Chapter 11

Something Amiss About That Apple's Trade

Perkumpulan serius kembali terjadi di ruang tamu kediaman keluarga Woodson. Kali ini adalah pembicaraan khusus antara Syuhada yang diwakilii oleh Pochi sebagai perantara, dengan sang kepala desa, Louis Sullenfield. Mereka tampak duduk saling berhadapan di kursi yang ada di ruang tamu itu dan hanya terpisahkan oleh sebuah meja kayu kecil. Pochi berdiri di belakang Syuhada, sementara yang lainnya berdiri di samping mereka bertindak sebagai saksi.

"Ja—jadi apa yang hendak kita bicarakan lagi?" tanya Louis.

"Beruntunglah Pochi sudah kembali. Jika tidak, maka aku akan bingung bagaimana caranya aku akan bisa beradu argumen dengan paman ini" gumam Syuhada dalam hati.

[§ Master menjawab, "Tentang kesepakatan penjualan apel, tentu saja." §]

"Kesepakatan apa? Masalah itu bukannya sudah beres? Lagipula itu bukan urusa—" protes Louis yang terhenti ketika sadar akan sesuatu dan lalu melirik ke arah Pochi.

Namun tak ada yang aneh dari tatapan Pochi, seperti biasanya wajahnya selalu tersenyum ramah tanpa perubahan ekspresi sedikit pun.

[§ Master mengungkapkan, "Saya tahu ini sebenarnya bukan urusan saya. Namun keadaan mewajibkan saya untuk ikut campur." §]

"K—keadaan macam apa maksudmu?" tanya Louis dengan lebih hati-hati menjaga nadanya.

[§ Master menjelaskan, "Dengan tidak adanya kejelasan cara pendistribusian, maka sulit untuk sebuah kesepakatan bisa mendapatkan titik temu. Karena kepercayaan haruslah terjalin dari yang namanya sebuah kesepakatan. Apabila salah satu pihak menutupi suatu rahasia dari bagian kesepakatan, maka pihak tersebut tidaklah bisa dipercaya. Dan kesepakatan akan terbatalkan." §]

"Hah? K—kenapa bisa begitu?" sahut Louis tidak begitu mengerti.

"Anak ini, dia bahkan bisa memiliki pengetahuan mendalam tentang kesepakatan kerjasama. Hidup macam apa yang telah dilaluinya selama ini?" pikir Adnan.

[§ Master menanyakan, "Memangnya anda bersedia untuk bersepakat dengan orang yang tak anda percaya?" §]

"Tentu saja tidak! Memangnya aku bodoh!?" tegas Louis.

[§ Master menjawab, "Ya, sepertinya anda sudah mengerti." §]

"L—lalu apa yang harus kulakukan supaya aku mendapatkan kepercayaanmu?" tanya Louis dengan sopan.

[§ Master menjawab, "Itu tak begitu sulit. Anda hanya perlu mengatakan darimana anda mendapatkan peti penyimpanan itu?" §]

"A—aku sudah mengatakannya. Aku mendapatkannya dari koneksiku ke kota" jawab Louis.

"Dia tidak berbohong" komentar Syuhada dalam hati.

[§ Master kembali bertanya, "Koneksi anda? Jadi anda tidak secara langsung mendapatkannya dari kota?" §]

"…"

Louis tampak terdiam tak bisa menjawab. Atau mungkin tak mau menjawab.

[§ Master lebih serius bertanya, "Kenapa diam saja? Padahal tinggal jawab ya atau tidak saja." §]

"…"

"Mana mungkin aku mau menjawabnya, dasar bodoh! Aku lebih baik diam daripada rahasiaku terbongkar pada anak ingusan sok ikut campur sepertimu!" gerutu Louis dalam hatinya.

"Jadi itu semacam rahasia, ya?" terka Syuhada dalam hati.

[§ Master berkata, "Ya sudah kalau memang tak mau mengatakannya. Saya akan mengganti pertanyaan saya kalau begitu." §]

"Bukankah itu sudah cukup? Aku sudah menjawab semua pertanyaanmu. Jadi, bagaimana dengan kesepakatannya?" keluh Louis.

[§ Master menegaskan, "Jawaban anda masih lah ambigu. Itu sama sekali tidak meyakinkan saya untuk mempercayai anda. Sayang sekali. Karena itu, pertanyaan selanjutnya…" §]

"B—baiklah" sahut Louis menurut saja.

"Dasar bocah menyusahkan! Merepotkan saja!!" gerutu Louis lagi dalam hatinya.

[§ Master melanjutkan, "Bagaimana cara anda mendapatkan peti itu?" §]

"P—peti itu diantarkan hingga ke tanganku" jawab Louis.

[§ Master menambahkan, "Dari mana ke mana?" §]

"Dari kota hingga ke tanganku" jawab Louis lagi.

[§ Master kembali menambahkan, "Lewat mana?" §]

"Lewat jalan yang aman lah" tegas Louis.

"Hingga saat ini aku tak mendeteksi kebohongan dalam perkataannya. Jadi dengan kata lain dia menjawab jujur. Atau bisa jadi dia memang tak jujur, namun jawabannya juga tak berbohong?" pikir Syuhada dengan keras.

Syuhada kemudian menatap ke arah buku putihnya yang sedari tadi hanya melayang-layang tanpa berbicara sepatah kata pun kepadanya sejak beberapa saat tadi.

"Pertanyaannya sudah selesai kan!? Sekarang kesepakatannya sudah bisa diterima kan?" protes Louis yang sudah tak sabar.

[§ Master menegaskan, "Selesai atau tidaknya saya bertanya, itu tergantung saya. Tolong berhenti mengatur sesuatu yang tak seharusnya anda atur-atur." §]

Saat itu Pochi mengatakannya sambil membenarkan posisi sarung tangannya. Hal itu membuat Louis menjadi waspada karena secara reflek ia berpikir kalau Pochi sedang bersiap untuk melakukan sesuatu dengan membenarkan sarung tangannya itu.

[§ Master melanjutkan, "Jadi, yang anda maksud dengan jalan aman itu, apakah itu maksudnya jalan yang tak ada monster ataupun binatang buasnya?" §]

"T—tentu saja. Memangnya apa lagi? Kalau bukan jalan yang seperti itu, maka semua barang-barang itu takkan sampai ke mari dengan selamat" jawab Louis.

"Itu memang benar. Tanpa jalur pengiriman yang aman, kurir juga takkan mau untuk mengirimkan barangnya. Terlebih lagi ke tempat terpencil seperti desa ini. Sama sekali tak sebanding dengan resiko yang harus ditanggungnya" gumam Adnan dalam hati.

[§ Master kembali berkata, "Anda memang benar sekali." §]

"Ah… akhirnya sudah selesai kah" duga Louis dalam hatinya.

