Chapter 9

Is It All About Apples?

Pochi Infinite Paradoxia, atau Divine Item {Al-Kahf} adalah sebuah storage atau penyimpanan yang kemudian diizinkan untuk memiliki wujud manusia. Namun wujud manusia itu hanyalah sebuah wujud. Hanyalah sosok khayal yang membentuk manusia. Sehingga karena ia hanyalah sebuah representasi dari dimensi, maka ia tak bisa disentuh atau menyentuh apapun dengan wujud manusianya itu. Namun ia masih bisa mempengaruhi berbagai hal disekitarnya dengan wewenangnya sebagai dimensi.

Meski begitu, dalam dirinya, dia menginginkan untuk bisa menyentuh Masternya. Ia ingin bersentuhan dengan orang yang menjadi tuannya. Dia tak hanya ingin mempengaruhi hal disekitarnya dengan keinginannya, namun juga ia ingin menyentuhnya langsung seperti makhluk lain pada umumnya.

Keinginan itu semakin besar dan semakin berkembang. Sampai ia mencoba berbagai hal pada Masternya layaknya sedang menggoda Masternya tersebut.

Namun tentu saja ia akan mendapatkan penghalauan dari Ardh yang merasa cemburu karena orang yang disayanginya terus digoda oleh orang lain. Meskipun jenis kelamin Pochi masihlah ambigu, entah ia laki-laki ataukah perempuan.

Dan ketika mereka sedang berdua di dapur kediaman keluarga Woodson untuk memasak, keduanya saling berbincang-bincang.

"Kalau boleh aku tanya, kenapa kamu terus melakukan itu?" tanya Ardh.

[§ Itu? Itu apa maksud original elf? §]

"Itu… kamu kan terus melakukan hal-hal yang seolah sedang mencoba menggoda tuan Hada seperti perempuan genit!" tegas Ardh.

[§ Perempuan genit? Hamba ini? §]

"Ya, aku tahu jenis kelaminmu masih belum jelas. Tapi kelakuanmu itu lho! Bisakah kamu tidak terlalu genit seperti itu?" ungkap Ardh.

[§ Kalau begitu biar hamba bertanya kepada original elf, apakah original elf bisa menahan diri ketika berhadapan dengan Master? §]

"Ah?!" ucap Ardh tersadar akan sesuatu.

[§ Tidak bisa, bukan? Maka hamba ini juga sama seperti original elf. Hamba tak bisa menahan diri kepada Master. Pengabdian, membuat hamba ini ingin melayani Master dengan sebaik-baiknya. Hamba ini akan menggunakan apapun kalau bisa untuk menyenangkan hati Master. Apa original elf mengerti perasaan itu? §]

Mata Ardh langsung berbinar-binar ketika mendengar ungkapan perasaan Pochi itu. Ia pun kemudian menganngguk-anggukan kepalanya tanda setuju.

[§ Tapi original elf sangatlah beruntung. §]

"Beruntung? Beruntung kenapa?" tanya Ardh bingung.

[§ Karena original elf memiliki wujud yang bisa bersentuhan dengan Master. Original elf bisa menyentuh Master kapan saja. Berbeda dengan hamba ini, yang tak bisa menyentuh maupun disentuh oleh Master. §]

Pochi mengatakan itu sambil melihat ke telapak tangannya. Kemudian ia menggerakan telapak tangannya itu untuk menyentuh sebuh wadah, namun tentu saja ia tak bisa menyentuhnya. Lengannya itu hanya menembus wadah itu tanpa memberikan pengaruh sedikitpun pada wadah tersebut maupun isinya.

Ardh yang melihat hal itu pun sadar betapa pentingnya perasaan bisa menyentuh sesuatu. Menyentuh bukan hanya sekedar menempelkan sebagian kecil diri kita ke suatu objek. Namun menyentuh adalah sebuah simbol hubungan. Simbol keterhubungan dan ketersambungan. Dengan bisa menyentuh sesuatu, kita akan merasakan kalau diri kita memiliki sebuah ikatan dengan sesuatu hal tersebut. Dan Ardh menyadari itu ketika melihat telapak tangannya dan membayangkan dirinya menyentuh Syuhada.

"Ketika menyentuh tuan Hada. Aku merasa… diriku terhubung dengannya. Sentuhan adalah salah satu cara menjalin hubungan. Itu benar, tidak bisa menyentuh apapun pastilah rasanya sangat kesepian. Apalagi tak bisa menyentuh orang yang berharga bagi kita, itu rasanya sangat… pedih" gumam Ardh dalam hati sambil tampak merenung.

[§ Sudah hamba ini duga. Memang mustahil. Mungkin hanya sebatas ini saja hamba ini bisa melayani Master. Hamba hanyalah sebuah penyimpanan. §]

Mendengarnya, Ardh pun merasa sedih. Sebagai orang yang sama-sama melayani majikan yang sama, Ardh merasa kalau kata-kata yang dilontarkan oleh Pochi terasa sangat menyedihkan.

"Jangan berkata begitu! Tuan Hada akan sedih jika sampai mendengarnya! Kamu bukan hanya sekedar sebuah penyimpanan. Sekarang kamu sudah memiliki kesadaran. Kesadaran layaknya seperti aku dan tuan Hada. Jadi, kamu juga adalah makhluk. Makhluk yang memiliki perasaan dan pikiran. Jadi jangan samakan dirimu dengan objek. Jangan merendahkan dirimu, Pochi! Jika kamu melakukan itu, apa yang akan dirasakan oleh tuan Hada?" bentak Ardh.

[§ Tapi perlu original elf ketahui, hamba ini memanglah sebuah objek. Apa original elf lupa? Hamba ini adalah Divine Item, Pocket Dimension {Al-Kahf}. Hamba adalah sebuah item. §]

Pochi melihat ke arah Ardh sambil tersenyum dan memejamkan matanya.

"T—tapi, sekarang kamu sudah memiliki wujud! Kamu sudah punya kesadaran! Kamu berhak untuk bisa merasakan yang aku rasakan!" tegas Ardh

[§ Hamba ini rasa itu tidak mungkin, original elf. Hamba ini akan tetap menjadi Divine Item mau seberapa keras pun usahanya. Wujud ini tetap takkan bisa menyentuh apapun. §]

Ardh hanya bisa menggigit kukunya mendengar perkataan Pochi itu.

"Bagaimana cara aku membantunya? Kalau hanya dengan kata-kata saja, akan sulit untuk meyakinkannya. Tapi aku juga tak punya cara lain untuk bisa menyelesaikan masalahnya itu. Bagaimana aku bisa membuatnya dapat menyentuh?" gumam Ardh dalam hati.

