~Maiden with Apple in Her Hands~
Trenia Woodson saat ini sedang tertidur di bawah pohon. Ditemani oleh angin sepoi-sepoi, dinaungi oleh pohon rindang, gadis itu berbaring di atas rerumputan yang lembut. Perlahan kelopak matanya bergerak-gerak, dan kemudian terbuka sedikit demi sedikit.
"H—hmmh..." desahnya sambil mulai membuka matanya.
Ketika matanya terbuka, ia melihat langit dari celah-celah dedaunan. Langit terang yang cahayanya menerpa wajahnya melalui celah-celah itu.
"A—ada di mana aku...?" ucapnya lalu melirik ke kanan dan kirinya.
Trenia tiba-tiba saja tersentak kaget dan langsung bangkit duduk. Ia langsung memegangi wajah dan melihat-lihat bagian tubuhnya yang lain.
"T—tidak ada? Lukaku menghilang!? Tapi bagaimana bisa?" gumamnya kebingungan.
Trenia melihat dan menoleh ke sekitarnya. Tapi yang ia lihat hanyalah pemandangan indah yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sebuah tempat yang asing. Namun terasa begitu nyaman di sana.
"Apa ini mimpi?" terka Trenia sambil mencubit pipinya sendiri.
Dan tentu saja ia meringis kesakitan.
"Aduh... sakit. Ini bukan mimpi. Kalau begitu, ada di mana aku? J—jangan bilang ini surga? D—dan aku sebenarnya sudah mati?" duga Trenia lebih jauh.
Trenia melihat kedua telapak tangannya.
"B—begitu ya... aku sudah mati ya..." ucapnya dengan tubuh gemetar.
Tanpa ia sadari air mata mulai bercucuran membasahi pipinya.
"Ibu! Ayah! Kakek! Apa itu artinya aku tak bisa bertemu dengan mereka lagi?" lanjutnya.
Trenia menekuk lutunya lalu memeluk lututnya itu. Lalu ia membenamkan wajahnya ke pahanya. Tubuhnya gemetar, dan terdengar isak tangisnya yang lirih.
"Ibu, ayah, maafkan aku! Kakek, maafkan aku! Aku sudah mati duluan mendahului kalian! Maafkan aku yang mungkin belum bisa menjadi anak baik untuk kalian!" ungkapnya.
Lalu Trenia pun menjerit.
"Uwwwaaaahhh!!"
Trenia menangis sambil menjerit. Itu adalah tangisan seorang anak kecil. Anak yang seperti ingin dimanja dan diperhatikan oleh orang tuanya. Tangisan yang merupakan sebuah rengekan juga. Trenia hanya bisa menangis tak mempedulikan meski banyak pemandangan indah di sekitarnya. Karena baginya, yang ia pedulikan saat ini adalah keluarganya.
****
Louis Sullenfield saat ini sedang menjamu keluarga Woodson minus Trenia yang saat ini memang sedang dikabarkan menghilang. Terlihat Louis sendiri yang menyajikan teh dan makanan untuk mereka. Sambil terus tersenyum, kemudian ia duduk.
"Jadi bagaimana dengan pencariannya?" tanya Louis dengan berbasa-basi.
"Kami masih belum menemukannya" jawab Adnan mewakili keluarganya.
"Begitu ya, itu sangat disayangkan" sahut Louis.
"Bisakah kau berhenti tersenyum! Kami sedang kehilangan anak kami di sini!" bentak Telia.
"Oh, maaf-maaf! Aku tak bermaksud menyinggung kalian! Aku hanya sedang mencoba menjaga adab menyambut tamu" ungkap Louis.
"Kalau boleh tahu, dimana keponakanmu?" tanya Adnan.
"Lucas? Dia sedang istirahat di kamarnya. Mungkin dia syok atas kejadian ini?" sahut Louis.
"Mungkin saja. Lagipula dia mengatakan kalau dia melihat kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri. Tak aneh jika dia mengalami syok" ujar Donan.
"Kejadian itu?" sahut Louis bingung.
"Oh, dia belum menceritakannya? Dia bilang dia melihat kalau puteri kami dibunuh oleh tamu kami" balas Donan.
"Tunggu, bukannya itu masih belum terbukti? Lagipula apa alasan dia membunuh Trenia kita?" sanggah Telia.
"Kenapa kamu masih membelanya!? Dia itu hanya orang asing di sini! Sementara Lucas adalah orang desa ini! Pilih siapa yang bisa kamu percayai!" bentak Donan.
"T—Tapi Trenia kita—" ucap Telia.
"Sudah cukup! Bukankah pelayannya masih ada di sini? Mari kita pinta pertanggung jawabannya!" potong Donan.
"(Oh, ini menuju ke arah yang bagus!)" pikir Louis.
"Louis, apa kau akan ikut denganku?" tanya Donan.
"Tentu saja aku akan ikut. Itu sudah tanggung jawabku sebagai kepala desa untuk menyelesaikan masalah penduduknya" balas Louis.
"Kalau begitu, ayo!" ajak Donan.
Donan kemudian berdiri dan keluar dari rumah Louis. Disusul oleh istrinya dan kemudian Louis di belakangnya. Baru setelah itu Adnan, yang nampak melirik dulu ke arah makanan dan minuman di atas meja sebelum akhirnya pergi.
"(Apa tidak apa-apa membiarkan semua itu tetap di sana?)" gumamnya sambil melangkah keluar dari rumah itu.
Kini Louis bersama keluarga Woodson dipimpin oleh Donan menuju ke pinggiran sungai. Di sana mereka pun menemukan Ardh yang sedang membantu melakukan pencarian Trenia.
"Hei pelayan!" panggil Donan pada Ardh.
Namun Ardh tidak menoleh sama sekali.
"Hei penyihir!" panggil Donan lagi.
Ardh lagi-lagi tidak menoleh.
Donan pun murka dan akhirnya mencoba untuk menyentuh pundak Ardh. Tapi Ardh mengelak seolah tahu Donan hendak menyentuh pundaknya. Lalu Ardh berbalik dan menjauhi Donan.
"Tolong jangan seenaknya menyentuh pundakku" pinta Ardh.
"Tch, itu salahmu sendiri dipanggil tapi tidak menoleh!" bentak Donan.
