Chapter 20

~The Witch and The Prince (part 10)~

"Oh ini dia yang aku cari."

Seorang perempuan bertopeng dan berjubah tudung putih, saat ini nampak sedang dikepung oleh beberapa orang laki-laki berpakaian kumuh dan memegang berbagai senjata sederhana seperti pisau, tali, serta kapak.

"Kamu sepertinya orang kaya, ayo cepat keluarkan semua uangmu sekarang juga. Cuma beberapa koin emas tidak akan membuatmu miskin kan?"

"Ya… ayo cepat keluarkan semua barang berhargamu!"

"Makanan! Kalau ada makanan keluarkan juga!"

Para lelaki kumuh itu meminta perempuan bertopeng yang mereka kepung itu untuk menyerahkan semua yang menjadi miliknya. Mereka menganggap perempuan itu hanya sekedar orang kaya. Mereka tak tahu kalau di dalamnya adalah seorang ratu dari kerajaan Üdine yang berada di seberang lautan.

"Pahlawan telah datang! Hiiaaaaa!!!"

Seorang anak laki-laki berambut hitam dan berkulit cokelat terlihat berlari datang dari seberang jalan. Di tangannya terlihat sebuah pedang kayu dan perisai bulat yang juga dari kayu.

Anak laki-laki itu berlari dan menerjang ke arah salah satu orang yang ada di sana. Lalu ia mengayunkan pedang kayunya ke arah orang yang diincarnya tersebut. Namun orang itu dengan sigap menghindarinya.

"Takkan kubiarkan menghindar! [Aquablade]!!!"

Anak laki-laki itu melakukan ayunan kedua, dan dari pedangnya pun keluar sebuah sabit air yang melesat ke arah orang yang menghindari ayunan pertamanya itu. Akan tetapi sabit air tak terlalu kuat dan hanya seperti seraman air, sabit air itu hanya membuat basah orang tersebut.

"Anak berengs◦k!"

Orang itu pun kesal karena tubuhnya jadi basah kuyup, meski perlahan terlihat basah itu hilang karena air tersebut diciptakan dari ‹Mana›. Tapi orang itu nampak langsung memukulkan tinjunya ke arah anak laki-laki tadi. Namun anak laki-laki tersebut menahannya menggunakan perisai kayunya.

"Aduh! Sakit, berengs◦k!"

Orang itu kesakitan karena tinjunya menghantam perisai kayu.

"Melawan bocah ini saja kau sudah kewalahan! Payah banget. Lihat nih perhatikan!"

Salah satu temannya dengan percaya diri maju ke arah si anak laki-laki. Di tangannya terlihat ada sebuah pisau yang diacungkan ke arah anak laki-laki tersebut untuk mengintimidasinya.

"[Aquablade]!!!"

Anak itu kembali mengayunkan pedang kayunya dan melesatkan sebuah sabit air. Orang yang tadi penuh kepercayaan diri itu pun langsung berubah cemberut karena tubuhnya dibuat basah kuyup. Teman-temannya pun menertawakan kekonyolannya itu.

"Anak bangs◦t!"

Orang itu dengan kesal mengayunkan pisau di tangannya mencoba untuk menebas anak laki-laki di depannya. Tapi anak laki-laki itu menahan dengan perisai kayunya dengan cekatan. Pisau dapur itu pun hanya menggores perisai bulat dari kayu tersebut.

"Menyingkir sana, bocah! Kalau tidak mau celaka cepat pergi dari hadapan kami!"

"Tidak! Aku adalah pahlawan kota ini! Aku akan menyelamatkan orang-orang yang membutuhkan dan membasmi kejahatan!"

"Apa kau sudah gila, bocah! Orang-orang yang membutuhkan itu kita! Buat apa kau menolong orang kaya ini! Dia itu sudah hidup enak selama ini, dia tak membutuhkan apapun! Kita lah yang membutuhkan pertolongan!"

"Diam, kau penjahat! Aku akan menghukum kejahatan kalian!"

"Sepertinya sia-sia saja kita membujuknya. Anak itu sepertinya memang sudah gila."

Merasa berbicara hanya sia-sia saja, akhirnya orang-orang yang hendak merampok Nurolia itu kini ganti mengepung si anak laki-laki itu untuk membereskannya terlebih dahulu.

"Berhenti di sana, tuan-tuan" ucap Nurolia yang sedari tadi hanya diam.

Orang-orang yang mengepung anak laki-laki itu pun semuanya menoleh ke arah Nurolia, begitu pula dengan anak laki-laki tersebut.

"Hentikan niatan kalian itu. Bukankah kalian hanya menginginkan uang? Kalau aku memberikannya, maukah kalian meninggalkan kami setelahnya?" lanjut Nurolia mencoba bernegosiasi.

"Apa yang kamu lakukan! Jangan bernegosiasi dengan penjahat!" bentak anak laki-laki menegurnya.