Ketika sedang menggigiti kukunya, ia menyadari sesuatu. Ia berhenti menggigit kuku dan kemudian melihat ke telapak tangannya. Lalu ia melihat ke tubuh Pochi.

"Kalau tidak salah tubuhnya dibentuk dari dimensi, kan? Ia memanipulasi dimensi dan membentuknya jadi seperti tubuh manusia. Namun karena itu adalah sebuah dimensi, maka ia tak bisa menyentuh dengan itu. Karena dimensi adalah dimensi. Bukan bentuk fisik. Maka ia tak bisa menyentuh fisik. Yang bisa menyentuh fisik hanyalah fisik. Karena itu yang harus aku lakukan adalah…" pikir Ardh dalam renungannya.

Ardh kemudian berhenti menyiapkan bahan masakan. Ia meletakan pisau di tangannya dan mulai melangkah menuju ke pintu keluar.

"Ikuti aku" pinta Ardh.

Karena Pochi diperintahkan untuk membantu Ardh oleh Syuhada, maka ia pun mengikuti permintaan dari Ardh tersebut.

Ardh keluar dari rumah melalui pintu belakang yang memang langsung tersambung ke dapur. Nampak ketika Ardh harus membuka pintu untuk keluar, Pochi hanya menembus pintu itu karena ia memang bisa melakukannya. Setelah di luar, mereka terus melanjutkan jalan menuju ke tempat sepi di belakang rumah. Tepatnya di belakang kandang sapi milik keluarga Woodson.

"Sepertinya di sini cukup aman. Tcuh!" ucap Ardh yang kemudian meludah ke tanah.

[§ Apa yang original elf lakukan? §]

Pochi terlihat bingung dengan kelakuan Ardh yang tiba-tiba saja meludah di hadapannya.

"{Wahai The Creator of All Creations, izinkanlah hambaMU ini untuk menggunakan kuasa yang telah diberikan kepada hamba}" rapal Ardh dengan bahasa elf kuno.

Kemudian, tak lama setelahnya, muncul mencuat ke permukaan sebuah pucuk kecil tanaman. Pucuk kecil itu tumbuh menjadi besar, membentuk sebuah tanaman mirip tanaman bunga. Bunga kuncup dengan kelopak hitam, bunga yang berukuran besar seakan itu adalah monster yang pemakan daging. Namun yang ini tampaklah hanya sebuah bunga. Karena setelahnya, bunga itu benar-benar mekar.

"{Tumbuhkanlah sebuah tubuh. Tubuh yang indah. Tubuh yang layak untuk mengabdi kepada orang yang kusayangi}" tambah Ardh memberi perintah kepada tanaman di hadapannya itu.

Perlahan di tengah bunga itu tumbuh membesar sebuah buah. Buah yang lebih mirip seperti kelopak bunga lain yang menguncup. Kemudian perlahan bunga itu mulai menunduk. Semakin lama semakin tertunduk rendah, dan tak lama kemudian buahnya merekah terbuka dan memuntahkan sesosok tubuh.

[§ Tubuh ini? Jasad fisik? Elf pula. Original elf, hamba ini bertanya apa gerangan yang original elf rencanakan? §]

"Aku akan memberikan jasad ini untukmu" jawab Ardh.

[§ … §]

Pochi terdiam.

Ia menoleh ke arah jasad yang tergeletak di depannya. Jasad elf berambut hitam. Dan seperti elf generasi selanjutnya yang lain, terlihat telinganya yang panjang. Bentuk tubuhnya tak lain adalah sama dengan bentuk tubuhnya, meski untuk beberapa bagian tak nampak jelas karena tertutup lendir pekat berwarna putih.

[§ Maksud original elf dengan memberikannya kepada hamba ini, itu apa? §]

"Kamu masih belum mengerti juga? Aku memberikannya padamu, ya artinya aku berikan itu padamu!" jawab Ardh mencoba menjelaskan.

[§ Hamba ini tahu hal itu. Hamba ini bukanlah orang bodoh. Yang hamba ini maksud adalah maksud dalam artian tujuan original elf memberikannya itu apa? §]

"Kenapa masih bertanya? Tentu saja supaya kamu bisa menyentuh tuan Hada. Bukankah itu yang kamu inginkan?" ungkap Ardh.

Mata Pochi terbuka lebar. Ia terbelalak. Itu menunjukkan kalau ia benar-benar terkejut dan tak menyangka hal itu sama sekali. Tapi setelahnya, Pochi kembali tenang dan tersenyum seperti biasanya.

[§ Hamba ini bingung. Bukankah original elf selalu marah ketika hamba ini mencoba menyentuh Master bahkan ketika hamba ini tak bisa menyentuhnya? §]

"Sekarang sudah berbeda!" tegas Ardh.

[§ Berbeda? Apakah gerangan yang berbeda itu? §]

"Karena sekarang aku tahu tujuanmu adalah untuk membahagiakan tuan Hada, dan bukan hanya untuk kesenanganmu sendiri! Sekarang juga aku tahu bagaimana perasaanmu, dan aku mengerti! Aku mengerti keinginan untuk menyentuh orang yang kusayangi! Aku mengerti rasa sepi dari tak bisa menyentuh orang yang kusayangi! Itulah yang berbeda sekarang!" jelas Ardh dengan tegas.

[§ … §]

"…"

[§ Dimengerti. §]

Pochi tersenyum semakin dalam dan terlihat wujudnya mulai memudar. Dan tepat ketika matanya terpejam, wujudnya pun benar-benar lenyap.

"P—Pochi!? K—kamu pergi kemana?" panggil Ardh terkejut melihat Pochi menghilang.

Namun tak ada jawaban yang datang. Wujudnya pun tak kunjung menampakkan diri lagi.

"Pochi!!" panggil Ardh lebih keras.

Tapi tetap saja tak ada jawaban.

"G—gawat! Apa dia terlalu merasa bahagia dan tak lagi memiliki penyesalan, dan akhirnya kembali ke sisi The Creator!?" tukas Ardh dengan wajah panik.

[§ Original elf menganggap hamba ini semacam hantu ya? §]

Suara Pochi terdengar lagi. Ardh kebingungan karena suara itu terdengar berasal dari jasad yang tergeletak di depannya.

"P—Pochi, a—apakah itu kamu?" tanya Ardh kepada jasad yang masih tergeletak itu.

[§ Hamba ini mengonfirmasi kalau hamba ini memanglah Pochi Infinite Paradoxia. §]

Perlahan mata jasad itu terbuka, menunjukkan mata Pochi yang seperti biasanya. Yaitu mata gelap yang memiliki lingkaran cincin bercahaya layaknya potret lubang hitam yang berjalan secara real-time.