"Donan kan kalau tidak salah? Maaf, tapi sedari tadi nama yang kamu sebut itu bukanlah panggilanku yang sebenarnya. Apalagi kamu memanggil dengan nada yang tidak sopan. Jika tuan Hada bersamaku, aku mungkin bisa bersabar karena kehadiran beliau selalu menenangkanku. Tapi saat ini berbeda" gerutu Ardh dengan suara dingin.
"Tuannya tidak ada malah jadi sok ternyata! Hei penyihir, tuanmu itu adalah seorang pembunuh! Jadi sebagai pelayannya kau harus ikut bertanggung jawab!" ucap Louis masuk ke dalam pembicaraan.
"Oh, kepala desa juga ada di sini ternyata. Bertanggung jawab apa maksudmu?" sahut Ardh.
"Bertanggung jawab dan jadilah budakku!" tegas Louis.
"Oh? Budak? Di desa yang bebas perbudakan ini? Sepertinya kamu terlalu terpengaruh pemikiran orang kota. Apa kamu yakin ingin memasukan sistem perbudakan ke desa ini?" balas Ardh.
"Hei, Louis, apa maksudmu dengan budak? Aku tidak mengerti! Harusnya kita memintanya untuk dihukum mati!" protes Donan.
"Sabar, Donan. Jika ia langsung dihukum mati, maka itu akan sayang sekali kan? Dia memiliki kemampuan sihir yang luar biasa! Akan lebih baik jika dia dijadikan budak seumur hidup daripada mesti dihukum mati! Jika dia jadi budakku, maka dia akan lebih berguna untuk desa" tegas Louis menjelaskan.
Ketika kata sihir disebutkan, alis Ardh tampak berkedut sejenak.
"Ta—tapi kan..." ucap Donan.
"Sudah, serahkan semuanya padaku!" sahut Louis.
"Menjadi budakmu, hah? Maaf saja, aku tak sudi untuk menjadi budak. Apalagi jika itu untukmu, itu membuatku mual. Tuan Hada adalah satu-satunya laki-laki yang aku layani" balas Ardh dengan nada menggerutu.
"Kau pikir kau punya pilihan, hah? Tuanmu telah berbuat kejahatan di sini, dan kau masih berpikir dirimu punya pilihan selain bertanggung jawab untuk tuanmu?" tukas Louis.
"Tuan Hada tidak melakukan perbuatan yang kamu tuduhkan padanya. Malahan keponakanmu lah yang melakukan perbuatan itu kan? Beruntung tuan Hada menyelamatkan Trenia" ujar Ardh dengan wajah yakin.
"Kau ini meracau apa, penyihir?" tukas Louis.
Disebut penyihir, muncul urat marah di pelipis kening Ardh.
"Tuanmu yang melakukan perbuatan keji, tapi malah keponakanku yang kau salahkan? Trik kotor macam apa yang kau rencanakan, hah? Kau berniat memfitnah orang lain untuk menyelamatkan tuanmu!?" lanjut Louis.
"Itu malah terbalik kan? Bukannya kalian yang mencoba memfitnah tuan Hada?" balas Ardh.
"Tch, dasar tidak tahu diri! Kau benar-benar tidak tahu posisimu ya?" gerutu Louis.
"Bukankah itu kamu yang tak tahu diri? Kamu tak sadar di mana posisimu?" sanggah Ardh.
Ardh memunculkan topinya di kepalanya. Topi berwarna hijau dengan tepian mirip daun itu muncul secara ajaib hingga mengagetkan semua orang yang melihatnya. Bersamaan dengan munculnya topi itu, angin mulai berhembus di sekeliling tempat itu menciptakan suara gemuruh yang kuat ketika menerpa dedaunan di sekitar hutan.
Angin berkumpul dan mengelilingi tubuh Ardh. Menciptakan pusaran angin transparan yang takkan nampak jelas jika saja tak ada dedaunan yang ikut terbawa pusaran angin itu.
"Donan! Louis! Menjauhlah darinya!" teriak Adnan memperingatkan.
Donan dan Louis mematuhi peringatan itu dan langsung berlari menjauh dari Ardh ke belakang Adnan. Adnan melompat ke depan berhadapan dengan Ardh.
"T—tenanglah, nona. Ini bisa kita bicarakan baik-baik kan?" ujar Adnan membujuk Ardh.
"Bicara baik-baik itu maksudnya dengan memaksaku menjadi budak?" tukas Ardh.
"T—tidak. Sebenarnya aku juga tidak setuju dengan hal itu. Jadi kumohon tenanglah, dan mari diskusikan lagi ini secara kekeluargaan" sanggah Adnan.
"Syukurlah masih ada yang bijaksana diantara kalian. Baru saja aku mau memenggal kepala kalian barusan jika saja kamu tak mengambil alih, Adnan Woodson" ungkap Ardh.
Setelah mengatakan itu, angin kembali tenang, dan udara yang berputar di sekitar tubuh Ardh pun kembali memecah.
"Jadi, dimana kita akan mendiskusikannya?" tanya Ardh.
"B—bagaimana kalau di rumah kami?" tawar Adnan.
"Baik, aku akan segera kesana. Kalian pergi lah lebih dulu" balas Ardh.
"Hei pak tua, jangan biarkan dia pergi sendirian! Dia akan kabur!" tegur Louis.
"Kabur? Untuk apa aku melakukannya?" ucap Ardh.
Lalu sebuah sabit angin melesat dengan cepat dan menebas tebing sungai hingga menciptakan ledakan yang dasat menciptakan celah selebar tiga meter.
"Kalau aku mau, aku bisa meratakan desamu hanya dengan satu kata dariku" lanjut Ardh sambil tersenyum penuh intimidasi.
"(Sabit angin itu tercipta tanpa ia merapalkan satu kata pun. Bahkan tak ada gerakan sedikit pun darinya. Apa itu artinya sabit itu muncul hanya dengan keinginannya?)" duga Adnan.
Wajah Louis langsung memucat melihat bekas hantaman sabit angin itu.
"Kalian menunggu apa lagi? Kenapa kalian belum pergi juga? Aku bilang aku akan menyusul. Tenang saja aku akan tepat waktu" ujar Ardh.
"Baiklah, ayo kita pergi!" ajak Adnan pada keluarganya dan juga pada Louis.
