Family Problem, Village Problem
"Ah, aku bangun terlalu pagi" ucap Syuhada dalam hatinya.
Syuhada tahu itu karena saat itu kamar itu masih sangat gelap. Ia juga tak melihat adanya cahaya yang masuk melalui jendela. Ia menoleh ke arah Ardh, dan melihat perempuan itu masih tidur pulas dengan wajah bahagia. Lalu ia menoleh ke arah lain, namun ia tak menemukan yang ia cari kali ini.
"Kemana perginya Pochi?" tanya Syuhada dalam hatinya.
「Dia kembali ke bentuk dimensi. Coba panggil untuk membuatnya mewujudkan dirinya.」
"Begitu kah. Kalau begitu, Pochi!" ujar Syuhada dalam hatinya, namun memanggil Pochi dengan bersuara meski pelan.
[§ Hamba hadir memenuhi panggilan Master. §]
"Bisakah kamu mengambilkan air? Yang bisa di minum tentunya" pinta Syuhada kepada Pochi.
[§ Akan hamba laksanakan, Master. §]
Pochi menoleh ke suatu arah. Dari penglihatannya dia mampu melihat menembus dinding, terus menjauh ke arah sungai, mengikuti sungai menuju ke hulu sungai di pegunungan, kemudian sampai di dekat mata air. Airnya begitu jernih dan terlihat begitu segar. Pochi menyerap air di sana, mengecualikan apapun yang mungkin membuat majikannya sakit atau membuat rasanya tak sedap dan tak segar.
[§ Kemarilah, Master. §]
Pochi nampak menjulurkan tangannya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Syuhada. Semakin lama semakin mendekat dan tampak seakan mereka hendak akan berciuman.
Ardh yang tadinya tertidur pula, tiba-tiba langsung membuka matanya dan melompat hendak menubruk Pochi.
"Apa yang kau lakukan, hei!?" pekik Ardh.
Namun Ardh lupa kalau Pochi tak bisa disentuh dan akhirnya ia menembus tubuh Pochi lagi dan jungkir balik di lantai menabrak dinding.
[§ Hamba ini bertanya apakah gerangan yang sedang dilakukan oleh original elf? §]
"Pochi! Kamu tuh ya! Jangan mentang-mentang aku sedang tidur, kamu mau seenaknya cari kesempatan untuk mencium majikan! Itu tidak adil!" tukas Ardh sambil bangkit lagi dan mulai menunjuk-nunjuk ke wajah Pochi yang terlihat sama sekali tak mengubah ekspresinya.
[§ Maaf tapi, apa original elf lupa kalau tak ada satu pun yang bisa menyentuh hamba ini? §]
"Ah?" ucap Ardh baru sadar itu.
Ia pun bisa melihat kalau tangan yang dijulurkan oleh Pochi untuk menyentuh wajah Syuhada terlihat menembus pipinya.
"T—tapi visual juga penting! Pokoknya tidak boleh! Berciuman itu tidak boleh!" tegas Ardh sambil membentuk silang dengan kedua lengannya.
"Kenapa tidak gunakan wadah atau semacamnya saja? Apa kamu tak menyimpan wadah atau semacamnya di penyimpananmu?" tanya Syuhada sambil bangkit dan berjalan menuju jendela menembus tubuh Pochi.
[§ Master tak pernah menyimpan wadah apapun pada hamba. §]
"Oh benar juga. Aku tak pernah memiliki wadah apapun untuk ku simpan" sahut Syuhada dalam hatinya.
"Kalau begitu ambil sebuah daun, lipat sedemikian rupa supaya membentuk wadah. Jangan daun yang beracun, dan jangan pula yang aroma dan rasanya tak sedap dan merusak rasa air" suruh Syuhada secara detail.
[§ Akan segera hamba laksanakan. §]
Tak lama kemudian di tangan kanan Pochi muncul daun yang sudah terlipat membentuk kerucut dan kemudian daun tersebut terisi oleh air yang muncul entah dari mana.
Pochi menyodorkan cangkir daun itu ke mulut Syuhada.
[§ Silakan, Master. §]
"Tidak, biar aku minum sendiri" balas Syuhada kemudian mengambil cangkir itu dan meminumnya sendiri.
Syuhada meminum air tersebut hingga habis.
"Hmm... harum ini, bukankah ini daun pisang?" gumam Syuhada dalam hatinya ketika selesai minum.
Itu adalah cangkir kecil yang hanya sebesar kepalan tangan. Dan hanya di lipat dan lilitkan secara sederhana. Lalu untuk pegangannya merupakan sebuah lipatan yang dijahit dengan sobekan daun.
"Dan juga detail ini, bagaimana cara dia melakukannya?" sambung Syuhada dalam hatinya ketika memperhatikan.
[§ Hamba ini meminta pendapat Master tentang cangkir buatan hamba. §]
"B—bagus sekali. Bagaimana kamu bisa tahu cara membuatnya?" ujar Syuhada penasaran.
[§ Hamba ini hanya mengandalkan inspirasi. §]
"Inspirasi?" ulang Syuhada dengan nada bingung.
[§ Master bisa menyebutnya produk pengolahan informasi yang sudah tersimpan di dalam memori. Hasil pengetahuan, hamba ini rasa. §]
"Hmm... begitu rupanya. Lalu bagaimana jika kamu belum pernah mengetahui apapun yang berhubungan dengan itu, tapi tiba-tiba bisa tahu tentang hal tersebut secara spesifik?" tanya Syuhada.
「Maka itu namanya ‹Hidayah›. Itu panduan atau petunjuk. Itu tak didapat dari dalam, melainkan berasal dari luar. Namun jika itu berkaitan dengan sesuatu yang tak diketahui siapapun atau apapun di dunia ini, maka itu pasti berasal dari The Creator of All Creations.」
"Hidayah kah? Hmm... jadi itu sebutannya" gumam Syuhada dalam hatinya.
[§ Hamba ini juga meminta pendapat tentang airnya dari Master. §]
"Airnya? Ya kurasa airnya terasa sangat segar. Ditambah dengan aroma daun pisangnya... oh ya, darimana kamu bisa mendapatkan daun pisang? Aku yakin sekali daerah sekitar sini tak ada pohon pisang" jawab Syuhada kemudian bertanya kembali.
[§ Hamba hanya mengambil dari tenggara. §]
"Tenggara yang kamu maksud itu seberapa jauh kira-kira?" tanya Syuhada lagi penasaran.
[§ Sejauh mata hamba ini memandang. §]
"Memang sejauh apa matamu bisa melihat?" tanya Syuhada lagi makin ingin tahu.
[§ Hamba ini tak mampu menyebutkan secara spesifik. §]
"Lah, apa maksudnya itu coba?" komentar Syuhada yang jadi bingung.
Syuhada memegang dagunya mencoba untuk berpikir sejenak.
"Kalau begitu akan kuuji dengan ini" ucap Syuhada dalam hatinya kemudian melirik ke arah Pochi lagi.
"Tolong ambilkan garam di laut yang ada di selatan. Garamnya mesti dari air laut dan berbentuk butiran halus" pinta Syuhada secara sangat spesifik.
[§ Hamba segera laksanakan. Namun sebelumnya, apa Master ingin hamba mengekstrak seluruh garam di lautan? §]
"Kamu sudah gila ya!? Jika kamu mengambil semuanya, maka lautan akan jadi tawar! Bagaimana dengan kehidupan di sana!? Ditambah jika laut tiba-tiba menjadi tawar, akan muncul kebingungan dan kekacauan di mana-mana! Ambil secukupnya saja! Kira-kira... euh... sekepal! Sekepal saja sudah cukup!" tegas Syuhada yang jadi panik.
Hanya dengan sekilas, di atas telapak tangan Pochi muncul lah segunduk garam yang lebih halus dari pasir dan berjatuhan ke lantai.