[§ Mengendalikan sebuah jasad itu benar-benar sulit. §]

Pochi terlihat kesulitan untuk menggerakan tubuhnya.

[§ Hamba ini bingung. Bagaimana caranya menggerakan kaki dan tangan hamba? Bagaimana cara mengangkat tubuh hamba? §]

Pochi kemudian pasrah dan memejamkan matanya.

[§ Wahai The Creator of All Creations, ajarkanlah kepada hamba cara untuk mengendalikan tubuh ini. §]

"Dia berdoa pada The Creator? Memangnya akan langsung dijawab begitu saja?" komentar Ardh dalam hatinya.

[§ Begitu rupanya. Baiklah, hamba mengerti. §]

"Langsung dijawab?! Lebih dari itu, jawaban secara langsung pula!" ujar Ardh dalam hatinya terkejut.

[§ Mengendalikannya secara langsung memang sulit. Tapi mengendalikan dengan manipulasi dimensi itu lain lagi. §]

Perlahan tubuh itu melayang dan lalu berdiri tegak di tanah. Kemudian ia menaruh sebelah tangannya di pinggulnya seolah berpose.

[§ Seperti sepotong kue. §]

Setelah mengatakan itu ia melirik ke arah Ardh yang menatapnya sambil tersenyum dan bertepuk tangan.

"Wah hebat! Hebat!" ucap Ardh.

[§ Original elf, hamba ini membutuhkan pakaian. §]

"Ah, benar juga. Tapi sayangnya aku juga tak memiliki pakaian lebih" balas Ardh yang juga bingung tentang itu.

[§ Bukankah pakaian manusia itu terbuat dari kapas? §]

"Benar sekali. Darimana kamu tahu?" sahut Ardh lalu bertanya balik karena penasaran.

Pochi tak menjawab dan hanya terus tersenyum. Lalu tak lama kemudian, muncul lah pakaian yang langsung terpakai oleh Pochi. Pakaian khas butler sama persis dengan yang biasa Pochi kenakan.

[§ Selesai. Bagaimana menurut original elf? §]

"Hah? B—bagaimana cara kamu melakukannya? Hanya mengetahui bahannya saja tidak bisa menjadikanmu bisa membuat pakaian" tanya Ardh yang terkejut melihat kejadian itu.

[§ Sayangnya hamba memang mengetahui cara pembuatannya juga. Ketika hamba mengumpulkan informasi semalam, hamba juga mendapatkan pengetahuan cara membuat pakaian dari pembuat pakaian di desa ini. §]

"I—itu curang! Aku saja mesti belajar selama setahun untuk bisa mengetahui cara membuatnya. Belum lagi cara mewarnainya dan mempelajari desainnya. Sementara kamu bisa melakukannya dalam sekejap!? Itu sangat curang!" bentak Ardh jadi kesal.

[§ Tapi tenang saja, original elf. Kalau Master menginginkan dibuatkan pakaian, maka hamba ini akan menyarakankan original elf pada Master. §]

"Kalau gitu tidak apa-apa. Khukhukhu~" sahut Ardh sambil menepuk-nepuk punggung Pochi.

Ketika berdiri bersebelahan, terlihat kalau Pochi ternyata lebih pendek darinya. Karena biasanya ia terbang, perbedaan itu jadi tak nampak. Namun karena ia berdiri di atas tanah maka semua itu jadi terlihat jelas.

"Kalau dia lihat dirimu saat ini, pasti dia akan terkejut" ujar Ardh.

[§ Original elf? §]

"Ya, ada apa?" sahut Ardh pada panggilan Pochi.

[§ Bisakah original elf lakukan sesuatu pada telinga hamba ini? Rasanya aneh jika hamba ini memiliki telinga next generation elf. §]

"Benar juga sih. Sebelumnya telingamu telinga manusia kan kalau tidak salah?" balas Ardh menerka.

[§ Tepat sekali. §]

"Kalau begitu mari kita lihat apa yang bisa aku lakukan. Apa aku masih bisa merubahnya setelah jadi?" gumam Ardh lalu menyibak rambut Pochi.

Mencuat keluarlah telinga Pochi yang sebelumnya tertutup rambut hitam sebahunya.

"{Wahai jasad yang tercipta dari kuasaku, patuhilah perintahku. Ubahlah bentuk telingamu ke bentuk telinga manusia.}" ujar Pochi.

[§ … §]

Namun setelah sekian lama menunggu tak kunjung ada perubahan.

"Sepertinya gagal. Aku memang tak bisa mengubah-ubah bentuknya setelah jadi. Setelah menjadi jasad makhluk, maka itu sudah diluar kuasaku lagi sepertinya. Hanya The Creator of All Creations lah yang berhak mengubahnya sekarang" ungkap Ardh.

[§ Sepertinya memang begitu. §]

Pochi pun memutuskan untuk menutup telinganya itu kembali dengan rambutnya. Rambut hitamnya yang tebal itu pun bisa menutup telinganya dengan sempurna seperti sebelumnya.

"Tuan Hada pasti akan benar-benar terkejut saat melihatmu" komentar Ardh.

[§ Tenang saja. Master takkan menyadari perubahan yang berarti kecuali fakta kalau hamba ini memiliki tubuh fisik sekarang. Hamba ini punya beberapa trik dibalik lengan bajunya. §]

"Kamu kira kamu seorang penyihir?" tukas Ardh.

[§ Kemampuan hamba ini memang akan selalu disalah-artikan sebagai sihir. §]

"Kamu benar juga sih" sahut Ardh setelah memikirkannya lagi.

[§ Mari kita kembali ke dalam, original elf. §]

"Ah iya, kita kan mau masak. Ayo kita cepat kembali!" ajak Ardh.

Ardh buru-buru berlari masuk kembali ke dapur melalui pintu belakang. Pochi yang mengikutinya dari belakang, kepalanya malah kepentok pintu. Suara benturannya cukup keras hingga membuat Ardh yang sudah sampai di dapur berbalik lagi dan membuka pintu. Terlihat saat ini Pochi terduduk di tanah sambil mengusap kepalanya yang terbentur.

"Ah, maaf! Aku kebiasaan langsung menutup pintu setelah masuk atau keluar. Kamu tidak apa-apa?" tanya Ardh yang tampak menyesal dan khawatir dengan keadaan Pochi.

[§ Tidak, ini bukan salah original elf. Hamba ini lah yang terlalu terbiasa nembus apapun hingga hamba ini lupa kalau sekarang hamba ini sudah memiliki tubuh fisik. Hamba ini mengonfirmasikan kalau hamba ini tidak apa-apa. Hanya rasa sakit di kepala yang sebentar lagi juga akan hilang. Tenang saja. §]

Setelah mendengar penjelasan Pochi yang panjang itu akhirnya Ardh pun menghembuskan napas lega.