[§ Master menjawab, "Tapi ini belum selesai." §]

"Apa!? Masih belum selesai juga!!??" protes Louis.

[§ Master menambahkan, "Masih ada yang membuat saya bingung. Desa ini tak memiliki jalan darat ke luar desa yang mungkin bisa dikatakan aman sepenuhnya. Kalau begitu, apa mungkin anda menggunakan jalan lain selain jalan darat?" §]

"M—maksudmu kereta kuda ini datang dari langit!? Diterbangkan dari kota gitu!? J—jangan gila! Itu mustahil untuk dilakukan!" tukas Louis dengan tegas.

[§ Master membalas, "Kenapa anda langsung menduga ke sana? Sebelum menuduh ke yang jauh, bukankah anda harusnya menyadari metode transportasi yang lain yang masih mungkin untuk dilakukan manusia biasa?" §]

"Maksud nak Syuhada melalui air?" terka Adnan.

Syuhada mengangguk membenarkan.

[§ Master menjawab, "Ya. Tepatnya melalui aliran sungai. Seperti yang diketahui, sungai di sini memiliki anugerah dari The Creator of All Creations untuk tak dihuni oleh hewan buas dan monster. Menjadikan sungai tersebut adalah rute paling aman untuk mengirimkan barang dari kota menuju desa ini." §]

"Jadi maksudmu adalah mereka mau susah-susah melawan arus cuma untuk mengirim barang ke desa terpencil ini!? Jangan bercanda!" tukas Louis lagi.

[§ Master berkata dengan tegas, "Jangan tanyakan saya! Bukankah anda lah yang berbisnis dengan mereka? Kenapa mereka tidak bersedia untuk sedikit berkorban kalau menurut mereka bisnis ini sangat menguntungkan seperti yang anda klaim?" §]

"…"

Louis pun tertegun tak bisa menjawab.

[§ Master kembali menambahkan, "Dan dari perkataan anda tadi, sepertinya memang klien anda berada di hilir sungai. Saya tak tahu apa memang ada kota di hilir sungai ini, tapi karena saya menghormati anda dan percaya anda berkata jujur, maka mungkin memang ada kota di hilir sungai ini. Karena memang biasanya manusia cenderung memilih untuk hidup di dekat sumber air. Kalau begitu sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana cara anda mengirimkan apel-apel itu ke klien anda? Apa anda memiliki perahu atau semacamnya?" §]

"Y—ya, tentu saja! Aku adalah kepala desa di sini! Aku pasti memiliki berbagai hal yang orang-orang desa biasa tidak memilikinya!" ungkap Louis.

"Hmm… aku merasakan kalau dia sedang berbohong. Kalau begitu dia tidak memiliki perahunya. Jadi bagaimana dia bisa yakin kalau dia bisa mengangkut barangnya saat ini juga?" gumam Syuhada dalam hatinya bertanya-tanya.

Syuhada mencoba untuk berpikir sejenak.

[§ Master menduga, "Apakah mungkin kalau anda sudah membuat perjanjian sebelumnya dengan klien anda?" §]

"A—apa?" sahut Louis sedikit terkejut.

[§ Master menjelaskan, "Semacam kesapakatan yang anda sanggupi dimuka bahkan sebelum memastikan kalau hal yang disebutkan dalam kesepakatan tersebut sudah tersedia atau belum. Anda mengerti maksud saya bukan?" §]

"T—tentu saja aku mengerti. Aku bukan orang bodoh" sahut Louis.

[§ Master menambahkan, "Kalau begitu, itu artinya saat ini, tepat saat kita berbicara, seseorang sedang menunggu untuk mengantarkan barangnya ke klien anda. Karena itu lah anda begitu terburu-buru ingin membawa semua apel itu pagi ini juga." §]

"K—kalau itu…" ujar Louis mencoba beralasan.

[§ Master menambahkan lagi, "Tapi jika begitu, itu artinya anda berniat membawa semua apel itu dalam kondisi yang berbahaya." §]

"Berbahaya? Berbahaya apa maksudmu, nak Syuhada?" tanya Adnan.

[§ Master menjawab, "Pertama, apel ini jumlahnya sangat banyak sekali dan kita tak tahu batas kapasitas kotak penyimpanan ajaib itu. Kedua, kita tak tahu apa yang akan terjadi apabila kotak ajaib itu kelebihan kapasitas atau bahkan mengalami kerusakan. Ketiga, terlalu beresiko apabila melakukan transaksi tanpa adanya saksi dari pihak ketiga." §]

"Hmm… itu benar. Ditambah ini transaksi skala besar. Melakukan semua itu tanpa saksi dan mediasi untuk memastikan kelegalan dan kesahan transaksi tersebut akan beresiko membuat suatu pihak mengalami yang namanya penipuan" ungkap Adnan setuju setelah mendengarkan penjelasan Syuhada.

"Lalu di mana masalahnya!? Orang kenalanku itu adalah seseorang berjabatan tinggi! Dia tidak mungkin menipuku! Dan transaksi ini juga sudah pasti legal!" tegas Louis dengan sangat yakin.

[§ Master menegaskan, "Jabatan bukan sebuah jaminan kalau orang tersebut adalah orang yang jujur dan dapat dipercaya!" §]

"Yang dikatakan oleh nak Syuhada itu benar. Jangan terlalu naif, Louis Sullenfield. Baik tidaknya seseorang takkan bisa kamu lihat dari penampilan luar maupun jabatannya. Niat itu tersembunyi dalam hati, dan baru akan terlihat setelah semuanya sudah terjadi. Dan saat kamu menyadarinya, maka semuanya akan jadi sudah sangat terlambat" tegas Adnan menasihati kepala desa muda itu.

"A—aku tak bisa menyanggahnya. Itu memang benar. Kita tak bisa membaca niat seseorang kecuali orang itu sendiri yang dengan jujur mengatakannya. Karena jika memang niat bisa terbaca dengan mudah, mereka sudah pasti telah tahu niatku sebenarnya" gumam Louis dalam hatinya.

"Jadi dia juga mengerti itu ya. Tapi tunggu, niat sebenarnya? Jadi dia memang tak berniat jujur tentang penjualan apel ini sejak awal ya" terka Syuhada dalam hatinya.

[§ Master menambahkan, "Karena itu, ijinkan saya untuk memberikan solusi yang terbaik tentang masalah penjualan apel ini." §]

"Oh, apakah itu, nak Syuhada?" tanya Adnan.

"Tch, penawaran macam apa memangnya yang bisa ditawarkan bocah sepertinya?" tukas Louis dalam hatinya dengan pesimis.