"Maaf nak, tapi waktuku itu terbatas di sini. Itu hanya antara aku melenyapkan mereka atau aku memberikan yang mereka inginkan" ungkap Nurolia.

Mendengar kata "melenyapkan", orang-orang yang hendak merampok itu seketika menjadi kesal.

"Oh, mulutmu songong juga ya seenaknya mengatakan kalau kau mau melenyapkan kami. Apa kau sadar posisimu ada dimana?"

"Ayo kita hajar mereka berdua bersamaan saja!"

"Oh itu ide bagus!"

Terlihat mereka pun membagi dua kelompok mereka dan membagi tugas untuk menghajar dua orang yang mengoposisi mereka itu masing-masing.

"[Aquablade]!!!"

Ketiga orang yang berbalik membelakangi anak laki-laki itu pun langsung basah karena diserang dari belakang oleh anak laki-laki tersebut.

"Terserahlah. Hei kalian! Urus dia baik-baik! Biar kami yang mengurus yang di sini!"

"Oke, oke! Serahkan pada kami!"

Orang-orang itu pun tak mempedulikan meski tubuh mereka basah dan terus berjalan ke arah Nurolia. Nurolia tersenyum di balik topengnya.

"Awalnya kami memang berniat untuk hanya merampokmu, tapi sekarang kami memutuskan untuk membunuhmu saja dan baru setelah itu mengambil barang-barangmu. Itu karena kamu telah membuat kami marah!"

"Oh, itu keputusan yang kurang bijaksana" komentar Nurolia.

Mereka pun berlari maju untuk menyerang Nurolia secara bersamaan. Akan tetapi Nurolia dengan santai hanya berdiri di sana membiarkan orang-orang itu mendekat.

"Awas!" ucap anak laki-laki terlihat khawatir.

"(Kekhawatiranmu itu tak diperlukan, nak. Karena…)" ucap Nurolia.

Tiba-tiba semuanya bergerak sangat lambat. Semua yang ada di sekitar Nurolia bergerak sangat lambat. Bahkan sampai orang-orang yang berlari ke arahnya terlihat seperti berhenti, meski jika diperhatikan baik-baik sebenarnya mereka bergerak hanya saja sangat lambat.

"(…aku bisa melakukan ini)" lanjutnya.

Nurolia melirik dan menoleh melihat-lihat sekitarnya. Ia tak menemukan ada orang lain yang memperhatikan mereka kecuali satu orang. Yaitu seorang anak perempuan yang saat ini mengintip sambil sembunyi di balik tembok bangunan sebuah rumah.

"(Oh, siapa dia kira-kira?)" gumam Nurolia ketika menemukannya.

Nurolia berpindah dengan cepat ke sebelah anak perempuan itu. Nurolia berjongkok dan memperhatikan baik-baik wajah anak perempuan itu.

"(Hmm~ begitu ya. Dia adik anak laki-laki tadi ya? Apa itu artinya anak laki-laki tadi meninggalkan adiknya di sini untuk mencoba menyelamatkanku? Sungguh berjiwa pahlawan sekali ya~)" pikir Nurolia ketika memperhatikan wajah imut anak perempuan itu dari dekat.

Nurolia kembali memberjalankan waktu pada kecepatan semestinya.

Orang-orang yang menerjang ke arahnya sebelumnya pun dibuat bingung karena tiba-tiba saja orang yang ada di depan mereka sudah lenyap.

"Hah, orang yang hendak kakak selamatkan malah menghilang? Kalau bisa begitu kenapa tidak lakukan sejak awal saja! Kakak tidak akan terlibat hal konyol begini kalau kau melakukannya sejak awal!" gerutu anak perempuan itu dengan kesal.

"Siapa yang kamu sebut menghilang?" tanya Nurolia dari sebelahnya.

"Whoa!?" anak perempuan itu terkejut.

Ia berbalik dengan buru-buru namun ia langsung jatuh terduduk di tanah karena tak hati-hati.

"Aduh~ pantatku sakit sekali!" rintih anak perempuan itu kesakitan.

"Berhati-hatilah sedikit, nak. Kamu tidak apa-apa kan?" ujar Nurolia mencoba membangunkan anak perempuan itu.

"Terima kasih. Tidak, tunggu! Kenapa kau bisa ada di sini!? Tadi kau di sana! Kenapa bisa langsung ada di sini?" sahut anak perempuan itu kemudian langsung mencecar Nurolia dengan pertanyaan ketika sadar.

"Tidak perlu kamu mengetahui bagaimana caranya, yang pasti sekarang aku ada di sini, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu. Apa kamu tahu di mana tempat para kriminal sering berkumpul di kota ini?" tanya Nurolia.

"Tempat para kriminal? Mau apa kau menanyakan tempat kriminal?" tanya balik anak perempuan itu sambil menunjuk ke arah Nurolia.

"Bukan urusanmu, nak. Jawab saja pertanyaanku, dan akan kuselamatkan kakakmu dari situasinya sekarang ini" pinta Nurolia sambil menawarkan pertukaran.

