!" tegas Aruthor lagi.

Mendengar jawaban itu, Midari pun menepuk jidatnya.

"Apa dia benar-benar seorang kandidat pahlawan? Bukankah dia terlalu bodoh? Aku bisa melihat di masa depan nanti pasti dia hanya akan dimanfaatkan oleh berbagai orang jika memang ia berhasil naik menjadi pahlawan" pikir Midari sambil menghela napas.

Midari mulai turun dan kembali berpijak di tanah. Angin perlahan menjadi tenang dan cahaya kehijauan yang menyelimuti tubuh Midari mulai meredup dan kemudian menghilang.

"Maaf, sepertinya aku terlalu berharap lebih padamu yang sebagai kandidat pahlawan, Aruthor. Kalau begitu akan kujelaskan yang bahkan orang awam saja akan bisa mengerti" ujar Midari sambil memegangi kepala dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Eh?" sahut Aruthor sedikit terkejut dengan perkataan Midari.

"Alasan aku merasa kesal padamu adalah karena kamu mengatakan anak itu ada di kuil dan yakin perkataanmu itu benar meski sebenarnya keliru. Anak itu tidak ada di klinik kuil. Kamu tahu aku tahu dari mana?" ujar Midari.

"Dari mana?" sahut Aruthor.

"Karena aku sudah pergi ke sana dan di sana tidak ada anak itu. Aku sudah bertanya pada biarawan yang ada di sana. Ia bilang kalau tak pernah ada anak yang terluka yang dibawa ke sana. Karena itu lah, Aruthor, aku bertanya padamu anak itu kalian bawa ke mana?" jelas Midari lalu bertanya lagi.

"A—aku tidak tahu. Cardion yang membawanya. Aku yakin aku juga sudah meminta Cardion untuk membawanya ke klinik kuil" jawab Aruthor mulai menyadari kekeliruannya.

"Dari perkataanmu, nampaknya kamu tak mengantar sendiri anak itu ke klinik kuil, ya? Jadi kamu memasrahkannya pada Cardion, dan pergi begitu saja melepas tanggung jawabmu meski sebelum itu kamu berkata dengan sok keren dan sok baik kalau kamu akan membawanya ke klinik kuil untuk diobati?" tukas Midari menatap sipit Aruthor sambil tersenyum penuh intimidasi.

"Tunggu, Midari. Ini bukan sepenuhnya salah Aruthor. Dia tidak meninggalkan tanggung jawabnya. Dia mencoba membayar seluruh biaya pengobatan anak itu. Yang salah di sini adalah aku dan juga Fellin yang seenaknya menyeret Aruthor pergi ke sini, dan juga Cardion yang kelihatannya tak membawa anak tersebut ke klinik kuil seperti yang diminta oleh Aruthor. Jadi tolong jangan salahkan terus Aruthor, Midari" pinta Ring menjelaskan lalu membujuk Midari.

"Oh aku mengerti sekarang. Ya sejak awal aku kenal kalian aku memang tahu kalian adalah orang yang egois, jadi aku tak mengharapkan sesuatu yang lebih dari kalian. Kalau begitu Cardion, kamu bawa ke mana majikanku?" respon Midari lalu beralih ke Cardion.

"Aku menyerahkannya pada penjaga" jawab Cardion dengan acuh tak acuh pada situasinya saat ini.

"Penjaga? Jadi dia dibawa oleh penjaga saat ini. Baiklah, kalau begitu aku akan pergi ke markas penjaga" ujar Midari lalu berbalik berniat meninggalkan tempat itu.

Hanya dalam sekejap, sosoknya menghilang seolah melebur dengan udara.

"Aahhh... dia pergi juga akhirnya..." ucap Fellin merasa lega.

"Kenapa Midari begitu peduli dengan anak itu?" tanya Aruthor.

"Mungkin dia kenal dengan bocah itu?" sahut Cardion.

"Tapi interaksi pertama mereka tak menunjukkan kalau mereka saling kenal. Baik Midari maupun anak itu, mereka tak terlihat saling peduli satu sama lain ketika kejadian di dalam tambang sebelumnya" ujar Ring.

"Tapi aku juga tak menyangka kalau Midari memiliki kekuatan sehebat itu. Ketika bertarung bersama dengannya selama ini, aku sama sekali tak merasakan kalau ia memiliki kekuatan sekuat itu sebelumnya. Apa selama ini ia sengaja menahan diri menyembunyikan kekuatannya yang sesungguhnya?" lanjut Ring dalam benaknya.

"Kalau begitu kenapa dia tiba-tiba memanggil anak itu dengan panggilan "majikan"???" tanya Fellin.

"Mana aku tahu. Harusnya itu kamu tanyakan sendiri pada orangnya" jawab Ring yang kemudian kembali tampak berpikir keras.

****

Tubuh sang bocah yang sudah babak belur karena dihajar dan diinjak-injak oleh kepala penjaga sebelumnya itu, kini sedang diseret naik ke atas panggung yang biasa digunakan untuk melaksanakan eksekusi hukum gantung. Tubuh bocah yang tampak lemas tak berdaya dan penuh lebam itu kini dinaikan dan lehernya dimasukkan ke dalam lingkar tali untuk menggantungnya.

"Kenapa di sini sangat sepi? Tak biasanya" komentar Robert, kepala penjaga kampung itu.

"Oh itu. Aku dengar tetua kampung berniat mengadakan pesta penyambutan untuk kandidat pahlawan sebagai ucapan terima kasih atas pembasmian monster tikus di dalam tambang. Karena itu semua orang kampung sibuk untuk mempersiapkan pesta itu saat ini" jelas salah seorang penjaga yang sedang mempersiapkan tiang gantungan.

"Pesta penyambutan? Pantas saja kalau begitu" sahut Robert.

Semuanya tampak sudah siap, dan sang bocah sudah berdiri di tempat ia akan segera dieksekusi dengan setengah lemas karena kondisi tubuhnya.

"Aku tahu ini hanya protokol yang merepotkan, tapi aku harus menanyakannya padamu, apa kamu memiliki pesan terakhir sebelum kematianmu, bocah?" tanya Robert dengan suara lantang.

"Aku... tidak..." ucap sang bocah dengan suara lirih yang hampir tak terdengar.

"Oke. Meski aku tak bisa mendengarnya sepertinya dia sudah mengatakannya. Laksanakan eksekusinya!" sahut Robert.

"Siap!" balas penjaga yang bertugas menarik tuas untuk membuka panel pijakan di bawah kaki orang yang dieksekusi.

Tuas pun ditarik, panel terbuka, dan tubuh sang bocah itu pun tergantung di sebuah tali yang melingkar di lehernya.