[§ Master menawarkan, "Saya akan mengutus salah satu pelayan saya. Yaitu pelayan yang saat ini berdiri di belakang saya. Namanya Pochi, dia adalah pelayan yang bisa dipercaya. Oleh sebab itu, dia akan menjadi saksi dari pihak penjual produk, keluarga Woodson, dan sekaligus dia akan membawa semua apelnya juga. Dengan begini, masalah keamanan penyimpanan, dan barang yang disimpan, berikut masalah saksi transaksi, semuanya bisa terselesaikan sekaligus. Seperti melempar 3 burung dengan 1 batu." §]

"Tunggu sebentar. Aku tak mengerti. Apa maksudnya dia akan membawa semua apelnya? Meski dia sangat kuat sekalipun, tak mungkin dia sanggup membawa seluruh apelnya sendirian. Beda jika itu satu barang yang sangat besar, tapi ini apel. Apel yang jumlahnya ratusan ribu, jika memang klaimmu benar. Maka itu mustahil membawanya sendirian sekaligus tanpa sebuah wadah yang sangat besar" balas Louis.

[§ Master menjelaskan, "Saya mengerti kebingungan anda. Anda bisa berpikir begitu karena anda tidak mengetahui kemampuan khusus Pochi. Pochi mampu membawa apapun, sebanyak apapun, seberat apapun, itu semua tanpa masalah dan resiko. Itu dikarenakan Pochi memiliki kemampuan yang mirip dengan kotak ajaib anda." §]

"Apa!? Itu tidak mungkin kan? Mana buktinya? Coba buktikan kepadaku!" pinta Louis yang tidak percaya pada pernyataan tersebut.

Pochi kemudian memposisikan lengannya lurus ke depan. Ia membuka telapak tangannya ke atas. Lalu di atas telapak tangan itu muncul lah sebuah apel utuh yang tak diketahui asal-usulnya. Apel itu muncul begitu saja dan mengejutkan semua orang yang melihatnya, kecuali Syuhada dan Pochi sendiri.

"Itu sama dengan yang terjadi sebelumnya" ujar Adnan dalam hati.

"L—luar biasa!" ucap Trenia terkejut.

"A—apa yang terjadi? Bagaimana cara dia melakukannya?" sahut Louis yang juga terkejut disertai kebingungan.

"Aku tak bisa melihat apa yang terjadi dari sini. Apa yang terjadi?" tanya Syuhada dalam hatinya yang tak terkejut dan hanya penasaran.

「Bukan sesuatu yang spesial. {Al-Kahf} hanya menunjukkan fungsinya.」

"Bagi kalian memang itu bukan sesuatu yang spesial, tapi bagiku itu tentunya sesuatu yang luar biasa!" protes Syuhada dalam hatinya.

「Kalau begitu biar kami gambarkan saja kejadiannya dengan kata-kata. {Al-Kahf} memunculkan apel di telapak tangannya. Selesai.」

"Cara kalian menjelaskannya membuatnya terasa tak spesial dan sangat biasa" gerutu Syuhada dalam hatinya.

「Ya kan?」

"…"

Syuhada enggan membalasnya. Ia akhirnya hanya bisa menahan rasa frustasi akibat rasa penasarannya dijawab dengan jawaban yang tak begitu memuaskan.

[§ Master berkata, "Yang kalian lihat itu adalah kemampuan pelayan saya." §]

"Ma—maksudmu pelayanmu bisa memunculkan apel di tangannya?" tukas Louis.

Syuhada mengangkat tangannya meminta apel di tangan Pochi tanpa membalikkan badannya atau menoleh sedikit pun. Pochi pun menaruh apel itu di atas telapak tangan Syuhada dengan lembut. Syuhada menggenggamnya dan menarik apel itu mendekat ke wajahnya. Ia lalu memperhatikannya dengan seksama.

"Benar-benar sebuah apel. Dan juga nampak seolah baru saja dipetik" gumam Syuhada dalam hatinya ketika memperhatikan itu.

[§ Master mengatakan, "Seperti yang kalian lihat, ini adalah sebuah apel. Benar-benar buah apel. Dan ini masih segar seperti baru saja dipetik beberapa saat yang tadi." §]

Syuhada menaruh buah apel itu di atas meja. Louis mengambilnya dan memeriksanya.

"Yang dikatakannya benar. Ini benar-benar masih segar. Aku bahkan masih bisa mencium aroma getah dari tangkainya. Bagaimana ini bisa terjadi?" gumam Louis dalam hatinya.

[§ Master menambahkan, "Itu adalah apel yang diambil dari kebun keluarga Woodson dan disimpan di dalam penyimpanan Pochi. Namun berbeda dengan kotak ajaib anda, ini adalah kemampuan Pochi dan bukan dari efek sebuah sihir. Dan karena ini adalah kemampuan Pochi, maka dia bisa memunculkannya kapan pun itu dan berapa pun itu selama dirinya berada di sekitar. Dan karena dia adalah individu, maka semuanya akan lebih praktis karena kita jadi tak perlu membawa-bawa suatu barang yang berat." §]

"Tunggu, jadi kamu mau bilang kalau pelayanmu ini bisa menyimpan barang dan memunculkannya lagi begitu saja!? Bagaimana caranya!?" tukas Louis sedikit terkejut.

[§ Master menjawab, "Jangan tanya bagaimana caranya, karena memang itu kemampuannya." §]

Louis langsung terdiam dan meletakan apel itu kembali di atas meja. Kali ini giliran Adnan yang mengambil apel itu. Ia memperhatikan apel itu sejenak dan tak berapa lama ia langsung menaruhnya kembali ke atas meja. Adnan kembali ke tempatnya berdiri bersama keluarga woodson lainnya.

"Jadi, bagaimana, ayah?" tanya Donan dengan suara setengah berbisik.

"Itu memang apel segar. Dan juga itu adalah jenis yang sama dengan apel dari kebun kita. Tidak salah lagi, itu adalah apel kita" jawab Adnan dengan yakin.

"Jadi waktu itu dia benar-benar telah mengambil semuanya ya?" tukas Donan.

"Ya, sepertinya memang begitu" sahut Adnan.

"Tapi jika begitu, itu artinya dia sebenarnya tak hanya bisa mengambil sesuatu yang disentuhnya. Bahkan jika itu sesuatu yang jauh sekalipun, ia akan bisa mengambilnya dan menyimpannya dengan kemampuannya. Kemungkinan hanya dengan mengetahui lokasi pastinya terlebih dahulu, apapun itu, sebanyak apapun itu, ia akan bisa menyimpannya. Itu benar-benar kemampuan yang mengerikan" duga Adnan dalam benaknya.

"Tepat seperti dugaanmu, kek Adnan. Kemampuan Pochi sangatlah menakutkan. Bahkan jika digunakan dengan cerdik, maka itu memiliki potensi offensif yang tak terkira mengerikannya" tambah Syuhada dalam hatinya.