"Dia benar-benar bisa melakukannya!? Mendengar pertanyaannya sebelumnya saja aku sudah kaget karena seolah ia menyanggupi permintaanku tanpa rasa berat ataupun sulit sama sekali. Tapi setelah melihat sendiri kesanggupannya itu, aku benar-benar terkejut!" komentar Syuhada dalam hatinya yang memang benar-benar terkejut saat itu.
Syuhada mencoba mengambil beberapa butiran garam dengan ujung jarinya dan kemudian mencicipinya.
"Asin. Ini benar-benar garam. Di tambah ini halus sekali. Jauh lebih halus daripada yang ditumbuk. Seolah garam ini dibuat sedemikian rupa dalam ukuran yang sama persis antara setiap butirannya. Apa-apaan dengan detail ini? Selain jarak, spesifikasi, dan juga detail nya benar-benar berada pada tingkat yang mengerikan. Ini bukan sembarang mengambil dan menyimpan. Tapi seolah dia juga bisa memprosesnya. Ini akan sangat berguna untuk kedepannya. Mungkin aku bisa membuat berbagai hal dengan ini" ujar Syuhada dalam hatinya setelah mencicipinya.
Melihat majikannya terus mengobrol dengan Pochi, Ardh langsung cemberut dan menggembungkan pipinya.
"A—aku juga bisa kalau cuma membuat yang begituan mah! A—asalkan ada bahannya aku juga bisa! Pochi, cepat ambilkan air laut! Ambilkan juga daun pisang!" gerutu Ardh.
[§ Maaf, tapi original elf tak memiliki izin untuk memerintah hamba ini. §]
"Apa!? Aku ini seniormu dalam hal melayani tuan Hada! Patuhi seniormu!" bentak Ardh.
[§ Senioritas tidak memberi original elf kewenangan untuk memerintah [Divine Item] diluar kehendak pemiliknya. §]
Ardh kembali menggembungkan pipinya hingga pipinya itu tampak kemerahan akibat terlalu menggembung.
"Sudahlah Ardh. Aku percaya kok kamu memang bisa. Lagipula untuk hal memasak dan yang lain-lainnya aku masih mengandalkanmu bukan? Janganlah bersaing yang hanya akan berujung perselisihan antara kalian. Akurlah!" lerai Syuhada sembari mengingatkan.
"Maafkan aku..." sahut Ardh.
[§ Hamba juga meminta maaf, Master. §]
"Bagus. Lalu, Ardh. Apa tuan rumah sudah bangun? Bantu-bantulah pekerjaan rumah. Aku akan keluar untuk memeriksa keadaan desa ini. Dan kamu, Pochi. Coba turuti beberapa permintaan Ardh. Selama itu bukan mencuri, merusak, ataupun sesuatu yang membuat The Creator murka, maka turuti lah. Hingga aku kembali tentu saja" pinta Syuhada.
"Baik, tuan Hada" sahut Ardh.
[§ Hamba mematuhi perintah Master. §]
"Dan garam itu simpanlah ke penyimpananku" tambah Syuhada.
[§ Hamba laksanakan. §]
Garam di telapak tangan Pochi pun lenyap tak bersisa.
Syuhada keluar dari kamar meninggalkan mereka berdua. Terlihat Ardh yang membereskan tempat tidur. Sementara Pochi memperhatikan yang sedang dikerjakan oleh Ardh dengan seksama.
"Apa kamu mau meniru kemampuanku lagi?" tanya Ardh.
[§ Original elf tak perlu khawatir. Hamba ini tak memiliki niat untuk merebut tugas original elf. Hanya saja hamba ini sangat senang mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya untuk bisa membantu Master. Hamba ini ingin menyenangkan hati Master, sama seperti original elf yang juga ingin membahagiakan Master. §]
"Pochi~ ternyata kamu memikirkan kebahagiaan tuan Hada juga~" ujar Ardh sambil terlihat terharu.
[§ Hamba ini ada untuk melayani Master hamba. §]
"Mh! Mh! Kalau begitu sepertinya kita bisa akrab ya~" sahut Ardh sambil mengangguk dan tersenyum.
****
Di jalanan desa, Syuhada berjalan-jalan sambil melihat-lihat. Ia memperhatikan ke sekitar dan dapat melihat kalau orang-orang di sana bangun sangat pagi. Saat itu bahkan belum fajar, namun beberapa orang utamanya orang tua terlihat sudah mulai beraktifitas.
"Padahal di sini sangat dingin. Tapi mereka sudah keluar rumah jam segini? Ya aku juga sih, tapi aku terbiasa melihat orang-orang bangun pas matahari sudah setinggi satu tombak dari garis horizon. Rasanya melihat orang-orang sudah beraktifitas pada saat aku bangun benar-benar tak biasa" gumam Syuhada dalam hatinya.
Mereka terlihat oleh Syuhada membawa segunung pakaian dan mereka semua berjalan berombongan menuju ke suatu tempat. Syuhada mengikuti mereka dari kejauhan. Tak lama kemudian mereka sampai di sebuah sungai.
"Oh, ternyata ada sungai. Tak terlalu jauh juga dari desa ternyata. Apa Pochi mengambil air dari sini? Tidak, kurasa bukan. Rasa air yang diberikan Pochi padaku sangatlah segar. Itu tak mungkin bisa didapat dari sungai biasa semacam ini" komentar Syuhada dalam hati.
Tiba-tiba dari belakang ada yang menyentuh pundaknya.
"Adik mau mandi juga?" tanya seorang kakek yang tak ia kenal.
Syuhada menoleh dan menatap ke orang yang menyentuh pundaknya. Syuhada kemudian menganggukan kepalanya.
"Kalau begitu ikutlah bersama kami. Di sana tempat para perempuan mencuci, kita ke hulu biar tak mengganggu mereka dan tak terganggu juga oleh air bekas cucian" ajak kakek itu kepadanya.
Syuhada hanya menganggukan kepalanya.
Akhirnya Syuhada mengikuti rombongan para lelaki yang banyak terisi oleh bapak-bapak dan kakek-kakek. Ada beberapa anak kecil juga sih, namun itu masih terhitung oleh jari.
"Adik ini kalau boleh tahu orang mana? Kakek baru pertama kali ini lihat wajah adik?" tanya kakek yang mengajaknya tadi.
"Hmm... bagaimana aku harus menjawabnya? (Divine Guidance)mohon bantuannya!" gerutu Syuhada dalam hatinya.
Bukunya muncul, namun tak memberikan jawaban apapun.
「...」
"Aku harus menjawabnya sendiri kah? Tapi aku harus menjawab bagaimana?" pikir Syuhada kebingungan.
Kakek yang bertanya padanya pun juga terlihat heran karena anak yang ditanyainya malah terdiam tak menjawab sepatah kata pun.
Tapi dari atas tiba-tiba mendarat sesosok lelaki tua yang membawa sebuah bambu runcing. Bambu itu dipanggulnya di pundak dan ia mendarat dalam keadaan berjongkok menghadang rombongan yang menyusuri jalan setapak hendak ke hulu sungai itu.
"Adnan Woodson! Kau ini ngagetin aja!" ucap kakek tua yang tadi bertanya pada Syuhada.
"Maaf-maaf! Aku hanya mencoba untuk memburu ikan segar untuk menjamu tamu-tamu yang ada di rumahku" jawab kakek yang baru datang itu yang ternyata adalah kakeknya Trenia.
"Kau ini memang kebiasaan muncul ngagetin orang lain. Bisa tidak sih muncul dengan cara biasa saja? Mentang-mentang mantan petualang! Selalu saja ingin terlihat keren!" gerutu kakek tua yang berada di sebelah Syuhada itu.