"Oh iya, kakak!" ucap anak perempuan itu baru menyadari itu.

Anak perempuan itu langsung mengintip lagi ke arah kakaknya berada. Ia pun bisa melihat kalau kakaknya saat ini sedang dikepung dan ia hanya bisa menahan setiap serangan orang-orang yang mengepungnya itu dengan perisai bulat kayunya itu. Meski perisai itu semakin lama semakin rusak akibat hantaman pisau dan kapak dari para perampok itu.

"Kelihatannya kakakmu sedang dalam situasi yang berbahaya ya" komentar Nurolia dari samping anak perempuan itu.

"Kakak~" ucap anak perempuan itu terlihat khawatir.

"Aku bisa menolongnya kapan pun kamu mau. Hanya saja kamu harus menjawab pertanyaanku tadi, nak" ujar Nurolia lagi.

"B—baiklah. Akan kuberitahu" ujar anak perempuan itu tanpa ragu.

Situasi anak laki-laki yang menyebut dirinya sebagai pahlawan itu terlihat semakin terpojok oleh para perampok itu.

"Makan nih, bocah sialan!"

Sebuah kapak terayun kepadanya. Anak laki-laki itu kembali menahannya. Namun perisainya yang sudah rusak parah kini langsung hancur terbelah oleh hantaman kapak tersebut.

"Tch!"

Anak itu mendecakkan lidahnya dan melempar perisai yang kini hanya tinggal pegangannya itu ke tanah. Sekarang ia menggenggam pedang kayunya dengan kedua tangannya.

"Hahaha! Sekarang kamu sudah tak bisa apa-apa lagi! Perisaimu itu sudah jadi kayu bakar saat ini!"

"Hahahaha!"

Para perampok itu menertawakan anak laki-laki di hadapan mereka itu.

"Aku takkan pernah menyerah hingga akhir! Hingga titik darah penghabisan! Karena aku adalah pahlawan!" tegas anak itu tanpa keraguan sama sekali dalam sorot matanya.

"Anak ini benar-benar sudah sinting rupanya."

"Ayo cepat kita habisi saja dia."

"Iya, lagipula tanganku sudah gatal."

"Oke, oke! Tapi harus ngomong apa lagi kita pada boss kalau hari ini kita gagal lagi mendapatkan uang?"

"Kita seret saja mayat anak ini padanya! Bilang kalau anak ini menghalangi kita dan akhirnya target kita jadi kabur karenanya!"

"Oh idemu bagus juga! Mari kita lakukan itu!"

Para perampok itu pun kini mulai mengalihkan rasa haus membunuh mereka ke arah anak laki-laki yang mereka bicarakan. Kemudian mereka pun mulai menyerang secara bersamaan ke arah anak itu, membuatnya mustahil untuk menghindar maupun menangkis semua serangan itu.

Namun semua serangan itu rupanya hanya mengenai tanah dan udara kosong. Wujud anak yang mereka serang sudah tak ada lagi di depan mereka. Mereka pun dibuat terkejut oleh kejadian yang sama yang terjadi dua kali tepat di depan mata kepala mereka itu.

"Apa yang terjadi!?"

"Dia menghilang!?"

"Bagaimana bisa!?"

"Mana aku tahu!"

"Apa ini kekuatan sihir?"

"Bisa jadi!"

"Sihir itu memang mengerikan!"

Sementara para perampok itu menggerutu karena kehilangan targetnya, di balik sebuah bangunan anak laki-laki yang mengaku pahlawan yang tadi dikepung itu kini sedang terduduk di tanah dengan wajah penuh kebingungan.

"Kakak!" panggil anak perempuan di depannya yang langsung memeluknya.

"Eh, Sofia!? Kenapa aku tiba-tiba ada di sini?" ucap anak laki-laki itu bertanya dengan penuh rasa bingung dan penasaran.

"Tadi orang yang mau kakak muncul di sini, dan dia bilang dia bisa menyelamatkan kakak. Jadi aku minta dia menyelamatkanmu" jelas adiknya itu yang ia panggil Sofia.

"Apa benar begitu? Jadi sekarang dia ada di mana?" tanya kakaknya itu lagi.

"Tadi dia di sini, tapi tepat saat kakak muncul, saat itu juga dia menghilang. Seolah kakak menggantikan posisi orang itu" jawab Sofia.

"Hah!? Kalau gitu jangan bilang—" ucap kakaknya lalu buru-buru mengintip ke arah para perampok.

Namun di sana hanya ada perampok yang masih kebingungan dengan situasi yang terjadi kepada mereka.

"Sepertinya dugaanku salah. Dia sepertinya sudah pergi. Kalau begitu ayo kita juga segera pergi. Akan bahaya jika para perampok itu mulai mencari sekitar sini dan menemukan kita saat ini" ajak kakaknya bernapas lega.

"Ayo! Ayo kita pulang, kak Joshua!" sahut Sofia mengangguk.

Kakaknya yang bernama Joshua itu pun ikut mengangguk.