Mereka pun akhirnya pergi meninggalkan Ardh.
"Sepertinya meski aku mengatakan kalau tuan Hada telah menyelamatkan Trenia, mereka tidak akan percaya. Apalagi saat ini tuan Hada sedang istirahat. Kira-kira apa yang harus kulakukan?" gumam Ardh.
Ardh termenung memikirkannya.
"Ya, mari lakukan saja sebisaku. Masalah berhasil atau tidak, itu urusan takdir" lanjut Ardh sambil tersenyum.
Kemudian sosok Ardh pun menghilang melebur bersama angin.
Keluarga Woodson ditemani oleh Louis akhirnya sampai di kediaman keluarga Woodson. Adnan membuka pintu dan terkejut ketika melihat ternyata Ardh sudah duduk bersantai di ruang tamu sambil meminum seduhan teh hangat.
"Oh kalian sudah datang!" sapa Ardh.
"K—kamu, bagaimana kamu bisa ada di sini sebelum kami!?" bentak Donan.
"Tidak perlu menanyakan itu. Kalian hanya membuang-buang waktu saja. Mari kita segera mulai diskusinya" balas Ardh dengan santai.
"Mari kita duduk" ajak Adnan pada keluarganya dan Louis.
Mereka pun kemudian duduk di seberang Ardh yang duduk menyilangkan kakinya.
"Jadi nona, apakah nona benar bersedia diskusi dengan kami?" tanya Adnan.
"Ya. Kalau tidak, tidak mungkin aku di sini!" jawab Ardh.
"Kalau begitu kita mulai diskusinya" sahut Adnan.
Semua orang terdiam.
"Kalau tak ada yang mau bicara, biar aku yang akan memulai topiknya. Tapi sebelum itu, biar aku tegaskan, aku takkan pernah mau menyetujui untuk menjadi budak siapapun. Karena itu, jika kalian tetap memaksaku, maka aku akan melawan sekuat tenagaku. Kuharap kalian mengerti itu. Lalu untuk topiknya, bagaimana kalau kita membahas urutan kejadiannya?" ungkap Ardh.
"Hmm... baiklah. Mari kita bahas itu. Apa di sini ada yang tahu urutan kejadiannya?" sahut Adnan lalu bertanya pada semua orang.
Semuanya menggelengkan kepalanya, kecuali Ardh.
"Nona, apa anda tahu urutannya?" tanya Adnan pada Ardh.
"Aku tahu. Tapi kalian takkan mempercayainya, jadi untuk apa aku mengungkapkannya?" balas Ardh lalu menyeruput tehnya lagi.
"Bagaimana kau bisa tahu, kau kan terus di sini bersama kami dan pelayan yang satunya lagi!" tegas Donan.
"Dengar sendiri kan?" sahut Ardh dengan santai.
"Kalau begitu yang tahu urutan kejadiannya saat ini hanya nak Syuhada dan Lucas saja ya?" ujar Adnan sambil memegang dagunya.
Louis bangkit dan berdiri dari tempat duduknya.
"Aku akan membawa Lucas kemari!" ungkap Louis.
"Memangnya tidak apa-apa? Bukankah tadi kau bilang Lucas sedang syok?" tanya Adnan.
"Tidak apa-apa! Aku yakin dia akan senang bisa mengatakan kebenaran tentang kejadian yang menimpa Trenia dan menegakkan keadilan pada pelakunya!" ujar Louis dengan wajah yang penuh keyakinan.
"Biar aku antar!" ucap Donan ikut berdiri.
"Terima kasih" sahut Louis.
Kemudian Louis pun kembali ke kediamannya diantar oleh Donan. Sesampainya di sana, mereka masuk ke dalam.
"Kamu tunggulah di sini! Aku akan memanggil Lucas di kamarnya" pinta Louis.
"Ya, aku akan tunggu di sini" ujar Donan sambil duduk di kursi ruang tamu.
Sementara Louis langsung pergi setelah menyuruh Donan menunggu. Donan yang ditinggal sendiri kini berhadapan dengan hidangan yang sebelumnya belum tersantap. Namun kini di atas meja itu hanya tinggal ada segelas teh saja, walau kue nya juga terlihat masih ada di sana meski hanya tinggal satu piring. Tadinya ada dua piring.
"Mungkin aku ngeteh dulu saja sambil menunggu" ucap Donan yang tiba-tiba merasa haus tergiur oleh teh itu setelah teringat Ardh yang menyeruput teh sebelumnya.
Donan mulai meminum teh itu, dan tak lupa ia juga memakan kue yang tersaji di piring.
"Harusnya tadi aku memakan ini dulu sebelum buru-buru pergi ya" ungkap Donan.
Di saat yang sama, Louis telah sampai di depan pintu kamar Lucas.
"Kenapa rumah ini sepi sekali? Ruben pergi ke mana?" gerutu Louis lalu mengetuk pintu.
Namun ia tak mendapat jawaban sama sekali.
"Apa dia masih ngambek karena omelanku?" gumam Louis lalu mengetuk lagi.
Namun lagi-lagi ia tak mendapat jawaban.
"Woy Lucas! Buka pintunya, dasar anak berengs◦k!" pekik Louis sambil menggedor-gedor pintu dengan keras.
Tapi tetap saja tak ada jawaban. Karena sudah tak sabar, ia pun mencoba untuk mendobrak pintu, namun rupanya pintu itu tidak terkunci sehingga ketika didobrak, tubuhnya tersungkur karena kaget disebabkan mengira kalau akan mendapatkan gaya reaksi yang kuat.
"Berengs◦k! Kalau memang terbuka, bilang do—" gerutu Louis sebelum akhirnya tersungkur ke lantai.
Louis bangun lagi dan mencoba untuk mengomeli pelakunya, tapi ia malah terkejut dan akhirnya jatuh terduduk.
"A—a—apa ini maksudnya!?" ucap Louis tampak sangat terkejut.
Wajahnya terlihat sangat syok dan memucat. Pasalnya ia saat ini melihat dua jasad di kamar itu. Satu adalah jasad Ruben yang tergeletak di lantai dalam posisi tengkurap menghadap ke arah pintu seakan sedang berusaha merangkak keluar kamar. Sementara yang satu lagi adalah jasad Lucas yang dalam keadaan hampir jatuh dari ranjangnya. Bagian atas tubuhnya menggantung ke bawah ranjang, sementara bagian bawahnya masih ada di atas kasur.