"Hahaha! Itu cuma masa lalu! Jangan terus dibahas lah! Lagipula kulihat kalian membawa tamuku. Apa kalian sedang mengajaknya mandi?" tanya Adnan ketika melihat Syuhada.
"Ya, tadi kami bertemu di jalan. Oh jadi dia tamumu. Kenapa adik ini tidak bilang ya? Ditanya juga dia malah diam" sahut kakek tua di sebelah Syuhada itu malah menggerutu.
"Mungkin dia memang tipe anak yang jarang bicara. Saat di rumahku juga dia terlihat selalu diam dan malah nona penyihir yang bersamanya yang selalu berbicara untuknya" ungkap Adnan.
"Penyihir? Kamu punya tamu seorang penyihir, Adnan?" tanya kakek itu penasaran.
"Entahlah. Penampilannya seperti seorang penyihir, tapi aura yang dipancarkan olehnya terasa seperti dia adalah seorang perempuan suci atau semacamnya" jawab Adnan.
Asik mengobrol, tak terasa mereka sampai di daerah hulu sungai. Di sana alirannya cukup tenang. Meskipun sungainya tak nampak dalam, tapi aliran di sana tidak terlalu deras dan cocok untuk dipakai untuk mandi. Di tambah tak jauh dari sana ada daerah berair dalam yang terlihat cocok juga untuk mencari ikan.
"Ini tempat yang bagus" ujar Syuhada dalam hatinya.
「Bukan sekedar bagus. The Creator memberkahi tempat ini karena tempat ini digunakan dengan cara yang baik oleh orang-orang yang baik. Tempat ini selalu dirawat dan dijaga keasriannya. Karena itu The Creator menjauhkan binatang buas dan penyakit dari sungai ini.」
"Itu penjelasan yang sungguh detail dan informatif. Kalau begitu, orang-orang ini adalah orang yang baik, hah? Syukurlah aku bisa ke tempat ini" ungkap Syuhada dalam hatinya sambil tersenyum.
Syuhada langsung menuju ke air dan mulai membasuh mukanya terlebih dahulu.
"Ini memang air yang segar. Dan sangat jernih juga. Apa Pochi mengambil air dari sini?" komentar Syuhada dalam hatinya.
「Tidak. {Al-Kahf} mengambil dari hulu sungai, langsung dari mata airnya tepatnya.」
"Apa!? Sampai sejauh itu!? Padahal yang aku minta cuma air layak minum, tapi ia mengambil yang benar-benar kualitas terbaiknya!?" ucap Syuhada dalam hatinya yang tentu saja terkejut mendengar penjelasan itu.
Syuhada mencoba mencicipi sedikit airnya, dan memang ia bisa merasakan perbedaan kesegaran airnya.
"Ah, kenapa aku punya dua pelayan yang melayaniku sampai segitunya sih?" ujar Syuhada dalam hatinya sambil menghela napas.
「The One Who Have Guidance tak terlihat sedang mengeluh.」
"Aku memang tidak sedang mengeluh! Perkataanku memang terdengar begitu, tapi dalam hatiku aku merasakan syukur yang tak tertahankan" tegas Syuhada dalam hatinya.
Syuhada kemudian mulai berjongkok dan membasuh tubuhnya.
"Hei kalian, aku titip tamuku itu ya! Aku mau memburu beberapa ikan sebentar di sana!" ucap Adnan pada rombongan lelaki yang memang datang bersama Syuhada itu.
"Ya-ya. Tak usah khawatirkan itu. Sudah tunjukanlah saja kemampuan menombakmu itu pada kami. Kami ingin melihatnya lagi. Sudah lama kami tak melihat Adnan si Penombak Elang beraksi" balas kakek tua yang sedari tadi diajak bicara oleh Adnan itu.
"Hahaha! Aku tak tahu apakah aku masih bisa menombak elang seperti di masa mudaku, tapi jika hanya untuk menombak ikan, otot tuaku ini masih belum lupa cara melakukannya!" tegas Adnan menghampiri air dalam.
Adnan berdiri di atas batu besar yang hanya tampak ke atas permukaan air sebagian kecil yang hanya pas dipijak oleh sepasang telapak kaki saja. Adnan berdiri sambil mengayun dan memutar bambu runcing berdiameter kecil itu dengan kedua tangannya, kadang berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Permainan tombak yang memukau mata.
Lalu di akhir putaran tombaknya, Adnan memukulkan pelan ujung bambu runcingnya itu ke permukaan air. Seketika tercipta efek riak tetesan air yang menyapu semua riak air menjadikan air itu benar-benar tenang tanpa riakan untuk beberapa saat. Membuat Adnan bisa melihat semua ikan yang sedang berenang di air dalam dengan sangat jelas.
"P—perasaan apa yang kurasakan ini?" gumam Syuhada dalam hatinya dengan mata terbelalak.
「Itu adalah perasaan ketenangan. Bukan hanya air yang ‹Adnan Woodson› buat tenang. Langit, bumi, beserta semua hal yang ada di sekitarnya kini menjadi tenang. Sama seperti perasaannya saat ini.」
Adnan berjongkok sejenak. Ia tersenyum, dan kemudian melompat ke dalam air dengan gerakan yang sangat indah. Bahkan tak banyak menciptakan gelombang dan cipratan air ketika tubuhnya tercebur.
Ketika di dalam air, Adnan menyelam dengan ikan-ikan yang tampak berenang di sekelilingnya. Adnan memejamkan matanya sejenak.
"Wahai makhlukNYA yang mengabdi padaNYA, izinkan aku memburu kalian supaya aku bisa bersyukur dan terus mengabdi padaNYA. Penuhilah pengabdian kalian, jadilah kasih sayang dari The Creator of All Creations" ucap Adnan dalam hatinya.
"Dengan mengucap nama The Creator of All Creations, bimbinglah tombakku untuk mengabdi padaMU!" lanjutnya dalam hati sambil membuka mata.
「Apabila kamu bisa melihatnya, The One Who Have Guidance. Maka kamu akan melihat kalau ‹Adnan Woodson› sedang melakukan teknik tombak tingkat tinggi saat ini. Di dalam air, kamu takkan bisa mengayunkan benda dengan bebas, apalagi yang memiliki panjang seperti tombak. Lebih mudah melakukan gerakan menusuk daripada mengayun. Namun ‹Adnan Woodson› menggerakan tombaknya sedemikian rupa sehingga tombaknya bisa meliuk-liuk menyerupai ular yang lalu mencaplok satu persatu ikan dan melemparnya ke udara seperti yang bisa kamu lihat saat ini.」
Memang terlihat ada sekitar 5 ekor ikan terlempar sangat tinggi ke udara. Lalu beberapa saat kemudian, sosok Adnan keluar dari air dan berjongkok di atas batu sambil memanggul bambu runcingnya. Bagian tajam bambu itu menghadap ke atas. Lalu satu persatu ikan yang dilemparnya ke udara menancap ke bambu runcing itu.
Semua orang pun bersorak melihat pertunjukan mengagumkan itu.
「Dan itu lah teknik tombak dari orang yang disayangi oleh The Creator of All Creations.」
Adnan terlihat terengah-engah kelelahan.
"Melakukannya dengan badanku yang sudah tua ini ternyata memang sulit. Baru beberapa gerakan saja sudah lelah sampai seperti ini" keluhnya.
Sementara Syuhada hanya bisa menatap kagum pada kakeknya Trenia itu.
****
Kediaman kepala desa, adalah rumah yang terlihat paling bagus di desa itu. Rumah itu terlihat memiliki desain paling urban dibandingkan dengan rumah lainnya di sana. Bukannya berdinding kayu seperti rumah lain, rumah kepala desa terlihat memiliki dinding batu yang terlihat sangat bagus karena juga diberi warna putih menggunakan kapur.