"Majikan!!!" panggil seorang gadis.

Seketika sosok sang bocah menghilang. Lalu sepersekian detik setelah itu muncul gelombang kejut angin yang sangat kuat memporak-porandakan panggung eksekusi hukuman gantung dan melempar semua yang ada di sekitarnya layaknya kapas yang tertiup angin.

"A—apa yang barusan terjadi?" ucap Robert keluar dari tumpukan kayu dengan tubuh yang kotor oleh debu dan mengalami beberapa luka.

Ia melihat ke sekitarnya, dan ia mendapati kalau panggung eksekusi sudah lenyap tak bersisa, bahkan markas penjaga pun sudah berubah menjadi reruntuhan dan menyisakan pondasi dan tumpukan batu dan juga kayu yang berserakan tak karuan.

"Apa yang terjadi!? Seseorang cepat katakan apa yang terjadi barusan!!??" pekik Robert terkejut dan panik.

Di angkasa, sesosok gadis berambut hijau tampak sedang menggendong sang bocah yang sebelumnya dihukum gantung itu di pangkuannya. Itu adalah Midari, dan ia menatap tubuh lemas sang bocah yang sudah lemas seperti boneka yang sudah terputus talinya.

"Majikan... bangunlah. Majikan... buka mata anda. Ini aku, majikan. Elf yang ditugaskan untuk melayanimu. Anda aman sekarang, karena ada saya di sini. Jadi kumohon, buka mata anda..." ujar Midari.

Namun tak ada respon sedikit pun dari tubuh lemas di pelukannya itu.

"Tunggu... apa aku gagal? Apa aku telah gagal? Aku telah gagal melaksanakan tugasku? Aku gagal melakukan pengabdianku? Tidak mungkin... padahal... padahal aku baru saja bisa bertemu. Aku baru bisa bertemu setelah sekian lama. Setelah ribuan tahun lamanya menanti. Setelah akhirnya beliau hadir, aku malah... aku malah gagal? Tidak mungkin. Ini tidak mungkin! Tolong katakan ini semua bohong!" lanjut Midari dengan air mata mulai menetes.

Tetes demi tetes, hingga akhirnya mengalir tak terbendung. Tangis sang gadis berambut hijau itu akhirnya pecah, dengan terisak-isak dan napas yang tak karuan akibat kesedihan yang mendalam. Midari mendekap tubuh anak itu.

"Uuaaaaaaarrrrggghhhhh...!!!"

Midari menjerit ke arah langit.

Tubuh Midari mulai mengeluarkan cahaya hijau lagi. Bersamaan dengan itu, langit menjadi gelap, awan dari berbagai penjuru tertarik ke arah tepat di atas kepala gadis yang sedang diliputi oleh kesedihan itu. Angin pun mulai tak tenang dan mulai tertarik ke tubuh Midari. Semuanya berkumpul dan cahaya hijau yang menyelimuti tubuh gadis itu juga semakin bersinar terang.

"Kembalikan! Kembalikan! Jangan ambil dia! Jangan ambil dia dariku! Kumohon! Dia adalah yang kunantikan selama ini! Aku sudah menunggunya sejauh yang bisa kuingat. Aku sudah menantinya sejak ENGKAU menciptakanku. Setelah akhirnya dia hadir dalam hidupku, tolong jangan ambil dia kembali! Aku mohon padaMU, kembalikan dia ke sisiku. Apa aku perlu... apa aku perlu menukarkan nyawaku supaya dia kembali? Jika memang itu harga yang pantas, maka akan kulakukan! Asal kembalikan... kembalikan dia padaku!" tegas Midari ke arah langit.

Sebuah buku putih yang bercahaya putih pula muncul di hadapan Midari. Ia bisa melihatnya dengan jelas. Dan ia pun bisa melihat kalau tepat ketika buku itu muncul, kegelapan sirna sepenuhnya dari dunia. Tak ada tempat yang gelap, tak ada bayangan, yang ada hanyalah tempat yang penuh warna. Bahkan warna yang sebelumnya tidak pernah ia lihat, ia bisa melihatnya.

「The Creator tak membutuhkan nyawamu. Nyawamu itu tak berharga dan tak bermanfaat bagiNYA. Karena sejak awal The Creator lah yang menciptakan dan memberikan nyawa, meniupkan ruh pada jasadmu itu. Sejak awal itu adalah milikNYA, itu dalam kuasaNYA, dan akan kembali padaNYA, karena itu The Creator tak membutuhkannya sama sekali.」

"Siapa itu? Suara dari mana itu? Apa dari buku ini?" tanya Midari merasa sangat bingung dan terkejut.

Suara itu terdengar sangat agung dan terasa sangat menenangkan hati. Dan suara itu tak berbicara dengan bahasa manapun, namun Midari seolah bisa mengerti semua perkataan itu. Karena baginya, suara itu berbicara dalam bahasanya, bahasa yang paling ia mengerti.

「Kami bukan buku. Kami adalah sistem. Sistem dari kekuasaan {Al-Malikul Mulk} yang disebut sebagai Malak. Buku itu hanya sebuah media. Media yang memiliki simbol sebuah buku. Karena buku adalah jendela ilmu. Dan ilmu mengalir dari The Creator of All Creations melalui kami. Karena itu kami gunakan simbol buku sebagai media penghubung antara kalian, kami, dan The Creator.」

"Kalau begitu, kalau memang kalian bisa menghubungkanku dengan The Creator, bisakah kalian tanyakan padaNYA, apa aku telah gagal? Apa aku telah gagal mengabdi karena majikanku telah mati?" tanya Midari.

「Tidak ada yang gagal. Tidak ada yang mati. Kamu lanjutkanlah pengabdianmu, Ardh.」

"Tapi bagaimana? Dia sudah mati!" tanya Midari dengan tegas.

「Bukan kamu yang memutuskan hidup dan mati. Bukankah kamu sebelumnya kesal apabila ada yang sok tahu dan ternyata keliru? Apa menurutmu kami takkan kesal jika kamu sok tahu pada kami?」

Midari terbelalak menyadari kesalahannya.

"Ma—maafkan aku" ucap Midari menyesal.

「Kami menerima maafmu. Jadi lanjutkanlah pengabdianmu. The Creator takkan pernah mengingkari janjiNYA. Apabila The Creator menjanjikan padamu majikan untuk kamu layani, maka sudah pasti kamu akan mendapatkannya. Dan takkan diambilnya dia darimu hingga hari yang dijanjikan. Yakinlah akan hal itu, Ardh.」

Setelah itu buku putih itu kembali lenyap dari penglihatannya. Keadaan kembali seperti semula. Keadaan menjadi gelap akibat awan yang telah berkumpul di daerah itu. Dan beberapa saat kemudian akhirnya hujan turun. Midari pun menengadahkan kepalanya ke arah langit sambil memejamkan matanya. Ia membiarkan wajahnya terbasuh oleh air hujan untuk membilas air mata yang sebelumnya membasahi wajah cantiknya itu.

