The Witch and The Prince (part 8)
Sebuah kapal berlabuh di dermaga kota Kashmyr, ibukota kerajaan Üdine. Kapal itu adalah kapal mewah keluarga kerajaan dari kerajaan yang ada di seberang lautan. Kerajaan yang pernah berperang dengan kerajaan Üdine dan mengalahkannya. Yaitu kerajaan bernama kerajaan Pashqua.
Berbeda dengan kerajaan lain, raja di sana tidak disebut "raja" melainkan dipanggil dengan nama ‹Pasha›.
Turun dari kapal itu seorang laki-laki muda, berusia sekitar 20 tahunan, dengan rambut cokelat yang rapi dan poni belah tengah. Wajahnya tampan dan memiliki sorot mata yang penuh percaya diri. Badannya lumayan kekar dan itu terlihat dari pakaiannya yang memang agak ketat. Pakaian dengan desain seperti pakaian formal seragam militer angkatan laut.
Ia adalah jenderal militer angkatan laut negara sekaligus putera mahkota kerajaan Pashqua, Rein Aquas Mahar Kham.
"Ya ampun di sini bau sekali" keluh Rein.
"Kenapa pula aku mesti ikut kemari sih? Di sini baunya busuk sekali. Bau-bau orang miskin!" gerutu seorang gadis yang juga turun dari kapal setelah Rein.
Gadis itu adalah adik dari Rein sekaligus puteri pertama kerajaan. Namanya adalah River Saphir Himar Kham.
River memiliki wajah yang cantik. Di usianya yang 15 tahun itu ia sudah menunjukkan keanggunan seorang wanita dewasa. Ia juga memakai pakaian gaun mewah berwarna kuning cerah dengan hiasannya yang berwarna merah. Ia terlihat membawa payung kain yang juga berwarna senada dengan gaunnya. Rambut cokelatnya yang panjang dan lurus, dibiarkan terurai tertiup angin laut. Seakan ingin ingin memamerkan rambutnya yang tampak begitu halus itu.
"Bisakah kita segera pergi ke tempat tujuan kita?" pinta River.
"Kenapa begitu terburu-buru, kita bisa melihat-lihat dulu sekitar kan?" balas Rein.
"Lihat-lihat apa? Ikan asin yang dijemur? Ayo cepat kita ke istana mereka! Rambutku bakalan kering dan bercabang kalau terlalu lama tertiup angin kering bergaram ini" gerutu River.
"Siapa suruh tidak memakai penutup rambut" sahut Rein.
"Kakak ini, benar-benar tidak mengerti wanita! Aku sumpahin gak dapat jodoh sampai kakek-kakek!" bentak River sambil memukul-mukul kepala Rein.
Meskipun pukulan itu tampak tidak begitu kuat yang artinya River memang tak serius berniat memukul kakaknya itu.
"Iya-iya deh, ayo kita berangkat!" balas Rein.
Kedua orang putera-puteri kerajaan itu kemudian berjalan dari dermaga ke istana dengan dikawal oleh para kesatria yang terlihat berzirah dan bersenjata lengkap. Arak-arakan tersebut pun menarik perhatian dari orang-orang sekitar yang mereka lewati.
"Mereka benar-benar udik ya? Harusnya mereka berlutut kalau ada rombongan keluarga kerajaan yang lewat tuh!" gerutu River.
"Mau bagaimana lagi. Mereka hanya kerajaan kecil!" ungkap Rein.
"Tapi kenapa kita tak mendapatkan sambutan apapun dari kerajaan ini? Padahal kita sudah mengumumkan kedatangan kita" tanya River yang terlihat heran.
"Kita dan mereka masih belum menyetujui kesepakatan damai, jadi tidak heran kalau mereka masih belum menganggap kita "tamu" mereka" jelas Rein.
"Oh begitu ya. Kalau begitu kenapa kita kemari?" tanya River lagi
"Untuk "diplomasi", mungkin?" jawab Rein dengan ambigu.
"Hm??" River memiringkan kepalanya, bingung.
Di saat itu, tiba-tiba saja laki-laki bersayap api terbang lewat di atas mereka. Laki-laki bersayap api itu terlihat menuju ke istana juga. Melihat hal itu membuat Rein dan River terkejut.
"Apa yang barusan itu?" ucap River.
"Entahlah. Yang aku dengar mereka tak memiliki penyihir. Tapi yang tadi itu tak salah lagi adalah penyihir, kan? Siapa dia? Dan kenapa dia juga menuju ke istana?" ujar Rein bertanya-tanya.
Setelah terhenti sejenak oleh kejutan tak terduga itu, rombongan itu pun kembali bergerak dan melanjutkan menuju ke istana.
Sementara itu di halaman istana, penyihir yang lewat tadi kini sedang berdiri di halaman istana dengan sebuah bola api di atas telapak tangan kanannya dan siap ditembakkan.
"Woy, ratu Üdine! Keluar kau! Cepat penuhi janjimu, sialan!" pekik penyihir itu yang tak lain adalah ‹Hero of Magic›, Leivan Crimson.