Selain itu, di rumah itu juga adalah satu-satunya rumah yang mempekerjakan pembantu. Karena Louis, kepala desa dari desa tersebut masih belum menikah, maka ia mesti mempekerjakan orang untuk membantunya mengurus rumah.
Malam hari sebelumnya, ayah dan ibunya Trenia menginap di rumah kepala desa untuk membahas lebih jauh kelanjutkan bisnis mereka. Ditambah mereka memang sedang bertengkar dengan kakeknya Trenia sehingga membuat mereka malas untuk tidur di rumah mereka sendiri. Beruntungnya memang mereka diizinkan untuk menginap malam itu oleh Louis yang memang ingin membahas bisnisnya dengan mereka lebih jauh.
Dan pagi harinya, Louis diajak oleh ayahnya Trenia untuk melihat hasil panen apel mereka.
"Hasil panen kali ini juga seperti biasanya, kami berhasil menghasilkan banyak sekali apel" ujar ayahnya Trenia dengan nada bangga.
"Seperti yang diharapkan dari tanah keluarga Woodson. Lalu banyak sekali itu kira-kira sebanyak apa?" sahut Louis yang berjalan di sebelahnya.
"A—aku belum sempat menghitungnya" balas ayahnya Trenia sambil menggaruk kepala.
"Ya ampun kau ini, Donan. Kau harusnya menghitung dulu apelnya, baru mengundang klien untuk melihatnya. Bukan sebaliknya. Beruntung saat ini kliennya aku, jika itu orang kota maka bisnisnya bisa batal karena kau terlalu banyak membuang waktunya. Iya kan, Telia?" gerutu Louis pada ayahnya Trenia kemudian beralih ke ibunya Trenia.
"Y—ya..." sahut ibunya Trenia, Telia dengan nada ragu karena ia pun sebenarnya tak mengerti tentang bisnis.
Setelah berjalan sekian lama sambil mengobrol, tanpa terasa akhirnya mereka sampai di kediaman Woodson. Di sana mereka bisa melihat Trenia sedang menjemur pakaian sambil dibantu oleh seorang wanita cantik nan anggun berambut hijau keemasan yang memakai dress one piece berwarna putih yang melambai tertiup sehingga terlihat kalau kainnya sangatlah lembut. Namun seperti yang dikatakan {Jabbarail}, mereka tak bisa melihat menembusnya seperti Syuhada.
"Siapa perempuan itu? Aku tak pernah melihatnya di desa ini sebelumnya" tanya Louis kepada Donan dengan nada penasaran.
"Sepertinya itu adalah tamu ayah" jawab Donan.
"Tamu si tua Adnan, kah? Apa dia kenalannya dari kota?" tanya Louis lagi.
"Kalau itu, aku juga tidak tahu" sahut Donan.
"Tidak tahu? Kau ini memangnya tidak pernah nanya ke si tua bangka Adnan itu?" gerutu Louis.
"Mau nanya gimana coba? Kan kamu tahu sendiri kemarin kami bertengkar masalah bisnis ini!" tegas Donan.
"Ah benar juga. Aku lupa betapa kolotnya si tua bangka Adnan itu" ungkap Louis sambil memegangi keningnya.
Louis pun diajak masuk ke dalam rumah oleh Donan. Di dalam rumah terlihat Adnan sedang duduk di ruang tamu dan sedang mengobrol dengan Syuhada. Meskipun daripada mengobrol, ini seperti Adnan hanya bercerita dan Syuhada hanya ngangguk-ngangguk saja mendengarkan.
"Ayah, apa apel-apel kita sudah di simpan semua ke gudang?" tanya Donan pada ayahnya itu.
"Dasar anak tidak sopan! Kalau menyapa orang tua itu kamu harus salam dulu! Bukannya aku sudah ajarkan tata krama padamu! Ya, semuanya sudah dimasukkan ke tempat penyimpanan. Memangnya kenapa?" balas Adnan yang geram karena anaknya tidak bersopan santun padanya.
"Bagus!" sahut Donan singkat saja dan kemudian langsung jalan lagi.
"Dasar anak kurang ajar!" bentak Adnan.
Adnan juga melihat Louis lewat dan menatap seolah merendahkannya. Senyuman di wajahnya seolah ditujukan untuk menghinanya. Adnan pun semakin kesal dan jengkel. Namun Syuhada mencolek lengan Adnan. Adnan menoleh, dan Syuhada kemudian menggelengkan kepala padanya.
"Benar juga. Aku tak boleh terbawa emosi. Kita harus mengendalikan nafsu, dan bukan sebaliknya" ujar Adnan lalu menghirup napas panjang dan menghembuskannya menenangkan diri.
Syuhada menganggukan kepalanya sambil tersenyum.
"Dia anak yang baik ya" ujar Telia yang melihat Syuhada.
Telia tampak tak ikut dengan suaminya mengantar Louis dan lebih memilih untuk duduk di sebelah Syuhada yang duduk di sebelah Adnan. Jadi saat ini ia duduk diantara Adnan dan Telia.
"Ya meskipun dia tak banyak bicara sih" balas Adnan.
"Ayah mertua, tolong maafkan Donan ya. Dia hanya ingin meningkatkan tingkat kehidupan kita. Ia ingin kita hidup lebih baik. Aku tahu itu tidak sesuai yang diinginkan ayah mertua terhadapnya. Tapi... tolong percaya padanya" ungkap Telia dengan wajah murung.
"Aku tahu itu. Aku tahu niatnya memang baik. Tapi sebagai orang tua, aku punya kewajiban untuk meluruskannya apabila anakku berbelok ke jalan yang salah" balas Adnan.
"Lalu aku harus bagaimana? Aku juga sadar kalau sikapnya saat ini terasa sangat salah. Aku sebagai istrinya mesti bagaimana?" tanya Telia tampak kebingungan.
"..." Adnan terdiam.
Syuhada menarik-narik kecil lengan baju Telia.
"Ya, ada apa?" tanya Telia.
"Tugas seorang istri adalah mengabdi pada suaminya. Tugas seorang suami adalah memimpin istrinya. Suami adalah kepala, istri adalah ekor. Tapi jika kepala hendak jatuh ke dalam lubang, ekor haruslah melilit ke batang pohon menahan supaya kepala tidak jatuh" ujar Syuhada tiba-tiba berbicara lancar.
Hal itu lantas saja membuat Adnan dan Telia terkejut. Bukan hanya karena Syuhada yang tiba-tiba lancar berbicara, namun juga karena isi perkatannya yang sangatlah benar.
"Kamu... sebenarnya siapa, nak?" ucap Adnan dengan mata terbelalak.
Sementara itu, di gudang tempat penyimpanan, Donan dan Louis sedang melihat-lihat apel yang tersimpan di sana. Itu adalah gudang yang gelap, namun juga di sana terasa sangat sejuk, cocok untuk penyimpanan hasil panen supaya tak mudah membusuk.
"Apa kamu baru memanen apelnya kemarin?" tanya Louis.
"Ya. Ayah, Trenia, dan para tamu itu ikut membantu memanen apel-apel ini" jawab Donan sambil tersenyum.
"Bagus, kalau begitu kita bisa langsung angkut pagi ini juga. Aku sudah menyiapkan kereta berpenyimpanan dingin untuk membawa apel-apel ini ke kota" ujar Louis sambil mengambil satu apel dan memperhatikannya.
"Sebenarnya dari mana kamu mendapatkan semua benda-benda ajaib itu? Penyimpanan dingin lah. Kereta kuda minim guncangan lah. Itu semua adalah hal yang belum pernah kudengar sebelumnya" tanya Donan penasaran.
"Tentu saja dari kota kan? Jangan lupa kalau aku ini memiliki koneksi. Di kota besar hal semacam itu sudahlah sangat biasa" ungkap Louis.
"Oohh... sungguh hebat ya kota itu!" sahut Donan begitu tertarik.