****

Di depan Aruthor saat ini ada seekor naga yang sedang mencoba untuk menembakkan napas badainya. Aruthor melihat Ring terbang ke arah lain menjauh dari mereka.

"(Begitu ya, nona Ring saat ini sedang mencoba mengalihkan arah serangan naga itu supaya tidak mengenaiku juga guru Würgar dan juga kota di belakang kami. Memang sih, jika itu adalah nona Ring, maka dengan kecepatannya dia akan bisa menghindari serangan itu dengan mudah)" pikir Aruthor.

Namun meski Ring sudah terbang cukup jauh, naga itu sama sekali tak menolehkan wajahnya sedikit pun. Naga itu tetap mengarahkan napasnya ke arah Aruthor dan Baluztar.

"(Apa!? Kenapa dia masih menghadap kemari? Apa dia sebenarnya tidak mengincar nona Ring dan malah aku!?)" tukas Aruthor mulai panik.

Wajah Aruthor langsung memucat dan mulai berkeringat dingin. Kakinya gemetar dan begitu pula dengan tangannya yang membuat pedang yang ia genggam bergetar juga. Aruthor melihat ke Baluztar dan terlihat jenderal itu juga sama gemetarannya dengan dirinya.

"Kuatkan dirimu, pangeran! Ini mungkin hari terakhir kita, tapi mari kita jadikan saat-saat terakhir kita penuh kebanggaan sebagai kesatria yang terus berdiri hingga akhir!" tegas Baluztar dari depannya.

Mendengar perkataan Baluztar, Aruthor pun kembali bisa berpikir jernih. Rasa takut dan teror sedikit menghilang dari hatinya.

"(Benar juga, aku ini adalah pangeran kerajaan Üdine! Aku harus berdiri hingga akhir untuk melawan musuh-musuhku! Aku tak boleh gentar!)" ujar Aruthor.

Aruthor mengeratkan genggamannya ke pedangnya.

"Ayo sini, naga sialan!" pekik jenderal Baluztar.

Naga itu pun kemudian menembakkan napas badainya. Napas badai itu mengarah langsung ke arah Aruthor dan Baluztar. Napas itu melesat cepat sekali sehingga mustahil bagi kedua targetnya itu untuk menghindar. Terlihat wajah takut dan panik di wajah keduanya, namun mereka tetap berusaha merapatkan gigi mereka menahan diri supaya tidak berteriak meskipun mereka sangat ingin melakukannya saat ini.

Tapi seketika napas badai itu berhenti.

"(Kalau mau mati, tolong jangan ajak puteraku, jenderal Würgar)" ujar Nurolia yang berjalan dari belakang Aruthor mendekati mereka.

Semuanya tampak berhenti total. Tak ada satupun yang bergerak. Hanya Nurolia yang terlihat sedang membentangkan sayapnya lah yang masih bergerak saat ini.

"(Sepertinya firasatku memang benar. Kamu memang dalam bahaya ya, puteraku. Jadi seperti janjiku, aku akan menyelamatkanmu)" ujar Nurolia sambil memegang pundak Aruthor.

Sayap cahaya Nurolia kemudian mulai melilit tubuh Aruthor dan membungkusnya.

"(Meski telah lancang mengajak puteraku mati, aku juga akan tetap menyelamatkanmu, jenderal Würgar. Karena kamu masih akan berguna untukku)" lanjut Nurolia melilitkan juga sayapnya ke tubuh Baluztar.

Nurolia pun mengangkat tubuh dua laki-laki yang mustahil dibawanya secara fisik itu dengan sayap cahayanya. Kedua tubuh itu terangkat dengan mudahnya seolah tanpa memiliki berat apapun.

Nurolia berbalik lalu membawa tubuh keduanya bersamanya. Ia berjalan menuju ke arah kota dengan santai dan sama sekali tak ada kecemasan sedikit pun di wajahnya. Ia berjalan orang-orang yang nampak diam tak bergerak layaknya sebuah manekin. Begitu pula dengan burung-burung, serangga, dedaunan, dan lain sebagainya. Mereka terlihat seperti menjadi patung dan boneka, mereka berhenti dan beberapanya tampak berhenti dengan melayan di udara. Itu adalah pemandangan yang tak bisa dilihat oleh siapapun kecuali Nurolia saat ini.

"(Sayap, tolong selamatkan mereka juga)" pinta Nurolia pada sayapnya.

Tapi sayapnya tidak mematuhi perintahnya. Ujung sayapnya mendekat ke wajahnya dan menggoyangkan dirinya seolah berkata "tidak".

"(Kenapa?)" tanya Nurolia.

Sayap itu membentuk sebuah tulisan, "kehendak The Creator of All Creations".

"(Lalu apa yang akan terjadi jika aku mengubah takdir mereka?)" tanya Nurolia lagi.

Sayap itu kembali membentuk tulisan, "tidak akan bisa".