Di saat yang sama, tubuh sang bocah yang juga terbasahi air hujan terlihat mulai mengeluarkan cahaya putih samar. Bersamaan dengan itu juga nampak kalau setiap luka bakarnya mulai menghilang oleh air hujan layaknya gambar yang luntur terbasuh air.

Tak lama kemudian, ada gerakan kecil di mata sang bocah. Gerakan yang tampak jelas meski matanya saat ini sedang terpejam. Dan beberapa saat setelahnya, akhirnya mata sang bocah itu pun terbuka.

"Mmhh..." lenguh sang bocah sambil membuka matanya perlahan.

Dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah seorang gadis cantik yang terlihat sedang melihat ke arah langit.

"Hijau..." kata sang bocah ketika melihat rambut hijau kebiruan yang kini basah oleh air hujan.

Mendengar suara sang bocah di pangkuannya, Midari pun langsung menoleh ke arah datangnya suara tersebut.

"Majikan" panggil Midari yang terlihat sangat bersyukur.

Air mata kembali mengalir melalui pipinya.

"Kenapa kamu menangis? Dan kenapa kamu memanggilku majikan?" tanya sang bocah bingung dengan suara lemah.

"Syukurlah! Syukurlah majikan kembali! Syukurlah anda selamat!!" ucap Midari tak mempedulikan pertanyaan bocah di pangkuannya itu dan kemudian memeluknya dengan erat.

"Le—lepaskan! Aku tak bisa bernapas!" pinta sang bocah yang dipeluk sangat erat hingga ia kesesakan.

Menyadari hal itu, Midari pun mulai melepaskan pelukannya.

"Ma—maaf!" sahut Midari.

Midari pun kemudian tersenyum.

"Mari kita turun" lanjut Midari.

"Turun? Apa maksud— uwaahhh!? Kita terbang tinggi sekali!" ujar sang bocah yang terkejut dan hampir saja terjatuh dari gendongan Midari akibat gerakan tiba-tibanya.

"Ah, majikan, tenanglah! Nanti anda bisa jatuh!" pinta Midari.

Midari turun dengan buru-buru dan berhasil mendarat dengan cepat di permukaan tanah dengan selamat. Midari segera berlari untuk berteduh. Lalu ia berteduh di bawah sebuah pohon yang nampak berdaun lebat.

"Bi—bisakah kamu menurunkan..ku...?" pinta sang bocah.

"Kenapa? Apa anda merasa tidak nyaman?" tanya Midari.

"Bu—bukannya begitu. Aku..." jawab sang bocah.

"Ah, saya mengerti. Kalau begitu akan saya turunkan ya" ujar Midari tersenyum penuh pengertian.

Midari menurunkan tubuh sang bocah, dan bocah itu pun berdiri dengan dua kakinya sendiri kali ini. Namun ketika berdiri ia tersentak karena terkejut. Ia menatap kakinya kemudian melihat-lihat ke tubuhnya.

"Luka-lukaku, menghilang? Semua sakitku juga lenyap? Apa yang terjadi? Apa perempuan ini menyembuhkanku?" pikir bocah itu bingung bukan kepalang.

"Tidak, bukan saya yang menyembuhkan anda" ujar Midari seolah tahu yang dipikirkan oleh sang bocah.

"Eh, dia bisa membaca pikiranku!?" tukas bocah itu dalam hatinya terkejut.

"Saya juga tidak tahu apa yang telah terjadi. Jadi saya juga tidak bisa menjawab anda kalau misalkan anda bertanya kepada saya siapa yang telah menyembuhkan luka anda, majikan" sambung Midari.

"Ah, benar juga, kenapa dia terus memanggilku "majikan"? Aku harus menanyakannya" gumam bocah itu dalam benaknya.

"Kena—kenapa kamu memanggilku majikan?" tanyanya sedikit canggung.

"Tentu karena anda adalah majikan saya" jawab Midari dengan singkat.

"Hah?!" sahut sang bocah terkejut tak menyangka.

"Ah, benar juga, saya belum memperkenalkan diri saya. Nama saya Ardh Gaia Motherland. Tapi saya menggunakan nama Midari Irys untuk berpetualang. Saya adalah seorang elf, oleh sebab itu lah tugas saya adalah melayani anda" ungkap Midari memperkenalkan dirinya.

"Elf? Apa itu elf? Dan apa hubungannya elf dengan menjadi pelayanku?" pikir sang bocah yang tak mengerti.

"Sekarang giliran majikan, apa saya boleh tahu nama anda?" tambah Midari sambil membungkukkan tubuhnya.

"A—aku... n—namaku Syuhada" jawab bocah itu.

"Syuhada? Nama yang juga berarti yang telah membuktikan kesaksiannya atau yang telah menjalankan panduannya kah. Nama yang bagus. Sangat cocok dengan anda" puji Midari.

"Mh? Benarkah? Cocok denganku?" komentar Syuhada dalam hatinya.

"Sekarang kita sudah saling kenal dan tahu nama masing-masing, jadi izinkan lah saya untuk secara resmi mengabdi kepada anda, majikan" sambung Midari.

"Tu—tunggu dulu, sejak tadi aku ingin menanyakan hal ini" ujar Syuhada.

"Mh? Ada apa, majikan? Apa yang ingin anda tanyakan?" sahut Midari.

"Ke—kenapa sejak tadi kamu sangat terobsesi untuk jadi pelayanku?" tanya Syuhada dengan bingung.

"Sudah jelas, itu karena saya adalah seorang elf" jawab Midari.

"A—apa hubungannya?" tanya Syuhada.

"Maksud anda apa hubungannya elf dengan menjadi pelayan anda? Kalau mesti dijelaskan maka itu akan jadi sangat panjang. Jadi biar saya beri penjelasan singkatnya saja. Yaitu, karena saya adalah elf, maka saya harus mengadi pada anda. Itu saja!" jelas Midari.

"Dia benar-benar tak memiliki bakat untuk menjelaskan. Itu sama saja dia hanya berputar-putar saja di jawaban yang pertama. Bagaimana sih?" keluh Syuhada dalam benaknya.

"Bagaimana? Apa anda bersedia menjadi majikan saya?" tanya Midari sambil berlutut di hadapan Syuhada.

"T—tapi aku ini miskin. A—aku tak bisa menggajimu" ungkap Syuhada.

