Chapter 3

The Village and It's Problem

Bertani atau berkebun adalah kegiatan untuk bertahan hidup yang umum. Untuk memastikan stok makanan tersedia secara stabil dan berlimpah, manusia melakukan kegiatan bercocok tanam, mengembang biakkan tanaman dengan metode menanam bibitnya secara bersama, berpola dan bergiliran. Menciptakan sistem untuk tanaman tumbuh dan menghasilkan buah, biji, atau apapun yang bisa dikonsumsi oleh manusia itu.

Dibandingkan dengan mesti menunggu alam menumbuhkannya, bercocok tanam adalah sistem yang lebih efektif untuk mengumpulkan dan mengamankan stok makanan.

Karena setiap kota biasanya memiliki ladang di bagian luar dindingnya. Meski ada pula yang ditaruh di dalam, namun itu hanya untuk kota yang dinding bentengnya meliputi area yang luas. Namun karena biaya untuk membuat benteng mahal serta sulitnya untuk mendapatkan bahan baku untuk dindingnya, maka lebih banyak yang memilih untuk menaruh ladang di luar benteng. Karena ladang bisa dibuat ulang dengan mudah, jadi meski ditinggal dan dikorbankan saat kota diserang ketika perang, maka itu takkan jadi masalah yang besar.

Apalagi mereka selalu memiliki opsi untuk menyuplai dari kota lain atau desa yang memang biasa menjual hasil panennya.

Tapi, itu berbeda untuk sebuah desa yang miskin, yang tak memiliki jalan akses ke kota maupun desa lain. Desa yang terpencil, atau desa yang ditinggal oleh negaranya, mereka tak punya pilihan lain selain bertahan hidup sendiri. Mereka harus bertani, berkebun, berburu, dan sebagainya untuk mempertahankan stok makanan supaya tetap cukup untuk tetap bertahan melewati musim-musim yang ganas setiap tahunnya.

Sama seperti desa yang ada di kejauhan itu, desa yang tampak asri, dikelilingi oleh ladang yang luas. Kebun-kebun menghampar sejauh mata memandang. Berbagai sayuran serta beberapa jenis buah di tanam di kebun-kebun itu.

Sebuah gerobak yang ditarik seekor sapi berjalan di sepanjang jalanan tanah desa itu. Membelah menyusuri antara kebun-kebun yang ada dan menuju langsung ke arah desa. Gerobak itu dikusiri oleh seorang kakek tua yang tampak memegang cambuk yang tak lain adalah tangkai suatu tanaman. Di belakang, terlihat ada dua orang sedang menumpang gerobak. Satu anak laki-laki dan satu lagi perempuan yang tampak dewasa.

Gerobak itu tampak melindas batu dan membuatnya sedikit berguncang.

"Aduh, pantatku~" rintih perempuan berjubah dan bertopi hijau itu.

"Hahaha! Maaf nona penyihir, jalanan di desa ini memang tidak rata. Maklum hanya jalanan tanah" ungkap kakek kusir.

"Ya, tidak apa. Yang penting tuanku Hada ini tidak apa-apa" balas perempuan itu yang lalu melirik ke anak laki-laki di atas pangkuannya.

Kedua penumpang itu adalah Syuhada dan Ardh. Ardh saat ini sedang memangku Syuhada yang duduk di atas pahanya. Syuhada terlihat sedang konsentrasi melihat sesuatu di hadapannya yang tak bisa dilihat oleh Ardh.

"Tuan Hada pasti sedang membaca buku itu. Apa yang sedang ia baca ya kira-kira" gumam Ardh dalam hatinya dengan penasaran.

Ardh juga terus mendekap tubuh Syuhada, memeluknya dengan erat supaya Syuhada yang memang saat ini hanya memakai celana pendek itu tidak kedinginan.

"Ngomong-ngomong, nona penyihir. Kalau boleh tahu, apa nona ini seorang pengembara?" tanya kakek itu.

"Ya. Aku sudah mengembara sejak lama. Kenapa bertanya?" jawab Ardh kemudian bertanya balik.

"Tidak, tidak apa-apa. Sebenarnya kakek hanya penasaran" balas sang kakek sambil mengelus-elus janggut berubannya.

"Dari perkataanmu, sepertinya kamu punya ketertarikan mengembara. Apa kamu pernah ingin mengembara atau semacamnya di masa lalu?" terka Ardh sambil menoleh.

"Hahahaha! Terlihat sejelas itu kah! Ya... bisa dibilang begitu. Meski itu sekarang hanyalah keinginan masa lalu yang tak pernah tercapai. Hanya keinginan kekanak-kanakan dariku yang sewaktu masih sangat muda" jelas kakek itu dengan ekspresi seolah bernostalgia.

"Ya, aku hanya bisa bersimpati padamu. Tinggal di desa benar-benar sulit ya~" komentar Ardh.

"Seperti itu lah yang sering dikatakan oleh orang luar" sahut kakek itu.

"Tapi meski begitu, aku bisa merasakan kalau orang ini sama sekali tidak menyesal ataupun kesal pada jalan hidup yang ia pilih. Ia memilih bertahan di desa ini dan mungkin melanjutkan usaha keluarganya yang berkebun atau bertani. Ia pasti telah menemukan sesuatu, atau seseorang yang telah dapat menggantikan keinginannya untuk berpetualang" duga Ardh dalam hatinya sambil tersenyum.

Dari kejauhan seorang anak perempuan berlari sambil melambaikan tangan.

"Kakek! Kakek! Kakek sudah pulang? Ini aku, kakek!" panggil gadis muda yang nampaknya berusia sekitar 12 atau 13 tahunan itu.

Gadis itu berlari dari arah kebun apel dan terlihat ia sedang membawa sekeranjang apel segar.

"Oh, Trenia! Ayo sini cucuku sayang~" sahut kakek itu yang tampak jadi seolah berbunga-bunga melihat gadis manis yang ternyata adalah cucunya itu.

Kakek tersebut menghentikan laju gerobaknya. Kemudian Trenia menghampiri kakek yang nampak turun dari tempat kusir gerobaknya itu.

"Kakek!" panggil Trenia sambil memeluknya kakeknya itu.

"Sedang memanen apel?" tanya kakek itu melihat keranjang apel yang diletakan oleh Trenia.

"Ya! Kali ini apelnya banyak sekali! Kita bisa bagikan ke semua orang di desa sekarang!" jawab Trenia dengan semangat.

"Hahahaha! Itulah Treniaku! Selalu baik pada semua orang! Anak baik-anak baik!" puji kakek itu sambil mengelus kepala Trenia.

"Hehehe~" Trenia tertawa malu dipuji oleh kakeknya.

"Dia cucumu?" tanya Ardh menoleh melihat Trenia.

"Ya. Bagaimana? Dia lucu kan?" balas kakek itu dengan senyum bangga.

"Ya, dia sangat imut" sahut Ardh.

"Dia siapa, kek?" tanya Trenia menunjuk ke arah Ardh.