"Pokoknya sekarang kamu harus lebih hati-hati ya. Soalnya tubuh fisik itu bisa terluka dan bisa rusak. Meski setelah terisi ruh seharusnya bisa memperbaiki sendiri, tapi itu terbatas pada kemampuan regenerasi dan penyembuhan tubuh itu sendiri. Ingat itu!" tegas Ardh memperingatkannya.

[§ Hamba ini mengerti, original elf. §]

Setelah mengatakan itu, Pochi pun kembali bangkit dan ia melihat kalau pakaiannya jadi kotor saat ini. Melihat pakaiannya yang berdebu, Pochi menepuk-nepuknya untuk mengenyahkan semua debu yang menempel di pakaiannya.

Lalu mereka berdua pun masuk kembali ke dapur. Kali ini Ardh memastikan Pochi masuk duluan supaya dia tidak melukai dirinya lagi kalau misalkan ia lupa lagi.

****

Di kios yang sudah berhasil di bangunnya, Pochi tampak terus tersenyum sambil memegang dagu dan berpose seperti orang yang sedang berpikir dengan keren.

[§ Ya, sepertinya hamba ini memang harus lebih berhati-hati lagi. §]

Pochi bergumam karena mengingat kejadiaan beberapa waktu yang lalu.

Tak lama kemudian, muncul bayangan besar di tanah yang menimpa tepat ke kios Pochi. Semua orang terlihat merasa ngeri. Keterkejutan dan syok tampak jelas di ekspresi wajah mereka. Itu karena mereka melihat pemilik bayangan tersebut. Yaitu, seekor banteng raksasa yang tampak melayang di udara.

"Mo—monster!"

"Monster banteng?! Tapi kenapa dia bisa terbang!!?"

"Tunggu sebentar, ada yang aneh."

"Hei monster itu kelihatannya sudah mati!"

"Jasad monster terbang!?"

"Tidak, lihatlah baik-baik! Ada seorang perempuan yang sedang mengangkatnya!"

"Ah, itu bukannya tamunya Adnan!?"

"Penyihir tamunya Adnan!?"

"Hebat! Dia bisa mengalahkan monster sebesar itu! Tapi kenapa dia membawanya kemari?"

Setelah semua komentar dari warga masyarakat desa itu, tampak jasad banteng api kaisar itu dibawa turun oleh orang yang mengangkatnya. Yang tentu saja itu adalah Ardh, yang sebelumnya memang memburu banteng api kaisar untuk dibawa kemari.

"Maaf membuatmu menunggu lama, Pochi!" sapa Ardh sambil menurunkan jasad monster banteng itu di tempat jagal tertutup yang memang telah disiapkan di belakang kios.

[§ Tidak masalah. Dan hamba ini menyarankan original elf untuk membersihkan diri. §]

"Ah, benar juga. Sebentar…" sahut Ardh.

Kemudian terlihat ada angin yang berhembus keluar dari tubuh Ardh yang meniup bersih semua debu, darah, dan berbagai kotoran lainnya dari tubuh dan pakaiannya.

[§ Benar-benar sangat praktis sekali. Terima kasih untuk inspirasinya. §]

Pochi membungkuk.

"Eh, ah, sa—sama-sama, kurasa…" balas Ardh yang jadi bingung.

[§ Sebelumnya hamba ini harus meminta maaf, tapi apa boleh hamba ini meminta sesuatu pada original elf? §]

"Ya, boleh saja. Apa itu?" tanya Ardh.

[§ Tolong jaga kios ini dan tolong proses semua dagingnya juga sendiri dulu selama hamba ini pergi. §]

"Ya, aku bisa melakukannya. Memangnya kamu mau kemana sih?" tanya Ardh lagi penasaran.

[§ Master sedang dalam masalah. Hamba ini harus segera kembali ke sisi Master dan membantu Master. §]

"Apa!? Tuan Hada sedang dalam masalah!? Kalau begitu aku saja yang pergi!" ujar Ardh ketika mendengar majikannya disebut dalam masalah.

[§ Tidak, original elf tak perlu ikut. Hamba ini saja sendiri sudah cukup. §]

"Tapi aku tak mungkin diam saja ketika tuan Hada dalam masalah! Kamu mengerti itu kan, Pochi?" tegas Ardh.

[§ Hamba ini sangat mengerti itu. Namun hamba ini tak bisa membiarkan original elf ikut. §]

"Kenapa!?" bentak Ardh.

[§ Karena jika original elf ikut, siapa yang akan memproses semua bagian jasad monster itu menjadi berbagai macam material? Yang memiliki semua pengetahuan itu saat ini hanyalah original elf. Apa original elf ingin usaha kita menjadi sia-sia? Apa original elf ingin kalau keinginan Master untuk ikut dalam festival jadi gagal? §]

"Tentu saja tidak!" jawab Ardh.

[§ Kalau begitu solusinya memang cuma satu. Kita membagi tugas. Hamba ini yang akan membantu Master dengan kembali ke sisinya, sementara original elf membantu Master dengan tetap di sini. Dengan begitu, semuanya akan tetap berjalan lancar. Bukan begitu? §]

"Tapi… tetap saja kalau aku tak langsung hadir di sampingnya, aku…" ujar Ardh dengan wajah cemas.

[§ Percayalah kepada hamba ini. Bukankah sebelumnya original elf sudah bilang kalau sudah percaya kepada hamba ini? §]

Ardh pun teringat dengan kejadian sebelumnya dan sadar hal yang dimaksud oleh Pochi saat ini. Kemudian Ardh pun berpikir sejenak.

"Baiklah! Aku akan percaya padamu. Lagipula aku juga bisa meminta angin dan bumi untuk mengawasi kalian. Itu mudah saja bagiku mengintervensi dari sini" ungkap Ardh sambil tersenyum.

[§ Terima kasih atas pengertian dan kepercayaannya. §]

Pochi membungkuk dan tiba-tiba saja hanya dalam sekejap sosoknya menghilang.

"Caranya menghilang itu, apa dia tak bisa lebih… normal? Tapi bisa menghilang bukan suatu yang normal sih" gerutu Ardh dalam hati.

Ardh berbalik menghadap ke jasad monster banteng yang sudah dalam keadaan tersembelih itu. Darahnya pun tampak sudah terkuras kering dan siap diproses.

"Saatnya bekerja, kurasa" ucap Ardh sambil melenyapkan jubah dan topinya ke udara.

Dan angin pun mulai berhembus di sekitarnya.

****

Syuhada tampak sedang bersantai di teras kayu depan rumah sambil duduk di sebuah kursi kayu dengan sebuah meja kecil di sampingnya. Di seberangnya terlihat Trenia juga sedang duduk di kursi kayu yang bermodel sama.