Nurolia menghampiri salah satu rakyatnya itu dan menyentuh mereka. Namun saat menyentuhnya, Nurolia terkejut. Ia tak bisa menyentuhnya. Lebih tepatnya, ia tak terpengaruh oleh dunia luarnya dan tak bisa mempengaruhi mereka.

Sayap itu membentuk tulisan, "seharusnya pengguna tahu".

Lalu tulisan berubah, "pengguna ada di dunia yang waktunya berhenti".

Lalu tulisan berubah lagi, "itu artinya semuanya stagnan".

Lalu tulisan menjadi, "semuanya berhenti".

Lalu tulisan menjadi, "semuanya tak bisa bergerak dan tak bisa digerakkan".

Lalu tulisan menjadi, "itu artinya udara disekitar pun akan terasa menjadi dinding kokoh tak tergerakkan dan tak terhancurkan".

Lalu tulisan menjadi, "itu artinya meski pengguna sadar di dalam dunia yang waktunya berhenti maka mustahil bagi pengguna untuk bergerak".

Lalu tulisan menjadi, "pengguna hanya akan jadi seperti mereka".

Lalu tulisan menjadi, "sejauh kesadaran pengguna bertahan sejauh itu pula pengguna akan melihat dunia bagai lukisan".

Lalu tulisan menjadi, "pengguna akan terjebak selamanya".

Lalu tulisan menjadi, "itulah yang akan terjadi apabila pengguna tak memiliki bantuan kami".

Lalu tulisan menjadi, "dan bantuan kami tak bisa diberikan tanpa kehendakNYA".

Lalu tulisan menjadi, "karena kekuatan kami bekerja dan berjalan sesuai kehendakNYA".

Setelah membaca semua itu, Nurolia pun sadar kalau ia memang tak memiliki daya apapun saat ini untuk bertindak diluar kehendak The Creator of All Creations. Ia melihat ke telapak tangan kanannya, ia tak merasakan sesuatu yang berbeda pada dirinya. Tetapi dunia di sekitarnya menjadi seperti suatu lukisan 4 dimensi yang membuatnya hanya bisa melihat tanpa bisa melakukan apapun kepada mereka. Nurolia kemudian menoleh ke belakangnya, melihat ke dua oranh yang ia bawa bersamanya.

"(Lalu kenapa aku diizinkan untuk membawa mereka?)" tanya Nurolia.

Sayap lalu membentuk tulisan, "karena mereka berbagi takdir dengan The One Who Have Guidance".

Lalu berubah menjadi, "maka The Creator of All Creations berkehendak atas keselamatan mereka".

"(Begitu ya. Bersyukurlah Aruthor, jenderal Würgar, kalian selamat karena kehadiran beliau)" ungkap Nurolia.

Nurolia kemudian melanjutkan langkahnya lagi. Ia mencoba menahan ekspresi kekhawatirannya karena mau bagaimana pun ia tahu yang akan menimpa mereka kalau waktu kembali diberjalankan, napas badai naga tadi akan menghantam tanah dan gelombang kejutnya akan menghancurkan sebagian besar kotanya itu juga dengan penduduknya.

Karena itu, untuk menyelamatkan Aruthor dan Baluztar, Nurolia membawa mereka berdua ke tempat terjauh dari istana. Salah satunya adalah kuil Aquoz dan kuil Windtar yang saling bersebelahan juga hanya beberapa langkah dari gerbang benteng kota.

Nurolia meletakan mereka berdua di halaman kuil Aquoz, tepat di sebelah pendeta Alfred dan biarawati Lenys.

"(Biasanya kuil itu diletakan di tengah kota, kok ini mepet banget ke gerbang?)" komentar Nurolia yang bingung dengan penempatan kedua kuil tersebut.

Setelah berhasil meletakan kedua orang yang dibawanya dengan aman, Nurolia pun menghilang dari tempat itu. Dan bersamaan dengan hilangnya wujud Nurolia, waktu kembali berjalan. Saat itulah ledakan terjadi dari arah istana. Menciptakan gelombang kejut yang memporak-porandakan segalanya dalam radius 1 kilometer, menghancurkan radius 2 kilometer, dan merusak radius 3 kilometer, dan sisanya diguncang oleh tremor hebat secara fisik maupun mental.

"Aqua Dragon itu benar-benar berbahaya sekali! Akan bahaya jika ia sampai menyerang kemari juga!" ungkap pendeta Alfred dengan volume suara biasa.

"Tumben pendeta berbicara dengan suara biasa" komentar biarawati Lenys.

"Hah? Suara biasa? Apa maksudmu? Ini aku sedang berbisik!" ungkap pendeta Alfred.

"Eh, jadi begitu suara berbisikmu!?" ucap biarawati Lenys terkejut.

Sementara Aruthor dan Baluztar terkejut oleh hal yang berbeda. Mereka terkejut karena pemandangan di depan mata mereka yang tiba-tiba saja berubah total. Dari pemandangan napas badai, kini jadi sebuah kuil dengan seorang pendeta dan seorang biarawati di depan mereka.