Tiba-tiba pintu jendela balkon terbuka. Dan sesosok perempuan anggun berambut pirang keemasan keluar.
"Ada apa, Leivan Crimson? Kenapa kamu marah-marah begitu? Tolong jangan buat kekacauan di negara orang lain" sapa ratu Nurolia.
"Masih bertanya "ada apa"!? Ingat janjimu kalau kau akan mengizinkanku untuk memilih salah satu harta pusaka kerajaanmu! Tapi sudah 3 hari aku menunggu, namun belum ada juga panggilan untukku! Apa kau memang berniat menipuku!?" tukas Leivan dengan geram.
"Oh masalah itu. Tapi bukannya aku bilang kalau aku akan mengutus jenderal Würgar kalau masalah di kota ini sudah selesai? Apa dia belum datang menemuimu?" tanya Nurolia.
"Belum!" jawab Leivan dengan tegas.
"Kalau begitu artinya masalah kota ini memang belum selesai" ungkap Nurolia dengan santai.
"Apa!? Apa kamu berniat untuk mempermainkanku?" tukas Leivan lagi sambil menatap tajam.
"Tidak. Untuk apa aku bermain denganmu? Itu tidak menyenangkan sama sekali. Lebih baik aku menghabiskan waktuku untuk The One Who Have Guidance" ujar Nurolia.
"Hah? The One apa?" sahut Leivan tak mendengarnya dengan jelas dan tentunya tak mengerti.
"Jadi, apa uruanmu di sini hanya itu saja? Kalau begitu bolehkah aku memintamu untuk pergi dari sini?" tanya Nurolia.
"Tch, mumpung aku di sini, dan kau sedang menganggur, kenapa tidak kau saja yang mengantarku ke ruang harta?" protes Leivan.
"Tidak, aku sedang sibuk" sahut Nurolia lalu kembali masuk ke dalam istana meninggalkan Leivan terbengong di sana.
"Berengs◦k! Kalau kau tak mau mengantarku, maka aku sendiri yang akan mencari ruang harta itu sendiri!" tegas Leivan.
Leivan tanpa ragu menembakkan bola api di tangannya ke arah jendela tempat ratu Nurolia keluar sebelumnya. Bola api sebesar bola tenis itu menghantam jendela dan menghancurkannya.
Saat itu tak ada pasukan penjaga yang berjaga karena mereka semua sedang sibuk, dan memang mereka semua diperintahkan untuk tidak dekat-dekat dengan istana untuk sementara waktu.
Leivan terbang ke jendela yang sudah jebol itu dan mendarat di lantai ruang kerja ratu Nurolia. Di hadapannya, ratu Nurolia sudah berdiri menghadapnya seolah sudah menantikan kedatangannya sejak tadi.
"Bolehkah kuanggap ini pernyataan perang terhadap negaraku dari kerajaan sihir Al-Syahir?" ucap Nurolia.
"Jangan membawa-bawa kerajaanku. Ini adalah urusan antara kerajaanmu dengan diriku, Leivan Crimson" pinta Leivan.
"Tetapi, kamu adalah ‹Hero of Magic›, representatif Magic Kingdom Al-Syahir, wakil dari ‹Magic King›, jadi jika kamu merusak, mengacau, berbuat onar di negara lain, itu sama artinya dengan pernyataan perang, bukan?" jelas Nurolia.
"Tidak, aku kemari sebagai Leivan Crimson!" tegas Leivan.
"Sebagai Leivan Crimson? Maksudmu sebagai penyihir api tingkat ‹Highmage› yang membawa Spirit Lord bersamanya? Bukankah itu ‹Hero of Magic› dan bukan Leivan Crimson?" ungkap Nurolia.
"Leivan Crimson dan ‹Hero of Magic› adalah orang yang sama!" bentak Leivan.
"Kalau begitu kamu memang ‹Hero of Magic› ya" sahut Nurolia.
[ "Leivan, kamu sudah terjebak kata-katanya." ]
Vulcan muncul dan terbang melayang di samping kanan Leivan.
"Tch, sialan!" umpat Leivan kesal.
[ "Leivan, aku sarankan kita untuk mundur." ]
"Kenapa? Kita tidak punya alasan untuk melakukan itu" balas Leivan mempertanyakan saran Vulcan.
[ "Aku punya firasat buruk kalau kita melawannya di sini." ]
"Jadi kita tak boleh memprovokasinya di sini?" tanya Leivan.
[ "Ya. Untuk kali ini, ayo kita mundur." ]
"Baiklah. Firasatmu biasanya memang tepat, jadi aku akan menurutimu untuk saat ini" jawab Leivan.
Leivan berbalik dan berniat untuk pergi meninggalkan tempat itu.
"Ratu Üdine, untuk saat ini aku akan mundur. Tapi ingat, lain kali aku akan datang lagi dan menagih janjimu" ujar Leivan sambil menoleh ke arah ratu Nurolia, "[Fire Wings][Fire Thruster]" rapalnya mengaktifkan sihirnya.