"A—apa yang terjadi!?" lanjut Louis masih belum bisa mencernanya.
Ia kemudian menyadari di atas meja di samping ranjang ada sepiring kue dan di lantai bergeletakan cangkir-cangkir yang pecah dengan lantai kayu yang terdapat bekas basah.
"J—jangan-jangan mereka—!?" duga Louis.
Louis bisa membayangkan kalau Ruben membawa dua gelas teh dan sepiring kue untuk disajikan dan dimakan bersama Lucas untuk menenangkannya supaya Lucas tak lagi marah. Namun beberapa saat setelah minum teh bersama tiba-tiba saja mereka merasakan efek racun dalam teh tersebut dan mereka berdua pun berjatuhan. Ruben berusaha keluar dari kamar untuk meminta tolong tapi ia juga tak sempat karena efek racun yang cepat.
"Berengs◦k! Kenapa aku tak membereskannya terlebih dahulu dan membuang semua teh beracun itu! Sialan!" gerutu Louis sambil memukul lantai kayu itu dengan kedua tangannya.
Tapi setelah beberapa saat, ia kembalj terbelalak. Ia baru sadar kalau di ruang tamu mungkin teh beracun itu masih ada. Dan di sana ada Donan.
"Sial, Donan! Jangan minum te—" ucap Louis sambil berdiri dan berbalik menuju ke pintu.
Namun ia tersentak dan berhenti ketika mendengar suara benda jatuh dan suara sesuatu yang pecah dari arah lantai 1, tepatnya dari ruang tamu.
"J—jangan bilang—" ucap Louis lagi langsung buru-buru lari ke ruang tamu.
Di sana dia mendapati Donan masih duduk di atas meja. Dengan mata yang terbuka lebar. Duduk dengan posisi seakan sedang pasrah. Mulutnya menganga dan ekspresinya seperti dipenuhi ketakutan. Di bawah meja terlihat cangkir yang pecah, dan tentu lantai yang basah oleh genangan air teh.
"Bedeb◦h!! Sialan!!! Berengs◦k! Kenapa ini terjadi padaku!!???" pekik Louis.
Louis pun panik dan kebingungan. Ia menjambaki rambutnya sendiri sambil mencoba memikirkan jalan keluar.
"Benar juga, penyihir itu bisa masuk ke rumah Woodson begitu saja kan? Kalau begitu tidak aneh jika ia masuk kemari dan membunuh semua orang. Ya, itu alasan yang bagus. Hahaha!" ujar Louis lalu bergegas pergi meninggalkan TKP.
Louis kembali ke kediaman Woodson dan langsung menghampiri Ardh, Adnan, dan Telia yang menunggu di ruang tamu.
"P—pembunuh! Pembunuh!" teriak Louis sambil menunjuk ke Ardh yang duduk santai dan nampak selesai minum teh.
Adnan dan Telia terkejut dengan kedatangan Louis dalam keadaan rambut yang tampak kacau, dan tiba-tiba saja ia menuduh Ardh sebagai pembunuh.
"Dasar kau penyihir pembunuh!" lanjut Louis terus meneriaki Ardh.
"Louis, ada apa? Kenapa kamu kembali dan tiba-tiba saja menuduh nona ini pembunuh?" tanya Adnan yang kebingungan.
"Louis, apa yang terjadi?" tanya Telia yang sama-sama bingung.
"Dia! Dia masuk ke rumahku membunuh semua orang!" tukas Louis sambil menunjuk ke arah Ardh yang masih duduk santai.
"Benarkah? Dan kira-kira kapan itu terjadi?" tanya Ardh.
"I—itu..." ucap Louis, "(kira-kira kapan ya bagusnya? Selama aku pergi tadi tentu dia selalu ada di depan Adnan dan Telia, jadi tak mungkin aku menggunakannya. Ah—)" gumamnya lalu membuka mulutnya lagi, "benar juga, saat ia menyuruh kita pergi duluan di sungai. Dia menyuruh kita pergi supaya dia bisa menaruh racun pada teh di rumahku untuk membunuh Lucas dan Ruben!" tukasnya lanjut.
"Oh, jika saat itu memang mungkin aku akan memiliki kesempatan melakukannya" ujar Ardh seolah mendukung ucapan Louis.
"Teh beracun? Lucas dan Ruben terbunuh? Apa maksud perkataanmu itu, Louis! Coba jelaskan padaku secepatnya!" bentak Adnan meminta penjelasan.
"Y—ya... sebenarnya..." ujar Louis lalu menceritakan yang ia lihat di rumahnya.
Mendengar cerita itu, pas di bagian kematian Donan, Telia pun pingsan. Sementara Adnan hanya memucat wajahnya, dan nampak mulai mengeluarkan banyak keringat.
"A—apa nona memang yang melakukannya?" tanya Adnan masih mencoba untuk tenang.
"Tidak" jawab Ardh dengan singkat.
"Mau sampai kapan kau ngeles, dasar penyihir durjana! Kalau bukan kau memangnya siapa lagi yang bisa melakukannya?" tukas Louis.
"Bukankah kamu atau Ruben juga punya kesempatan untuk melakukannya?" balas Ardh.
"Tch, kau menuduhku meracuni teh-teh itu untuk kemudian disajikan ke keluarga Woodson!?" tukas Louis lagi.
"Tunggu, sebenarnya urutan kejadiannya bagaimana? Bukankah dalam ceritamu tadi Ruben dan Lucas lah yang mati duluan?" tanya Ardh.
"Ya, memang mereka yang mati lebih dulu! Baru setelah itu Donan! Apa maksud dari pertanyaanmu!?" tegas Louis.
"Tapi tadi kamu bilang kamu menyajikannya ke keluarga Woodson?" sahut Ardh.
"Aku memang menyajikan teh-teh beracun itu ke keluarga Woodson, tapi itu di saat yang berbeda!" balas Louis.
"Lah, jadi tehnya sudah beracun saat itu? Aku benar-benar tak mengerti. Jadi kapan sebenarnya aku meracuninya?" komentar Ardh.
Menyadari blunder dalam perkataannya, Louis pun panik. Ia tak bisa berkata-kata atau memikirkan apapun karena rasa paniknya itu. Sementara Adnan mulai melirik ke arahnya dengan tatapan yang tajam.