Mereka sangat terkejut hingga mereka tak menyadari ledakan yang berdentum kuat dari arah istana.

"Apa yang terjadi? A—ada dimana kita?" ucap Baluztar dengan bingung.

"S—sepertinya ini adalah kuil Aquoz" sahut Aruthor.

"Kuil Aquoz!? Kenapa kita bisa berada di kuil Aquoz!?" ucap Baluztar lagi.

"A—aku juga tidak tahu, guru!" sahut Aruthor lagi.

Mendengar ada dua orang berbicara di sebelah mereka, pendeta Alfred dan biarawati Lenys pun langsung menoleh ke arah datangnya suara itu.

"GYYAAAAAHHH!!!" jerit pendeta Alfred dan biawati Lenys bersamaan.

Mereka berdua terkejut karena melihat ada dua orang yang tiba-tiba ada di sebelah mereka tanpa mereka sadari.

"K—kenapa kalian bisa tiba-tiba ada di sana!!??" tanya pendeta Alfred kemudian dengan volume suara yang keras.

"Maaf, tapi kami juga tidak tahu" jawab Baluztar.

"Hah? Bagaimana kalian bisa tidak tahu?" tanya biarawati Lenys.

"Kami tiba-tiba saja ada di sini" jawab Baluztar lagi sambil menoleh ke arah Aruthor.

"Ya, terakhir yang kami ingat kami sedang ditembak oleh napas badai dari naga yang muncul di istana. Lalu kami tiba-tiba saja ada di sini" jelas Aruthor.

"Kalian terpental sampai kemari!?" tukas pendeta Alfred.

"Itu tidak mungkin kan? Kalau mereka terpental kemari, kita bisa melihat mereka! Kita kan sedang melihat ke arah istana!" tegas biarawati Lenys.

Tapi tiba-tiba saja pendeta Alfred mengarahkan telapak tangannya ke wajah biarawati Lenys seakan memintanya diam.

"A—ada apa, pendeta?" tanya biarawati Lenys bingung.

"A—aku merasakan kehadiran dewi Undyne!" jawab pendeta Alfred dengan suara biasa, atau berbisik baginya.

Biarawati Lenys, Baluztar, serta Aruthor pun sama-sama terkejut mendengar nama itu disebut.

****

Dua sihir tingkat legendaris sedang dirapalkan. Perapal mereka adalah ‹Spirit Lord of Flood› Undyne Paladyne, dan ‹Aqua Oceanic Dragon King› Daiasmo Dalus. Keduanya adalah Penguasa Lautan, namun tentu saja hanya satu yang boleh menyandang nama itu sejatinya. Karena itu hanya ada satu pemenang antara mereka, yaitu yang menguasai air secara mutlak.

[ "[Tridentium Maxim Liquid Hellim]" ]

"[Octaion Paradium Blaster]"

Dua sihir itu berhasil dirapalkan dan lalu menembak secara bersamaan.

Keduanya pun berbenturan. Air yang menyembur dengan kekuatan, kecepatan, dan tekanan yang luar biasa dan di luar batas kewajaran hingga mengeluarkan cahaya kebiruan itu nampak saling berhantaman. Namun ketika berbenturan, terlihat jelas pihak yang mendominasi.

Tembakan napas Daiasmo memang berukuran lebih besar dengan intensitas lebih banyak berkat bantuan kedelapan sayapnya. Namun berbeda dengan Daiasmo yang menggunakan kedelapan sayapnya untuk menciptakan air dan mulut untuk meluncurkannya, Undyne menggunakan sihir rangkap 3 dengan 4 penunjang. Keempat sayap yang menjadi kepala ‹Aqua Serpent› sebagai penyedia air, dan 3 mata Trident-nya sebagai peluncur, penekan, dan terakhir pengendali.

Karena itu, air yang berbentura yang harus pecah ke segala arah ditarik dan ditambahkan ke serangan Undyne oleh sihir pengendali air. Terlebih lagi air yang bertabrakan dengan air Undyne ikut terkendalikan juga, karena itu garis benturan semakin lama semakin menyempit ke arah Daiasmo.

Daiasmo menyadari kematian yang semakin mendekat ke arahnya.

"(Begitu ya, aku masih belum bisa mengalahkannya. Inikah perbedaan kekuatan antara makhluk fana dan makhluk abadi?)" keluh Daiasmo.

Garis benturan semakin dekat.

"(Terpaksa, aku harus mengorbankan anak manusia ini. Tenang saja, aku hanya tinggal mencari penggantinya saja!) [King's Authority: Summoning Cancel]!" setelah merapalkannya, Daiasmo langsung lenyap meninggalkan River yang sedang menaikinya jatuh.

Namun belum sempat lama meluncur ke bawah, ia tertabrak oleh tembakan sihir Undyne. Yang terakhir dilihatnya adalah cahaya biru yang berputar bagaikan pusaran air spiral, sebelum akhirnya tubuhnya lenyap oleh garis cahaya biru yang membumbung tinggi ke langit. Menciptakan garis horizontal miring ke atas yang memanjang sejauh langit yang bisa dilihat oleh mata.