Sepasang sayap api tercipta di punggungnya, lalu sesaat kemudian api menyembur dari sayap itu dan tubuh Leivan terdorong terbang melesat ke angkasa dengan kecepatan tinggi bagai jet tempur.
[ "{Kita akan bertemu lagi.}" ]
"{Aku tak yakin}" sahut Nurolia sambil tersenyum.
Vulcan lalu juga melesat terbang menyusul Leivan.
"Kuharap mereka tak lupa untuk mengirim surat permintaan maaf atas pengrusakan properti kerajaan" lanjut Nurolia yang melihat jendelanya yang hancur berantakan.
「Sepertinya bantuan kami tak terlalu dibutuhkan ya?」
Nurolia berbalik ke belakang ke arah suara itu. Terlihat sesosok humanoid berpakaian jubah serba putih dengan penutup kepala yang juga putih. Meski wajah bagian atasnya agak tertutup oleh kain penutup kepalanya, tapi masih bisa terlihat kalau itu adalah sosok lelaki yang sangat tampan dengan rambut hitam gelap yang indah. Postur tubuhnya tidak terlalu tinggi, namun juga tidak pendek. Tidak besar berotot tapi juga tidak kurus. Postur yang ideal namun juga terlihat kuat. Sosok itu berdiri beralaskan kaki dari rajutan daun kering. Tangannya tersembunyi di balik jubah putihnya yang seakan memancarkan cahaya.
"Tuan {Jabbarail}" panggil Nurolia.
「Jangan panggil kami tuan. Satu-satunya tuanmu adalah The One Who Have Guidance, wakil dari The Creator of All Creations di dunia ini.」
"Kalau begitu bagaimana caranya hamba memanggilmu?" tanya Nurolia.
「Selain dari wujud ini, wujud lain kami di dunia adalah "buku putih" milik The One Who Have Guidance. Jadi panggilah kami dengan "buku putih" kalau berkenan.」
"Buku putih?" ulang Nurolia.
「Ya?」
"Apa kamu sudah menunjukkan wujudmu yang ini pada beliau?" tanya Nurolia.
「Belum. Beliau masih belum punya izin untuk melihatnya.」
"Lalu kenapa kamu menunjukkan wujudmu yang ini dan yang itu kepada hamba?" tanya Nurolia lagi.
「Wujud ini dan wujud asliku, sudah dikehendaki dan diizinkan oleh The Creator of All Creations untuk kamu lihat.」
"Kenapa hamba sudah diizinkan tapi beliau belum?" tanya Nurolia lagi.
「Apa maksud pertanyaanmu, ‹Nurolia Nuruniyah Nurilmubin›?」
"Nama yang hamba gunakan saat ini, Nurolia Medina Üdine" ungkap Nurolia.
「Kami tahu. Jawab pertanyaan kami! Apa maksud pertanyaanmu?」
"Maksud pertanyaan hamba? Apa maksudmu, buku putih?" tanya balik Nurolia.
「Apa kamu berniat membandingkan dirimu dengan The One Who Have Guidance? Apa kamu berniat menganggap dirimu lebih suci dan lebih baik darinya karena mendapat izin untuk melihat wujud kami lebih dulu?」
"T—tidak! Hamba tidak bermaksud begitu! Hamba tak mungkin melakukan itu!" sanggah Nurolia dengan tegas.
「Tapi kami merasakan perasaan dan niatan hatimu mengarah ke situ.」
"Kalau begitu hamba meminta ampun kepada The Creator of All Creations atas hati hamba yang tergoda oleh bisikan yang menjerumuskan pada kecelakaan" ucap Nurolia sambil berlutut.
「…」
"Apa hamba sudah diampuni?" tanya Nurolia dengan cemas.
Namun wujud sosok itu menghilang dalam sekejap. Sesaat setelahnya pintu kamar Nurolia terbuka dan muncul lah dari kamar itu seorang anak laki-laki yang berambut hitam dan bermata perak dengan rambut acak-acakan karena baru bangun tidur.
"Apa aku diampuni?" tanya Nurolia sambil mencengkeram bahu anak itu.
Anak itu terkejut dan sedikit gemetar tiba-tiba ditanya begitu.
"Tolong tanyakan kepada buku putih apakah aku telah diampuni?" pinta Nurolia kepada anak tersebut.
Anak itu menoleh ke samping sejenak, lalu ia kembali menatap ke arah Nurolia dan menganggukan kepalanya.
"Syukurlah~" ucap Nurolia merasa lega sambil duduk lemas di lantai.
Anak itu memiringkan kepalanya karena bingung. Tapi sesaat setelahnya sikap anak itu berubah dan menoleh ke arah jendela. Dia lalu terkejut melihat keadaan jendela. Namun ia tak banyak bertanya, ia kembali tenang setelah menoleh sebentar ke sebelah kanan.
"Ada apa?" tanya Nurolia yang melihat sikap aneh anak itu.
Nurolia kembali berdiri dan membersihkan gaun putihnya.
"Mereka datang" ucap anak itu.
****
Ring Valion sedang diam di dalam kuil Aquoz ditemani oleh pendeta Alfred dan biarawatinya.