"I—itu..." ucap Louis tak mampu memberi alasan lebih lanjut.
"Kamu membuatku bingung, kepala desa. Penjelasanmu memiliki urutan kejadian yang kacau. Bagaimana kamu akan melanjutkannya? Terus menuduhku atas kesalahan yang kamu perbuat? Dari semua ceritamu, nampaknya kejadian ini terjadi karena kamu lupa membuang teh yanh sudah kamu racuni dan membunuh mereka bertiga secara tak sengaja. Padahal kamu ingin menggunakan Lucas sebagai senjata untuk menyudutkan tuan Hada, tapi sepertinya takdir berkehendak lain. Kamu mungkin punya rencana, tapi The Creator of All Creations adalah sebaik-baiknya pembuat rencana. Rencana jahatmu takkan berguna, kepala desa" ungkap Ardh sambil tetap santai.
"(Diam kau penyihir jal◦ng! Semua ini salahmu! Semua ini salahmu dan majikanmu itu! Jika saja kalian tidak datang kemari! Semua ini pasti akan berjalan dengan lancar! Aku pasti sudah menjadi orang kaya saat ini, sialan!)" gerutu Louis.
"Jadi apa kamu masih punya pembelaan, Louis Sullenfield?" tanya Adnan.
"P—percayalah padaku, paman Adnan! Aku— aku berkata jujur!" tegas Louis.
"Berkata jujur, hah? Jadi kamu memang jujur kalau memang kamu sudah meracuni teh-teh itu saat disajikan untuk kami?" balas Adnan.
"T—tidak! Maksudku—" sahut Louis.
"Kau sudah tak bisa mengelak lagi, Louis Sullenfield! Sekarang kau hanya bisa jujur! Jangan terus berbohong! Mau sampai kapan kamu mempermalukan orang tuamu yang merupakan kepala desa terhormat yang terkenal sangat jujur itu dengan terus berbohong sekarang, hah!" bentak Adnan sambil menggebrak meja.
"A—aku—" ucap Louis.
"Jujurlah, Louis! Jujurlah! Apa sesulit itu bagimu untuk jujur!?" bentak Adnan lagi.
"Baiklah! Baiklah! Baiklah! Aku memang telah menaruh racun di teh-teh kalian! Awalnya aku ingin membunuh kalian supaya aku bisa menguasai kebun teh kalian! Tapi rencana itu mesti berubah karena tiba-tiba saja Donan ingin meminta pertanggung jawaban penyihir ini! Lalu setelahnya paman tahu sendiri! Aku lupa membuang tehnya, dan mereka mati karena meminumnya! Ini bukan salahku! Aku tidak bermaksud membunuh mereka! Itu tidak disengaja!!" tegas Louis akhirnya mengakuinya sambil menggerutu panjang lebar.
Setelah mengatakan semua itu dengan sekuat tenaganya, ia pun jadi terengah-engah kelelahan. Adnan yang mendengarkan itu mulai merasa kesal dan mengepalkan tangannya.
"Lalu masalah Trenia?" tanya Adnan.
"Kalau itu bukan rencanaku! Itu adalah perbuatan Lucas sendiri! Aku sama sekali tak menyuruhnya untuk membunuh Trenia! Bocah tolol itu malah merusak rencanaku untuk merebut kebun apel itu melalui perjodohan mereka! Dia telah merusak rencanaku! Semua rencanaku, kenapa selalu saja gagal, sialan!!" jawab Louis sambil menggerutu lagi.
"Puteraku, mati. Cucuku juga, mati. Mereka semua mati mendahuluiku. Apa maksudnya ini, The Creator? Apa ini memang takdirku untuk ditinggal mati semua orang yang kusayangi lebih dulu?" keluh Adnan sambil mengepal lebih keras.
Wajahnya pun meringis seperti sedang kesakitan.
"Jika itu tentang Trenia, aku bisa menjamin dia dalam keadaan aman bersama tuan Hada" ujar Ardh dengan santai.
Adnan seketika menoleh ke arah Ardh dengan wajah terkejut.
"Tadi anda bilang apa, nona?" tanya Adnan.
"Aku bilang, Trenia aman bersama tuan Hada saat ini" jawab Ardh.
"Tolong jangan membual, dasar kau penyihir jal◦ng!" pekik Louis.
Dan tubuh Louis pun terlempar ke dinding dan menempel di dinding itu. Terlihat dipermukaan kulitnya sesuatu seperti menekan kuat tubuhnya itu, menggencetnya ke dinding kayu ruang tamu itu.
"Arggghhhkkhh!!! T—tolong aku!" ucap Louis.
"N—nona, tolong lepaskan dia" pinta Adnan.
"Apa kamu yakin? Dia berencana membunuh kalian semua. Dia menyembabkan puteramu terbunuh. Ditambah dia juga hampir membuat cucumu terbunuh. Dan kamu masih berniat menyelamatkannya?" tanya Ardh.
"Dia memang berniat membunuh kami, tapi terbunuhnya Donan mungkin memang tidak disengaja. Dan kejadian yang menimpa Trenia mungkin juga memang diluar kuasanya karena itu perbuatan Lucas sendiri. Lagipula jika pun ia melakukan semua itu, aku ingin dia dihukum sesuai hukuman yang berlaku di sini. Jadi tolong lepaskan dia" jelas Adnan membujuk Ardh.
"Baiklah jika itu maumu. Tapi aku tetap kesal dia memanggilku dengan panggilan kotor seperti itu. Jadi biarkan aku melakukan ini" ujar Ardh.
Kemudian tampak lidah Louis terpelintir hingga terdengar suara patah.
"AAAAAHHHHHHH!!!" jerit Louis.
Dari matanya bercucuran air mata, dan dari mulutnya meluber air liur. Louis kehilangan kesadarannya dengan mata setengah terbuka dan tubuhnya pun terjatuh ke lantai bagai boneka yang putus talinya.
"Jadi, bagaimana dengan diskusi kita?" tanya Ardh.
"A—apa?" sahut Adnan yang masih belum menyimak karena terlalu syok melihat yang terjadi pada Louis.
"Diskusi kita. Apa masih akan kita lanjutkan?" balas Ardh.