"Itu tak perlu anda pikirkan. Asalkan saya bisa terus bersama anda dan melayanj anda, maka itu sudah lebih dari cukup" ujar Midari.

"Perempuan ini gila ya? Kenapa dia sampai segitunya supaya bisa melayaniku? Apa dia dipaksa? Atau mungkin dia kalah taruhan atau semacamnya? Tidak mungkin juga ada perempuan yang bersedia jadi pelayan laki-laki tanpa mendapat timbal balik sedikit pun!" pikir Syuhada yang merasa sangat bingung dan heran.

Namun Midari di depannya, terlihat sedang menatapnya dengan senyuman dan mata berkilau penuh harap. Syuhada merasa tak tega untuk menolak, namun ia juga masih ragu untuk menerimanya karena alasan Midari yang masih belum jelas baginya.

"Harus bagaimana aku???" ucap Syuhada semakin bingung.

Tiba-tiba buku putihnya kembali muncul di depannya dan mulai terbuka dengan sendirinya dan berhenti di lembaran tertentu.

「Wahai "The One Who Have Guidance", telah kami anugerahkan kepada dirimu kasih sayang kami untuk memudahkan hidupmu. Untuk menghias kehidupanmu. Sehingga kamu tak merasa kesepian dan senantiasa dalam kebahagiaan. Maka terima lah anugerah dari kami itu sehingga kamu tak masuk dalam golongan orang-orang yang merugi.」

"Dengan kata lain aku dianjurkan untuk menerimanya ya? Baiklah kalau begitu. Jika ini memang kehendakNYA, maka aku memiliki kewajiban untuk berjalan sesuai yang dikehendakiNYA." pikir Syuhada.

Ia kembali menatap mata Midari yang masih tersenyum penuh harap padanya.

"Baiklah. Akan kuterima kamu menjadi pelayanku. Kuharap kamu jangan menyesal mengabdi padaku nanti, karena semuanya adalah keputusanmu sendiri" ujar Syuhada dengan nada serius.

"Tentu saja saya takkan menyesal, majikan!" sahut Midari.

"Dan jangan memanggilku majikan, panggil saja dengan nama" pinta Syuhada.

"T—tapi bukannya itu tidak sopan?" tanya Midari.

"Tenang saja! Itu takkan menjadi tidak sopan kalau aku yang memintanya kan?" jawab Syuhada.

"Saya rasa anda benar, majika— maksud saya Syuhada" balas Midari.

"Dan juga berhenti lah memakai bahasa formal itu" pinta Syuhada lagi.

"Ba—baik!" sahut Midari sambil menunduk.

Midari sedikit mengangkat kepalanya menatap Syuhada lagi.

"Kenapa bicara an— maksudku bicaramu tiba-tiba jadi lancar? Padahal sebelumnya terbata-bata" tanya Midari.

"Ah, benar juga. Kenapa ya?" sahut Syuhada yang tampak bingung karena tidak tahu alasannya juga.

Tak berapa lama, hujan pun berhenti.

****

Karena kejadian sebelumnya dan juga hujan deras yang tiba-tiba saja turun, persiapan pesta penyambutan pun menjadi tertunda. Apalagi dengan datangnya kepala penjaga, Robert ke hadapan tetua kampung dan melaporkan kalau markas penjaga telah rata dengan tanah karena serangan dari subjek tak dikenal. Yang akhirnya membuat pesta penyambutan benar-benar dibatalkan.

Semua orang di kampung, beserta Aruthor dan kawan-kawannya akhirnya berbondong-bondong untuk melihat keadaan markas penjaga. Sesampainya di sana, mereka pun mendapati kalau markas penjaga sudah benar-benar berubah menjadi reruntuhan yang hanya tersisa puing-puing dan pondasinya saja. Alhasil semua orang pun kaget dibuatnya.

"Daya rusak ini, apakah ini ulah monster?" tukas Aruthor.

"Dilihat dari fakta kalau dia menyelamatkan orang, sepertinya bukan" sanggah Ring.

"Tapi kita tidak tahu kalau dia benar-benar menyelamatkan atau malah merebut orang itu. Kamu tahu, seperti layaknya Hyenna yang merebut hasil buruan Singa" tukas Fellin.

"Hmm... yang dikatakan Fellin benar. Kita tidak tahu dan tidak bisa mengidentifikasi pelaku kalau kita tak memiliki informasi tambahan yang cukup" ujar Aruthor.

"Kalau begitu kita perlu tahu, siapa yang sedang dieksekusi tersebut. Mari kita tanyakan pada kepala penjaga, saksi yang melihat langsung kejadian itu" tambah Ring memberikan usulan.

Lalu mereka berempat pun menghampiri kepala penjaga dan tetua kampung. Terlihat saat ini tetua kampung dan Robert si kepala penjaga sedang mengomandokan beberapa orang untuk mengevakuasi dan merawat para korban dari kejadian itu. Luka yang dialami para korban bisa dibilang cukup parah karena beberapa bagian tubuh mereka ada yang bengkok ke arah yang aneh, dan ada juga yang memiliki luka tusukan atau sobekan akibat terkena objek dari puing-puing bangunan.

"Ya, kumpulkan semuanya di sini supaya lebih mudah untuk kita merawat semuanya!" perintah sang tetua kampung.

"Maaf mengganggu waktunya sebentar, ada yang mau kami tanyakan" ujar Aruthor ketika sampai di belakang mereka.

"Mh? Ada apa? Apa yang ingin anda tanyakan, kandidat pahlawan" sahut tetua kampung sambil berbalik menghadap Aruthor.

"Sebenarnya ini pertanyaan untuk kepala penjaga. Kalau boleh tahu, siapakah gerangan orang yang hendak dieksekusi itu? Kami butuh informasi itu untuk mengidentifikasi pelaku kejadian ini" tanya Aruthor sembari menjelaskan maksudnya.

"Hmm... dia hanya seorang anak. Anak laki-laki yang saya rasa anda juga sudah mengenalnya" ungkap Robert.

"Aku mengenalnya?" sahut Aruthor dengan nada bingung.

"Ya, kalau tidak salah anak itu katanya sudah melakukan kejahatan kepada teman anda bukan? Tidak mungkin anda tidak tahu" jelas Robert.

"Berbuat jahat kepada temanku?" sahut Aruthor lagi masih bingung.

"Tunggu sebentar, apa anak itu memiliki rambut hitam gelap dan badannya dipenuhi oleh luka bakar?" tanya Ring mengambil alih.

"Ya, itu dia!" balas Robert.

"Kalau begitu masalahnya jadi rumit" gumam Ring.