"Oh, dia kakak pengembara. Katanya dia mau mampir dulu ke desa kita sebelum melanjutkan petualangannya. Dan dia juga tak sendiri lho, dia membawa adik(?) nya" jelas kakek itu memperkenalkan Ardh.

"Beliau bukan adikku. Beliau adalah majikanku!" tegas Ardh tentang Syuhada yang dipangkunya.

"Eh, majikan? Majikan itu apa?" tanya Trenia.

"A—ah, itu..." sahut kakeknya yang tak bisa menjawab.

Trenia berjalan menghampiri Ardh dan Syuhada yang duduk di belakang gerobak. Ia pun melihat Syuhada yang sedang melamun, termenung seperti memikirkan sesuatu dengan keras.

"Kamu sedang apa?" tanya Trenia.

"..." tak ada jawaban dari Syuhada.

"Anak yang aneh" komentar Trenia dalam hatinya.

"Aku tidak melihat orang tuamu. Mereka kemana?" tanya kakek sambil melihat ke arah kebun apel.

Namun ia tak melihat ada sosok manusia lain di sana.

"Ayah dan ibu bilang kalau mereka mau ke kota" jawab Trenia.

"Kota? Kota itu jauh sekali lho dari sini" sambung Ardh.

"Yang dikatakan oleh nona penyihir benar. Kota itu jaraknya sekitar 2 minggu perjalanan dari sini. Memangnya mereka mau apa ke kota?" tanya sang kakek pada cucunya lagi.

"Katanya sih ayah dan ibu mau menjual hasil panen apel kita di kota. Pak kepala desa yang ngajak!" jawab Trenia.

"Kepala desa ingusan itu mengajak untuk pergi ke kota? Itu aneh" ujar kakek itu.

"Aneh?" sahut Trenia tampak bingung.

"A—ah tidak apa-apa, Trenia. Oh ya, bagaimana kalau kamu ikut naik gerobak. Kita pulang sama-sama" ajak kakek itu.

"T—tapi panen apelnya?" balas Trenia.

"Oh itu lanjutkan saja nanti. Kita akan memanennya sama-sama, bagaimana?" tawar sang kakek.

"Memetik apel bareng kakek? Ya, aku mau!" jawab Trenia setelah berpikir sebentar di tengah kalimat.

Trenia langsung melompat naik ke tempat duduk kusir. Ia berniat duduk di sebelah kakeknya. Kakeknya yang mengerti itu langsung tersenyum. Dan ia pun kembali naik dan duduk di sebelah cucunya itu.

"Sudah siap?" tanya kakek itu ke cucunya.

"Mh!" sahut Trenia mengangguk.

"Ayo kita pulang!" ucap sang kakek dengan semangat.

"Yey!!" sorak Trenia.

Gerobak kembali melaju.

"Mereka keluarga yang akrab ya~ bukan begitu, tuan Hada?" komentar Ardh menoleh kembali ke Syuhada.

Syuhada tidak menjawab dengan mulutnya dan hanya mengangguk kecil.

"Tuan Hada dari tadi diam saja. Tolong temani aku mengobrol" gerutu Ardh dengan muka cemberut.

"..." Syuhada tetap diam tak menjawab sedikitpun.

"Mmmm~" Ardh semakin cemberut menggembungkan pipinya.

"Memangnya kamu mau mengobrolkan apa?" tanya Syuhada.

"Itu lho, tuan Hada tahu? Ternyata kakek kusir yang kita temui punya cucu yang imut lho!" ujar Ardh.

"Oohh..." sahut Syuhada.

"Dan juga ia memetik apel sendirian. Ayah ibunya katanya mau ke kota diajak kepala desa" tambah Ardh.

"Hmm..." sahut Syuhada.

"Semuanya sudah kudengar sendiri. Ya, tapi karena Ardh nampaknya senang membicarakannya, aku akan mendengarkan. Lagipula aku merasa tak enak sudah mendiamkannya sejak tadi untuk membaca bab kisah [The Hero not The Hero] di {Book of Divine}-ku" ungkap Syuhada dalam hatinya.

Ia terus mendengarkan ocehan Ardh yang mulai menjalar ke mana-mana.

****

Di desa, terlihat di sana sedikit sepi. Itu karena saat ini adalah waktu orang-orang desa berada di kebun atau ladang mereka. Gerobak sapi meluncur pelan melewati jalan utama desa. Beberapa orang yang kebetulan terlewati gerobak itu tampak menyapa sang kakek kusir dan cucunya tersebut dengan ramah.

Terlebih lagi Trenia kelihatannya cukup terkenal di kalangan orang-orang yang sudah lansia. Orang-orang yang seumuran dengan kakeknya.

Tak lama kemudian, akhirnya mereka pun sampai di rumah sang kakek. Bukan rumah yang besar, namun tidak bisa disebut rumah yang kecil pula. Itu adalah rumah kayu sederhana yang biasanya menjadi rumah untuk keluarga petani. Namun modelnya sedikit berbeda, karena di bagian belakang ada kandang sapi.

Gerobak itu diarahkan langsung ke kandang sapi tersebut. Jerami yang dibawanya memang menandakan kalau tujuan gerobak itu sejak awal memanglah kandang sapi tersebut.

"Oke, kita kita sudah sampai" ujar sang kakek menghentikan laju gerobak.

Semuanya pun turun dari gerobak.

"Sebelum ke kebun apel, bagaimana kalau kita makan siang dulu? Kita ajak tamu kita makan bareng, karena nampaknya mereka juga belum makan siang" tambah sang kakek pada cucunya.

"Ah, tidak usah repot-repot" sahut Ardh.

"Tidak kok, tidak repot sama sekali. Lagipula aku sudah ngundang kalian ke rumahku, akan tidak sopan jika aku tak menyuguhkan makanan" balas kakek itu sambil tersenyum ramah.

"Ya, jangan sungkan-sungkan! Kakek bilang melayani tamu itu adalah pengabdian pada The Creator. Jadi kami tak boleh setengah-setengah, iya kan kek?" tambah Trenia.

"Ya, itu benar, Trenia! Cucuku ini memang cerdas ya!" sahut kakeknya sambil mengusap kepala Trenia.

"Hehehe~" sahut Trenia tersenyum bahagia.

"Baiklah jika memang begitu, kami akan menerimanya" sahut Ardh.

"Aku tak menyangka di desa ini juga ada yang menyembah The Creator" komentar Syuhada dalam hatinya.

「HambaNYA akan selalu ada selama dunia masih ada. Dan mereka tersebar di tempat-tempat yang tak kamu duga, "The One Who Have Guidance".」

"Jadi, apa seluruh penduduk desa ini adalah penyembah The Creator?" tanya Syuhada dalam hatinya.

「Tidak semuanya, tapi sebagian besar.」

"Kelihatannya hal yang baik desa ini terasingkan dari dunia luar. Mereka jadi tak terjangkau oleh para penyembah spirit itu" ujar Syuhada dalam hatinya merasa lega.