"S—sepertinya sudah tidak diperlukan lagi, kan? Kita sudah mendapatkan fakta yang sebenarnya. Jadi nama tuanmu dan namamu juga sudah bersih" jawab Adnan.
"Begitu ya. Kalau begitu aku akan pamit untuk menemui tuan Hada" ujar Ardh sambil berdiri dari tempat duduknya.
"T—tunggu sebentar" ucap Adnan.
"Ada apa lagi?" sahut Ardh.
"Tadi nona bilang kalau Trenia sedang bersama nak Syuhada kan?" tanya Adnan.
"Ya, aku memang mengatakannya" jawab Ardh.
"Kalau begitu, bisakah kamu membawa ibunya ini untuk menemuinya. Setelah kehilangan suaminya, setidaknya mungkin dengan bertemu Trenia akan sedikit mengobati luka hatinya" pinta Adnan sambil menoleh ke arah Telia yang duduk tak sadarkan diri.
Ardh pun kemudian melirik ke arah Trenia.
"Baiklah" sahut Ardh lalu mendekat ke Telia.
"Terima kasih, saya berhutang pada anda" balas Adnan.
"Tak usah merasa berhutang. Aku akan melakukannya atas dasar menolong sesama perempuan" jawab Ardh lalu menyentuh pundak Telia, "kalau begitu kami pamit" lanjutnya lalu menghilang melebur menjadi angin.
Begitu juga dengan Telia yang tadi duduk di kursi kini sudah tak ada lagi di sana.
"Jadi dengan cara itu dia berpindah. Pantas saja ia bisa sampai lebih cepat daripada kami" ujar Adnan ketika melihat cara Ardh dan Telia menghilang.
Adnan kemudian melihat ke arah tubuh Louis yang tak sadarkan diri.
"Sekarang tinggal bagaimana aku mengumpulkan orang-orang desa dan mengatakan yang sebenarnya terjadi. Louis, mungkin kamu akan dihukum mati sesuai dengan hukuman yang berlaku di sini. Jadi maaf, mungkin aku tak bisa menyelamatkanmu" ungkap Adnan.
****
Syuhada yang tertidur di bawah pohon kini mulai membuka matanya.
"{Ah, aku bermimpi sesuatu yang aneh}" ucap Syuhada.
「Mimpi apa?」
"{Aku melihat seorang gadis menangis di bawah pohon}" jawab Syuhada.
「Kami rasa itu bukan mimpi. Syin mungkin mengintip ke penyimpanan ketika tidur secara tak sengaja.」
"{Apa? Apa maksudmu?}" sahut Syuhada.
「Syin, ‹Trenia Woodson› saat ini sudah sadar dan ia sedang menangis.」
"{Hah!? Kenapa tidak membangunkanku!? Pochi!}" protes Syuhada.
| Master sedang tidur karena tubuh Master kelelahan. Hamba ini tak mungkin secara lancang mengganggu istirahat Master. Mohon Master memberikan ampunan kepada hamba. |
"{Ah, jadi aku tertidur karena aku kelelahan?}" tanya Syuhada.
「Mungkin Syin tidak menyadarinya, tapi pertarungan itu membuat tubuh Syin kelelahan dan stress. Karena tubuh Syin tak terbiasa melakukan pertarungan setingkat itu.」
"{Tapi aneh sekali aku tidak menyadarinya. Kenapa bisa?}" tanya Syuhada lagi.
「Itu karena kesadaran Syin sendiri telah diperkuat oleh [Torch of Truth]. Sehingga kesadaran Syin jauh lebih kuat daripada fisik Syin. Dan itu menyebabkan Syin tidak akan menyadari kelelahan fisik dan mental Syin.」
"{Tidak-tidak, itu tidak masuk akal kan? Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya kalau yang kuat itu kesadaranku?}" protes Syuhada.
「Bagaimana kalau kami menyebutnya {Ruh}?」
"{K—kalau itu sepertinya baru masuk akal, kurasa}" sahut Syuhada.
Saat itu Syuhada terlihat sedang melihat penyimpanannya. Ia dapat melihat Trenia, gadis yang ia masukkan ke dalam penyimpanannya itu saat ini sedang menangis seperti seorang anak kecil.
"{Pochi, apa ada cara untukku berkomunikasi dengannya?}" tanya Syuhada.
| Hamba ini bisa menyampaikan suara Master ke dimensi itu apabila Master berkehendak. |
"{Ya, sampaikan suaraku padanya, Pochi}" pinta Syuhada.
| Hamba dengan senang hati patuh. |
Trenia saat ini masih menangis.
"Trenia... apa kamu bisa mendengarku?"
Suara yang bergema terdengar dari arah langit. Hal itu lantas saja membuat Trenia terkejut. Ia langsung menengok ke arah langit. Ia kembali terkejut karena ia melihat di langit itu ada sepasang mata raksasa yang menatap ke arahnya.
"M—m—monster!!??" jerit Trenia.
"Hah? Monster? Tidak mungkin ada monster di sana. Aku tak menginginkan ada monster di sana seingatku" sanggah suara misterius dari langit itu.
"E—eh? A—apa kamu bukan monster?" tanya Trenia.
Terdengar sisa-sisa sedu diantara kata yang ia ucapkan akibat menangis dan rasa sedihnya.
"Aku? Apa yang membuatmu mengira aku ini monster?" tanya balik suara itu.
"S—soalnya, yang kulihat... kamu hanya mata raksasa di langit" jawab Trenia.
Syuhada dari luar dimensi penyimpanan tampak terkejut.
"H—hah!? Pochi, apa maksudnya ini?" protes Syuhada.
| Hamba telah tempatkan semacam "simbol" di tempat sudut pandang Master berada. |
"{Dan simbol itu adalah sepasang mata?}" terka Syuhada.
| Benar. |
"(Aah... pantas saja Trenia menyebutku monster. Siapapun akan ketakutan kalau tiba-tiba ia melihat ada sepasang mata raksasa berbicara padanya)" keluh Syuhada.