Syuhada mengambil apel itu dan kemudian melemparkannya ke atas dengan santai. Pochi menangkapnya. Lalu dengan gerakan seolah meremas apel itu, apel tersebut pun menghilang tanpa bekas di telapak tangannya.

"Benar-benar kemampuan yang sangat berguna. Jika saja aku bisa merekrutnya menjadi pelayanku, maka semua pekerjaanku akan jadi mudah" pikir Louis.

"Hmm… aku ragu itu akan bisa dilakukan. Pochi adalah divine item. Memangnya bisa divine item dialih kepemilikan?" gumam Syuhada dalam hatinya.

「Jawabannya adalah, tidak. Divine Item adalah sesuatu yang dianugerahkan oleh The Creator of All Creations. Dan anugerah tak bisa diganti penerima maupun kepemilikannya. Juga tidak bisa diwariskan. Kecuali jika The Creator of All Creations telah menentukan sebuah aturan khusus tertentu ke dalam anugerah tersebut. Selain dari itu, maka semuanya sudah dipastikan mustahil.」

"Sudah kuduga" sahut Syuhada dalam hati.

[§ Master mengatakan, "Jadi, bagaimana dengan tawaran saya itu? Mengingat semua yang telah saya katakan kepada anda, maka mestinya ini adalah sebuah tawaran yang bagus, bukan?" §]

"Hmm... seperti yang dikatakan bocah ini, aku memang melihat banyak keuntungan dari tawarannya. Namun di saat yang sama itu membuatku curiga. Apa yang sebenarnya diincar oleh bocah ini sampai bersedia menawarkan hal semacam ini? Apalagi aku tak melihat keuntungan sedikit pun untuknya dari semua bantuannya itu kepada keluarga Woodson. Apa yang direncanakan bocah berengs◦k ini?" pikir Louis lebih jauh.

"Memang benar, tawaranku ini sangat mencurigakan. Karena aku memang bisa dibilang tak mendapatkan apapun sebagai timbal baliknya. Bahkan orang kaya yang bagi-bagi uang kepada orang miskin pun tetap mendapatkan sesuatu, seperti kepopuleran misalnya. Tapi aku di sini, memberi tanpa menerima sesuatu. Ya, setidaknya itu yang terlihat olehnya" ujar Syuhada dalam hatinya.

[§ Master menjelaskan, "Keraguan anda bisa saya mengerti. Anda pasti mengira saya tidak mendapatkan apapun dari bantuan saya ini kepada keluarga Woodson kan? Tapi sayang sekali anda salah besar." §]

"Apa?! Memangnya apa yang kamu dapatkan?" tanya Louis.

[§ Master menjawab, "Izin untuk mengikuti festival panen menggantikan keluarga Woodson." §]

"Hah? Izin untuk itu? Hanya untuk itu?!" sahut Louis yang terkejut.

[§ Master menjelaskan, "Festival panen adalah sesuatu yang sangat penting bagi desa ini. Dalam bazaar yang diadakan di festival panen itu, adalah hal yang akan menjadi penentu hidup matinya desa ini. Sebagai kepala desa, anda juga pastinya mengerti itu, kan?" §]

"Tidak, aku tidak mengerti. Apanya yang menjadi kunci keberlangsungan desa? Apanya yang jadi penentu hidup dan mati desa? Aku tak melihat ada satu pun perkembangan kalau kita terus hidup seperti ini" tegas Louis.

"Dasar bodoh!!! Tanpa bazaar itu, takkan ada yang namanya kesadaran untuk saling berkembang! Saling bersaing menunjukkan yang terbaik! Inti dari festival panen adalah untuk menunjukkan kemampuan masing-masing penduduk untuk menghasilkan suatu produk terbaik dari ladang atau peternakan mereka. Jadi bagian mananya yang kamu anggap tidak berkembang, anak ingusan!!" bentak Adnan.

"Situasi desa kita, tentu saja, dasar kakek kolot! Sejak dulu desa kita begini-begini saja! Kapan kita akan bisa berkembang seperti kota-kota besar?" protes Louis.

"Menjadi kota besar tidak secara otomatis membuat tempat ini menjadi lebih baik. Kota besar itu memiliki situasi yang lebih pelik dan lebih kompleks. Jika dibandingkan dengan itu, desa kita jauh lebih baik. Bahkan menurutku desa ini sudah melebihi kota-kota besar di luar sana!" tegas Adnan.

"Apanya yang melebihi? Desa yang sepi serta terasingkan ini?" tanya Louis.

"Sepertinya kamu sama sekali tak mengerti. Jika memang begitu, maka akan kutanyakan, apa kamu pernah melihat kota besar sebelumnya?" tanya balik Adnan.

"T—tentu saja pernah! Koneksiku adalah orang kota, jadi sudah pasti aku pernah ke sana kan?" jawab Louis.

"Dia berbohong? Jadi dia belum pernah ke kota sama sekali? Lalu bagaimana dia bisa bertemu dengan kliennya?" gumam Syuhada dalam hatinya.

"Kalau memang kamu pernah, harusnya kamu bisa mengatakan bagian mananya dari kota yang menurutmu lebih baik daripada desa ini?" tanya Adnan.

"Hahaha… tentu saja. Itu mudah. Kota itu jauh lebih besar!" jawab Louis.

"Kalau soal ukuran, nanti juga akan bertambah besar sendiri seiring dengan bertumbuhnya jumlah penduduk desa ini" ungkap Adnan.

"Tch, tapi kota juga ramai. Banyak orang dari dalam dan luar kota keluar masuk sehingga ekonomi juga jadi sangat baik!" tambah Louis.

"Kalau soal ramai, desa ini juga sudah cukup ramai dengan penduduknya sendiri. Dan kalau soal orang-orang yang datang dari luar, semakin banyaknya orang luar datang ke desa, maka semakin besar pula kemungkinan adanya orang jahat diantara mereka. Karena itu, sudahkah kamu menyiapkan keamanan untuk mencegahnya?" balas Adnan.

"I—itu mudah. Tinggal sewa saja [Mercenary] dari serikat [Hunter and Mercenary] kan?" tukas Louis.

"Apa kamu bodoh? Apa kamu tak tahu semahal apa tarif mereka?" bentak Adnan.

"Tapi jika kita sudah menjadi kota, maka masalah uang takkan lagi jadi masalah kan?" ungkap Louis dengan yakin.

"Tidak semudah itu juga. Menjadi kota tidak serta merta menjadikan tempat tersebut menjadi makmur. Banyak hal yang mesti diperhatikan serta diatur supaya kota bisa menunjang kelangsungan hidupnya" jelas Adnan.

"A—apa maksudmu?" tanya Louis.

"Lihat? Nampaknya kamu memang belum mengerti sepenuhnya" ungkap Adnan.