"Kakek mau memberikan jerami ini dulu ke sapi-sapi kita. Kamu antarkan tamu-tamu kita masuk ke dalam rumah" pinta sang kakek ke Trenia.

"Baik, kek" sahut Trenia menurut dengan imut.

Syuhada dan Ardh pun diantar masuk oleh Trenia, sementara kakeknya tampak menurunkan jerami-jerami yang diangkut gerobak itu.

Syuhada dan Ardh dipandu masuk melalui pintu depan. Setelah masuk mereka diajak langsung menuju ke ruang makan. Mereka dipersilakan duduk di mana pun mereka suka, sambil terlihat Trenia menuju ke arah dapur. Mulai terdengar suara-suara dari peralatan masak yang sedang disiapkan.

"Kelihatannya dia menyiapkan makanannya dulu" ujar Syuhada.

"Apakah aku harusnya membantunya?" tanya Ardh pada Syuhada seolah meminta izin.

"Tunggu apa lagi? Masakanmu enak, Ardh. Lagipula tidak baik rasanya membiarkan anak kecil memasak seorang diri, kan?" jawab Syuhada memberikan izinnya.

Ardh bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju ke dapur.

"Permisi, bolehkah aku ikut membantu?" ujar Ardh yang suaranya terdengar dari arah dapur.

"Ah, tidak usah. Tidak enak membiarkan tamu—" tolak Trenia.

"Jangan sungkan-jangan sungkan! Lagipula aku suka memasak! Aku sangat ingin memasak untuk majikanku, jadi... boleh kan?" bujuk Ardh.

"Ba—baiklah kalau gitu" jawab Trenia awalnya sedikit ragu.

"Terima kasih!" sahut Ardh.

"T—tidak, harusnya aku yang berterima kasih..." balas Trenia.

「Pilihan yang bijaksana.」

"Ada apa nih? Tak biasanya memujiku" tanya Syuhada dalam hatinya.

「Lihatlah ke jendela.」

Syuhada menoleh ke arah jendela.

"Hmm... itu..." ucap Syuhada yang melihat sesuatu.

Melalui jendela, Syuhada bisa melihat seorang anak laki-laki yang mengintip ke dalam rumah melalui jendela. Meski hanya bagian atas kepala dan matanya saja yang terlihat, Syuhada yakin kalau itu adalah anak yang seusia dengannya.

"Siapa dia? Kenapa dia ada di dalam rumah Trenia?" pikir anak kecil itu.

"Siapa dia? Sepertinya dia mengenal Trenia" gumam Syuhada dalam hati.

"Aku tak mengenal wajahnya. Apa dia pendatang baru? Atau mungkin tamu?" terka anak berambut cokelat itu dalam benaknya.

"Ya, aku cuma tamu. Jadi pergilah, ditatap terus seperti itu membuatku gugup" ujar Syuhada dalam hatinya sambil menoleh ke arah lain.

"Wajahnya pun biasa-biasa saja. Aku tak perlu takut Trenia akan tertarik olehnya. Sepertinya aku bisa membiarkannya" lanjut anak itu dalam benaknya sambil berlalu pergi.

"Itu sedikit kasar, tapi jika itu membuatmu pergi kurasa tidak apa-apa" komentar Syuhada dalam hatinya sambil menghela napas lega.

"Trenia! Aku datang lho!" ucap anak yang tadi masuk melalui pintu depan.

Ia membanting pintu depan dengan cukup keras karena membuka dengan cara menendangnya. Anak itu langsung menghampiri ruang makan. Dan nampaklah sosok anak laki-laki dengan jelas di hadapan Syuhada. Anak itu tampak memakai pakaian bagus dan rapi. Baju putih bersurai khas pakaian bangsawan dan celana cokelat panjang yang terlihat mewah. Sepatunya pun adalah sepatu kulit yang bukanlah sepatu rakyat jelata. Penampilannya seakan mengatakan "aku anak orang kaya", atau semacamnya.

"Lucas! Sudah kubilang jangan seenaknya masuk rumah orang! Ketuklah dan tunggu untuk dibukakan! Apa kamu tak diajarkan tata krama?" bentak Trenia yang menongolkan kepalanya dari dapur sambil menunjuk menggunakan sendok sup.

"Hah? Tata krama? Tata krama siapa? The Creator? Mau sampai kapan kamu menuruti makhluk yang tak melakukan apa-apa meski desa kita semiskin ini? Lebih baik kalian menuruti apa yang ada di hadapan kalian. Seperti aku, orang yang akan menjadi penguasa tempat ini di masa depan" ujar Lucas dengan wajah heran seperti sedang menatap orang aneh.

"Apa barusan dia mengatakan The Creator sebagai makhluk?" ucap Syuhada dalam hatinya.

Ia merasa marah, namun tak menunjukkannya dengan jelas di ekspresi wajahnya. Hanya tangannya mencengkeram kuat celana pendeknya.

"Lucas, tolong jangan tidak sopan! Aku tahu kamu tak percaya dengan The Creator. Tapi cobalah untuk menghormati orang-orang yang mempercayaiNYA!" bentak Trenia keluar dari dapur dan menghampiri Lucas, wajahnya terlihat sangat kesal.

"The Creator ini! The Creator itu! Kenapa kalian selalu bergantung pada sesuatu yang tidak ada!" bentak balik Lucas.

"Lucas!" pekik Trenia.

"Ada apa ini ribut-ribut?" tanya kakeknya Trenia masuk melalui pintu belakang.

"Kakek, ini Lucasnya!" sahut Trenia menunjuk ke arah Lucas.

"Lucas? Oh bocah ini lagi! Kenapa kau datang lagi kemari, hah?" tanya kakek itu yang tangannya tampak basah dan kini sedang mengelap tangannya dengan kain.

"Kakek tua bangkanya keburu datang, sepertinya aku terlalu lama membuang waktu. Trenia, aku akan datang lagi untuk mengajakmu jalan-jalan besok" ujar Lucas sambil pergi keluar meninggalkan rumah itu.

"Tak sudi!" tegas Trenia.

"Maafkan atas keributannya ya, nak" ucap kakeknya Trenia itu kepada Syuhada.

Syuhada mengangguk satu kali kemudian melihat lagi ke arah jendela.

「Keputusan bijaksana untuk tidak ikut campur.」

"Memangnya tidak apa aku tak membela The Creator?" tanya Syuhada dalam hatinya.

Ia melirik ke arah Trenia yang kembali ke dapur sambil mendengus kesal.

「The Creator of All Creations tak membutuhkan pembelaan apapun. Meski BELIAU dibilang tak ada, takkan menjadikanNYA tak ada. Adanya BELIAU adalah sesuatu yang absolut. Bukanlah BELIAU yang butuh, tapi kalian. Kalian lah yang butuh untuk membelaNYA.」

"Kenapa malah jadi kami yang butuh?" tanya Syuhada lagi dalam hatinya.