"Apa balasan dari kuil pusat di Brightion sudah datang?" tanya Ring.
"MAAF BANGET! MASIH BELUM!" jawab pendeta Alfred seperti biasa dengan sangat berisik.
"Masih belum datang juga ya?" keluh Ring tampak kecewa.
"Sebenarnya kenapa anda begitu menanti jawaban dari kuil pusat, nona Ring?" tanya biarawati Lenys.
"Aku diminta untuk membuat pangeran Aruthor ditunjuk sebagai Hero" jawab Ring sambil terlihat pusing.
"HAH!? PANGERAN MUDA ITU MENJADI HERO KAMU BILANG!?" sahut pendeta Alfred.
"Berisik, pendeta!" bentak biarawati Lenys, "Maaf untuk yang tadi, tapi untuk masalah mengirim pesan, bukankah sebaiknya kita meminta bantuan kuil Windtar? Mereka mampu saling bertukar informasi dengan cepat dari jarak jauh. Jadi kalau cuma mengirim pesan pasti akan mudah untuk mereka kan?" sarannya beralih ke pada Ring.
"Itu memang benar. Tapi masalahnya aku tak memiliki koneksi ke kuil Windtar di dekat sini" keluh Ring.
"Masalah itu anda tak perlu khawatir! Serahkan saja kepada pendeta tak berguna ini" ujar biarawati Lenys sambil menunjuk pendeta Alfred.
"HAH!? SIAPA YANG KAU BI— HMMMM! MMMMHHMMM!" namun belum sempat menyelesaikan kalimatnya, mulut pendeta itu dibekap oleh kedua tangan biarawati Lenys.
"S—saya akan memastikan pendeta ini akan membantu anda membangun koneksi dengan kuil Windtar di sini" lanjut biarawati Lenys sambil tersenyum yang sedikit dipaksakan.
"HMMMMMH! HMMMMMMM!!!" pendeta Alfred terus berusaha berteriak untuk menjebol barrier penghalang yang terbentuk dari dua telapak tangan biarawatinya.
"B—baiklah, aku serahkan padamu…" balas Ring dengan senyum aneh.
Biarawati Lenys kemudian menarik pendeta Alfred dan membawanya keluar dari kuil. Kini Ring duduk sendirian di dalam kuil itu dengan wajah yang murung dipenuhi rasa gundah dan bingung dalam hatinya.
"Oh The Creator, apa yang harus kulakukan?" ucap Ring.
Ia memejamkan matanya. Tapi tanpa terasa, akhirnya ia pun tertidur. Di kursi paling depan, di ruangan doa kuil itu, ia tertidur.
Sementara itu di luar kuil.
"WOOOY! GÜNDIRK! KELUARLAH! AKU PUNYA URUSAN DENGANMU!!" panggil pendeta Alfred sambil mengetuk-ngetuk pintu.
Atau setidaknya itu yang ia rasakan, walau sebenarnya daripada mengetuk itu lebih seperti memukul.
"Apa!? Pagi-pagi sudah ngajak berantem!" sahut pendeta Gündirk sambil membuka pintu.
"Kirimkan pesan untukku! Cepat!!!" tegas pendeta Alfred meminta.
"Haaah!?" sahut pendeta Gündirk yang kebingungan dengan permintaan yang tiba-tiba itu.
"Kamu sudah tuli, ya!? Aku bilang kirimkan pesan untukku!!!" ucap pendeta Alfred lebih lantang.
"Ya, aku sudah mendengarnya! Yang aku pertanyakan adalah pesan apa? Dan dikirim ke mana?" tanya pendeta Gündirk.
"Bukan aku yang ingin mengirim pesannya! Tapi seseorang yang kukenal! Ayo ikut aku!" ajak pendeta Alfred.
"Baiklah, baiklah. Jadi dimana orangnya?" sahut pendeta Gündirk lalu bertanya.
"Lenys, panggilkan dia kemari!" suruh pendeta Alfred pada biarawatinya.
"Baik, sebentar, pendeta!" sahut biarawati Lenys.
Biarawati Lenys langsung berlari kembali ke dalam kuil Aquoz. Ia masuk dan menghanpiri tempat duduk Ring. Namun sesampainya di sana, ia mendapati Ring sedang tertidur pulas dengan wajah yang sangat tenang dan penuh kedamaian.
"Ah, aku ingin memberitahukan kalau kami berhasil membujuk pendeta Gündirk dari kuil Windtar untuk mengirimkan pesannya. Namun, aku tak tega membangunkannya saat ia sedang tertidur dengan penuh kedamaian seperti ini. Wajahnya imut sekali saat tidur~" ujar biarawati Lenys saat melihat wajah tidur Ring.
Saat itu pintu kuil tiba-tiba saja terbuka. Biarawati Lenys menoleh ke arah pintu dan melihat kalau yang datang saat ini adalah Aruthor.
"Pangeran Aruthor?" ucap biarawati Lenys ketika melihatnya.
"Nona biarawati, apa nona Ring ada di sini?" tanya Aruthor.