[§ Hamba ini menyarankan untuk menyudahi perdebatan itu dan kembali ke topik. Ataukah hamba ini perlu menegaskan kalau bahasan kita adalah tentang tawaran dari Master hamba dan bukan masalah kota, desa atau semacamnya? §]

Mendengar peringatan dari Pochi, wajah Louis pun kembali memucat. Adnan juga mengurungkan niatnya untuk melanjutkan perdebatannya itu.

[§ Master menambahkan, "Bagaimana dengan tawaran saya? Terima atau tidak sama sekali." §]

"Apa maksudnya dengan terima atau tidak sama sekali? Apa dia bermaksud untuk membatalkan kesepakatan penjualan apelnya apabila aku tidak menerima tawarannya?" tukas Louis dalam benaknya.

"Tepat sekali, paman kepala desa. Kalau soal menjual ke kota, bahkan tanpa perantaramu sekalipun, itu akan tetap bisa dilakukan. Karena harusnya kamu juga sadar kalau aku juga memiliki kemampuan untuk pulang pergi ke kota" ujar Syuhada dalam hatinya menegaskan.

Pochi tampak terus menatap ke arah Louis. Ia menantikan jawaban Louis dengan penuh ketenangan. Namun tatapan itu malah semakin memberi tekanan kepada Louis sehingga kepala desa itu malah semakin bingung dan kesulitan untuk berpikir jernih.

"Apa yang harus kulakukan? Aku harus menjawab apa? Klienku pasti takkan senang apabila aku membawa orang baru di luar kesepakatan tersebut" pikir Louis yang sedang bingung.

[§ Hamba ini menyarankan sebaiknya yang bersangkutan jangan berpikir terlalu lama. Karena Master hamba memiliki hal lain yang mesti dikerjakan. §]

"A—ah, baiklah. Sebentar…" sahut Louis sambil mengelap keringat.

"Apa yang ia bingungkan? Bukankah jawabannya sudah jelas? Ia hanya bisa menerimanya atau kesepakatannya takkan pernah terjadi" pikir Adnan.

Louis mencoba mengambil napas panjang dan menghembuskannya. Ia mencoba untuk menenangkan dirinya.

"Sepertinya aku memang tak memiliki pilihan di sini" ungkapnya dalam hati.

Louis kemudian menatap balik ke arah Pochi.

"Baiklah, aku menerimanya" ujar Louis.

[§ Master mengatakan, "Keputusan bijak. Jadi kapan kita akan berangkat?" §]

"Sebelum itu, bisakah kamu menunjukkan padaku kalau memang semua apel sisanya memang ada padamu" pinta Louis.

[§ Itu tidak masalah. §]

Setelah menjawab itu, Pochi menunjuk ke arah pintu.

"Apa maksudnya?" tanya Louis.

[§ Buka pintunya. §]

Louis berdiri dan berjalan menghampiri pintu. Kemudian ia membukanya secara biasa. Namun ketika dibuka, betapa kagetnya ia karena ia melihat kalau di halaman depan kini telah menggunung tumpukkan apel yang begitu banyaknya. Tumpukkan yang lebih tinggi dari rumah tersebut.

"Apa!? Sejak kapan ini ada di sini? Aku tak mendengar apapun ketika dia mengeluarkannya" gerutu Louis dalam hatinya.

Louis menghampiri tumpukkan apel itu dan mengambil salah satu dari buah apel tersebut. Ia menggenggamnya di tangannya, meraskan sentuhan buah apel itu. Dengan itu ia pun dapat memastikan kalau itu apel yang nyata dan bukan sebuah ilusi belaka.

"Ini asli. Ini bukan semacam ilusi" ucapnya.

[§ Apa yang bersangkutan sudah selesai memastikan kalau itu bukan sebuah tipuan? §]

Mendengar pertanyaan Pochi, Louis berbalik menghadap ke dalam rumah. Tepatnya ia kembali menatap ke arah Pochi yang bertanya kepadanya.

"Ya, aku sudah memastikannya" jawab Louis.

[§ Master berkata, "Dengan ini saya nyatakan kalau kesepakatan diantara kita sudah secara resmi terjalin." §]

Pochi kemudian menjertikkan jarinya dan seketika semua apel pun lenyap. Bahkan yang sedang dipegang oleh Louis pun menghilang seolah tak pernah berada di sana.

"Sungguh kemampuan yang mengerikan" komentar Louis dalam benaknya sambil melihat telapak tangannya yang sebelumnya menggenggam apel.

[§ Kalau begitu, mulai sekarang hamba ini akan mengikuti tuan kepala desa. Sebagai pengangkut barang juga sebagai saksi jual beli. Jadi, mohon kerjasamanya. §]

Pochi membungkuk memberi hormat.

"Ah, sama-sama" sahut Louis.

****

Di kios yang sedang dikelola oleh Ardh, terlihat ia sedang memproses jasad Banteng Api Kaisar. Ia memotong-motong dan memisahkan berbagai macam bagian tubuh beserta organ-organ dalamnya dengan angin. Angin yang sekilas terlihat seperti hanya sedang berhembus ke sana ke mari, meski nyatanya ada pedang-pedang tak kasat mata yang terbentuk dari udara yang berlalu lalang di hadapan Ardh saat ini.

Tak butuh waktu lama, kini di depan Ardh sudah tertata rapi berbagai produk. Seperti daging, tulang, tanduk, kulit, organ dalam, dan [Monster Essence] yang berbentuk kubus kristal.

"Yang ini aku takkan bisa menjualnya di sini, jadi akan kusimpan dulu" ujar Ardh sambil mengambil kubus itu dan memasukannya ke saku jubahnya.

Setelah itu, Ardh mulai memilah-milah dan memisahkan antara produk bahan makanan dan produk bahan material. Dengan menggunakan angin, dia mulai menggerakan produk-produk di hadapannya itu sesuai dengan kriteria dan jenis yang telah ia tentukan.

"Dengan begini pengelompokkannya selesai. Sekarang aku hanya tinggal memproses yang sebelah sini supaya siap jual" tambah Ardh menghampiri bagian bahan makanan.

Ardh menggerakan tangannya dengan ekspresi tangan sedemikian rupa dan terciptalah sebuah tungku besar yang terbentuk dari tanah. Sebuah tungku yang kokoh dan berukuran jumbo karena memang hendak ia gunakan untuk memasak daging dengan ukuran yang besar.

"Hmm… alatnya sudah siap. Sekarang tinggal masalah kayu bakarnya. Apa aku harus mengumpulkannya dulu ke hutan? Atau aku buat di sini saja?" lanjut Ardh tampak berpikir.

Setelah berpikir beberapa saat, Ardh kemudian mengangguk.

"Ya, mungkin akan kulakukan yang itu saja" ucapnya.

Setelah mengatakan itu, Ardh memulai segala proses persiapan untuk mulai memasak sepotong daging yang berukuran sangat besar itu.