"Apa maksudmu, nona Ring?" tanya Aruthor masih bingung.

Ring pun menarik Aruthor dan yang lainnya menjauh dari tetua kampung dan juga kepala penjaga. Mereka dikumpulkan merapat dalam formasi lingkaran.

"Dengar, jika yang dimaksud adalah anak itu, maka orang yang menghancurkan tempat ini kemungkinan adalah Midari" ujar Ring dengan suara setengah berbisik.

"Midari? Apa hubungannya dengan Midari?" tanya Aruthor masih tidak mengerti.

"Apa kamu masih tidak mengerti juga meski sudah sampai di sini?" keluh Ring.

"Tuan Aruthor, yang dimaksudkan oleh nona tukang suruh ini adalah anak itu adalah anak yang sama yang kita temui di dalam tambang. Lalu Midari kemungkinan menghancurkan tempat ini untuk menyelamatkannya" jelas Fellin.

"Apa!? Midari melakukannya!? Kenapa!!??" sahut Aruthor terkejut.

"Apa kamu lupa kejadian sebelumnya di saat Midari mengamuk dan marah kepada kita karena kita tidak membawanya langsung ke klinik kuil?" ungkap Ring.

"Oh benar juga. Midari kelihatannya peduli sekali dengan anak itu. Tapi kalau begitu, ada di mana mereka sekarang?" balas Aruthor.

"Mari kita cari bersama-sama" ajak Fellin.

"Tidak, mungkin lebih baik kalau kita berpencar saja. Itu akan lebih cepat" usul Ring.

"Ya, aku setuju dengan nona Ring. Mari kita berpencar untuk mencari mereka. Karena kita tidak tahu mereka pergi ke arah mana, maka dengan berpencar kita akan bisa mencari ke berbagai arah yang berbeda" ujar Aruthor menanggapi usulan itu.

"Ya... kalau tuan Aruthor juga menyetujuinya sih, maka saya juga akan ikut setuju" sahut Fellin.

"Bagus! Kalau begitu, ayo kita mulai pencarian!" ucap Aruthor.

Dan mereka bertiga pun pergi ke tiga arah berbeda.

"Seperti biasanya, sepertinya aku dianggap tidak ada... kah?" keluh Cardion dengan lelah lalu pergi ke arah yang tersisa.

****

Di bawah pohon rindang, Syuhada dan Midari terlihat sedang memasak sesuatu di atas api unggun yang ada di antara mereka berdua. Mereka duduk di atas akar pohon yang menaungi mereka itu. Lalu sambil membolak-balik sayuran yang dipanggangnya, Midari terlihat menaburkan serbuk putih yang tak lain adalah garam.

"Sepertinya sebentar lagi akan matang, tuan Hada" ujar Midari.

"Sekarang dia memanggilku dengan nama panggilan?! Ya meski masih ditambahi tuan sih" komentar Syuhada dalam hatinya.

"Oh ya kalau boleh tahu, tuan, apa buku itu masih ada di depan tuan Hada saat ini?" tanya Midari penasaran.

"Buku??" sahut Syuhada memiringkan kepalanya.

"Ya, buku putih yang bercahaya menyinari langit dan bumi!" tegas Midari.

"Apa!? Jadi dia bisa melihatnya!? Itu tidak mungkin! Hingga saat ini tak pernah ada yang bisa melihatnya selain diriku!" ungkap Syuhada dalam hatinya.

"Tuan?" panggil Midari sedikit khawatir dengan diamnya majikannya itu.

"Jadi kamu bisa melihatnya juga?" tanya balik Syuhada.

"Ya. Tapi sekarang sudah tidak lagi sih. Dia tiba-tiba muncul dan kemudian menghilang lagi" jawab Midari.

""Dia"? Jangan bilang kalau Midari sudah—" duga Syuhada dalam hatinya.

"Ketemu juga akhirnya!" ucap seseorang yang datang dari arah kampung.

Mendengar itu Midari dengan reflek langsung mengaktifkan kekuatannya dan seketika udara di sekitarnya bergerak menjadi angin dan berkumpul di sekeliling tubuh Midari. Api yang digunakan untuk memanggang makanan tampak langsung padam.

"Mau apa kau kemari?" tanya Midari dengan nada mengintimidasi.

"Tu—tunggu, ini aku Ring! Aku kemari bukan untuk mencari masalah, jadi tolong tenangkanlah dirimu!" pinta Ring sedikit panik.

"Oh, begitukah? Setelah kalian memfitnah majikanku, dan membuatnya hampir meninggal karena dieksekusi, dan kamu datang kemari dan mengatakan "tak mencari masalah"? Jangan bercanda!" tukas Midari lalu mulai mengumpulkan angin lebih banyak dan tubuhnya juga mulai kembali memancarkan cahaya kehijauan.

"Ga—gawat, aku tidak tahu sampai mana batas kekuatannya. Jika aku salah mengambil langkah, bisa-bisa aku akan benar-benar celaka!" pikir Ring sambil memegang magic rod dan topi kerucutnya kuat-kuat.

"Be—berhenti!" pekik Syuhada.

"Tuan!?" sahut Midari dengan terkejut dan menoleh ke arah Syuhada.

Syuhada menatapnya dengan wajah seperti memintanya sesuatu. Midari pun mengerti maksudnya, dan akhirnya menghentikan kekuatannya. Udara kembali tenang dan cahaya kehijauan di tubuh Midari juga ikut menghilang.

"Kamu beruntung majikanku tidak mengizinkanku untuk berkelahi denganmu, Ring Valion. Jadi mumpung majikanku memberikan kesempatan, pergilah dari hadapan kami sekarang juga!" bentak Midari yang masih bernada kesal.

"Tidak, Midari. Dengarkanlah penjelasanku dulu!" pinta Ring.

"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, pergilah!" suruh Midari.

"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan! Biarkan aku menjelaskan kejadian yang sebenarnya!" ujar Ring.

"Apa-apaan dengan pembicaraan mirip pasangan yang selingkuh ini" komentar Syuhada dalam benaknya.

"Aku sudah cukup mendengar penjelasanmu, dan aku sudah mengerti. Karena itu, dengan ini aku memutuskan akan keluar dari kelompok kalian. Aku akan membuat kelompok sendiri dengan majikanku, iya kan tuan Hada?" tegas Midari lalu menoleh ke Syuhada.

"Eu—euh..." sahut Syuhada yang terdengar seolah mengiyakan.

"Kelompok? Kelompok apa maksudnya?" lanjut Syuhada dalam hatinya yang ternyata tidak mengerti.