"Ya, beliau ada di sini. Tapi nampaknya beliau sedang beristirahat" jawab biarawati Lenys menunjuk ke arah Ring di depannya.
"Begitu ya. Kalau begitu saat bangun nanti tolong sampaikan pada nona Ring kalau beliau diminta segera datang ke istana. Ibuku ingin segera mendengar kabar tentang penunjukkan calon Hero dari negara ini" ungkap Aruthor.
"Baiklah, akan saya sampaikan" sahut biarawati Lenys.
Aruthor berbalik dan berniat berjalan keluar dari kuil.
"Tunggu, pangeran!" panggil biarawati Lenys.
"Ada apa?" sahut Aruthor menoleh.
"Sebelumnya, bolehkah saya meminta tolong pada pangeran? Sebentar~ saja!" ungkap biarawati Lenys memohon.
"Eh, me—meminta tolong? Padaku!? B—boleh saja sih, tapi minta tolong apa emangnya?" sahut Aruthor agak terkejut.
"Pangeran juga tahu tentang detail permintaan penunjukan pahlawan yang diminta oleh Yang Mulia ratu Nurolia kan?" tanya biarawati Lenys.
"Ya, aku tahu. Memangnya kenapa?" jawab Aruthor lalu bertanya.
"Sebenarnya kami berniat untuk menghubungi langsung kuil pusat kami di Brightion dengan bantuan dari pendeta Gündirk dari kuil Windtar. Tapi karena nona Ring sedang beristirahat, maka kami ingin meminta bantuan pangeran sebagai gantinya" jelas biarawati Lenys.
"Bantuanku? Memangnya tidak masalah aku yang melakukannya?" tanya Aruthor lagi.
"Tidak masalah-tidak masalah! Ayo ikut dengan saya!" ajak biarawati Lenys.
Aruthor kemudian dibawa ke kuil Windtar. Di dalam kuil terlihat pendeta Alfred, pendeta Gündirk, dan biarawatinya, Mara terlihat sedang menunggu sambil duduk di kursi do'a. Ketika pintu kuil terbuka, mereka menoleh ke arah pintu kuil. Terlihat biarawati Lenys yang berjalan memandu pangeran Aruthor yang berpakaian layaknya rakyat jelata di belakangnya.
"Kenapa dia malah membawa pangeran Aruthor!!?? Apa maksudmu membawanya, Lenys!?" gerutu pendeta Alfred dalam hatinya yang mengejutkannya sama-sama dengan gaya teriak-teriak.
"Oh, kalian sudah datang. Ayo, mendekatlah kemari" ujar pendeta Gündirk mempersilakan.
Biarawati Lenys mengangguk. Kemudian ia berjalan membawa Aruthor mendekat ke pendeta Gündirk yang kini berdiri di depan mimbar do'a.
"Baiklah, aku akan mulai menghubungi kuil pusat. Sebentar, aku akan menyiapkan koneksinya terlebih dahulu" ujar pendeta Gündirk.
Pendeta Gündirk kemudian berbalik menghadap ke arah patung dewi Sylphid. Kemudian ia mulai melipat tangannya menyilang di depan dadanya. Sehingga kini tangan kanannya menyentuh pundak kiri, dan sebaliknya. Dan ia melakukannya sambil berlutut ke patung dewi Sylphid yang berada di hadapannya.
Patung dewi Sylphid yang ada di depan pendeta Gündirk berukuran tinggi sekitar 1 meter. Itu adalah patung batu dengan wujud perempuan cantik berambut panjang yang dudu di singgasana dengan pose layaknya seorang ratu. Dengan kaki kanan di atas kaki kirinya, tangan kiri di atas paha kanan, dan tangan kanan bertumpu di pegangan tangan kursi sambil menyangga dagu, sosok dewi itu duduk agak miring ke kanan. Jenis pakaian yang dipakainya bisa dibilang sangat seksi, yaitu hanya seperti sehelai kain sutera yang membalut tubuh sensual nan dewasanya itu yang merekat ke tubuhnya oleh rantai dan pelat logam yang kalau aslinya mungkin dari emas. Sayangnya itu hanya patung maka semuanya hanya wujud imitasi dari batu.
"[Linked Wind, Heaven's Way]" rapal pendeta Gündirk.
Tubuh pendeta Gündirk mengeluarkan cahaya lalu angin berhembus ke dalam kuil melalui celah di atas mimbar do'a tepat di atas patung dewi Sylphid berada. Angin itu masuk dan mulai berhembus menerpa pendeta Gündirk lalu lewat menembus ke celah yang berada di atas pintu bagian depan kuil.
"Baiklah koneksi sudah terjalin. Aku sudah bisa berkomunikasi dengan kuil pusat di Brightion" ungkap pendeta Gündirk.
'Gündirk kah? Ada apa kamu tiba-tiba menghubungkan dirimu ke jalur komunikasi angin utama Windtar? Apa ada sesuatu yang darurat?' tanya seseorang.