Di suatu tempat tak jauh dari sana, Lucas sedang berjalan dengan badan penuh luka dan kotor oleh debu dan tanah. Lucas berjalan dan akhirnya sampai di depan kios yang sedang dikelola oleh Ard.

"Kios yang belum pernah kulihat sebelumnya. Kios apa ini?" gumam Lucas.

Lucas yang penasaran mencoba mengintip ke belakang kios. Lalu ia pun diperlihatkan hal-hal aneh yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Hal-hal aneh yang diluar akal sehat. Seperti angin yang bergerak ke sana ke mari mengangkat berbagai hal, air yang juga melayang-layang di udara, di tambah dengan beberapa tanaman yang seolah hidup karena dapat bergerak.

"Uaaaaaaaaaahhhh!!! Apaan itu!!??" jerit Lucas yang terkejut bukan main ketika melihat hal tersebut.

Suara jeritan itu tentu saja membuat Ardh mengalihkan perhatiannya pada Lucas. Tapi meski begitu, terlihat angin, air, dan semua tanaman masih bergerak tanpa mengalami gangguan sedikit pun.

"Apa yang kamu lakukan di sana, anak kecil?" tanya Ardh pada Lucas.

"A—a—apa kakak ini adalah seorang penyihir?" tanya balik Lucas.

"Benar juga, mereka tak tahu aku bisa mengendalikan semuanya tanpa sihir sekarang. Jadi melihat hal semacam ini pasti akan membuat mereka mengira aku telah menggunakan sihir" pikir Ardh.

"Tidak, aku bukan penyihir. Meski penampilanku begini, tapi aku sebenarnya adalah pelayan dari seseorang" jawab Ardh.

"Pelayan? Maksudmu pembantu??" tukas Lucas.

"Sedikit mirip lah dengan itu" sahut Ardh.

"Jadi kakak ini pembantunya siapa? Kenapa kakak buka kios di sini?" tanya Lucas lagi.

"Aku sedang melaksanakan perintah majikanku. Beliau ingin membuka kios untuk mengikuti festival panen ini. Karena itu kami para pelayannya berusaha untuk mengabulkan keinginan beliau tersebut" jelas Ardh.

"Kakak melakukannya bukan karena perintah, tapi karena majikan kakak menginginkan sesuatu dan kakak berusaha untuk membuat keinginan itu menjadi nyata?" terka Lucas.

"Ya" sahut Ardh.

"Kenapa kakak mau melakukan itu? Padahal kakak tidak diperintahkan?" tanya Lucas lagi.

"Hmm… kenapa ya? Aku juga tak mengerti. Mungkin itu hanya kesadaranku untuk bergerak sesuai keinginan beliau. Atau mungkin ini bagian dari kasih sayangku yang ingin melihat beliau bahagia" ungkap Ardh.

"Pembantu menyayangi majikannya? Apa aku tak salah dengar? Bukannya pembantu biasanya bekerja karena dibayar? Mereka bersedia disuruh-suruh karena mendapatkan bayaran" ujar Lucas.

"Ya biasanya memang begitu. Tapi aku lain. Aku adalah seorang [Servant] yang juga bisa diartikan sebagai pelayan, atau pengabdi. Sementara yang kamu maksud mungkin adalah [Maid]" pukas Ardh.

"[Maid]? Aku belum pernah mendengar sebutan itu sebelumnya" sahut Lucas.

Lucas melihat ke belakang Ardh, dan ia melihat kalau meski Ardh tidak memperhatikan, semua hal yang terjadi di belakangnya itu tetap bekerja dengan semestinya. Seolah semuanya bekerja secara otomatis.

"Sihir memang luar biasa. Jadi dengan sihir aku bisa melakukan apapun dan apapun akan sesuai keinginanku, ya?" ujar Lucas.

"Aku ingin mengatakan kalau sihir itu tak seperti yang ia pikirkan, tapi… nampaknya tuan Hada tak ingin identitasku diketahui oleh banyak orang. Jadi aku tak bisa menjelaskan kekuatan ini padanya. Meskipun Pochi banyak menyebutku sebagai Original Elf, tapi kurasa di zaman ini sudah tak ada lagi yang mengetahui apa sebenarnya itu. Kecuali kalau dia adalah individu dari zaman lampau yang masih hidup atau keturunan yang sangat menjaga tradisi dan sejarah" pikir Ardh.

Lucas yang penasaran pun masuk ke bagian belakang kios yang kini telah menjadi dapur itu. Ia memperhatikan segala keanehan yang baru pertama kalinya ia lihat itu dari dekat.

"Tolong jangan terlalu dekat, bocah. Jaga jarak sedikit" pinta Ardh.

"B—baiklah" sahut Lucas yang akhirnya mundur sedikit.

Sementara Ardh dan Lucas berada di bagian belakang kios itu, di tengah alun-alun desa seorang laki-laki sedang mengamuk sambil mengacungkan pedang kepada orang-orang di tengah-tengah jalan utama desa tersebut.

"Kalian berani sekali menolak uangku! Kalian berani menolak koin emas dari negara aliansi? Ini adalah mata uang resmi di kerajaan tempat desa kalian berada. Desa kalian itu berada di wilayah kerajaan kami! Jadi jangan coba-coba untuk membuat masalah denganku, dasar penduduk desa tak tahu diri!" ungkap laki-laki yang sedang mengamuk itu dengan lantang.

"Maaf, kisanak. Tapi nampaknya kisanak tak mengerti cara kerja ekonomi di desa kami. Kisanak adalah orang luar, makanya kisanak tidak mengerti. Kami di sini melakukan pertukaran dengan barang. Barang yang sama-sama kami butuhkan. Bukan dengan emas. Karena kami di desa ini tak membutuhkan emas" jelas lelaki tua yang nampak mewakili warga desa lainnya.

"Tapi emas ini adalah alat tukar yang resmi. Dan selaku desa yang berada di wilayah kerajaan kami, kalian harus mematuhi hukum kami. Kalian harus menggunakan uang untuk bertukar mulai dari sekarang! Kalian mengerti?" tegas laki-laki muda itu.

"Tolong jangan memaksakan aturan kisanak kepada kami. Perlu kisanak ketahui, kami bahkan tidak tahu ada kerajaan yang menghak milik wilayah desa kami! Kami tak pernah mendengar apapun tentang itu selama puluhan tahun ini. Lalu sekarang tiba-tiba kalian muncul memaksakan aturan kalian pada kami dan mengakui kalau wilayah ini adalah masuk ke dalam wilayah kalian?" protes lelaki tua yang mulai naik pitam.

"Tch, dasar orang udik! Kampungan! Tak bisa diatur! Kolot! Diluar sana banyak yang berbondong-bondong bahkan sampai rela mengantri dan saling mendorong, menginjak, menjegal satu sama lain demi mendapatkan uang. Tapi kalian malah menolaknya! Kalian orang kampung memang bodoh!" umpat laki-laki yang tampak berpakaian mewah itu.