「Karena kalian butuh untuk bersaksi, kalian butuh pembuktian. Apabila kalian tak bisa membuktikan kepercayaan kalian serta keyakinan kalian terhadap The Creator of All Creations, maka kalian sama saja dengan orang-orang yang mengatasnamakan agama dan Tuhan untuk melakukan penipuan dan memperkaya diri.」

Mendengar penjelasan itu Syuhada sedikit tersadar dan mengerti maksudnya.

"Memang benar, jika begitu memanglah kami yang butuh. Kami butuh pembeda, pembatas antara kebenaran dan kesalahan. Jika kami tidak membuktikan kepercayaan kami, jika kami tak membela Tuhan kami, maka kami akan kehilangan naungan kami. Kehilangan keyakinan kami. Kehilangan yang bisa dijadikan pegangan yang meyakinkan kami kalau yang kami lakukan adalah sesuatu yang benar. Dan apabila pembatas antara yang benar dan salah menjadi kabur, maka kekacauan akan menyebar di muka bumi" gumam Syuhada dalam hatinya sambil melihat ke arah langit-langit.

「Kebijaksanaan The One Who Have Guidance bertambah.」

"Kamu ini anak yang banyak diam ya. Apa kamu tidak kesepian begitu terus?" tanya kakeknya Trenia menatap ke arah Syuhada sambil tersenyum.

"Sayangnya aku tak pernah merasa kesepian. Semua itu berkat buku yang selalu menemaniku, dan selalu berbicara kepadaku. Ya... tapi sepertinya aku tak bisa mengatakannya karena mereka takkan bisa melihat {Book of Divine}" ujar Syuhada dalam hatinya yang menoleh ke arah kakek itu.

"Tapi sepertinya kamu banyak memikirkan sesuatu" terka kakeknya Trenia itu menyipitkan matanya.

"Dia tajam!" ucap Syuhada dalam hatinya sedikit terkejut.

"Kamu pasti bertanya-tanya dari mana aku bisa tahu" tukas kakek itu sambil mengelus-elus janggutnya.

"Tidak juga tuh" ujar Syuhada dalam hatinya.

"Orang banyak bicara, pikirannya lengang. Orang sedikit bicara, pikirannya sibuk. Orang yang diam, pikirannya dipenuhi pertanyaan" ungkap sang kakek bernada seolah bijak.

"Dengan kata lain aku ini orang yang terlalu banyak bertanya dalam pikiranku hingga aku tak punya waktu untuk menjawab, hah" komentar Syuhada dalam hatinya.

"Tapi daripada sekedar pertanyaan, sepertinya kamu juga memikirkan jawabannya sendiri. Tapi tanpa bertanya pada siapa pun, apakah kamu yakin jawaban yang kamu pikirkan itu benar?" lanjut sang kakek.

"Kakek ini benar-benar tajam. Tapi sayang sekali, kek. Aku tak memikirkannya sendirian. Aku punya {Book of Divine}! Tapi ya... aku tak bisa mengatakan itu kan? Tentu saja!" gerutu Syuhada dalam hatinya.

"Masakannya sudah siap!" ucap Trenia dari arah dapur.

Dari dapur terlihat Trenia membawa beberapa piring, sementara Ardh tampak membawa panci yang masih beruap karena masih panas. Trenia menyusun piring di atas meja, sedangkan Ardh menaruh panci berat yang dibawanya ke atas meja makan hingga berbunyi suara "brug".

"Wah, nona penyihir ternyata kuat juga ya" puji kakeknya Trenia.

"Tentu saja! Aku ini pernah menggampar dragon dari puncak gunung sampai nyuksruk ke danau di dasar lembah sekali tampol" ungkap Ardh dengan bangga.

"Hahahaha! Nona penyihir ini lucu sekali bercandanya, ya" sahut kakek itu.

"..." Ardh tidak menjawab dan hanya tersenyum menatap sang kakek.

"N—nona penyihir tadi hanya bercanda... kan?" tanya sang kakek.

"Khukhukhukhu~" Ardh menanggapinya hanya dengan tertawa kecil.

****

Petang hari di desa yang dikelilingi hutan, langit berwarna merah oleh lembayung. Syuhada, Ardh, Trenia serta kakeknya tampak baru saja selesai memanen apel-apel di kebun mereka. Terlihat kakeknya Trenia dan Ardh menggunakan keranjang besar yang digendong di punggung, sementara Syuhada dan Trenia menggunakan keranjang jinjing di kedua tangan mereka karena lebih ringan. Mereka semua berjalan pulang melewati jalan pintas menembus hutan kecil yang ada di sebelah rumah mereka.

Ketika sampai di rumah, mereka bisa melihat ada dua orang dewasa yang sedang menunggu mereka di samping rumah, tepat di ujung jalan setapak yang mereka lalui.

"Bukankah itu..." ucap kakeknya Trenia.

"Itu ibu dan ayah. Ibu! Ayah! Kalian sudah pulang!" sapa Trenia sambil berlari buru-buru menghampiri kedua orang tuanya itu.

"Kenapa mereka baru pulang sesore ini? Ya ampun mereka itu..." keluh sang kakek mempercepat langkahnya.

Sementara itu Syuhada tampak tak bisa mengikuti kecepatan kakek itu dan memilih tetap dengan kecepatan langkahnya. Jangankan untuk mempercepat langkah, untuk berjalan sambil membawa dua keranjang apel saja dia sudah kepayahan.

"Tuan Hada, aku bisa membantumu membawakannya kalau tuan Hada capek" ujar Ardh menawarkan bantuan.

"Tidak, tidak perlu. Anggap saja ini latihan untuk melatih diriku" tolak Syuhada dengan napas yang seakan hampir habis.

"Tapi tuan kelihatannya..." ucap Ardh yang cemas dengan keadaan Syuhada yang berkeringat sangat banyak.

"Aku bilang, tidak perlu!" tolak Syuhada dengan tegas.

[§ Lalu bagaimana dengan hamba? Apa hamba ini boleh membantu master? §]

"Tidak, Pochi. Aku masih sanggup" tolak Syuhada lagi.

[§ Baiklah jika itu yang master inginkan. Namun apabila hamba mendeteksi kalau master sudah mencapai batasnya, hamba ini akan membantu master dengan paksa. §]

"A—aku juga!" tambah Ardh.

"Ya, terserah kalian" sahut Syuhada.

Ardh kemudian menatap ke arah Pochi yang melayang di udara mengikuti mereka berdua dengan santai.

"Tapi aku benar-benar tak menyadari kehadirannya. Sejak kapan dia di sana? Tidak, bukankah sejak awal dia sudah ada di sana? Sejak sebelum ke desa ini juga dia sudah mengikuti kami. Hanya saja ia tak memiliki hawa kehadiran. Jika aku mengalihkan penglihatan darinya sebentar saja, dia seolah lenyap sampai aku melihat ke arahnya lagi. Sepertinya satu-satunya yang selalu tahu keberadaannya hanyalah tuan Hada" ungkap Ardh dalam hatinya.