Suara itu datang bersama angin yang mengalir ke telinga pendeta Gündirk secara langsung. Namun bukan berarti suara itu terbawa oleh angin, tapi lebih ke udara yang bergetar dan angin sebagai media kabel untuk mengirim sinyal getaran dari tempat "caster" ke "receiver". Konsepnya mirip seperti radio.
"Saya dimintai untuk mengirim pesan penting ke kuil pusat 4 spirit. Bersediakah anda membantu kami, Arcpriest?" jawab pendeta Gündirk.
'Pesan penting? Pesan penting apa?' tanya Arcpriest.
"Sebentar, biar orangnya langsung yang menyampaikannya kepada anda" balas pendeta Gündirk.
Pendeta Gündirk menoleh ke arah Aruthor. Aruthor bingung, tak mengerti maksud tatapan dari pendeta Gündirk itu.
"Kenapa diam saja? Kemarilah! Dan katakan yang ingin kau sampaikan pada kuil pusat di sini!" suruh pendeta Gündirk.
"B—baik!" sahut Aruthor.
Aruthor buru-buru berlari menghampiri pendeta Gündirk.
"Berlutut dan mulai berbicara" instruksi pendeta Gündirk.
Aruthor menurutinya dan mulai berlutut.
"A—aku harus ngomong apa?" ucap Aruthor dalam benaknya terlihat gugup dan bingung.
'Oi bocah, cepat katakan urusanmu!' pinta Arcpriest.
""Bocah"? K—kamu bisa melihatku?" tanya Aruthor kaget.
'Tentu saja, aku bisa melihatmu dengan jelas di sini. Jadi cepat katakan urusanmu!' bentak Arcpriest.
Aruthor gemetaran karena terus dibentak oleh suara yang garang itu.
[ "Jangan terlalu membentaknya, Arcpriest. Dia adalah calon "Jawara"ku. Jangan membuatnya jadi enggan untuk menjadi milikku." ]
Terdengar suara lain oleh telinga Aruthor. Itu adalah suara yang berwarna "majestic". Namun daripada suara anggun yang elegan, itu lebih ke suara tipe "ojou-sama" muda yang manja dan egois.
'Yang Agung dewi Sylphid!?' ucap Arcpriest dengan nada kaget.
[ "Mundurlah, Arcpriest. Biar aku yang berbicara kepadanya!" ]
"Apa yang terjadi sebenarnya? Tolong seseorang beritahu aku apa yang harus aku lakukan?" pikir Aruthor panik dan bingung.
[ "Namamu?" ]
"…"
[ "Aku tanya, siapa namamu!? Kenapa diam saja?" ]
"A—Aruthor Salazar Üdine" jawab Aruthor.
[ "Aruthor, katakan padaku, bersediakah kamu menjadi "champion"ku?" ]
"Champion?" ulang Aruthor karena tak mengerti.
[ "Champion. Jawara. Yang merepresentasikan kekuatanku. Yang menjadi wakilku di dunia." ]
"A—ah…" sahut Aruthor mulai mengerti.
[ "Jika kamu menjadi jawaraku, maka aku akan kabulkan apapun keinginanmu." ]
"A—apakah itu termasuk menjadikanku Hero?" tanya Aruthor mulai memberanikan dirinya.
[ "Oh, kamu ingin menjadi Hero? Itu malah lebih mudah untukku. Dengan wewenangku sebagai dewi, aku bisa dengan mudah menunjukmu menjadi Hero. Karena itu, jadilah jawaraku!" ]
"K—kamu serius kan?" tanya Aruthor.
[ "Tentu saja aku serius. Aku takkan menawarimu jika aku tidak serius denganmu. Nah, jadilah jawaraku! Maka aku akan menunjukmu menjadi Hero sesuai keinginanmu!" ]
"B—baiklah, aku bersedia" jawab Aruthor.
[ "Bagus. Mari kita mulai dengan mengikat kontrak." ]
"Kontrak?" sahut Aruthor bingung.
[ "Ya, kontrak yang akan menghubungkan kita. Yang akan menjadi bukti kalau kamu adalah Champion-ku, Hero-ku. Kontrak yang akan mengikat hubungan kita berdua." ]
"T—tapi aku tak tahu caranya" jawab Aruthor.
"Tunggu sebentar, apa maksudnya ini? Dari yang dikatakan oleh pangeran Aruthor, semua ini adalah tentang masalah penunjukkan Hero? Kalau begitu aku menolak ini! Pangeran ayo kita kembali ke kuil Aquoz! Kita akan menghubungi dewi Undyne untuk hal ini!" tegas pendeta Alfred bangkit dari duduknya.
"Jangan mengganggu, Alfred! Saat ini pangeran sedang berbicara dengan Yang Agung dewi Sylphid. Mundurlah!" pinta pendeta Gündirk.
"Tidak! Negara ini berada di wilayah pengaruh dewi Undyne! Jadi yang harusnya menjadikannya Hero adalah dewi Undyne!" tegas pendeta Alfred lagi.