"Kisanak jaga mulut kisanak. Kan sudah kujelaskan pada kisanak. Di kampung ini kami mesti bertukar barang untuk memenuhi kebutuhan masing-masing dengan barang-barang yang dibutuhkan di desa ini. Kami tidak butuh emas di sini. Tapi makanan, pakaian, serta berbagai barang rumah tangga dan kerja sih iya" jelas lelaki tua mencoba kembali membuat lawan bicaranya itu paham.

"Tapi emas ini alat tukar legal, dasar payah!" pekik laki-laki yang mirip seorang petarung namun juga mirip seorang bangsawan.

"Kan sudah kubilang, kisanak. Uang tidak dibutuhkan di sini" jawab lelaki tua itu dengan tegas.

"Berengs◦k!" pekik laki-laki petarung bangsawan itu semakin geram.

Laki-laki petarung bangsawan itu mulai mengayunkan pedang di tangannya. Pedang itu disabetkan ke arah lelaki tua yang berbicara kepadanya itu. Itu adalah tebasan yang sangat cepat dan kuat sehingga hampir mustahil untuk dihindari.

Akan tetapi, sebelum berhasil sampai ke lelaki tua tersebut, tebasan itu menghilang.

"H—hah!?" ucap laki-laki petarung bangsawan itu.

Lebih tepatnya pedangnya lah yang lenyap. Tangannya kini kosong. Dan laki-laki itu langsung terkejut ketika menyadarinya.

"Apa yang terjadi!?" lanjutnya dengan syok dan bingung.

Sementara itu di dapur kios milik Syuhada.

"Ada apa itu ribut-ribut di luar?" tanya Lucas.

"Tak usah dirisaukan. Sudah ada orang yang cakap untuk mengatasinya saat ini" jawab Ardh yang nampak duduk di sebuah kursi kayu dengan santai.

Kembali ke alun-alun desa.

"Dimana pedangku!? Katakan padaku, siapa yang telah mengambil pedangku!" tukas laki-laki pendekar bangsawan itu meski ia pun tak yakin.

Dan tentu saja tidak ada yang menjawabnya. Karena tak ada satu pun dari warga desa di sana yang melakukan hal yang dituduhkan oleh pendekar bangsawan tersebut kepada mereka.

"Tch, apa maksudnya ini? Kenapa tiba-tiba pedangku menghilang dari tanganku. Dan kenapa pula tak ada satu pun dari mereka yang menjawabku? Aku ini bangsawan kerajaan lho" gerutu pendekar bangsawan itu dalam benaknya.

[§ Mengacung-acungkan senjata pada orang-orang di tempat umum. Kemudian berniat menyerang warga sipil. Bukankah itu harusnya sebuah kegiatan yang melanggar hukum? Hamba ini sebagai orang yang baik, berkewajiban untuk bertindak sesuai kemampuan hamba. §]

Pochi berjalan menuju ke alun-alun desa ditemani oleh Syuhada, keluarga besar Woodson, dan juga Louis Sullenfield. Tampak di tangannya ia memegang sebuah pedang. Pedang yang sama persis dengan yang dimiliki oleh pendekar bangsawan yang mengamuk di alun-alun itu. Dan Pochi memegangnya dengan tak wajar. Karena ia memegang dengan cara menjepit dengan cara mencubit bagian ujung atas pedang itu yang diposisikan mengarah ke bawah. Sehingga ujung tajam itu menunjuk tepat ke tanah.

"Apa!? Bukankah itu pedangku? Kenapa sampai bisa ada di tangannya?" tanya pendekar bangsawan itu dalam hatinya dibuat bingung.

"Kembalikan itu, dasar pencuri! Berani sekali kau mengambil pedang dari tangan seorang bangsawan! Kau harus dihukum sesuai hukum kerajaan!" bentak pendekar bangsawan itu sambil menunjuk-nunjuk ke arah Pochi.

Namun Pochi tetap dengan santainya berjalan menghampiri alun-alun.

"Hei Louis, bantu aku di sini! Kenapa kau diam saja?" pinta pendekar bangsawan itu ketika menyadari Louis juga ada di sana.

"…"

Namun Louis diam. Tampak ia melirik ke arah lain dan ada tetesan keringat mengalir di pelipis keningnya.

[§ Hamba ini minta kepada yang bersangkutan untuk menyerahkan diri. Supaya tidak terjadi konflik lebih jauh dan urusannya jadi cepat selesai. §]

"Hah? Menyerahkan diri? Apa maksudnya itu? Kenapa aku harus menyerahkan diri? Jangan bercanda! Aku adalah bangsawan! Kau lah yang harusnya berlutut meminta maaf kepadaku karena telah mengambil senjataku dengan sihirmu itu!" tukas pendekar bangsawan itu.

[§ Hamba ini minta, tolong jangan samakan kekuatan ini dengan trik rendahan itu. Hamba ini adalah ciptaan dari The Creator of All Creations. Kekuatan hamba ini berasal dariNYA. Merendahkan kekuatanNYA lebih jauh, maka yang bersangkutan akan menerima akibatnya. §]

"{Divine Guidance} tolong ingatkan Pochi" pinta Syuhada dalam hatinya.

Sebuah buku putih muncul di depannya. Buku yang hanya bisa dilihat olehnya.

「Bukankah mestinya kamu bisa melakukannya sendiri?」

"Aku memang bisa. Tapi hanya untuk jaga-jaga kalau ia mengabaikanku karena emosinya" ujar Syuhada dalam hatinya.

「Dimengerti.」

[§ {Jabbarail} jangan coba-coba menghentikan hamba ini sekarang. Hah? Master yang meminta Malak Agung melakukannya? Kenapa Master tidak langsung saja mengatakannya pada hamba kalau begitu? Apa? Master takut hamba mengabaikan Master karena emosi hamba? Baiklah, hamba ini mengerti. Hamba harus ingat diri. Hamba adalah Divine Item yang telah diberikan kepada Master. Hamba harus jadi alat yang memudahkan dan membahagiakan Master. Dan bukan sebaliknya merepotkan Master. §]

Pochi kemudian berbalik menghadap Syuhada dan berlutut membungkukkan tubuhnya ke arah Syuhada. Tentu pedang di tangannya itu ia lemparkan dan dibiarkan menancap di tanah saat hendak melakukan itu.

Semua orang tampak kebingungan menyaksikan hal tersebut.

[§ Maafkan hamba ini, Master. Jadi tolong katakan apa yang sebaiknya hamba lakukan untuk membantu Master? §]

"Tolong jangan membungkuk padaku di tempat seperti ini! Ini memalukan!" pinta Syuhada dalam hatinya.