"Tapi jika dilihat dari tidak adanya komentar dari orang-orang, sepertinya dia juga tak bisa dilihat oleh orang lain selain kami" tambah Ardh dalam hatinya sambil menghela napas.

Setelah beberapa lama, akhirnya Syuhada dan Ardh berhasil menyusul Trenia dan kakeknya. Syuhada menaruh kedua keranjangnya di tanah dan langsung duduk bersandar ke dinding dengan lemas.

"Jadi, kudengar kalian menemui kepala desa ingusan itu untuk menjual apel-apel kita ke kota. Apa itu benar? Kalau begitu bagaimana kelanjutannya? Sudah laku?" tanya kakeknya Trenia dengan nada tegas seolah sedang menginterogasi.

Mendengar nada kakek itu, pasangan suami istri itu pun langsung bermuka pucat karena panik.

"Kakek, jangan terlalu keras pada ayah dan ibu! Mereka baru saja pulang, mereka pasti capek!" pinta Trenia.

"Capek? Lebih capek mana dengan kita yang memetik apel seharian! Bolak-balik rumah-kebun untuk memanen semua apel kita! Jika saja aku tak pulang cepat, mungkin Trenia yang harus melakukannya sendiri! Apa kalian tidak sadar betapa berbahayanya kebun kita yang berbatasan langsung dengan hutan? Dan kalian menyuruh anak kalian bekerja sendirian di tempat seperti itu, hah!?" bentak kakeknya lebih tegas.

"Ma—maafkan aku, ayah!" ucap sang suami.

"Maafkan aku juga, ayah mertua!" ucap sang isteri.

Mereka langsung berlutut dan kemudian bersujud meminta maaf kepada kakek di hadapan mereka itu.

"Kakek, tolong maafkan mereka. Ayah dan ibu sudah menyesal. Aku juga akan ikut meminta maaf jika itu bisa membuat kakek memaafkan ayah dan ibu" mohon Trenia berniat ikut bersujud.

Melihat tatapan cucunya, akhirnya kakek itu pun luluh. Ia menghela napas menenangkan dirinya dan melepaskan semua amarah keluar bersamaan dengan napas itu.

"Baiklah, ayo kita bicarakan di dalam" ajak sang kakek.

Kakek itu pun membisikkan sesuatu ke Trenia. Trenia terlihat mengangguk-angguk dan kemudian berlari menghampiri Syuhada dan Ardh yang sedang beristirahat dekat kandang sapi. Sementara itu, kakek itu pergi masuk ke rumah bersama anak dan menantunya.

"Maaf atas keributan tadi" ucap Trenia pada Syuhada dan Ardh.

"Tidak apa-apa. Tuan Hada juga nampak tidak keberatan" sahut Ardh.

Syuhada mengangguk memberi konfirmasi.

"Begitukah? Syukurlah kalau begitu!" ujar Trenia tampak lega.

"Ngomong-ngomong, apa kedua orang tuamu dan kakekmu tidak akrab?" tanya Ardh.

"Tidak kok. Biasanya mereka sangat akrab. Hanya saja..." jawab Trenia tampak ragu untuk melanjutkan.

"Hanya saja?" ulang Ardh penasaran.

"Semuanya berubah setelah paman Louis menjabat jadi kepala desa" ungkap Trenia dengan wajah murung.

※ "Louis" di sini dibaca sebagai "Luis".

"Memangnya apa yang terjadi setelah dia jadi kepala desa?" tanya Ardh lagi semakin penasaran.

"Aku tidak tahu pastinya. Tapi sepertinya dia jadi semakin akrab dengan ayah dan ibu, meski sebelumnya paman Louis banyak menghina kami" jelas Trenia semakin murung.

Syuhada menarik rok gaun Ardh, membuat Ardh menoleh kepadanya. Syuhada terlihat menggelengkan kepalanya memberi isyarat untuk tak melanjutkan pertanyaannya.

"Begitu ya. Terima kasih sudah berbagi. Oh ya, apa kamu punya air minum? Kami haus sekali sejak tadi" ujar Ardh mengalihkan topik.

"Ah, maaf! Benar juga, kalian pasti haus ya! Cerobohnya aku. Akan kubawakan air untuk kalian" balas Trenia sambil buru-buru masuk ke dalam melalui pintu belakang.

[§ Benar-benar anak yang baik ya~ §]

"Tidak biasanya kamu mengucapkannya dengan nada seperti itu. Ada apa?" tanya Syuhada.

[§ Tidak apa-apa. Hamba ini hanya sedang mencoba berbagai keunikan yang mungkin bisa menyenangkan hati master. §]

Pochi tersenyum manja yang tampak sangat menggoda. Ia semakin mendekat sambil terus menatap langsung ke mata Syuhada. Syuhada juga menatap langsung ke arah mata lubang hitam yang seolah menariknya semakin mendekat masuk ke dalam.

"Berhenti!" bentak Ardh sambil mencoba menubruk Pochi.

Namun tubuh Ardh malah menembus tubuh Pochi dan malah menabrak tubuh Syuhada di baliknya. Jidat mereka berdua pun berbenturan dengan keras hingga menciptakan bekas merah.

"Aduuuhh..." ucap Syuhada kesakitan.

Namun terlihat hanya kening Syuhada saja lah yang memerah.

"Wawawawah maafkanku, tuan Hada! Aku tak bermaksud—" ucap Ardh berusaha meluruskan.

[§ Harusnya original elf sudah tahu, kalau tubuh hamba ini tidak bisa disentuh oleh siapapun juga. Hamba ini hanyalah sebuah Pocket Dimension. §]

"Kenapa tidak bilang dari tadi!?" protes Ardh.

"Kepalaku sakit banget. Ini pasti akan bengkak" ujar Syuhada dalam hatinya yang hendak menyentuh keningnya namun mengurungkannya.

Pintu belakang rumah itu kembali terbuka, sesosok gadis keluar sambil membawa nampan yang diatasnya ada teko dan beberapa cangkir kayu.

"Aku kembali! Aku sudah bawakan air untuk kali—AAAan?! Apa yang terjadi?" ucap Trenia yang keluar dengan penuh keceriaan di wajahnya, tapi kemudian terkejut melihat Syuhada yang tampak kesakitan dan Ardh yang berlutut di depan Syuhada.

****

Di dalam rumah, kakeknya Trenia, lalu ayah serta ibunya Trenia terlihat sedang berdiskusi dengan penuh keseriusan di wajah mereka. Tampak ketegangan di wajah ayah serta ibu Trenia yang merasakan tekanan dari kakeknya Trenia.

"Jadi, bagaimana bisnis kalian? Kalian bahkan sampai meninggalkan puteri kalian, harusnya itu menguntungkan bukan?" tanya kakeknya Trenia.