"Tch, aku tak boleh membiarkan Midari keluar dari kelompoknya Aruthor. Setelah mengetahui kekuatannya, tidak mungkin aku melepaskan aset seberharga itu begitu saja. Dia bisa jadi kekuatan party kami yang bisa menaikkan kesempatan Aruthor untuk menjadi pahlawan" pikir Ring.

"Aku akan menghentikanmu, bagaimana pun caranya! Bahkan jika itu harus dengan paksaan dan membuatmu terluka parah sekali pun!" tambah Ring dengan tegas.

"[Liquidas Deus]" pekik Ring mengaktifkan sihirnya.

"Oh akhirnya kamu menunjukkan wujud aslimu juga, Ring! Kalau begitu aku juga!" ujar Midari ikut mengaktifkan kekuatannya.

Seketika rambut dan matanya mulai mengeluarkan cahaya hijau keemasan. Lalu di kedua tangannya terlihat ada pusaran angin yang seolah menjadi sebuah gauntlet atau sarung tangan tempur untuknya.

"Apa anda percaya kepada saya, tuan Hada?" tanya Midari tiba-tiba sambil menoleh kecil ke arah Syuhada.

"Percaya? Percaya untuk hal apa maksudnya?" pikir Syuhada bingung dengan maksud pertanyaan Midari itu.

Namun di saat yang bersamaan buku putih muncul lagi.

「"The One Who Have Guidance" diberikan kesempatan untuk memberikan warna kepada ruh dari ‹Ardh Gaia Motherland›.」

"Hah? Memberikan warna? Apa maksudnya?" ucap Syuhada dalam hatinya.

「Dengan memberikan warna, ruh yang bersangkutan akan memiliki otoritas tertentu dalam {Yggdrasil System} berdasarkan sifat karakteristik warna yang diberikan.」

"Aku masih tidak mengerti. Jelaskan dengan lebih baik!" protes Syuhada dalam hatinya.

「Warna yang bisa diberikan: Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila, dan Ungu. Pilih hanya salah satu dari warna tersebut.」

"Seperti biasanya masih tak mau menjawab kah. Tapi apa tidak apa-apa jika aku menundanya? Aku harus pikir-pikir dulu soalnya" gumam Syuhada dalam hatinya.

「"The One Who Have Guidance" diperkenankan untuk menunda. Tak ada batas waktu penundaan. Apabila "The One Who Have Guidance" berkehendak memberikan warna, maka cukup ucapkan, "Dengan kehendakNYA, maka dengan ini saya memutuskan untuk memberi (nama yang bersangkutan) warna (salah satu nama warna dari 7 warna yang disediakan) atas ruhnya berikut dengan otoritasnya.".」

"Dan tiba-tiba saja aku mendapat jawaban?! Padahal aku tidak bermaksud mendapatkan jawaban karena aku sedang bicara sendiri tadi!" komentar Syuhada terkejut dengan jawaban yang menjelaskan panjang lebar itu.

"Percaya lah padaku, tuan Hada. Aku akan menyelesaikan ini dengan cepat! [Wind Walk]!" sambung Midari yang tak kunjung mendapatkan jawaban dan memutuskan untuk maju menyerang Ring.

Midari menerjang langsung ke arah Ring dengan kecepatan yang luar biasa. Karena itu dalam sekejap saja Midari sudah berada di hadapan Ring dan langsung memukulkan lengan kanannya ke arah wajah Ring. Namun pukulan itu menghantam sesuatu dan terpentalkan, yang ternyata itu adalah sebuah perisai air. Kedua serangan itu saling menghancurkan satu sama lain.

"Masih ada satu lagi!!" pekik Midari yang kali ini memukulkan tangan kirinya.

Dan kali ini Ring tak memiliki perisai air untuk menahan pukulan Midari yang dibalut oleh pusaran angin itu. Akan tetapi, belum sempat pukulan itu mendarat di wajah Ring, air menghantam Midari dari bawah dan melemparkannya ke udara.

Ring tak tinggal diam, dia kali ini menembaki Midari yang saat ini sedang melayang di udara akibat dipentalkan oleh air semburan dinding airnya. Midari menyadari itu, dan ia langsung menghentakkan kakinya dan seketika tubuhnya melesat terdorong oleh efek hentakan kakinya ke udara.

"Dia berlari di udara!?" ucap Ring sedikit terkejut.

Midari pun lolos dari tembakan peluru air milik Ring.

"Giliranku! [Windblade]!" ujar Midari kemudian menyunkan lengan kanannya seolah lengannya itu adalah sebuah pedang.

Dari ayunan lengannya itu tercipta sebuah angin berbentuk sabit yang melesat ke arah Ring. Namun Ring dengan mudahnya menahan sabit angin itu hanya dengan sebuah perisai air. Meskipun lagi-lagi perisai air itu ikut hancur karena kekuatan serangan Midari.

"Kalau begitu selanjutnya! [Windblade Barrage]!" ucap Midari menciptakan pusaran angin di lengan kanannya.

Lalu ia mengayunkan lengannya itu dengan cepat dan dari ayunan tangan itu muncul sabit-sabit angin yang melesat secara beruntun ke arah Ring. Tapi kemudian Ring menciptakan perisai-perisai air untuk menahan setiap serangan Midari itu dengan mudahnya.

"Lalu ini, [Cross Windblade]!" tambah Midari kemudian mengayunkan kedua tangannya membentuk silang.

Lalu setelah itu, Midari menghentakkan kakinya dan melesat mengejar serangannya sendiri menuju langsung ke arah Ring. Di kedua tangannya ia mempersiapkan masing-masing pusaran angin yang menyelimuti kedua tangannya itu.

"Percuma saja, akan ku tahan!" tegas Ring yang menciptakan perisai air yang lebih besar dan berhasil menahan serangan tebasan angin silang milik Midari dengan hasil perisai airnya pun ikut hancur.

Namun Ring terkejut melihat Midari yang sudah berada tetap di depan matanya.

"Apa!? Bagaimana bisa!?" ucap Ring.

Midari kemudian memukulkan kedua lengannya ke perut Ring dan Ring pun terpental oleh hempasan angin dari pusaran angin di lengan Midari yang memeng akan menyembur keluar ketika terkena objek serangan.

"Kyah! Akan ku balas!" pekik Ring kemudian menembakan beberapa peluru air yang diambil dari genangan-genangan air di tanah.

Selain dari depan Midari, serangan peluru air itu juga terlihat datang dari belakang.

"[Dual Windsword]" ucap Midari kemudian di kedua lengannya tercipta pusaran angin yang menajam di bagian ujungnya.