"Tentu saja!" sahut Louis dengan bangga.
Louis melempar kembali apel yang diambilnya ke dalam karung. Kemudian ia dan Donan keluar dari gudang penyimpanan itu melalui sebuah tangga. Rupanya tempat penyimpanan itu berada di bawah tanah.
Ketika keluar, mereka berpapasan dengan Trenia dan juga Ardh yang tampak baru selesai menjemur pakaian.
"Salam keselamatan untuk ayah dan juga paman Louis" ucap Trenia.
"Y—ya" sahut Louis.
"Selamat pagi, Trenia" sahut Donan pada puterinya itu.
"Nona Trenia, kalau begitu saya duluan. Saya harus cepat-cepat kembali ke sisi majikan saya" ujar Ardh berbisik pada Trenia.
"Mh! Semuanya sudah beres kok! Terima kasih ya sudah membantu!" sahut Trenia sambil mengangguk dan tersenyum.
Ardh mengangguk pada Trenia, kemudian kepada Donan dan Louis juga. Setelah itu ia pergi menghilang ke ruang tamu.
"Dia sangat cantik. Bahkan lebih cantik daripada semua perempuan yang pernah kutemui sebelumnya" komentar Louis.
"Bukan hanya cantik, nona Motherland juga hebat dalam memasak, mencuci, dan handal dalam pekerjaan rumah lainnya" ungkap Trenia dengan nada sangat kagum.
"Lalu bagaimana dengan anak laki-laki yang di ruang tamu itu?" tanya Donan.
"Maksud ayah, Syu? Syu dia sangat pendiam. Kadang aku tak mengerti yang sedang dipikirkannya. Namun aku merasa kalau dia bukan orang yang buruk. Malah ia sangatlah baik. Ya, setidaknya itu yang aku rasakan" jelas Trenia yang antara yakin dan tak yakin.
"Syu?? Namanya pendek sekali" komentar Donan.
"Nama aslinya Syuhada. Tapi aku memanggilnya Syu" jawab Trenia.
"Kamu memanggilnya dengan nama panggilan? Dia itu tamu kan? Kenapa kalian seolah sudah akrab begitu?" tanya Donan.
"Awalnya sih memang agak susah buat akrab, tapi sepertinya kakek menyukainya. Jadi dia tak mungkin aku bersikap dingin kepadanya kan?" jawab Trenia.
"Kakekmu menyukainya?! Kakekmu yang kolot itu!?" tukas Louis.
"Kakek tidak kolot! Kakek itu hanya tegas dan teguh pada kebenaran!" tegas Trenia keberatan kakeknya dibilang kolot.
"Teguh pada kebenaran? Hahahahaha! Maksudmu pasti keras kepala kan?" tambah Louis sambil tertawa.
"Kakek tidak keras kepala!" bentak Trenia lalu menendang kaki Louis.
Louis pun melompat-lompat satu kaki karena kakinya yang satu lagi kesakitan ditendang oleh Trenia. Sementara Trenia langsung menuju ke kamarnya dengan wajah kesal.
"Dasar anak tidak tahu sopan santun!" bentak Louis.
"T—tolong maafkan dia. Dia cuma anak-anak" pinta Donan.
"Ya, baiklah. Untunglah dia tidak melakukannya pada orang lain. Aku ini orang yang sangat bermurah hati" ujar Louis sambil mengusap-usap kakinya karena masih terasa sakit.
Donan pun membawa Louis kembali ke ruang tamu. Di sana terlihat Syuhada sedang mengobrol bersama Ardh, sementara Telia duduk sendiri dan sosok Adnan tak terlihat di mana pun.
"Kemana perginya ayah?" tanya Donan kepada istrinya, Telia.
"Ayah mertua pergi kebun apel. Memangnya ada apa?" jawab Telia kemudian bertanya balik.
"Kita harus segera mengangkut apelnya hari ini. Kita butuh semua tenaga yang ada untuk memindahkan semua apel itu hari ini juga" jelas Donan.
"Tanpa persetujuan dari ayah mertua? Tapi kan seharusnya kita menggunakan apel itu untuk pasar barter hari ini. Bahan-bahan makanan kita sudah menipis. Kita butuh bertukar dengan semua orang untuk memenuhi kebutuhan kita beberapa bulan ke depan" ujar Telia.
"Telia, apa kamu lupa, jika kita berhasil menjual semua apel kita ke kota, maka kita bisa membeli semua kebutuhan kita di pasar besar di kota. Bahkan yang lebih baik daripada yang ada di sini!" tegas Donan dengan sangat yakin.
"..." Telia tak bisa membalasnya.
"Kalian berniat menjual apel di kota dan menukarnya dengan produk-produk dari kota?" tanya Ardh.
"Ya, harga apel di kota sangatlah bagus. Sebagai gantinya kita bisa mendapatkan barang-barang yang sangat bagus dari kota setelah semuanya terjual" jawab Donan.
"Ya, mari kita asumsikan seperti itu. Tapi perhitungkan juga jarak dari desa ini ke kota. Selama pengangkutan apa apelnya tidak akan keburu membusuk di perjalanan? Apel bukanlah buah yang bisa bertahan lama setelah di panen" ungkap Ardh.
"Tenang saja. Aku memiliki kereta kuda dengan penyimpanan bersuhu dingin. Buah-buahan takkan cepat membusuk dalam suhu dingin" ujar Louis memotong.
"Hebat juga kamu bisa memiliki penyimpanan seperti itu. Kamu pasti memiliki koneksi yang sangat bagus ke kerajaan sihir Magius atau saudagar kaya raya ya..." puji Ardh.
"Tentu saja. Aku ini Louis Sullenfield. Kepala desa terhebat di desa ini sepanjang sejarah!" sahut Louis membanggakan dirinya.
"Kalau boleh tahu, kapan terakhir kamu pergi ke kota?" tanya Ardh.
"H—hah? K—kapan?! Hmm... se—sebulan yang lalu?" jawab Louis.
"Sebulan yang lalu? Sewaktu kamu pergi menghilang beberapa hari itu?" tanya Donan.
"Y—ya! Saat itu! Kamu benar, Donan! Waktu itu aku memang pergi ke kota!" sahut Louis mengonfirmasi.
"Beberapa hari kah..." ucap Ardh sambil tersenyum.
Ardh kemudian menoleh ke arah Syuhada. Syuhada kemudian menggelengkan kepala. Matanya juga sejenak melirik ke arah sisi lain Syuhada yang tak ada siapapun di sana. Lalu Ardh kembali menatap ke arah Louis.
"Berapa banyak yang bisa kamu angkut sekali jalan?" tanya Ardh setelahnya.
"Sebanyak mungkin. Penyimpananku bisa mengangkut lebih banyak daripada ukuran asli penyimpanan tersebut. Itulah ajaibnya penyimpananku" jawab Louis.
"Itu hebat sekali. Kira-kira kalau 10 ton sanggup?" tanya Ardh lagi.
"10 apa!?" tanya balik Louis yang bingung dengan istilah itu.
"Jika 3 buah apel beratnya 1 kilogram. Maka 10 ton adalah 30.000 buah apel. Ya itu pun jika memang berat perbuahnya sama dengan yang aku sebutkan" jelas Ardh memberikan perumpamaan.
"30.000!? Itu bukan jumlah yang sedikit. Tapi jumlah segitu tidak mungkin ada sekali panen kan? Dia pasti cuma mencoba membodohiku saja kan!" tukas Louis dalam hatinya.
Saat itu Syuhada menghela napas.
"Tuan Hada, ada apa?" tanya Ardh menoleh ke arah Syuhada.
Syuhada berbisik padanya, kemudian Ardh pun tersenyum.
"Sebentar lagi kita akan mengetahui jumlah aslinya, kata tuan Hada" ujar Ardh me-relay ucapan Syuhada pada semua orang.