"T—tentu saja!" jawab ayahnya Trenia.

Alis sang kakek pun langsung menekuk mendengar itu.

"AY!?" ayahnya Trenia terkejut melihat perubahan ekspresi tersebut.

"Ada apa? Lanjutkan!" suruh sang kakek dengan tegas.

"Ba—baik! Selama seharian tadi ketika kami meninggalkan Trenia, sebenarnya kami sedang mendiskusikan harga jual semua panen apel kami dengan Louis. Di kota, apel katanya memiliki harga jual yang mahal. Karena itu Louis berani menawar tinggi apel-apel kita" jelas ayahnya Trenia itu dengan kaki gemetar dan berkeringat dingin.

"Benarkah begitu?" tanya kakeknya Trenia dengan nada kurang percaya.

"Ya, ini buktinya. Louis menyebutnya uang muka. Bisa dibilang ini bayaran sebagai bukti kesepakatan transaksi, katanya" ungkap ayahnya Trenia.

"Kamu sepertinya hanya mengulang apa yang dikatakan oleh Louis ingusan itu saja ya. Jadi, apa yang ada di dalam kantong ini?" sahut kakeknya Trenia melihat ke arah kantong hitam yang diletakkan di atas meja oleh anaknya itu.

"Isinya adalah ini..." balas ayahnya Trenia sambil menumpahkan isi kantong kain itu.

Keluarlah koin-koin emas yang bergemerincing. Jumlahnya sebanyak 10 koin dan salah satu koin tampak menggelinding ke arah sang kakek. Kakek itu pun menangkapnya ketika jatuh dari meja.

"Koin ini, kalau tidak salah ini koin kerajaan Brightion! Kerajaan itu berada sangat jauh di barat. Bagaimana caranya Louis mendapatkan koin-koin ini ke tangannya?" gumam sang kakek ketika melihat detail koin itu meski sekilas sambil meletakannya kembali ke atas meja.

"Jadi, bagaimana menurut ayah?" tanya ayahnya Trenia.

"Apanya yang bagaimana?" tanya balik kakeknya Trenia.

"Bukankah kesepakatan ini sangat menguntungkan? Kita bisa menghasilkan banyak emas dengan apel-apel kita!" tegas ayahnya Trenia dengan semangat dan bangga.

"Menukar apel dengan emas. Menukar makanan dengan perhiasan. Menukar hidup dengan kemewahan. Menukar kebahagiaan dengan kesombongan. Menukar keselamatan dengan kecelakaan. The Creator, tidak menginginkan itu dari kita" ujar kakeknya Trenia melihat ke langit-langit rumah yang mulai gelap.

Di belakang ayahnya Trenia, terlihat ibunya Trenia mulai menyalakan lampu-lampu minyak yang menempel di dinding.

"The Creator? Lagi-lagi The Creator yang ayah katakan. Memangnya ikut andil apa The Creator dalam kehidupan kita! Kita hidup miskin apa The Creator pernah membantu kita! Ketika ibu meninggal apa The Creator menolongnya!? Sadarlah ayah!" bentak ayahnya Trenia.

Kakeknya Trenia tak bisa menahan amarahnya lagi. Mendengar anaknya sendiri mengatakan itu, membuat kakek itu langsung melayangkan tangannya ke arah pipi anaknya tersebut dan menamparnya dengan sangat keras.

"HARUSNYA KAMU LAH YANG SADAR, DASAR ANAK BODOH!" pekik kakeknya Trenia hingga menggetarkan meja.

Ibunya Trenia langsung tersentak diam berhenti bergerak sama sekali.

"Mendiang ibumu, istriku meninggal karena memang sudah waktunya! Sementara yang kamu bilang kalau kita miskin, kita sama sekali tidak miskin! Lihatlah ke sekitarmu! Kita punya kebun apel, kita punya ladang jagung, kita punya ternak sapi! Kita bisa bertahan hidup 7 turunan kalau perlu! Kenapa kamu bilang kita miskin!? Apa karena kita tidak punya rumah mewah? Apa karena kita tak punya kereta kuda? Atau karena kita tidak punya banyak emas? Mau kamu apakan emas di sini memangnya! Di sini kita saling membantu! Saling bertukar hasil panen! Saling bertukar jasa! Kita tidak perlu koin-koin emas ini di sini!" tegas sang kakek.

"Dasar kolot!" bentak ayahnya Trenia sambil memegangi pipinya yang sakit.

"Aku tidak kolot! Aku hanya mengajarkanmu kehidupan! Buka matamu!" tegas kakeknya Trenia lagi.

"Kamu lah yang buka matamu, ayah sialan! Ayah itu udik! Kampungan! Ayah pasti tidak tahu kan, di kota itu kita bisa membeli banyak hal dengan uang! Jika kita bisa menghasilkan uang di sini, maka kita bisa membuat desa ini semakin maju! Kita bisa— eee kita bisa membangun desa ini, menjadi sebuah desa yang megah! Kita bisa membuatnya menjadi sebuah kota! Ya, kota yang besar!" balas ayahnya Trenia.

"K—kau, dasar anak bodoh! Bodoh! Aku mendidikmu untuk jadi bijaksana, tapi kenapa kamu malah jadi begitu bodoh! Kau sama sekali tidak mengerti. Sama sekali tak mengerti kaidah hidup. Hidup adalah untuk—" ujar kakeknya Trenia berusaha menjelaskan.

"Diam! Aku sudah bosan mendengar ceramahmu, dasar kolot! Jika memang ayah tak mau mengerti, maka aku akan pergi! Aku akan pergi!!" bentak ayahnya Trenia kemudian berjalan menghampiri pintu.

Ia membanting pintu itu, membukanya dengan paksa. Kemudian ia melanjutkan langkahnya dengan penuh amarah. Ibunya Trenia mengangguk permisi pada mertuanya, kemudian langsung menyusul suaminya itu.

"Kakek, suara keras apa itu tadi?" tanya Trenia yang menghampiri kakeknya yang terdiam berdiri menengok ke arah pintu.

Kakeknya itu menoleh ke arah Trenia dan menunjukkan ekspresi senyuman yang lembut. Ia bisa melihat kalau cucunya saat ini sedang cemas yang terlihat jelas di raut wajahnya.

"Tidak apa-apa. Oh ya, kamu mau apa kemari?" jawab sang kakek lalu bertanya balik.

"Aku diminta untuk mengambil air. Terus aku mendengar suara keras dari sini. Apa kalian bertengkar lagi?" tukas Trenia.

"Ah, kamu tak perlu memikirkan itu. Kamu mau mengambil air untuk tamu kita kan? Benar juga mereka pasti kehausan sehabis bekerja. Lebih baik kamu cepat bawakan air untuk mereka" ujar kakeknya sambil mengelus kepala Trenia dengan lembut.

"Baik kek. Tapi kakek tidak apa-apa kan? Kakek terlihat seperti hendak menangis" ungkap Trenia.