"Jadi, bagaimana keadaan Ardh dan Pochi saat ini?" tanya Syuhada dalam hati pada buku putih yang melayang di depannya.

「Terkonfirmasi. ‹Ardh Gaia Motherland› sedang memburu monster banteng api kaisar, {Bullion}. Lalu, ‹Pochi Infinite Paradoxia› sedang mencari kayu sebagai bahan membuat kios.」

"Begitu rupanya. Lalu bagaimana dengan paman kepala desa bernama Louis itu?" tanya Syuhada lagi dalam hati.

「…」

"Terdiam, hah. Meski aku bisa mengetahui kebohongan dan isi pikiran orang lain, tapi untuk yang ini aku masih tidak boleh, kah? Aturan yang aneh. Tapi masuk akal" komentar Syuhada dalam hati.

Syuhada kemudian melirik ke arah Trenia yang ada di sebelah kanannya.

"Aku hanya bisa membaca pikiran dari orang yang berada pada jarak penglihatanku. Juga aku harus memiliki keinginan untuk mengetahui pikirannya. Begitu pula dengan pembaca kebohongan. Jadi aku tidak akan bisa menyalahgunakannya untuk mengintip privasi orang secara berlebihan" lanjutnya masih dalam hati.

"Ah, Syu melihat ke arahku. M—malunya…" ucap Trenia dalam hatinya sambil memalingkan muka.

Yang tentu saja terdengar oleh Syuhada.

"Ah, aku melakukannya lagi" ucap Syuhada dalam hati.

Syuhada kemudian menatap buku putihnya lagi.

"Apa aku bisa menghubungi Ardh dan Pochi dari sini? Semacam pembicaraan jarak jauh gitu" tanya Syuhada lagi dalam hati.

「Bisa.」

"Hah!? Bisa!?" sahut Syuhada dalam hati terkejut.

「Ya.」

"Ya aneh sekali aku mesti terkejut, lagipula kemampuan mereka berdua semuanya diluar nalar sih. Ah, lalu bagaimana caranya aku bisa mengubungi mereka?" tambah Syuhada dalam hati.

「Untuk ‹Ardh Gaia Motherland›, mintalah kepada alam untuk menyampaikan pesanmu padanya. Untuk ‹Pochi Infinite Paradoxia›, gunakan hak kuasamu atasnya.」

"Hmm… untuk Ardh aku bisa mengerti sedikit. Tapi yang untuk Pochi, maksudnya menggunakan hak kuasa itu apa?" tanya Syuhada dalam hati lebih jauh.

「Cobalah untuk meminta menggunakan penyimpanan dimensi, maka kamu akan mengerti.」

"Baik, akan kucoba" sahut Syuhada dalam hati.

Syuhada pun mencobanya. Dia menginginkan untuk mengambil belati dari penyimpanannya. Lalu tiba-tiba muncul panel berisi tulisan di penglihatannya.

| Apa Master yakin? Hamba rasa Master sedang tak membutuhkannya saat ini. |

"Uwaahh! Apa ini? Apa tulisan ini adalah kata-kata dari Pochi!?" komentar Syuhada dalam hatinya terkejut melihat panel yang belum pernah dilihatnya itu.

「Tepat sekali.」

"Begitu rupanya, aku mengerti sekarang." sahut Syuhada dalam hati bernapas lega.

Syuhada pun membatalkan keinginannya untuk mengambil belatinya.

| Hamba senang dengan kebijaksanaan Master. Silakan panggil hamba lagi kalau Master membutuhkan sesuatu. |

Kedua panel itu pun menghilang setelahnya.

"Ini sedikit mengerikan. Itu artinya aku akan tetap bisa menghubungi mereka tanpa kenal jarak dan waktu. Meski untuk yang Ardh, aku belum mencobanya sih. Mungkin akan kucoba lain kali" gumam Syuhada dalam hati.

Dan dari hal itu juga ia jadi sadar alasan Pochi bisa langsung muncul tepat ketika ia membutuhkannya sebagai perantara bicaranya sebelumnya. Bahkan bisa mengemukakan setiap yang ingin disampaikannya dengan sempurna seakan bisa membaca pikirannya. Setelah menyadari itu, Syuhada pun langsung menelan ludah.

"Aku harus berhati-hati dalam memikirkan sesuatu mulai saat ini" ujar Syuhada dalam hatinya.

Syuhada tak sadar kalau Trenia terus memperhatikannya sejak tadi. Trenia memperhatikan semua tingkah dan perubahan ekspresi wajahnya. Namun bukannya merasa aneh, Trenia malah senyum-senyum ketika memperhatikan itu.

"Huhuhu~ perubahan ekspresinya terlihat lucu sekali. Kira-kira apa ya yang sedang ia pikirkan?" gumam Trenia dalam hatinya.

"Ah aku lupa ada dia di sebelahku" ujar Syuhada dalam hati yang masih bisa mendengar perkataan dalam hati Trenia.

Syuhada pun jadi gugup dan mulai berkeringat. Ia juga jadi ragu untuk berbuat apapun, ketika tahu kalau semua reaksinya tentu akan diperhatikan oleh Trenia. Syuhada perlahan melirik ke arah Trenia. Namun ketika mata mereka saling bertemu, Trenia langsung memalingkan wajahnya lagi.

"Ah, Syu melihat ke arahku lagi!? Dia melihatku lagi! K—kenapa? Apa dia menyadari tatapanku?" pikir Trenia.

"Tidak, maaf. Bukan tatapanmu yang sebenarnya aku sadari" ujar Syuhada dalam hati.

"A—apa dia masih melihat ke sini?" tanya Trenia dalam hatinya.

Mendengar itu, Syuhada langsung memalingkan mukanya juga karena malu.

「Canggung sekali.」

"Kenapa kalian mesti berkomentar di saat seperti ini!?" protes Syuhada dalam hatinya.

Trenia perlahan menolehkan wajahnya dan melirik lagi ke arah Syuhada.

Sementara itu di dalam, Adnan, Donan, dan Telia sedang melakukan pembicaraan yang serius. Tentu saja ini tentang masalah penjualan apel ke ibukota. Sambil bicara, mereka tampak duduk di kursi di ruang tamu dengan posisi Adnan duduk sendiri, sementara Donan dan Telia duduk di kursi di seberang meja.

"Apa kalian benar-benar yakin hendak menjual apel ke ibukota?" tanya Adnan dengan serius.

"Ya, ayah. Mau sampai kapanpun ayah tetap menanyakannya, jawabannya akan tetap sama" sahut Donan yang juga nampak serius.