[ "Diam kau, pendeta dari kuil Aquoz! Orangnya sendiri sudah bersedia untuk menjadi champion-ku! Maka dari itu, enyahlah! Atau kau mencoba untuk memancing amarahku!?" ]
Sosok peri hijau bersayap mirip sayap kupu-kupu muncul di depan patung dewi Sylphid. Dan bersamaan dengan bentakan darinya, angin yang sangat kuat berhembus dan mendorong jatuh tubuh pendeta Alfred hingga terduduk di lantai.
[ "Uwah! Di sini udaranya bau sekali! Hoek!" ]
Peri itu menutup hidungnya dengan cara menjepitnya dengan jari.
"Yang Agung dewi Sylphid!" ucap pendeta Gündirk langsung bersujud kepada sosok peri hijau itu.
Begitu pula dengan biarawati Mara.
[ "Cepat pergi dari sini, atau kutiup kamu sampai ke tengah lautan!" ]
Pendeta Alfred tampak ketakutan. Wajahnya memucat dan berkeringat dingin. Kedua kakinya gemetar. Ia tak bisa bergerak sedikit pun dari tempatnya terduduk itu. Ia hanya bisa menatap sosoj Sylphid dengan wajah yang penuh rasa takut.
"T—tunggu, jangan sakiti mereka!" pinta Aruthor yang berlari ke antara Sylphid dan pendeta Alfred.
[ "Oh, kamu mau membela mereka?" ]
"Tolong jangan sakiti mereka. Aku berjanji akan memenuhi kontraknya, jadi tolong jangan apa-apakan mereka berdua" pinta Aruthor.
[ "Baik. Sebagai dewi yang baik hati, aku akan mengampuni kelancangan mereka. Tapi aku tak mau mengikat kontrak di sini. Di sini udaranya tidak sedap. Pergilah ke Brightion, tepatnya ke kuil pusat 4 spirit di Lightvult. Kita akan mengikat kontraknya di sana. Aku akan menunggumu. Aku pamit!" ]
Sosok peri hijau itu pun menghilang.
Setelah hilangnya sosok dewi Sylphid, akhirnya suasana tegang sebelumnya menghilang. Udara yang terasa menekan juga ikut lenyap.
"Baik, akan saya sampaikan" ucap pendeta Gündirk berbicara pada seseorang yang tak ada di sana.
Pendeta Gündirk menoleh ke arah Aruthor.
"Permintaan pangeran sudah dikabulkan oleh kuil pusat. Mereka akan segera mengirimkan utusannya kemari untuk mengabarkan kenaikan pangeran menjadi kandidat Hero" ungkap pendeta Gündirk.
"Kandidat Hero?" ulang Aruthor.
"Ya. Mereka belum bisa menjadikan pangeran Hero resmi sebelum pangeran mengikat kontrak dengan dewi Sylphid. Jadi untuk titel resminya, pangeran akan mendapatkannya di sana. Di kuil pusat, di Lightvult, Brightion" jelas pendeta Gündirk.
"B—baiklah. Akan segera kusampaikan kepada ibuku supaya aku diizinkan untuk pergi ke sana" jawab Aruthor.
Aruthor berbalik dan menghadap pendeta Alfred.
"Paman pendeta, ayo kita kembali ke kuil Aquoz untuk mengabari nona Ring" ajak Aruthor pada pendeta Alfred yang masih terduduk di lantai.
"Ma—maaf, bisakah pangeran membantuku berdiri" pinta pendeta Alfred dengan wajah malu-malu.
"Merepotkan saja~" keluh biarawati Lenys.
Biarawati itu pun mencoba berjalan menghampiri pendetanya. Namun tiba-tiba saja dirinya jatuh duduk di lantai.
"Ah" ucapnya ketika sadar kakinya pun memiliki situasi yang sama dengan pendetanya.
Aruthor menoleh ke arah pendeta Gündirk dan biarawati Mara.
"Bisa kah aku meminta tolong kalian… membantuku?" ujar Aruthor.
Pendeta Gündirk terlihat menggeleng-gelengkan kepala sambil memegang dahi, sementara biarawati Mara menurunkan pundaknya dan menghela napas.
****
Di halaman istana, terlihat sekelompok orang sedang berkumpul. Namun mereka bukan sekelompok orang biasa. Mereka adalah keluarga kerajaan Pashqua dan pasukan pengawalnya.
Di depan kelompok itu hanya ada satu orang yang berdiri menyambut mereka. Dan dia adalah ratu Nurolia sendiri.
"Saya ucapkan selamat datang kepada utusan dari kerajaan Pashqua. Maaf apabila kami tak bisa memberikan kalian sambutan atau jamuan apapun karena kehadiran kalian yang begitu tiba-tiba" sapa Nurolia sambil mengangkat sedikit tepian roknya dan membungkuk.
"Tenang saja, aku tak mengharapkan sambutan apapun dari negara miskin seperti kalian" jawab putera mahkota kerajaan Pashqua, Rein.
"Oh, itu sangat membantu. Dengan kata lain, saya tidak perlu melakukan apapun, ya" sahut Nurolia kemudian tersenyum pada Rein.