Tak lama kemudian pintu depan terbuka. Terlihatlah sosok Adnan yang terlihat terengah-engah seperti baru saja selesai berlari kencang. Sementara di belakangnya ada sosok butler berambut hitam berwajah ambigu antara cantik dan tampan.
"Apel-apel kita berbuah lagi! Dan itu banyak sekali!" ucap Adnan dengan terburu-buru.
"Pochi, katakan berapa jumlah tepatnya semua buah itu, kata tuan Hada" ujar Ardh kembali mewakili menyampaikan bisikan Syuhada.
[§ Jumlah semua apel siap panen: 314.242 buah. §]
Semua orang pun terkejut mendengar jumlah itu. Kecuali Ardh dan Syuhada tentunya.
****
Saat sebelumnya, ketika hari masih fajar, Trenia terlihat membawa keranjang berisi pakaian-pakaian kotor. Ia berjalan membawa keranjang itu sendirian. Seorang gadis kecil berjalan membawa keranjang besar penuh oleh pakaian, itulah keadaan Trenia saat ini.
"Nona Trenia! Biarkan aku membantu juga!" ujar Ardh yang mengejar dari belakang.
"Eh, tapi kalau nona tamu ikut, siapa yang memasak?" tanya Trenia khawatir.
"Tenang saja. Sudah ada orang yang menjaganya" jawab Trenia dengan yakin.
"Ada orang? Siapa??" sahut Trenia bingung dan makin cemas.
Tapi beberapa saat kemudian, terlihat rombongan laki-laki yang baru saja selesai mandi pulang dari arah hulu sungai.
"Oh neng Trenia! Baru mau mencuci pakaian?" sapa para lelaki yang sudah berumur itu.
"Ya nih! Aku bangunnya agak kesiangan! Jadi baru berangkat!" jawab Trenia sambil tampak malu-malu.
"Oh, pantas saja. Biasanya neng Trenia kan yang selalu menjemput istriku untuk ngajak mencuci baju bareng. Tapi kok hari ini tidak ada. Ternyata kesiangan" ujar salah seorang dari laki-laki itu.
"Lalu nona cantik di sebelahmu itu siapa?" tanya lelaki yang lain.
"Itu tamuku, jangan diganggu! Jangan coba-coba!" gerutu Adnan yang berjalan bersama Syuhada sambil memanggul bambu runcing yang terdapat ikan-ikan yang tertusuk oleh itu.
"Dia juga tamumu, Adnan!? Sukar dipercaya..." komentar salah seorang yang lain.
"Tuan Hada baru selesai mandi? Padahal kalau mau mandi kita harusnya berangkat bareng saja~" keluh Ardh.
Tanpa mengatakan apapun, Syuhada memukul kepala Ardh dengan pelipis telapak tangannya.
"Maaf, nona penyihir. Apa nona penyihir punya baju ganti untuk anak ini?" tanya Adnan kepada Ardh sambil memegang kepala Syuhada.
"Tidak. Beliau memang sejak awal tak punya baju ganti. Telah terjadi berbagai hal yang membuat beliau kehilangan segalanya. Yang tersisa ya... yang seperti anda lihat, beliau hanya punya celana pendek saja saat ini" jelas Ardh.
"Eehh!!?? Benar-benar kasihan sekali anak ini. Aku punya baju bekas ayahnya Trenia di rumah ketika ia masih kecil. Aku akan memberikannya padamu nak, jadi kamu takkan selalu ke mana-mana hanya memakai celana pendek saja. Bagaimana?" tawar Adnan kepada Syuhada.
Syuhada terkejut dan kemudian menggelengkan kepalanya bersikap menolak tawaran Adnan dengan halus.
"Tak usah sungkan. Nanti aku bawakan, kamu harus pakai ya" ujar Adnan terlihat memaksa, dalam artian baik.
Ekspresi Syuhada berubah ke ekspresi dengan tatapan risih dan mulut yang seolah berkata, "Eeehhh...".
"Hahaha! Kamu memang tak berbicara, tapi ekspresimu itu lucu sekali ya!" komentar Adnan yang malah merasa terhibur oleh reaksi Syuhada.
Trenia juga terlihat tertawa-tawa kecil melihat perbincangan Syuhada dan kakeknya itu. Meskipun yang benar-benar berbicara hanya kakeknya saja sebenarnya.
"Kalau begitu kami pamit dulu buat mencuci. Ayo, nona Trenia" ajak Ardh kepada Trenia setelah pamit pada yang lainnya.
"Ya! Kakek dan yang lainnya, hati-hati di jalan ya!" pamit Trenia.
"Ya, tenang saja. Kalian juga cepatlah pulang. Kakek akan masakkan ikan bakar untuk kita semua setelah pulang" sahut Adnan.
Trenia mengangguk dan kemudian berjalan bersama Ardh yang tampak kini membawa keranjang yang tadinya dibawa oleh Trenia.
Syuhada yang bersama Adnan pulang dikejutkan oleh Pochi yang berdiri di depan pintu rumah seperti sedang menunggu.
"Pochi!? Tunggu, dia berdiri di atas tanah!? Bagaimana bisa!?" komentar Syuhada dalam hatinya yang terkejut bukan main ketika melihat keanehan itu.
"Hmm... maaf, kisanak ini siapa?" sapa Adnan bertanya kepada Pochi.
"Dia bisa dilihat!? Apa maksudnya ini!?" ucap Syuhada dalam hatinya semakin kaget.
[§ Hamba ini adalah Pochi Infinite Paradoxia. Hamba ini adalah pelayan pribadi dari Master Syuhada. §]
"Pochi? Nama yang tak pernah kudengar sebelumnya. Lalu kamu juga pelayan dari bocah ini!? Nak, sebenarnya siapa dirimu? Jangan bilang kalau sebenarnya kamu ini anak bangsawan?" tukas Adnan mulai memiliki kecurigaan.
[§ Tolong jangan salah paham kepada Master hamba. Master hamba bukanlah bangsawan, bukan pula saudagar. Beliau hanya lah seorang yang mengabdi kepada The Creator of All Creations. §]
"Apa!? Nak, jadi kamu juga adalah penganut The Creator?" tanya Adnan yang lebih terkejut oleh fakta itu.
Syuhada mengangguk.
"Kenapa kamu tidak bilang. Jika begitu maka aku akan bisa lebih mudah bertukar pikiran denganmu" ujar Adnan merasa lega.
Syuhada memiringkan kepalanya.
"Kamu pasti tahu kan, di luar sana agama lain tidak begitu ramah kepada pemuja The Creator. Karena itu jika ada tamu dari agama lain, maka kami di sini harus berhati-hati dalam berbicara atau kami bisa-bisa diratakan dengan tanah atau dipaksa pindah agama" jelas Adnan.
Syuhada menghela napasnya.
"Sepertinya kamu juga mengalaminya hah?" duga Adnan.
[§ Master, hamba saat ini ingin melaporkan kalau masakan sudah siap. Semuanya sudah tersaji di atas meja. Jika Master ingin segera makan, Master bisa segera ke meja makan. §]
Pochi mengatakannya sambil benar-benar bersikap sebagai pelayan.
"Apa!? Jadi kamu yang memasak saat ini? Apa kamu masuk ke rumah ini tanpa izin?!" tukas Adnan.
[§ Tolong jangan salah paham. Hamba ini tentu saja sudah mendapat izin, bahkan permintaan untuk melanjutkan masak dari orang yang sedang memasak sebelumnya. Hamba ini bukan orang yang akan melakukan sesuatu tanpa izin. §]
"Be—begitu rupanya. Jadi Trenia sudah memberikannya izin" sahut Adnan.