"Baiklah jika memang keputusanmu sudah bulat. Meskipun sebenarnya banyak hal mencurigakan tentang kesepakatan yang diajukan oleh Louis, karena kamu sudah yakin dengan keputusanmu, maka aku akan menghormatinya. Sebagai ayah, aku hanya mencoba mengingatkanmu, supaya kamu tak salah langkah. Masalah kamu menerimanya atau tidak, itu diluar kuasaku" ungkap Adnan.

"Ya, ayah. Terima kasih atas perhatiannya" balas Donan.

"Ayah, yang ayah maksud mencurigakan itu kalau aku boleh tahu, itu apa?" tanya Telia.

"Kalian tahu kalau desa ini sangat jauh dari kota kan?" tanya balik Adnan.

"Masalah itu lagi, bukannya sudah dijelaskan kalau Louis memiliki penyimpanan dingin yang bisa menjaga apel-apel kita tetap segar selama perjalanan?" tukas Donan.

"Kalau itu aku juga sudah tahu. Tapi harusnya kalian sadar, kalau tak ada jalan yang menghubungkan desa ini keluar. Hanya ada jalan yang terhubung ke beberapa tempat penting di sekitar desa. Selain dari itu hanya jalan setapak yang semu yang digunakan para pemburu" jelas Adnan.

"Ayah benar. Bagaimana caranya Louis membawa apel kita keluar tanpa jalan?" sahut Telia yang lumayan mengerti maksud Adnan.

"M—mungkin saja Louis punya sebuah jalan rahasia" ujar Donan.

"Itu malah lebih aneh lagi. Bagaimana bisa ada jalan rahasia menuju ke desa? Siapa yang membuatnya? Dan apa alasan sampai harus jalan itu dirahasiakan?" balas Adnan.

"K—kalau itu…" sahut Donan bingung menyanggahnya.

"Lalu bagaimana sekarang? Kesepakatan sudah terlanjur terjalin bukan?" tanya Telia.

"Untuk masalah itu, mungkin sebaiknya kita serahkan pada anak itu dan dua pelayannya. Sepertinya dia sudah tahu harus berbuat apa" jawab Adnan.

"Anak itu? Maksud ayah anak yang jadi tamu ayah?" tanya Donan.

"Ya, dia" sahut Adnan.

"Anak itu, sebenarnya dia siapa? Apa dia anak kenalan ayah? Sepertinya ayah akrab sekali dengannya" tanya Donan lagi penasaran.

"Kenapa? Kamu cemburu?" tukas Adnan.

"Cemburu? Buat apa? Aku sudah bukan anak kecil lagi" bantah Donan.

"Hahaha! Begitu ya! Ya… aku akrab dengannya bukan karena aku kenal dengannya. Tapi karena dia adalah saudaraku" ungkap Adnan.

"Saudara? Dengan ayah!?" sahut Donan terkejut.

"Hahaha! Kenapa kamu kaget gitu? Tidak, ini tidak seperti dugaanmu. Dia bukan saudara seperti itu. Melainkan dia saudara sekeyakinanku. Dia juga adalah hamba dari The Creator" jelas Adnan.

"Oohh… gi— tunggu, dia juga pemuja The Creator? Anak semuda itu??" balas Donan terkejut mengetahui itu.

"Memangnya kenapa? Itu sama sekali tidak aneh kan? Lagipula Trenia juga sama" protes Adnan.

"Trenia begitu karena doktrin ayah padanya sejak kecil!" tukas Donan.

"Apa maksudmu dengan doktrin!? Aku hanya menjelaskan kebenaran saja padanya!" tegas Adnan.

"Sudah-sudah, kalian jangan bertengkar! Bukankah kita tidak sedang membahas itu sekarang? Pembicaraan kalian terlalu melebar!" lerai Telia dengan tegas.

Keduanya pun kembali tenang. Namun setelahnya mereka sama-sama diam dan tak lagi saling bicara satu sama lain. Tak ada dari mereka juga yang mau untuk membuka pembicaraan baru. Pembicaraan antara mereka pun terhenti saat itu.

Hingga tiba-tiba saja…

"Kakek! Ayah! Ibu! Paman Louis sudah datang lagi!" ucap Trenia yang membuat pintu dengan tampak tergesa-gesa.

"Mari kita lihat, apa yang dimiliki oleh Louis hingga ia yakin bisa membawa semua apel itu" gumam Adnan sambil bangkit dari tempat duduknya.

Donan dan Telia pun mengikuti Adnan. Dan mereka bertiga keluar dari rumah disusul oleh Trenia di belakang mereka. Sesampainya di luar, nampaklah sebuah kereta kuda yang terkesan mewah untuk standar orang desa seperti mereka. Kereta kuda terparkir dengan posisi miring 45° seolah sudah disengaja. Di dekat kereta kuda itu, tampak Louis yang sedang berbicara dengan kusirnya. Dan ketika Louis menyadari kalau keluarga Woodson sudah keluar, maka ia pun menghentikan pembicaraan itu dan langsung menghampiri mereka.

"Maaf membuat kalian menunggu. Tapi karena kereta kudaku, tentunya itu tak terasa terlalu lama, bukan?" ujar Louis menyapa sambil membanggakan kereta kudanya tersebut.

"Itu memang kereta kuda yang lumayan bagus. Aku heran bagaimana bisa kamu mendapatkannya?" balas Adnan sambil mengelus janggutnya.

"Hahaha! Tentu saja aku mengimpornya dari kota!" jawab Louis.

"Meskipun itu bukan kata yang tepat, tapi melihat dari betapa yakinnya ia ketika mengatakannya, sepertinya ia tidak sedang berbohong. Tapi bagaimana caranya dia melakukannya?" gumam Adnan dalam hatinya bertanya-tanya.

Ia melirik ke arah Syuhada yang juga ada di sana, dan nampak tak ada reaksi darinya.

"Kalau begitu aku akan bertanya lagi, bagaimana cara kamu… mengimpornya? Kamu sadar kita tak punya jalan sebesar itu kan?" tanya Adnan lagi.

"K—kalau itu tak usah dipermasalahkan, kan? Yang penting sekarang kalian bisa lihat kalau aku bisa membawa apel ke kota dengan cepat!" bentak Louis.

"Dia menyembunyikan sesuatu" duga Adnan dalam hati.

"Jadi, sekarang dimana apelnya?" tanya Louis mengalihkan pembicaraan.

Semua orang kemudian melirik dan menoleh ke arah Syuhada.

"Celaka, semuanya sudah dibawa oleh Pochi. Dan karena bukan aku yang menyimpannya, aku ragu aku bisa mengambilnya" pikir Syuhada.