"Sangat tidak sopan sekali. Meski begitu kami ini tetap tamu kan? Tetap berusahalah menyambut dan menjamu kami, meski kami akan menolak sambutan dan jamuan rendahan kalian" balas Rein.
"Tolong jangan begitu. Kalian datang kemari tanpa memberitahu apapun, lalu kalian membawa segini banyak pasukan dan meminta kami menyambut dan menjamu kalian, hanya untuk kalian menolaknya mentah-mentah? Kondisi negara kami tidak sedang sebaik itu untuk kami membuang-buang tenaga dan makanan. Nikmati saja seadanya yang ada di sekitar kalian" jawab Nurolia.
"Yang ada disekitar kami itu, apa itu termasuk dirimu, ratu Üdine?" tanya Rein yang mulai memperhatikan tubuh Nurolia.
Rein menyisir tubuh Nurolia mulai dari kepala hingga kaki dengan pandangannya. Saat ini ratu Nurolia memang sedang mengenakan pakaian gaun yang menutup hampir seluruh tubuhnya kecuali kepala, dan gaun itu memiliki lekukan kain yang menyembunyikan lekuk tubuh asli sang ratu. Sehingga Rein kesulitan untuk memastikan bentuk tubuh perempuan berwajah anggun nan cantik di hadapannya itu.
"Sial, pakaian keagungan macam apa itu? Dia benar-benar menyembunyikan semua asetnya. Yang bisa kulihat hanya wajah dan sebagian rambutnya saja. Tapi dia memang cantik sih, jadi bisa kutebak kalau tubuhnya juga kemungkinan sangat bagus" pikir Rein.
Dari samping, River, adiknya menyiku ulu hati Rein dan membuatnya kesakitan.
"Kakak! Jaga matamu! Jangan racuni matamu dengan wujud perempuan kampungan ini!" tegur River dengan setengah berbisik.
"Tak apa kan? Setidaknya itu bisa menyingkirkan "dahaga"ku ketika di sini" ungkap Rein.
"Tidak! Pokoknya tidak! Titik!" tegas River.
"Baik-baik, adikku sayang" sahut Rein.
Dan Nurolia bisa mendengar itu dengan jelas, pastinya pasukan pengawal mereka juga. Itu karena mereka memang sengaja tidak menyembunyikan pembicaraan mereka.
"Tadi anda bertanya apakah saya termasuk juga dalam yang saya tawarkan, kan?" tanya Nurolia.
"Ya" jawab Rein.
"Jawabannya adalah… tidak. Saya tidak termasuk dan tidak akan pernah. Saya beserta jiwa saya sudah menjadi bagian dari seseorang" jawab Nurolia.
"Maksudmu raja Üdine? Tapi dia sudah mati. Sekarang kamu sudah bukan milik siapapun!" ujar Rein dengan yakin.
"…" Nurolia tak menjawabnya dan hanya tersenyum.
Dia bukannya tak mau menjawab, namun ia ragu kalau putera mahkota kerajaan Pashqua akan dapat mengerti penjelasannya. Lagipula yang hendak ia katakan bukanlah sesuatu hal yang wajar untuk standar masa ini. Mungkin yang bisa mengerti hanya para Spirit Lord, Dragon Emperor, dan ‹Magic King› saja.
"Tetapi, apa-apaan dengan keadaan istanamu ini, ratu Üdine. Kenapa banyak sekali kerusakan disana-sini?" tanya Rein ketika melihat kondisi benteng samping dan jendela balkon istana.
"Banyak yang terjadi di sini, utusan Pashqua. Saat ini pun kami sedang memusatkan perbaikan pada kota terlebih dahulu sebelum istana. Kami juga harus memperbaiki pasokan air. Jadi kami sibuk sekali saat ini" jelas Nurolia.
"Jadi karena itu tak ada satu prajurit pun yang berjaga di sini?" tanya Rein.
"Ya. Jangankan prajurit, pelayan dan tukang kebun pun tak ada. Hanya ada aku dan seseorang" jawab Nurolia dengan jujur.
"Oh, tak kusangka ada kesempatan bagus semacam ini. Kalau aku berhasil, maka pencapaianku akan lebih cemerlang lagi. Aku akan lebih bersinar lagi. Dan kesempatanku untuk menjadi Hero akan semakin besar. Hahahaha… aku memang sangat beruntung! Kapan lagi coba dapat kesempatan menaklukan pusat kerajaan musuh dengan hanya pasukan pengawal?" pikir Rein mulai tersenyum menyeringai.
Rein menunjuk ke arah ratu Nurolia dan mulai membuka mulutnya.
"Sera—"
"[Great Flood]" ucap River memotong perkataan Rein.
River mengarahkan moncong payungnya yang sudah terlipat itu ke arah Nurolia. Dan seketika dari ujung moncong payung itu pun keluar menyembur dalam jumlah banyak, air yang mengalir dengan deras dan ganas menuju tepat ke arah Nurolia berdiri. Aliran air itu sangat cepat hingga mustahil bagi siapapun untuk menghindar. Tingginya saja sekitar setengah tinggi istana. Itu adalah aliran air yang mengerikan.
****