Kakek itu terlihat sedikit terkejut mendengarnya.

"Apa cucuku mewarisi ketajaman insting pembaca situasiku, atau pengertian hati dari neneknya? Kuharap keduanya" gumam kakeknya Trenia itu dalam hatinya.

"Aku tidak apa-apa kok. Sudah sana pergi ambil air minum untuk tamu kita. Mau sampai kapan kamu membuat mereka menunggu?" suruhnya kemudian.

"Ah iya! Air minumnya kalau tidak salah..." ujar Trenia dengan sedikit panik.

Trenia langsung buru-buru kembali ke dapur. Sementara itu sang kakek terlihat memperdalam sandarannya ke tempat duduknya sehingga tubuhnya sedikit meluncur ke bawah.

"Di bagian mana aku salah mendidik puteraku, wahai The Creator? Tapi meski begitu, syukurlah cucuku... cucuku masih bersih. Oh The Creator, apabila memang diriku tidak berkompeten untuk mendidik, hamba mohon kirimkanlah seseorang yang kompeten. Seseorang yang sanggup untuk membimbing cucuku itu ke jalan yang benar. Dan membuatnya tetap di jalan yang benar, hingga akhir hayatnya. Jadikan dia hambaMU yang mulia, hingga akhir. Hamba rela apabila seluruh doa hamba yang lain tak ENGKAU jawab, selama yang ini ENGKAU kabulkan" ujar kakek itu sambil mulai mengucurkan air mata.

****

Malam harinya, Syuhada dan Ardh dipersilakan menginap di kamar kosong yang tak lain adalah kamar Trenia. Sementara Trenia tidur di kamar kakeknya yang juga kosong karena sang kakek lebih memilih tidur di luar karena alasan yang tak diketahui. Tak ada yang tahu kakek itu tidur di mana saat ini, karena kakek itu tak pernah bisa ditemukan di malam hari oleh siapa pun, bahkan keluarganya sekali pun.

"Jadi di mana kakek itu berada saat ini?" tanya Syuhada kepada bukunya.

Ia tak mendapat jawaban.

"Ardh, apakah kamu bisa melacak keberadaan kakek itu?" pinta Syuhada kepada Ardh yang hanya memakai gaun putihnya.

Ardh saat itu duduk di jendela sambil melihat pemandangan langit malam.

"Kalau tuan Hada mencarinya, saat ini dia sedang memperhatikan ke sini dari tempat persembunyian pribadinya. Dia berada di tempat dia bisa melihat ke sini dengan jelas tapi kita tak bisa melihatnya" jelas Ardh.

"Begitu kah?" sahut Syuhada yang ikut duduk di sudut lain jendela itu.

Mereka kini duduk dengan posisi hampir berhadapan. Ardh menatap ke arah Syuhada, dan Syuhada menatap ke arah Ardh. Kini Ardh sedang tak memakai topinya jadi ia bisa melihat wajah Ardh dengan jelas. Ardh tersenyum anggun menyambut tatapan dari Syuhada.

"Kali ini aku ingin bertanya sesuatu padamu tentang hal lain" ucap Syuhada.

"Ya, tuan Hada. Silakan tanyakan apapun padaku" sahut Ardh.

"Kamu kan sudah pergi ke mana-mana. Kamu sudah berpetualang ke berbagai tempat di dunia. Apa diantara itu, ada satu tempat yang menurutmu paling indah, paling menyenangkan, paling nyaman, paling membahagiakan?" tanya Syuhada dengan serius.

"Itu pertanyaan yang sulit. Aku memang sudah menjelajahi setiap penjuru bumi, aku berhasil menemukan tempat-tempat yang menakjubkan. Jika mesti menjawab dengan jujur, maka harus aku katakan tak ada. Tak ada di bumi ini. Kecuali tempat terakhir seharusnya kita berada" jawab Ardh sambil menatap bintang-bintang di angkasa.

Lalu Ardh melirik kembali ke arah Syuhada.

"Dan aku sudah menemukan tempat itu. Maka perjalananku sudah selesai. Aku sekarang hanya perlu diam. Bagaikan pohon yang sudah menancapkan akarnya. Aku sudah menemukan tempatku yang paling indah" lanjut Ardh sambil tersenyum lebih anggun.

"Hmm... sudah kuduga aku masih belum mengerti. Apa ada yang bisa jelaskan lebih baik?" pinta Syuhada.

Namun baik buku putihnya ataupun Pochi yang sedang tiduran melayang di udara, tak ada satu pun dari mereka yang menjawab.

"Jika {Book of Divine} saja menolak menjawab, itu artinya ini adalah sesuatu yang harus aku cari tahu sendiri kah?" lanjut Syuhada menghela napasnya.

"Tuan Hada sendiri, tempat apa yang ingin kamu cari dalam perjalanan hidupmu?" tanya Ardh.

"Tempat yang ingin aku cari kah? Tentu saja itu adalah tempat yang bisa menjelaskan siapa diriku sebenarnya, untuk apa aku di sini, dan kemana aku harus pergi setelahnya. Tempat yang seperti itu" jawab Syuhada yang tampak yakin meski terlihat tanpa berpikir dulu.

Itu menandakan kalau jawaban itu sudah ada sejak dulu sebelum ditanyakan oleh Ardh.

"Apakah itu karena tuan Hada tak tahu darimana asal tuan, dan siapa orang tua tuan?" terka Ardh mengenai alasan dibalik jawaban itu.

"Itu hanya salah satunya" sahut Syuhada.

"Salah satunya... kah? Jawaban itu seolah menunjukkan kalau jawaban beliau memiliki lebih dari satu makna. Jika memang begitu, itu artinya untuk anak seusia beliau, beliau sudah mampu menguasai kebijaksanaan tingkat tinggi. Mampu memasukan makna lain ke dalam suatu kata, maka itu artinya beliau juga mampu mengupas makna lain dari kata tersebut. Itu hanya bisa didapatkan, oleh orang yang menghabiskan hidupnya untuk memikirkan hal-hal yang tak orang lain pikirkan. Orang yang menahan mulutnya untuk menggunakan akalnya. Orang yang menahan emosinya untuk menggunakan perasaannya. Seorang raja tanpa mahkota" ujar Ardh dalam hatinya yang tampak berpikir sejenak.

"Raja tanpa mahkota? Kamu terlalu berekspektasi tinggi kepadaku. Aku ini hanya rakyat jelata lho. Lagipula dia mengatakan kalau ini kebijaksanaan tingkat tinggi, padahal semuanya hanya perlu dilakukan dengan berpikir sejenak. Ini hal yang normal, iya kan, (Divine Guidance)?" ungkap Syuhada dalam hatinya.

「...」

"Hm? Ini bukannya tidak menjawab, tapi mereka memilih diam. Dengan kata lain, diam adalah jawaban mereka. Lalu, apa maksud dari diam ini?" gumam Syuhada dalam hatinya mulai berpikir.