"Ah, bukankah di tempat penyimpanan kita juga ada? Kenapa tidak coba muat yang itu terlebih dahulu. Bukankah masalahnya di sini adalah apakah penyimpanan milik paman Louis mampu memuat banyak apel atau tidak? Dan bukan apel yang mana atau siapa? Jadi yang mana saja boleh kan?" ujar Trenia memotong.

"Bagus, Trenia! Kerja bagus!" puji Syuhada karena telah membantunya.

"Iya juga sih, akan lama juga kalau harus memetik mereka terlebih dahulu. Mending yang ada dan dekat saja dulu" ungkap Louis.

"Kalau begitu, aku dan Donan akan segera mengangkutnya ke sini. Kamu dan Trenia tetaplah di sini bersama Syuhada" pinta Adnan kepada menantunya.

"Baik, ayah" sahut Telia.

Adnan dan Donan pun langsung buru-buru ke dalam rumah. Mereka mulai mengangkut dan mengeluarkan apel-apel di penyimpanan mereka. Di mulai yang ada di dalam karung, hingga yang ada di dalam sebuah peti penyimpanan yang tampak berserabut jerami.

Semuanya berhasil dikeluarkan, dan semuanya berjumlah 10 karung dan 1 peti besar.

"Hanya segini? Kecil" ujar Louis dengan nada meremehkan.

Louis pergi ke dalam kereta kudanya, dan ketika keluar, terlihat dia membawa sebuah peti jinjing berwarna putih. Peti itu memiliki ukuran yang cukup besar, namun tak terlalu besar untuk jadi tak bisa dibawa kemana-mana. Ukuran volume peti itu dari luar adalah sekitar 150×50×50 centimeter.

Louis meletakan peti itu di depan Syuhada dan keluarga besar Woodson.

"Ini dia, peti ajaib pendingin. Peti ini bisa menyimpan apapun selama tidak sama atau melebihi ukurannya. Dan dalam jumlah yang banyak melebihi ukuran sebenarnya. Sepertinya aku harus memperlihatkan kemampuannya sendiri supaya kalian percaya" ujar Louis kemudian menghampiri sebuah karung.

Louis mengangkat karung berisi apel itu dan kemudian menuangkan isinya ke dalam peti pendinginnya yang memang sudah terbuka. Semua apel di karung itu pun sudah tertuang semuanya ke dalam peti. Tapi meski sudah tertuang semuanya, tak ada tanda-tanda menumpuk seolah ada lubang yang dalam di peti tersebut. Louis kemudian menuangkan karung ke dua, ke tiga, ke empat, hingga yang terakhir. Dan keadaan peti itu tetap sama. Tak ada tanda-tanda kalau peti itu akan segera penuh.

"Apa maksudnya ini? Itu bukan penyimpanan dimensi seperti Pochi kan?" terka Syuhada dalam hatinya.

「Bukan.」

"Kalau begitu, bagaimana bisa begitu?" tanya Syuhada dalam hati.

「Itu sihir. Sihir manipulasi informasi ruang dan sihir es skala sangat rendah.」

"Sihir!? Baik, aku mengerti kalau untuk sihir es, tapi tolong jelaskan apa itu sihir manipulasi informasi ruang" pinta Syuhada dalam hati.

「Itu adalah sejenis sihir untuk memanipulasi informasi tinggi, lebar, serta panjang suatu ruang.」

"Penjelasan awamnya" pinta Syuhada lagi dalam hati karena belum mengerti.

「Sihir adalah alat untuk menipu.」

"Ya, aku tahu itu" jawab Syuhada dalam hati.

「Dan sihir tersebut menipu dan membuat ruangan jadi terasa lebih luas dari semestinya. Sihir itu tidak memperbesar ruangan itu sendiri, melainkan menipu dengan informasi palsu seolah ruangan itu lebih besar daripada yang terlihat. Karena informasi luar tidak ikut termanipulasi, dan hanya informasi dalam. Maka beratnya pun hanya akan diperbandingkan dengan berat berdasarkan informasi luarnya. Dengan kata lain, takkan ada perubahan berat yang berarti meski jumlah benda yang dimasukkan melebihi yang terlihat dari luar.」

"Itu luar biasa. Namun, bukankah itu bahaya?" tukas Syuhada dalam hati.

「Memang berbahaya. Apabila benda yang informasi ruangnya dimanipulasi mengalami kerusakan hingga hancur. Maka setiap benda di dalamnya akan langsung dipaksa menerima informasi ruang sebenarnya. Dalam artian dari luas menjadi sempit atau sebaliknya. Akibatnya akan terjadi kekacauan informasi pada objek yang ada di dalamnya juga. Apabila itu penyempitan, maka itu sama saja dengan mencoba membuat sebuah peledak.」

"Tunggu, jadi jika peti dihadapanku ini rusak, maka semua apel di dalamnya akan berubah menjadi sebuah ledakan apel?" terka Syuhada dalam hatinya.

「Tidak seimut itu. Tergantung massa benda yang ada di dalam, ledakannya bisa saja sampai menghancurkan rumah di belakangmu juga.」

"Itu mengerikan! Aku harus segera menghentikannya!" ucap Syuhada dalam hatinya dengan panik.

Tapi ketika ia mencoba untuk menghentikan itu, tiba-tiba saja mulutnya terhenti. Mulutnya yang sudah terbuka hendak mengatakan sesuatu, kembali menutup rapat. Ia mengurungkan niatnya dan memilih untuk diam.

"Meski aku mengatakannya, kemungkinan takkan ada yang percaya. Aku membutuhkan Ardh untuk menjelaskan tentang sihir pada mereka kalau mau mereka mempercayainya. Soalnya mereka kenal Ardh sebagai "nona penyihir" atau semacamnya kan" pikir Syuhada setelah mengurungkan niatnya.

Dari dahinya mengucur keringat dingin.

Louis terlihat sudah selesai memasukan semua apel yang ada di dalam peti juga ke dalam peti penyimpanannya. Dan tampak petinya masih belum penuh juga.

"Hahahaha! Lihat! Apa aku bilang! Ini masih muat! Peti ini luar biasa!" tegas Louis dengan sangat bangga.

Kemudian ia melirik ke arah Syuhada.

"Jadi mana sisanya? Yang katanya tiga ratus ribu berapa lah. Mana?" tanya Louis sambil menatap tajam lepada Syuhada.

Syuhada menggelengkan kepalanya.

"Hah!? Apa maksudnya itu? Jangan bilang kalau selama ini kalian hanya bohong dan apel sebanyak itu sebenarnya tak ada? Hahaha! Iya juga sih, mana mungkin juga bisa sampai tumbuh sebanyak itu kan? Hahahaha!" tukas Louis.

"Apel itu memang ada. Aku sendiri saksinya. Kamu tahu aku tak pernah berbohong bukan?" tegas Adnan memberi kesaksian.