[ "Dengan begini aku bisa kembali tidur dengan nyaman. Hoaaamm~ semoga saja mimpiku bermesraan dengan ‹True King› nyambung lagi. Kerja bagus, pemilik tubuh ini." ]

Undyne mengatakannya sambil bertingkah mengantuk lalu turun ke permukaan tanah dengan lembut. Tepat ketika menyentuh tanah sayapnya itu lenyap dan tubuhnya pun langsung roboh dengan lemas seperti boneka tali yang dipotong tali pengendalinya.

Lokasi yang tadinya adalah bukit dengan istana di atasnya itu, kini telah berubah menjadi kawah dengan kolam air di tengahnya.

Tubuh Ring yang sebelumnya dirasuki Undyne itu kini terbaring bertelungkup dan terus merosot ke arah kolam. Tubuh Ring terus meluncur karena licinnya permukaan lereng kawah yang basah itu. Hingga akhirnya ia tercebur dan mulai tenggelam ke dalam kolam.

Seorang anak laki-laki meluncur ke bawah dengan posisi duduk layaknyanmain perosotan. Setelah sampai di kolam dan tercebur, ia berenang mencari tubuh Ring lalu menariknya keluar dengan susah payah. Anak laki-laki itu berkali-kali hampir ikut tenggelam karena tak terbiasa berenang sambil membawa sesuatu, utamanya tubuh manusia. Karena itu ia terlihat sangat kesulitan dan butuh waktu lama sebelum akhirnya bisa mencapai ke tepian meski jaraknya hanya beberapa meter saja.

"{Apa dia masih hidup?}" tanya anak laki-laki itu.

Sebuah buku putih tampak melayang di sekitarnya.

「Dikonfirmasi, hidup.」

"{Syukurlah~}" ucapnya lega.

"(Sekarang aku tinggal membawanya ke atas)" gumam anak itu.

Rupanya Syuhada lah yang melakukan semua itu. Syuhada menyelamatkan Ring yang saat ini ia tak tahu kalau mereka akan bertemu lagi. Lagipula ia tak bisa melihat wajahnya karena posisi mereka yang saling berpelukan saat ini dan ditambah wajah Ring yang kotor oleh tanah berlumpur.

Syuhada kemudian menjepitkan kakinya ke dua paha Ring dan mengeluarkan dua buah belati dari tas selempangnya yang terlihat tua dan berkarat yang dipegang di masing-masing tangannya. Posisi mereka terlihat patut dicurigai, namun Syuhada tak terpikir cara lain untuk membawa Ring ke atas karena ia tak memiliki tali saat ini.

Dengan dua belati itu ia memanjat dengan posisi terlentang di tanah dan tubuh Ring di atasnya. Ia memanjat dengan cara menancapkan satu pisau ke tanah, mendorongnya supaya tubuh mereka naik lalu menancapkan pisau kedua dan mencabut pisau pertama, lalu mendorong tubuh mereka lagi naik. Ia terus mengulangi itu untuk memanjat naik.

Meski punggung dan belakang kepalanya sakit tergesek tanah, meski tangannya seperti mau hancur karena beratnya mendorong berat gabungan tubuh mereka berdua, ia tetap berusaha melakukannya.

Setelah bersusah payah selama lebih dari 1 jam, akhirnya mereka sampai di atas. Mereka telah sampai di tepian kawah dan berhasil naik ke tanah datar. Syuhada terengah-engah dan lemas dengan tubuh seorang gadis imut di atasnya. Benar-benar sangat mencurigakan.

Setelah merasa kalau lelahnya sudah agak mendingan, Syuhada keluar dari tindihan Ring. Syuhada melihat ke sekitarnya.

"(Aku harus membawanya ke tempat yang aman. Aku tak boleh meninggalkannya di sini sendirian)" gumam Syuhada.

Syuhada kemudian mencoba untuk menggendong tubuh Ring di punggungnya. Namun ia agak kesulitan untuk mengangkat tubuh Ring yang sedang tak sadarkan diri itu.

"(Seperti kata orang, tubuh orang pingsan itu jadi jauh lebih berat ya)" keluh Syuhada sambil tetap berusaha mengangkat tubuh Ring.

Setelah berusaha, akhirnya ia baru bisa menggendong tubuh Ring. Tapi ketika mau melangkah, ia malah tiba-tiba terpeleset dan jatuh di wajahnya.

"(Aduh~ sakit banget~)" ucapnya lalu mencoba bangkit lagi.

Syuhada bangkit dan akhirnya berhasil berjalan sambil menggendong tubuh Ring di punggungnya. Meski ia tampak begitu membungkuk karena keberatan. Keningnya pun tampak sedikit memerah dan kotor berlumpur akibat jatuh sebelumnya.