Namun seolah mengerti Pochi pun kemudian kembali berdiri, namun tubuhnya masih sedikit membungkuk ke arah Syuhada.

"Dia bisa membaca pikiranku!?" ucap Syuhada dalam hati terkejut.

「Bukankah sebelumnya sudah kami jelaskan?」

"Ya, aku juga tahu itu. Aku masih belum lupa. Aku hanya kaget setelah memastikannya langsung dari dekat. Sebelumnya kan cuma dari jauh melalui tulisan-tulisan apalah itu yang muncul di penglihatanku" jawab Syuhada dalam hatinya.

「Baguslah kalau The One Who Have Guidance tidak melupakan itu.」

"Hmm… jadi sekarang aku harus mengatakan apa kira-kira?" gumam Syuhada dalam hatinya.

Pochi mengangkat kepalanya sedikit, melirik ke arah Syuhada seperti menunggu perintah.

"Tahan dirimu, Pochi. Aku tahu kamu marah karena kekuatan The Creator of All Creations disetarakan dengan sihir. Aku pun sama denganmu. Tapi kita harus menahan diri supaya tak kehilangan kebijaksanaan kita. Apabila kamu mengamuk di sini, maka kamu hanya akan menjadi monster" jelas Syuhada dalam hatinya.

[§ Hamba mengerti, Master. §]

"Kembalikan pedang itu padanya. Dan respon dengan bijaksana" tambah Syuhada dalam hatinya.

[§ Seperti yang dikehendaki Master. §]

Pochi kemudian kembali berbalik ke arah alun-alun dan mengayunkan tanganya. Tepat ketika ia mengayunkan tangannya, pedang yang menancap di dekatnya lenyap dan berpindah ke dekat kaki pendekar bangsawan dengan posisi yang sama persis yaitu masih menancap di tanah.

"Dia mengembalikannya!? Apa yang terjadi? Tadi dia membungkuk pada bocah itu. Apa bocah itu majikannya? Hmm… jadi begitu rupanya. Pasti majikannya memarahinya karena telah melawan bangsawan sepertiku. Hahaha! Benar juga pakaiannya itu pakaian butler kan? Harusnya aku sadar kalau dia hanya pelayan rendahan! Hahahaha!" gumam pendekar bangsawan itu tertawa puas dalam hatinya sambil mengambil pedang yang menancap di dekat kakinya.

Lalu dengan penuh percaya diri ia memanggul pedangnya sambil menghampiri Pochi. Namun Pochi tampak dengan tetap tenang berdiri menghadap ke arahnya dengan senyuman ramahnya.

"Hei pelayan, bukankah seharusnya ada yang mesti kau lakukan saat ini?" tanya pendekar bangsawan itu sambil mendekat.

[§ Oh benar juga, kami harus segera pergi. Ayo kepala desa. §]

Setelah mengatakan itu, Pochi kembali berjalan dan melewati pendekar bangsawan itu begitu saja.

"Hah!? Jangan main-main denganku!" pekik pendekar bangsawan itu geram merasa tak dihiraukan.

"Tunggu dulu, tuan pelayan" panggil Louis.

Pochi berhenti dan lalu berbalik melihat ke arah Louis.

[§ Ada apa, kepala desa? §]

"Sebenarnya beliau adalah orang yang hendak mengantar kita" ungkap Louis sambil menunjuk kepada pendekar bangsawan di sampingnya dengan cara menunjuk yang sopan.

"Hah?" ucap Syuhada dalam hati terkejut.

"Apa? Apa maksudmu?" sahut pendekar bangsawan kebingungan.

[§ Begitu rupanya. §]

"Reaksinya datar sekali. Apa dia sebenarnya sudah tahu hal itu?" duga Syuhada dalam hatinya.

「{Al-Kahf} mampu melihat tempat yang mungkin diluar kemampuan penglihatan The One Who Have Guidance.」

"Jadi maksud kalian, Pochi sudah memeriksa terlebih dahulu ke sekitar desa ketika sebelumnya kita membicarakan kesepakatan itu?" terka Syuhada dalam hatinya.

「The One Who Have Guidance tolong jangan lupakan kemampuan {Al-Kahf} dalam membaca keinginan The One Who Have Guidance.」

"Jadi itu yang terjadi. Jadi dia mulai memeriksanya ketika aku mempertanyakan tentang rute pengiriman barang" sahut Syuhada dalam hatinya.

"Louis Sullenfield, tolong jelaskan, apa maksudnya ini!?" protes pendekar bangsawan itu pada Louis.

"Aku akan menjelaskannya. Tapi tidak di sini. Bisakah kita cepat-cepat ke perahu saja?" pinta Louis yang mulai khawatir dengan pandangan orang-orang di sekitar.

"Tidak, aku lapar! Kau membuatku menunggu terlalu lama! Padahal aku menunggu sudah sejak pagi buta! Bahkan aku tidak sempat sarapan hanya untuk datang ke mari! Kau mengerti itu?" gerutu pendekar bangsawan itu.

"A—aku mengerti. Tapi saat ini aku tak membawa barang apapun untuk ditukar dengan makanan" balas Louis.

"Apa? Kau ini kepala desa! Kenapa mesti bingung? Gunakan saja wewenangmu untuk mengambil beberapa makanan. Mudah kan?" pukas pendekar bangsawan tersebut.

"Tolong jangan samakan aturan di desa ini dengan aturan di luar sana! Orang-orang di desa ini takkan mau bertukar untuk sesuatu yang tak ada nilai gunanya untuk kehidupan mereka!" tegas Louis.

Louis mengatakan itu sambil beberapa kali melirik kecil ke arah Adnan.

"Tch, ternyata orang desa tetap saja orang desa. Kau sama saja dengan mereka!" bentak pendekar bangsawan itu makin kesal.

Pendekar bangsawan itu pun mulai memasang kuda-kuda siap bertarung.

"Kalau kalian ingin aturan rimba, akan kuberikan kalian aturan rimba!" tegas pendekar bangsawan itu mengeluarkan sejumlah besar ‹mana› dari tubuhnya.

"Apa hubungannya coba? Kok malah jadi ke aturan rimba?" komentar Syuhada dalam hatinya.

Pendekar bangsawan itu melirik ke arah Syuhada.

"Entah kenapa aku merasa sangat kesal ketika melihatnya dari dekat. Mungkin aku harus menggunakannya sebagai peringatan bagi mereka untuk tidak melawan [Hunter] kelas A sepertiku" pikir pendekar bangsawan itu menatap Syuhada dengan jengkel.

"Rasakan ini!" pekiknya sambil mengayunkan pedangnya ke Syuhada.

"Biar aku yang melakukannya, Pochi" terdengar suara lirih yang terbawa angin.

Seketika darah terciprat ke udara.

****