"Kalau gitu cepat bawa kemari kalau memang ada!" suruh Louis dengan membentak.

Adnan menoleh ke arah Syuhada. Syuhada kembali menggelengkan kepalanya.

"Apa maksudnya gelengan kepalanya itu?" tanya Louis mulai makin kesal.

"Mungkin maksudnya dia menolak memberikannya" jawab Adnan.

"Tch, kenapa memangnya kita butuh izinnya? Ayo kita cepat ke kebun dan panen saja sekarang" ajak Louis.

"Tidak bisa. Di kebun sudah tak ada apel lagi saat ini" jawab Adnan.

"Apa!? Kalau gitu kalian memang bohong soal apel itu!" tukas Louis lagi.

"Tidak, kami tidak bohong. Hanya saja semuanya sudah dipanen oleh salah satu pelayan dari nak Syuhada. Dan saat ini semua apelnya masih ada padanya" jelas Adnan.

"Apa lagi itu coba? Bagaimana dia bisa membawa apel sebanyak itu bersamanya?" ucap Louis yang tak mengerti.

"Entahlah. Aku juga tidak tahu" sahut Adnan.

"Tch, merepotkan! Cepat panggil pelayanmu itu kemari!" suruh Louis pada Syuhada.

Syuhada menggelengkan kepalanya.

"Panggil sekarang, anak kepar◦t!" bentak Louis.

Syuhada tetap menggelengkan kepalanya.

"Bangs◦t!" pekik Louis sambil menendang wajah Syuhada dengan telapak kakinya.

Tubuh Syuhada pun terpental ke belakang dan terseret beberapa meter di tanah sebelum berhenti.

"Syu!!!" jerit Trenia yang langsung menghampirinya.

Syuhada didudukkan oleh Trenia. Louis mencoba untuk menghampiri Syuhada dan kembali menyerangnya. Namun Adnan mencegatnya untuk menghalangi niatnya itu.

"Yang kamu lakukan itu berlebihan, Louis Sullenfield" tegas Adnan.

"Minggir kau kakek tua!" pekik Louis.

"Oh, kamu mau bertarung denganku?" tanya Adnan sambil tersenyum.

Meski terlihat seperti senyuman normal, tapi senyuman itu bagi Louis terasa sangat berat dan penuh intimidasi. Membuat dia terpaksa mundur dan mengurungkan niatnya.

"Jadi di mana apel-apelnya, sialan!!!" jerit Louis ke arah langit.

[§ Ada di sini. §]

Dari belakang Syuhada, terlihat sosok butler yang tampak berdiri sambil memegang sebuah apel di tangan kanannya.

"Pochi, kenapa kamu kemari?" tanya Syuhada dalam hati.

Meski tanpa menoleh, Syuhada tahu kalau itu adalah Pochi.

"M—muncul dari mana kau barusan!?" tanya Louis yang terkejut.

Pochi tentu saja tak menjawab pertanyaannya.

"Tch, masih tetap sama ya. Tapi itu tidak penting sih, cepat keluarkan semua apelnya sekarang!" suruh Louis.

[§ Maaf, tapi yang bersangkutan tidak memiliki hak untuk memerintah hamba ini. §]

"Apa!?" sahut Louis terkejut.

[§ Tapi ambil ini terlebih dahulu. §]

Pochi melemparkan apel di tangannya ke arah Louis dengan lemparan ayunan ke atas membuat apel itu terlempar melambung. Arah pandang Louis pun terfokus ke apel itu untuk menangkapnya.

[§ Bukan yang itu. §]

Ternyata di saat yang sama Pochi sudah maju ke depan Louis dan tinjunya sudah berada tepat di depan wajah kepala desa itu.

Dan seketika, tinju itu pun mendarat dengan sangat keras di wajah Louis hingga mementalkan tubuh Louis terputar-putar di udara sebelum jatuh ke tanah.

[§ Hamba bilang ambil ini, kan? §]

Pochi mengatakannya sambil tersenyum dan menunjuk ke arah tinjunya yang digunakan untuk memukul Louis tadi. Kemudian dia kembali membukakan telapak tangan kanannya yang mengepal itu dan apel yang tadi dilemparkannya pun mendarat dengan presisi di sana dan berhasil tertangkap sempurna.

"B—bajing◦n…" umpat Louis sambil berusaha bangkit lagi.

Louis kembali berdiri dan mulai berbalik menghadap ke arah Pochi.

"Kurang ajar kau, berani-beraninya kau memukul kepala desa!" bentak Louis merasa geram.

[§ Jadi yang bersangkutan ini desa? §]

"Bukan! Kenapa kamu berpikir begitu?" protes Louis.

[§ Tadi yang bersangkutan mengatakan kalau hamba ini berani memukul kepala desa karena telah memukuk kepala yang bersangkutan. §]

"Tidak! Maksudku itu, kepala kepala desa!" tegas Louis.

[§ Itu sungguh tuduhan yang kejam. Satu-satunya kepala desa yang hamba ini pukul baru lah yang bersangkutan saja. §]

"Hah!? Kenapa jadi kesana?" tanya Louis bingung.

"Mungkin karena kamu bilang, "kepala kepala desa", yang juga bisa diartikan sebagai kepala desa dalam bentuk jamak" jelas Adnan.

"Tch, jangan melawak denganku, bajing◦n! Jangan jadikan aku duo lawak dengamu!" pekik Louis yang baru sadar dan merasa malu sendiri.

[§ Oh begitu. Kalau begitu sayang sekali. Hamba ini akan mulai serius sekarang. §]

Seketika, setelah perkataan itu selesai, tanah di bawah kaki Louis langsung lenyap. Tanah pijakannya seakan musnah dan berubah menjadi lubang yang amat dalam dan gelap dengan diameter sekitar 2 meter.

Rasa syok tentu langsung tergambar di wajah Louis. Gravitasi langsung menarik tubuhnya tanpa ia sempat bereaksi apapun. Ia hanya bisa melihat Pochi yang menatapnya rendah sambil terus jatuh ke bawah.

"Berhenti, Pochi" ucap Syuhada.

Pochi pun memejamkan matanya dan menjertikkan jarinya.

Seketika tanah itu kembali normal dan sosok Louis muncul melayang 1 meter di udara sebelum jatuh ke permukaan tanah yang tak lagi jadi lubang itu.

Louis bernapas berat dan penuh keringat. Ia masih mencoba mencerna hal gila yang baru saja terjadi padanya. Ia pun menoleh ke arah Syuhada dalam posisi merangkak. Syuhada ternyata sudah berjongkok di depannya.

[§ "Mari kita bicarakan lagi tentang apel ini" kata Master dengan serius. §]

****