Ia melihat ke arah tampilan jendela penyimpanan yang memperlihatkan sudut eagle-eye dari tempat Trenia berada saat ini. Dan di pojok jendela monitor itu terdapat simbol speaker dengan tiga garis melengkung tanda suara dari sana dapat terdengar ke luar secara loudspeaker saat ini. Lalu di sebelah simbol itu ada simbol microphone yang menandakan suara dari luar bisa masuk ke dalam. Kemudian di sebelahnya lagi terdapat simbol sepasang mata yang maksudnya adalah simbol spectating yang menandakan kalau saat ini Master dari dimensi itu sedang memperhatikan dan yang berada di dalam dimensi diizinkan untuk mengetahui kalau ia sedang diperhatikan. Tentu dengan adanya sepasang mata di langit yang begitu mengintimidasi apabila pertama kali melihatnya.
`S—suara itu, apa ja—jangan-jangan itu kamu, Syu?´ terka Trenia yang terdengar dari dalam panel jendela monitor.
"Y—ya, ini aku. Maaf membuatmu kaget" jawab Syuhada.
`B—benarkah? S—sejak kapan kamu ja—jadi sebesar itu? Dan bicaramu juga... entah kenapa jadi lancar´ tanya Trenia.
Di dalam dimensi penyimpanan, Syuhada menjawabnya.
"M—mungkin karena kamu tidak benar-benar dihadapanku? Kalau misalkan kamu benar didepanku, aku pasti akan benar-benar gugup ditatap olehmu" jawab Syuhada.
"K—kamu gugup ditatap olehku?" tanya Trenia lagi.
"Ya" jawab Syuhada dengan singkat.
Wajah Trenia memerah. Trenia kemudian mengusap mata dan pipinya yang basah.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Syuhada.
"Aku tidak apa-apa" jawab Trenia masih mengusap wajahnya.
"Benarkah? Kamu yakin?" sahut Syuhada masih belum percaya.
Trenia mengangguk sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Hei Syu" panggil Trenia sambil mengintip dari balik telapak tangannya.
"Ya?" sahut Syuhada.
"Apa kamu Tuhan?" tanya Trenia.
"Bukan! Aku bukan Tuhan. Tolong jangan pernah menyebutku Tuhan. Sesungguhnya hukum The Creator itu nyata. Dan aku tak ingin menjadi salah satu yang dihukum dengan hukuman yang pedih" pinta Syuhada menegaskan.
"Tapi bagaimana kamu menjelaskan keadaan saat ini? Aku berada di surga, dan kamu adalah mata di langit?" tanya Trenia lagi sambil menurunkan kedua telapak tangannya dari wajahnya.
"Tidak, kamu bukan berada di surga. Dan aku bukan mata di langit" bantah Syuhada.
"Kalau begitu aku di mana saat ini?" tanya Trenia lagi.
"Kamu berada di dalam penyimpananku" jawab Syuhada.
"Penyimpananmu?" sahut Trenia.
"Kamu ingat, aku memiliki kemampuan untuk menyimpan sesuatu ke suatu tempat yang nampaknya sih seperti hanya menghilang?" balas Syuhada.
"Bukannya itu kemampuan pelayanmu?" terka Trenia.
"Aku juga bisa menggunakannya. Dan saat ini kamu aku simpan ke salah satu tempat penyimpananku" ungkap Syuhada.
"Aku saat ini sedang kamu simpan!?" tukas Trenia.
"Ya, kamu sedang aku simpan" sahut Syuhada.
"Jadi saat ini aku adalah salah satu simpananmu?" tukas Trenia lagi.
"Y— ah, bisakah kamu tidak mengatakannya seperti itu? Itu seolah aku melakukan hal negatif padamu" pinta Syuhada.
Trenia malah tertawa kecil mendengar omongan Syuhada itu.
"Aku tak menyangka Syu bisa merespon seperti itu" komentar Trenia yang tampak senang.
"Aku juga tak menyangka kamu bisa sejahil itu, Trenia" balas Syuhada.
"Terima kasih kamu sudah menyelamatkanku. Kamu juga sudah menghiburku. Terima kasih, Syu" ucap Trenia sambil tersenyum.
"Tunggu, aku belum bilang kalau aku telah menyelamatkanmu. Darimana kamu mengetahuinya?" tanya Syuhada.
"Aku bisa menebaknya dari diriku yang menjadi "simpananmu" ini sekarang. Khukhukhu~" ungkap Trenia lalu tertawa manja lagi.
"Euh, ba—baiklah kurasa. Sepertinya itu masuk akal" ujar Syuhada.
"Soalnya hal yang terakhir aku ingat aku dipukuli oleh Lucas" lanjut Trenia.
"B—begitu ya?" sahut Syuhada.
"Tolong jangan murung untukku, itu memang ingatan yang buruk untukku, tapi yang penting sekarang aku sudah kamu selamatkan kan, Syu" ungkap Trenia.
"Ya. Tunggu, darimana kamu tahu aku murung?" balas Syuhada.
"Dari matamu yang terlihat di sini" jawab Trenia.
"J—jadi itu maksudnya... tunggu kalau begitu..." ujar Syuhada.
"Syu ternyata bisa bertingkah lucu juga ya" ucap Trenia.
"T—tolong abaikan yang tadi. Jadi sekarang kamu sudah tak apa-apa kan?" tanya Syuhada.
"Ya, aku sudah baik-baik saja. Bahkan semua luka pun sudah sembuh total" jawab Trenia.
"Syukurlah kalau begitu. Apa kamu mau keluar dari sana?" tanya Syuhada lagi.
"Me—memangnya boleh ya?" tanya balik Trenia.
"Kenapa pertanyaanmu seolah aku akan melarangmu? Tentu saja boleh lah" tegas Syuhada.
"Tapi kalau begitu aku takkan jadi "simpanamu" lagi dong" tukas Trenia.
"Masih saja dengan lawakan itu? Jadi sebenarnya kamu mau keluar atau tidak?" tanya Syuhada kali ini dengan mata sayu.
"Tentu saja aku mau" sahut Trenia sambil tertawa kecil.
"Kalau begitu akan kukeluarkan kamu dari sana sekarang" ujar Syuhada.
Lalu penglihatan Trenia terhadap sekitarnya pun memburam untuk sejenak. Kemudian pemandangan di sekitarnya pun digantikan oleh pemandangan seorang pemuda yang duduk bersandar di sebuah pohon besar yang rindang. Pemuda itu duduk di celah antara dua akar. Pemuda itu adalah Syuhada. Trenia pun tersenyum bahagia melihatnya.