Midari mengayunkan lengannya layaknya sebuah pedang dan menebas seluruh peluru air yang datang dari depan. Kemudian ia berputar-putar layaknya gasing ke arah kanannya menebas semua peluru air yang datang dari belakang. Lalu ia mengerem, mengehentikan putaran sekaligus laju larinya sambil berniat mengayunkan kedua lengannya secara bersamaan ke arah yang sama dengan arah putarannya.

"[Dual Windblade]!" pekik Midari.

Midari pun mengayunkan kedua lengannya itu, dan penyatuan kedua serangan itu menciptakan sebuah sabit angin yang sangat kuat. Mengetahui hal itu tentu saja Ring dengan sigap menciptakan pusaran air di kakinya dan menggunakan pusaran air itu untuk mendorong tubuhnya naik ke atas menghindari tebasan sabit angin Midari.

Pepohonan yang terkena sabetan sabir angin Midari tampak langsung terpotong dan beterbangan ke udara.

"Apa-apaan coba itu!? Bahkan jika aku menggunakan perisai air pun, aku akan tetap terpotong menjadi dua bagian kalau sampai itu mengenaiku. Apa dia benar-benar berniat membunuhku!!??" gerutu Ring dalam benaknya.

"[Cross Windblade]" ucap Midari kembali menyerang Ring yang masih melayang di udara.

Ring melompat menggunakan genangan air di udara yang merupakan sisa dari pusaran air yang mendorongnya naik sebelumnya, dan ia pun mendarat di tanah. Namun terlihat di kakinya kalau air yang menggenang di tanah seperti menyambutnya dan menjadi pijakannya, membuat Ring seakan melakukan surfing atau berselancar di daratan.

"Mampu menggunakan sihir sekuat itu secara terus menerus, ‹mana› milikmu pasti sangat banyak ya. Tapi sayang sekali, kalau soal jumlah ‹mana› sudah terkonfirmasi kalau diriku adalah peringkat 3 di dunia di bawah King of The Magic, dan pemilik titel Hero of Magic, jadi aku masih punya banyak ‹mana› untuk kugunakan sebagai biaya penggunaan [Liquidas Deus] milikku. Sebaiknya kamu menyerah saja, Midari. Karena aku hanya akan terus menguras ‹mana›mu dengan strategi "bertahan menghindar"ku. Kalau dalam adu ketahanan ‹mana›, aku takkan kalah!" tegas Ring lalu menghentakkan magic rod-nya ke tanah.

"Sepertinya kamu salah paham, Ring Valion. Harusnya aku yang bilang begitu. Kalau soal adu ketahanan ‹mana›, maka aku lah yang diuntungkan" ungkap Midari lalu kembali melesat ke arah Ring.

Ring yang sedikit terkejut membuat responnya jadi sedikit telat, namun ia berhasil menghindar dengan cara meluncur mundur ke belakang dengan berselancar menggunakan air yang menggenang di tanah. Tapi tentu saja Midari terus mengejarnya dengan kecepatan yang lebih cepat. Mereka berdua pun saling serang dengan peluru air dan sabit angin yang saling berhentaman. Kejar-kejaran sambil saling beradu serangan pun tak terhindarkan antara mereka berdua. Mereka sangat cepat hingga bagi penglihatan biasa hanya seperti dua bayangan yang bergerak sangat cepat dan terjadi ledakan di sana-sini.

"‹Mana› yang mereka bicarakan sebelumnya itu sebenarnya apa? Aku tidak mengerti satu pun istilah-istilah yang mereka katakan itu" gerutu Syuhada dalam hatinya kebingungan.

「Di dunia ini, ada semacam energi. Energi yang merupakan pancaran dari jiwa yang disebut oleh manusia sebagai ‹mana›. Namun beberapa orang juga menyebutnya sebagai ‹MP› atau "Mana Point" setelah mengubah kaidah jumlah ‹mana› mereka menjadi statistik numerik. Sehingga bagi beberapa orang yang memang kekuatannya berpusat pada basis sihir, mereka akan menganggap jumlah numerik ‹MP› mereka sebagai standar ukuran kekuatan mereka.」

"Jadi dengan kata lain, semakin banyak ‹MP› mereka, mereka akan menganggap diri mereka semakin kuat? Kalau begitu, itu akan menimbulkan masalah, bukan? Persaingan yang tak adil, orang yang menjadi sombong dan memandang rendah yang lain, dan semacamnya. Aku sudah bisa menebaknya. Ini sama saja dengan yang terjadi dengan uang. Menurut pengalamanku, sepertinya berurusan dengan penyihir bakalan sangat merepotkan" keluh Syuhada.

Sementara itu, Midari dan Ring masih saling menyerang satu lain. Belum ada tanda-tanda kalau pertempuran di antara mereka akan segera berakhir.

"Bagaimana ini, sepertinya dia tidak sekedar membual. Setelah terus menerus menggunakan serangan sekuat itu, tapi ia tak terlihat memiliki tanda kalau ia mengalami magic exhausting sedikit pun. Jadi apakah dia memang memiliki pasokan ‹mana› yang banyak seperti yang dikatakannya?" gumam Ring.

"Kalau begitu, aku harus mulai serius!" lanjut Ring menghentikan lajunya.

Melihat hal itu Midari pun ikut berhenti.

"Benar juga, aku juga sudah berjanji pada tuan Hada kalau aku akan menyelesaikan ini secepat mungkin. Akan tidak sopan jika aku membuatnya menunggu lebih lama" ujar Midari sambil mengacungkan telunjukknya ke langit.

"[Liquidas Deus Neptunus]!!!" pekik Ring.

"[Tempest Twister Buster]!" ucap Midari bersamaan.

Tongkat sihir panjang, atau magic rod di lengan Ring pun terselimuti cahaya biru muda. Cahaya itu menutup seluruh bagian tongkat sehingga wujud tongkat tersebut tak nampak lagi seakan tongkat tersebut berubah menjadi tongkat cahaya. Lalu cahaya itu mulai membentuk sebuah trisula. Sehingga di tangan Ring kini ia memegang sebuah trisula cahaya biru.

Sedangkan di saat yang bersamaan, di atas langit yang tepat ditunjuk oleh Midari mulai berkumpul angin dari segala penjuru arah. Itu dipertegas dengan tertariknya awan-awan dan berkumpul di sana seakan hendak membentuk angin tornado di titik tersebut. Namun bukan sebuah tornado, melainkan angin tersebut memadat dan memusat di satu titik yang mulai menampakkan cahaya dengan warna kehijauan. Titik cahaya yang hanya sebesar kelereng itu pun turun mendekat ke ujung telunjuk Midari.

"Tunggu, bukannya itu adalah Grand Magic milik Spirit Lord of Wind, Sylphid Storm? Kenapa dia bisa menggunakannya??" komentar Ring yang terbelalak akibat melihat sihir yang digunakkan oleh Midari itu.