Di saat itu kesadaran Ring sedikit kembali. Ia merasakan kehangatan. Ia juga merasa sedang dibawa seseorang. Ring perlahan membuka matanya dan melihat rambut hitam yang basah dan berlumpur.

"(Punggung siapa ini? Aruthor? Tapi rambutnya bukan hitam kan? Dia memang bau lumpur, tapi… hangat sekali. Nyaman sekali di sini~)" gumam Ring melingkarkan tangannya di leher anak yang menggendongnya itu.

Kesadaran Ring pun menghilang lagi karena mengalami "keletihan mana" akibat ‹Mana›-nya habis. Rambut birunya yang basah dan berlumpur kini tak memakai topinya lagi karena topinya telah hilang entah kemana. Pakaiannya pun basah kuyup menunjukkan bentuk tubuhnya yang mungil namun tidak kurus dan juga tidak gemuk. Bagian roknya yang sobek di salah satu bagian sampingnya mempermudah Syuhada untuk memegang kakinya Ring ketika digendong di belakang karena kakinya jadi tak tertahan oleh sesuatu.

"(Apa dia barusan tersadar?)" tanya Syuhada yang menyadari sedikit perubahan pada tangan Ring yang jadi sedikit lebih erat di lehernya.

「Dikonfirmasi, saat ini tidur.」

"(Begitu ya, mungkin hanya perasaanku)" ungkap Syuhada.

****

Ring Valion akhirnya tersadar. Ia saat ini duduk bersandar ke pohon. Cahaya langit sore yang cerah masuk ke matanya.

"D—dimana aku?" ucapnya ketika membuka matanya.

Jauh di depannya, terlihat kawah raksasa menganga. Ia menoleh sedikit, ia bisa melihat kota Kashmyr yang porak poranda. Hanya bagian terluar yang terjauh dari istana yang nampak masih cukup baik-baik saja.

"Kuharap semua itu hanya mimpi buruk, tapi ternyata itu benar-benar kenyataan. Raja naga itu benar-benar makhluk yang mengerikan" gumam Ring.

Ring terlihat sangat sedih dan murung.

"Aruthor… aku tak berhasil menyelamatkannya. Aku telah gagal" keluh Ring menyalahkan diri.

Air mata mulai menetes dari wajahnya.

"Ayah… ayah… aku tak berhasil. Aku tak berhasil membimbing seorang pahlawan. Melindunginya saja aku tidak bisa! Aku… aku benar-benar payah! Maafkan aku, ayah! Maafkan aku!" ungkap Ring sambil menangis tersedu-sedu.

Ring mengingat masa lalunya. Ia teringat ayahnya. Ayahnya yang sedang menggendongnya di punggungnya.

"Ring, apabila masa pahlawan datang lagi suatu saat nanti, carilah seseorang yang berjalan bersama cahaya. Yang bersamanya dunia yang mati hidup kembali. Serta ruang dan waktu tunduk kepadanya. Lalu—" ucapan ayahnya Ring yang berambut hitam itu padanya dalam ingatannya tersebut.

Namun ingatan itu terpotong. Ingatan itu seakan tertimpa ingatan lain. Ingatan yang mirip yang dialaminya sebelum ini. Ingatan tentang dirinya yang sama-sama digendong. Rambut hitam yang mirip, kehangatan yang mirip. Sehingga kedua ingatan saling menimpa.

Membuat Ring terperanjat karena menyadari seseorang baru saja menyelamatkannya. Namun ketika ia mencoba menegakkan tubuhnya, kain yang menutup tubuhnya jatuh dan Ring menyadari itu.

"I—ini, pakaiannya? Apa dia membungkuskannya ke tubuhku berharap aku lebih hangat? Tapi ini basah jadi… bukannya itu sebaliknya" gumam Ring mempertanyakan keputusan orang yang menyelamatkannya.

Tapi kemudian ia tersenyum. Di depannya terlihat jejak kaki yang mulai mengering. Juga ada sebuah belati yang menancap di tanah dengan sebuah tulisan di tanah.

{Gunakanlah ini, sepertinya kamu membutuhkannya. Aku masih punya satu lagi jadi tidak apa-apa.}

Tapi karena ditulis dalam bahasa elf kuno, ia jadi tak bisa membacanya. Tapi setidaknya Ring bisa menebak maksudnya. Ring pun kembali tersenyum.

"Terima kasih, kurasa?" ucap Ring lalu tertawa kecil.

Menerima semua itu membuah kesedihan dalam hati Ring sedikit menghilang. Ring bangkit dan berdiri. Ia melihat ke arah kuil Aquoz.

"Sepertinya mereka tidak apa-apa. Mungkin aku akan ke sana untuk mengistirahatkan tubuh dan mentalku. Baru setelah itu aku akan minta bantuan pendeta berisik itu untuk mencarikan tongkatku yang jatuh entah di mana" ujar Ring mulai kembali semangat.

Ring pun melangkahkan kakinya menuju ke kuil Aquoz.

****