Syuhada meminta Pochi untuk mendekat dengan gerakan simbolik lengannya. Lebih tepatnya meminta Pochi mendekatkan telinganya karena ia hendak membisikkan sesuatu. Dan Pochi menurutinya dan membungkukkan tubuhnya.
"Ada apa?" tanya Adnan kepada mereka.
[§ Ini privasi Master dan hamba ini. Jadi hamba ini mohon untuk tidak bertanya lebih jauh. §]
"O—oh... benar juga" sahut Adnan.
Kemudian mereka bertiga pun masuk ke dalam rumah. Di dalam, mereka langsung menuju ke meja makan. Dan memanglah benar, semuanya sudah tertata rapi. Mulai dari makanan, hingga semua piring dan sendok, sudah siap di atas meja.
"Tapi kita harus menunggu yang lainnya kembali dulu. Aku juga harus membakar ikan-ikan ini dahulu. Tidak akan enak jika hanya dengan sayuran, kan?" ujar Adnan menunjuk ke arah ikan yang menancap di bambu runcingnya.
[§ Kalau begitu biarkan hamba ini membantu. §]
"Memangnya kamu bisa membakar ikan? Membakar ikan itu tidak semudah kelihatannya lho. Salah-salah, semuanya bisa gosong" ucap Adnan memperingatkan.
[§ Mohon ajari hamba ini kalau begitu. §]
"Oh, anak muda yang pantang menyerah ya" sahut Adnan.
Keduanya pun berlalu ke arah dapur, meninggalkan Syuhada sendirian di ruang makan. Syuhada pun memilih kembali ke ruang tamu dan duduk di bangku kayu sendirian. Setidaknya itu yang akan dilihat orang karena sebenarnya ada sebuah buku putih yang melayang di hadapannya dengan halaman terbuka.
"Jadi, bisakah kalian jelaskan kenapa ada yang bisa melihat Pochi?" tanya Syuhada kepada buku putihnya dalam hati.
「Perlu diketahui kalau saat ini {Al-Kahf} sedang menggunakan boneka.」
"Boneka? Apa maksud kalian?" tanya Syuhada lagi belum mengerti dalam hatinya tampak sedikit terkejut.
「{Al-Kahf} bisa membuat dirinya berwujud di dimensi ini dengan menggunakan sebuah boneka. Kamu bisa menyebutnya jasad.」
"Jasad? Maksud kalian tubuh fisik?" terka Syuhada dalam hatinya.
「Tepat sekali.」
"Tapi kalau begitu, darimana dia bisa mendapatkan jasad? Apalagi yang sama persis dengan sosoknya" gumam Syuhada dalam hatinya sedikit kebingungan.
「Jawabannya adalah Original Elf, ‹Ardh Gaia Motherland›.」
"Hah? Apa maksud kalian? Apa hubungannya dengan Ardh?" tanya Syuhada dalam hatinya semakin bingung.
Namun kali ini ia tak mendapatkan jawaban.
Syuhada melirik ke arah dapur karena ia bisa mencium aroma daging ikan yang matang dipanggang. Aroma yang membuat Syuhada hampir-hampir meneteskan liurnya. Yang tentu saja membuat perutnya keroncongan bersuara dengan cukup keras.
"Sudah lama aku tak makan ikan. Biasanya Ardh hanya menangkap kelinci atau ayam hutan untukku karena kami jarang lewat dekat perairan sebelum sampai ke mari. Tapi sekarang akhirnya aku bisa makan ikan lagi" ujar Syuhada dalam hatinya merasa sangat bersyukur.
****
Ketika Syuhada, Adnan dan Telia ditinggal di ruang tamu oleh Donan dan Louis, ketiganya mengobrolkan sesuatu. Namun Syuhada tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat dua orang di sebelahnya terkejut dan mempertanyakan jati diri Syuhada sebenarnya. Syuhada terdiam dan tak pernah mengatakan sepatah kata pun lagi setelahnya.
"Harus menjawab apa aku!? Apa kalau aku katakan kalau aku orang biasa, mereka akan percaya? Tidak akan, kan? Lagipula mana ada orang biasa yang bisa memiliki seorang perempuan cantik berpenampilan penyihir dan seorang butler berwajah ambigu sebagai pelayannya!" gumam Syuhada dalam hatinya kebingungan.
"Siapa saja, tolong pecah kecanggungan ini!!!" lanjut Syuhada menjerit dalam hatinya.
「Maaf, tapi kami tak bisa ikut campur dalam urusan The One Who Have Guidance secara langsung.」
"Iya juga sih! Kalau begitu siapa dong yang bisa bantu!?" tambah Syuhada dalam hatinya yang semakin panik.
[§ Hamba datang untuk membantu Master. §]
Pochi tiba-tiba muncul dengan tak diketahui asal dan waktu datangnya, sehingga semua orang terkejut karena seakan butler itu muncul begitu saja dari udara kosong. Adnan dan Telia tak kuasa menjerit secara reflek.
"Pochi! Kamu telah kembali! Syukurlah!" ucap Syuhada dalam hati.
[§ Kalau boleh hamba tahu, tugas apa yang harus hamba kerjakan, Master? §]
Pochi menundukkan kepala sambil berlutut di depan Syuhada.
"Uwah... hanya perasaanku, atau Pochi sekarang jadi makin berlebihan? Kenapa coba pakai berlutut segala? Biasanya kan dia cuma membungkuk" gerutu Syuhada dalam hatinya.
Syuhada memberi isyarat dengan tangannya supaya Pochi mendekat. Pochi pun mendekat dan seolah tahu niat Syuhada, Pochi menyodorkan telinga kanannya ke arah anak laki-laki yang terkaget ketika disodorkan telinga oleh butler tersebut.
Dibalik rambut hitam sebahunya, ternyata telinga Pochi tampak sangat bersih seolah tak pernah terkena debu. Apalagi ketika menyibak rambutnya, Syuhada juga bisa mencium wangi suatu bunga dari rambut Pochi. Membuat Syuhada semakin mempertanyakan jenis kelamin Pochi sebenarnya.
"Setelah memiliki jasad, aku jadi bisa mencium aroma tubuhnya dengan jelas. Ini aroma yang wangi, tidak seperti Ardh yang menenangkan, aroma entah kenapa membuatku... bersemangat?" komentar Syuhada dalam hatinya yang tak tahan untuk terus mencium wangi itu.
[§ Master? §]
"Ah, aku lupa aku harus mengatakan sesuatu padanya! Aku harus menahan diriku. Menciumi aroma tubuh itu tidak sopan, itu tidak boleh!" tegas Syuhada dalam hatinya menggerutui dirinya sendiri.
Syuhada kemudian mulai membuka mulutnya.
"Pochi, bisakah kamu mewakiliku berbicara? Saat ini Ardh tak ada di sini, jadi aku membutuhkan perantara" pinta Syuhada berbisik ke telinga Pochi.
[§ Tentu saja, Master. Tapi mungkin hamba takkan bisa melakukannya sebaik original elf. §]
"Tak apa, yang penting setidaknya aku bisa mengobrol tanpa harus berbicara" jawab Syuhada.
[§ Jika itu memang yang Master ingin. §]
Pochi kemudian kembali menegakkan tubuhnya dan kini menoleh ke arah Adnan dan Telia.
[§ Hamba ini akan menjadi perantara antara Master dengan kalian ketika berbicara. Mulai dari sini, yang hamba ini katakan adalah perkataan dari Master hamba. Silakan tanyakan apapun yang kalian ingin pertanyakan. §]
"Pe—perantara!? Kenapa mesti pakai perantara?" tanya Adnan.