Midari mulai mengarahkan telunjuknya tepat ke arah Ring.

"Sihir milikku juga adalah Grand Magic, jadi aku tak perlu khawatir tentang sihirnya itu" ujar Ring dengan yakin.

"Oh, kalau begitu mari kita lihat bagaimana kamu akan menangani ini" balas Midari sambil tersenyum percaya diri.

Cahaya hijau di ujung telunjuk Midari pun melesat dengan kecepatan tinggi hingga gerakan cahaya membentuk garis yang memanjang menuju ke arah Ring. Bersama dengan cahaya itu tampak ada udara yang berputar atau lebih tepatnya terputarkan yang membuatnya terlihat seperti realita lah yang dibuat kusut dengan efek riak pusaran.

Bersama dengan mendekatnya cahaya itu, di bawah kaki Ring naik pusaran air yang kemudian membungkus bagian bawah tubuhnya. Pusaran itu menjadikannya seakan seorang puteri duyung dengan pusaran air itu sebagai sirip ekornya. Sambil di saat yang sama ia mencoba menembakkan beberapa laser air ke arah cahaya hijau yang mendekatinya. Namun sayangnya itu semua sia-sia. Karena laser-laser tersebut malah ikut terputar paksa oleh cahaya itu, dan hancur melebur bersama udara. Karena itu Ring pun memutuskan untuk melesat terbang ke langit.

Semua itu terjadi dalam sepersekian detik.

Tapi cahaya itu nampak mengejar Ring dan terjadilah kejar-kejaran dengan kecepatan ekstrim yang hampir mustahil diikuti oleh mata.

"Sial, untuk menahan atau menangkal itu, aku harus menggunakan sihir tempur tipe serangan dengan tingkatan yang sama. Tapi saat ini ‹mana› milikku sudah kritis untuk aktivasi Grand Magic-ku yang tadi. Aku harus menemukan cara lain untuk mengatasinya!" gerutu Ring dalam benaknya.

Ring tampak kesulitan menghindari cahaya itu karena kecepatan mereka yang ternyata berbeda cukup jauh. Sehingga Ring mesti menggunakan berbagai cara "cerdas" untuk mengecoh cahaya itu supaya tak mampu mengejarnya. Pepohonan di hutan itu akhirnya banyak yang terbabat akibat digunakkan sebagai trik pengecohan Ring. Belum berhenti di sana, rupanya dari arah Midari, berdatangan sabit-sabit angin yang seakan memprediksi laju gerakan mengecoh Ring.

"Apa lagi ini!? Bagaimana bisa dia masih sanggup menggunakan sihir itu dan mengeluarkannya berulang kali seolah tanpa masalah? Jangan bilang kalau dia sebenarnya memiliki ‹mana› tak terbatas! Dan apa-apaan dengan sabit itu terus datang ke setiap arah aku akan menghindar?" keluh Ring dalam benaknya.

Ia dipaksa untuk menahan dan menyerang balik setiap sabit yang datang ke arahnya itu sambil di saat yang sama ia harus susah payah mengecoh cahaya hijau yang mengejarnya.

"Tch, ‹mana› ku sudah benar-benar kritis, aku sudah mulai merasakan mana exhaustion. Aku harus mengakhiri ini! Maafkan aku, anak yang tak kukenal. Tapi pengorbananmu dibutuhkan untuk terlahirnya seorang pahlawan!" gumam Ring dalam benaknya sambil melesat ke atas.

Ia melesat menembus lapisan awan. Tampak cahaya hijau masih mengejarnya dan ketika awan tersentuh cahaya tersebut, tercipta lah lubang raksasa di awan karena efek dorongan spiral yang mendorong semuanya menjauh dengan bentuk pusaran. Hingga akhirnya sampai ke titik ketinggian di saat airnya kesulitan untuk mematuhi perintahnya, titik tertinggi yang bisa dijamahnya dengan menggunakan sihirnya.

"Sekarang saatnya!!!" pekik Ring yang merentangkan tangannya sambil seolah menjatuhkan dirinya dengan pasrah.

Ia berbalik sehingga kini kepalanya yang di bawah dengan gerakan yang indah. Dan ketika ia hendak terkena cahaya hijau yang mengejarnya, tiba-tiba saja ia menggunakan ledakan air di kakinya untuk melontarkan tubuhnya ke bawah. Itu adalah sebuah lontaran yang sangat kuat layaknya sebuah meriam yang melontarkan pelurunya. Akan tetapi, terlihat pakaian Ring tersobek habis berikut dengan topinya, bahkan tampak beberapa luka sayatan terpahat ke tubuh Ring akibat lewat terlalu berdekatan dengan cahaya hijau yang mengejarnya itu.

"AAAAAAAAAAAAAAA!!!" jerit Ring yang kemudian menciptakan ledakan air pelontar lagi di kakinya sambil merapatkan kedua tangannya ke tubuhnya dan meluncur bagai peluru.

Air yang menyelimuti kakinya pun kembali berkurang akibat digunakan lagi sebagai ledakan pelontar untuk menambah kecepatannya. Kini yang tersisa mungkin hanya cukup untuk satu ledakan lagi.

Tubuh Ring mulai terbalut cahaya kebiru-mudaan.

Di kecepatannya kali ini, ia sudah tak bisa lagi membuka mulutnya. Tekanan udara akibat kecepatannya sudah terlalu kuat. Meski sudah melapisi tubuhnya dengan lapisan air, tapi ia masih bisa merasakan tekanan kuat angin dan panas yang mulai bertambah seiring waktu.

"Sekali lagi!" ucap Ring dalam benaknya.

Ring melakukan ledakan pelontar sekali lagi, dan ia pun mulai mengeluarkan cahaya kemerahan di sekitar tubuhnya akibat gesekan panas antara tubuhnya dengan udara.

Midari mulai merasakan sesuatu dengan permukaan tanah basah di sekitarnya. Air di sekitarnya mulai terangkat membentuk bola dan melayang setinggi dadanya.

Sementara itu, Ring tampak jelas melesat langsung ke arah Syuhada. Ring mulai mengeluarkan sebilah pisau dan berniat menggunakan itu untuk menusuknya dari atas. Sementara di sekeliling Syuhada juga muncul fenomena air aneh yang mulai nampak terlihat.

Melihat semua itu, Midari mulai sadar tujuan Ring sebenarnya. Itu adalah sebuah pilihan yang sulit.

"Jadi... apa yang akan kamu lakukan, Midari Irys?" ucap Ring dalam hatinya sambil tersenyum.

****