「Orang macam apa coba yang berpikir kalau diam bisa digunakan sebagai jawaban. Orang yang kamu katakan normal, akan menganggap diam sebagai abstain atau tidak menjawab.」

"Lalu apa aku salah?" tanya Syuhada dalam hatinya.

「Tidak, kamu benar. Kami sengaja untuk diam, supaya kamu berpikir. Dengan kata lain kami memang lah menjawab dengan diam.」

"Diam memiliki seribu makna, kah?" ucap Syuhada dalam hatinya sambil tersenyum.

「Karena diam juga mewakili seribu bahasa.」

"Tuan Hada kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Ardh.

"Aku sedang berbincang dengan {Book of Divine}" jawab Syuhada.

"Kenapa ketika tuan Hada berbicara dengannya, tuan Hada selalu mudah tersenyum. Tapi ketika berbicara padaku, tuan malah tampak biasa saja? Aku juga ingin membuat tuan Hada tersenyum!" gerutu Ardh.

"Apa yang kamu maksud biasa saja? Aku tak pernah merasa biasa saja ketika bersama denganmu. Tidak dengan semua godaan yang kamu pancarkan padaku itu, Ardh! Perasaan campur aduk apa ini yang kurasakan di dadaku saat ini!? Tapi aku tak bisa mengatakan itu, bukan? Aku tak yakin apa dia akan senang atau kecewa mendengarnya. Jadi aku hanya bisa begini" ujar Syuhada dalam hatinya sambil menyentuh ubun-ubun Ardh.

Syuhada mengelus lembut kepala Ardh.

"Terima kasih..." ucap Syuhada sambil tersenyum.

Pipi Ardh pun memerah.

"Kenapa beliau berterima kasih? Lagipula beliau tersenyum! Dan kenapa pula itu setelah aku mengeluh? Apa aku harus terus mengeluh supaya beliau mau tersenyum padaku? Aku benar-benar tak mengerti!" gerutu Ardh dalam hatinya.

"Tidak, itu merepotkan. Tolong jangan banyak mengeluh!" ucap Syuhada dalam hatinya sambil mengekspresikannya dengan memukul pelan kepala Ardh dengan pukulan yang disebut chop atau semacamnya.

Tapi daripada memukul mungkin itu lebih ke menyentuhkan sejenak pelipis telapak tangannya dengan sedikit menekan lembut.

"Eh, kenapa beliau di bagian akhir tadi—" pikir Ardh bingung.

「Keluhan perempuan bisa jadi manis ataupun pahit, tergantung bagaimana isi keluhan tersebut. Keluhan perempuan bisa menjadi obat ataupun sakit, tergantung dari niat keluhan tersebut. Dan mereka takkan mengeluh tentang orang yang mereka sayangi kecuali ada sesuatu yang benar-benar salah dan mesti diperbaiki.」

"Tergantung isi? Maksudnya pasti tentang kejujuran. Tergantung niat? Maksudnya tentang tipe sifat perempuan tersebut. Perempuan baik tak mungkin berniat buruk pada orang yang disayanginya" terka Syuhada dalam hatinya.

「Tepat sekali.」

"Lagipula perempuan yang dimaksud di sini itu, jangan-jangan... maksudnya isteri?" terka Syuhada lagi dalam hatinya.

「Tepat sekali.」

"Mereka itu, jika mereka mengatakan tentang perempuan, kalau bukan pengetahuan tentang perempuan secara umum, maka itu adalah tentang perempuan sebagai isteri" gerutu Syuhada dalam hatinya.

「Kami hanya katakan padamu apa yang dikehendakiNYA untuk kami katakan kepadamu.」

"Begitu kah. Tapi terima kasih, mungkin ini bisa dijadikan bekal untukku di masa depan kalau aku memiliki isteri" ujar Syuhada dalam hatinya.

「Ketidak-pekaan adalah pelemah kebijaksanaan.」

"Hah, apa maksud kalian berkata begitu?" tanya Syuhada dalam hatinya.

「...」

"Hmm... diam ini lagi" ucap Syuhada dalam hatinya lalu turun dari jendela.

Kemudian ia berjalan menghampiri tempat tidur.

"Tuan Hada sudah mau tidur?" terka Ardh.

"Ya, aku sudah ngantuk" jawab Syuhada.

"Kalau begitu aku juga mau tidur" sahut Ardh turun dari jendela.

Kemudian ia menutup jendela. Ketika sedang menutup jendela, Syuhada bisa melihat siluet tubuh Ardh dari gaun putih tipisnya itu karena terkena terangnya cahaya langit malam.

"Kenapa pemandangan ini selalu diperlihatkan kepadaku padahal aku mencoba menghindarinya? Dan selalu saja di saat yang tak kuduga. Oy yang di bawah, kendalikanlah dirimu! Tidak, benda itu milikku, kan. Jadi sebenarnya aku lah yang harus mengendalikan diriku" gerutu Syuhada sambil berjalan lagi lalu menjatuh diri ke atas kasur.

Syuhada yang tiduran menyamping sambil menekuk kakinya, dikejutkan oleh Ardh yang tiba-tiba berbaring di depannya, dan kini mereka pun saling berhadapan.

"Selamat malam, tuan Hada" ucap Ardh sambil tersenyum anggun.

"Se—selamat malam" sahut Syuhada.

Ardh memejamkan matanya, sementara Syuhada mencoba berbalik ke arah sebaliknya. Namun rupanya di arah sebaliknya ada Pochi yang juga tiduran menghadap ke arahnya. Meski tubuhnya nampak nembus di kasur itu karena ia adalah dimensi saku atau pocket dimension.

[§ Hamba ini mengucapkan selamat malam kepada Master. §]

"S—selamat malam juga, Pochi" sahut Syuhada.

Syuhada pun bingung. Ia tak tahu harus berbaring ke arah mana. Jika ia terlentang, maka akan ada sesuatu yang tegak yang akan menonjol. Berbaring tengkurap juga tidak mungkin karena ia tak ingin lehernya terasa sakit ketika bangun nanti. Ia merasa sangat kebingungan hingga ia akhirnya kesulitan untuk tidur.

Tapi meski begitu pada akhirnya ia tertidur juga karena rasa kantuknya.

Tentu saja terlentang.

Pochi yang rupanya tak tidur kembali membuka matanya. Ia melayang kembali menegakkan tubuhnya. Sekilas ia melihat sebentar ke arah sesuatu yang menonjol di celana pendek Syuhada, namun langsung mengalihkan pandangan setelahnya.

[§ Saatnya hamba ini untuk menunjukkan kinerjanya. Master pasti akan senang. §]

Pochi merentangkan tangannya sambil mengarahkan telapak tangannya ke atas.

[§ Hamba ini akan menggunakan, (Eyes of Limitless Eating). §]

Dan bersamaan dengan itu, Pochi menelan segala yang ia ingin telan ke dalam penyimpanannya dengan matanya. Dalam hal ini, yang ia telan adalah, informasi.

****