[§ Master berkata, "Saya adalah orang yang pemalu. Rasa malu dan gugup saya telah membatasi kemampuan berbicara dan penjelasan saya. Daripada perkataan saya menimbulkan kesalah-pahaman serta keresahan akibat tak mampunya saya menyampaikan penjelasan saya dengan baik, maka lebih baik saya memakai perantara yang juga bisa menjelaskan dan menerjemahkan maksud saya sebenarnya agar supaya tidak terjadi perselisihan dan permusuhan antara kedua belah pihak." §]
"Itu sungguh penjelasan yang sangat detail. Apa benar anak ini yang mengatakan itu semua? Kalau memang benar, maka itu berarti anak ini memiliki kemampuan berbicara layaknya orang dewasa meskipun penampilannya masih anak kecil" komentar Adnan.
[§ Master menanggapi. Master berkata, "Saya pernah mengalami berbagai situasi tertentu yang mengharuskan saya berbicara dan menangani masalah orang dewasa. Akibat terus memperhatikan semua hal itu, maka saya mungkin saja terpengaruh oleh hal-hal tersebut." §]
"Maaf, kalau boleh aku tanya, apa kamu ini adalah seorang bangsawan atau semacamnya? Dari yang aku dengar, hanya seorang bangsawan atau saudagar kaya saja yang bisa memiliki seorang pelayan" tanya Telia.
[§ Master menjawab, "Saya hanyalah orang biasa. Sama seperti kalian orang biasa. Hanya saja kebetulan, orang biasa ini bertemu dengan orang-orang yang dengan senang hati membantu. Meski secara sepihak mereka menyebut diri mereka sebagai pelayan dari saya yang orang biasa ini." §]
"Oh... entah kenapa aku merasa mengerti, tapi di saat yang bersamaan juga tidak mengerti" ujar Telia.
[§ Master berkata, "Apabila tak ada lagi yang dipertanyakan, maka izinkan saya untuk memperkenalkan diri saya dengan lebih baik. Nama saya adalah Syuhada. Syuhada yang berasal dari Syin-Ha-Da, bahasa elf kuno. Lalu, asal dan siapa orang tua saya, sayang sekali saya tidak mengetahuinya. Saya adalah seorang pengembara, atau orang kota lebih memilih menyebut saya anak jalanan atau gelandangan karena penampilan dan kondisi ekonomi saya." §]
"Jadi dengan kata lain kamu ini hanyalah orang biasa, yang kebetulan bertemu dengan orang-orang baik yang bersedia membantu namun mereka cukup aneh karena menyebut diri mereka sebagai pelayanmu ketika membantumu?" tukas Adnan.
[§ Master menjawab, "Tidak keliru, namun kurang tepat." §]
"Hmm... aku tidak mengerti maksudmu, nak. Tapi jika memang itu tidak keliru, jadi pastinya aku tidak terlalu meleset kan?" ujar Adnan.
[§ Master berkata, "Kakek itu memiliki kemampuan pengamatan yang tajam, jadi ikuti saja kata hati kakek." §]
"Oh, jadi kamu bahkan menyadari itu. Kamu benar-benar bukan sekedar anak biasa. Tak pernah ada anak kecil yang mampu menyadari itu. Bahkan anak serta cucuku sendiri saja tak menyadari kemampuanku itu" ungkap Adnan sambil mengelus janggutnya.
[§ Master menjawab, "Saya ini pendiam. Namun sebagai gantinya, saya banyak mengamati dan mendengarkan." §]
"Orang yang buta bisa mendengar lebih tajam, kah?" ucap Adnan.
[§ Master menjawab, "Ya, kira-kira sama seperti itu." §]
Sambil Pochi mengatakan itu, terlihat Syuhada mengangguk.
[§ Master melanjutkan, "Tentang masalah keluarga kakek, kalau boleh saya ikut campur, mungkin saya bisa membantu." §]
"Tidak, tidak usah repot-repot. Kamu ini adalah orang luar, kami tidak mungkin melibatkanmu dalam masalah pribadi kami, nak" tolak Adnan.
[§ Master berkata, "Masalah pribadi yang kakek bilang, dari yang saya amati tidak hanya akan berdampak pada keluarga kakek saja. Saya tidaklah buta. Saya bisa melihat kemana ini akan berujung. Masalah ini akan segera menjadi masalah bersama, dalam artian masalah semua orang di desa ini jika ini terus berlanjut." §]
"Jadi dia juga menyadarinya!? Tidak, lebih tepat kalau aku menyebutnya memprediksinya. Ia mampu membaca situasi sangat jauh ke depan untuk anak seusianya. Sebenarnya masalah sepelik apa yang ia hadapi di masa lalunya?" pikir Adnan sedikit terkejut.
"Tapi meski kamu mengatakan kalau kamu berniat membantu, tapi itu tak seperti kamu sudah memiliki solusinya kan?" tukas Adnan kemudian.
[§ Master menjawab, "Saya takkan menawarkan bantuan apabila saya belum memiliki solusinya." §]
"Apa maksudnya itu? Jangan bilang dia memiliki informasi yang tak diketahui olehku" terka Adnan dalam hatinya.
[§ Master menambahkan, "Apa kakek lupa produk apa yang hendak diekspor ke kota?" §]
"Apel? Memangnya kena—" sahut Adnan namun kemudian tersentak.
"Benar juga, itu apel. Apel bukanlah buah yang mampu bertahan lama. Sekali dipanen, paling kuat itu hanya bisa bertahan beberapa hari sebelum membusuk. Apalagi kalau kulitnya sudah dikupas, paling cuma bisa bertahan beberapa jam saja" lanjut Adnan dalam benaknya baru menyadarinya.
[§ Master kembali menambahkan, "Dengan ini kita sudah memiliki solusinya sejak awal. Kita bisa membongkar benar atau tidaknya niat menjual produk tersebut ke kota yang jaraknya sekitar beberapa minggu dari sini itu." §]
"Tapi Louis memiliki peti pendingin. Sebuah item ajaib dari kota yang bisa menyimpan banyak barang sekaligus lebih dari yang terlihat dari luarnya" ungkap Telia.
"Apa!? Ada item semacam itu? Benarkah manusia sudah bisa menciptakan item semacam itu?" tanya Syuhada dalam hatinya.
Syuhada menoleh ke arah Pochi. Namun Pochi menggelengkan kepalanya seolah tahu maksud tatapan Syuhada.
"Benar juga, Pochi tidak mungkin memberikan izin penggunaan penyimpanan seenaknya. Dia itu [Divine Item]. Tak mungkin dia melakukan sesuatu yang akan dimurkai oleh The Creator of All Creations" lanjut Syuhada dalam hatinya sambil bernapas lega.
Syuhada kemudian menatap ke arah buku putih yang sedari tadi melayang di hadapannya.
"Sepertinya hanya kalian yang bisa kutanyai saat ini. Biasanya kalian akan menjawab meski aku tak bertanya langsung pada kalian. Tapi kenapa sekarang kalian begitu diam?" tanya Syuhada dalam hatinya.
「Silakan tanyakan apapun. Selama The One Who Have Guidance dikehendaki untuk mengetahuinya, maka kami akan menjawabnya.」
"Jadi dengan kata lain, aku bisa bertanya apapun selama aku diizinkan oleh The Creator untuk mengetahui jawabannya. Baiklah kalau begitu, mari kita tanyakan sekarang juga" ungkap Syuhada dalam hatinya.
"Apa manusia memang sudah dapat membuat sesuatu seperti yang dijelaskan oleh ibunya Trenia?" tanya Syuhada dalam hatinya.
Terjadi keheningan singkat saat pertanyaan itu dilontarkan.
「Ya dan tidak.」
"Ya dan tidak!? Apa maksudnya?" sahut Syuhada dalam hatinya.
「...」
"Diam ini... mereka menyuruhku untuk mencari tahu sendiri apa maksudnya kah?" duga Syuhada dalam hatinya.
「Gunakan kebijaksanaanmu. Putuskan keputusanmu, The One Who Have Guidance.」
****