"Se—se—selamat datang kembali, Trenia Woodson" sambut pemuda itu.
"Bicaramu jadi terbata-bata lagi, Syu. Ya, aku kembali..." jawab Trenia.
Trenia berlari menghampiri Syuhada. Tanpa terduga, Trenia tersandung dan hampir jatuh. Syuhada buru-buru berdiri dan mencoba menyangga tubuh Trenia menangkapnya. Namun karena posisi berdirinya yang tak sempurna, Syuhada malah terdorong jatuh dan akhirnya terduduk di tanah. Akan tetapi ia berhasil menangkap tubuh Trenia.
Saat ini Syuhada memegang kedua pundak Trenia.
"K—kamu tidak apa-apa?" tanya Syuhada dengan khawatir.
"A—aduh... maaf Syu, aku berlari tanpa melihat ja— ah!?" balas Trenia lalu terkejut dengan wajah memerah.
"Ah! Ma—maaf!" sahut Syuhada lalu mundur dengan mengesod di tanah.
"A—aku juga minta maaf..." ucap Trenia memalingkan wajahnya dengan malu-malu.
「Canggung sekali.」
Mendengar komentar itu membuat Syuhada kehilangan rasa groginya.
| Master, Original Elf datang dan meminta izin masuk ke area yang terisolasi. |
"{Izinkan}" jawab Syuhada.
| Dilaksanakan. |
Tak lama kemudian munculah pusaran angin dan di pusaran angin itu muncul Ardh yang nampak menggendong ibunya Trenia dengan gendongan puteri.
"Apa aku melewatkan sesuatu, tuan Hada?" tanya Ardh.
Syuhada menggelengkan kepalanya.
"Kamu tepat waktu, Ardh" jawab Syuhada.
"Ibu! Apa yang terjadi padanya!?" tanya Trenia pada Ardh ketika melihat ibunya yang digendong dalam keadaan pingsan.
"Dia pingsan karena syok. Tenang saja, dia tidak apa-apa" jawab Ardh.
Ardh kemudian meletakan tubuh Telia di atas rerumputan yang lembut.
"Jadi bagaimana keadaan di desa?" tanya Syuhada.
"Kacau sekali, tuan Hada. Aku tak bisa menjelaskannya secara detail saat ini, tapi semuanya benar-benar kacau" jawab Ardh.
"Kacau? Maksud kakak di desa terjadi kekacauan?" tukas Trenia.
"Tidak, bukan kekacauan yang itu. Apa kamu tahu kenapa ibumu pingsan, Trenia?" tanya Ardh.
"Tentu saja tidak!" jawab Trenia.
"Ibumu pingsan karena mendengar kabar kalau ayahmu mati setelah meminum racun yang disajikan oleh Louis melalui teh" balas Ardh.
"A—ayah...!?" ucap Trenia terkejut.
"(Ardh tidak berbohong. Jadi itu benar?)" gumam Syuhada.
「Tepat seperti dugaan Syin.」
"(Trenia...)" ucap Syuhada khawatir.
"Tidak, tidak mungkin... kenapa ayah..." ucap Trenia langsung murung.
"Perlukah aku menceritakan semuanya?" tanya Ardh kepada Syuhada.
Syuhada menganggukan kepalanya.
"Baiklah, akan kuceritakan..." lanjut Ardh.
Lalu Ardh pun menceritakan cerita lengkapnya. Bahkan dari sudut yang normalnya mungkin orang tidak akan mengetahuinya karena ia tak berada di tempat kejadian.
"Jadi begitu lah kira-kira kejadiannya..." ungkap Ardh.
Trenia yang duduk di sebelah Telia yang terbaring tak sadarkan diri terlihat menangis bercucuran air mata. Ia menangis hingga air matanya berjatuhan ke wajah ibunya.
"Ayah... kenapa ayah melakukannya? Padahal... padahal jika ayah mempercayai Syu..." ujar Trenia sambil terus menangis.
Air mata yang menetes ke wajah Telia membuatnya tersadar secara perlahan.
"A—apa ini? Apa ini hujan?" ucap Telia yang matanya masih tertutup.
Mata Telia perlahan terbuka dan ia pun melihat siluet seorang gadis karena pandangannya masih buram.
"Ayah..." ucap gadis itu dengan terisak menangis.
"Suara ini, apa ini Treniaku?" ucap Telia.
Pandangannya mulai jelas dan nampaklah wajah Trenia yang sedang menangis.
"Ibu! Ibu sudah sadar?" sahut Trenia terkejut melihat ibunya sudah sadarkan diri.
"Trenia? Apa ini benar kamu, Trenia?" tanya Telia sambil menyentuh pipi Trenia.
"Ya, ini aku, bu! Trenia! Syukurlah ibu sudah sadar..." jawab Trenia kembali menangis.
"Begitu ya... kamu ternyata selamat... syukurlah..." balas Telia lalu memeluk Trenia, "tolong jangan tinggalkan ibu lagi" lanjutnya.
"Aku tidak akan meninggalkan ibu lagi" ujar Trenia mendekap tubuh ibunya.
"Oh ya, ayahmu! Ayahmu, Trenia!" ucap Telia.
"Iya, aku sudah mendengar ceritanya. Aku sudah mendengar yang terjadi kepada ayah. Semuanya..." jawab Trenia.
"Ayahmu..." ucap Telia.
"Ayah..." ucap Trenia.
Keduanya pun saling menangis sambil berpelukan.
"(Kira-kira apa yang harus kulakukan di situasi semacam ini?)" tanya Syuhada.
「Gunakan kebijaksanaanmu, Syin.」
"(Mungkin sebaiknya aku membiarkan mereka sendiri yang saling menyembuhkan satu sama lain. Itu adalah urusan keluarga mereka. Tak ada yang bisa kulakukan. Aku tak boleh ikut campur. Lagipula luka semacam ini biasanya hanya waktu yang bisa menyembuhkan)" lanjut Syuhada.
「Kebijaksanaan Syin bertambah.」
****
Louis akhirnya dijatuhi hukuman mati karena percobaan pembunuhan yang mengakibatkan kecelakaan yang menyebabkan beberapa orang terbunuh pada akhirnya. Hukumannya adalah hukuman pancung. Kepala Louis dipenggal oleh Adnan sebagai algojonya.
Sore harinya jasad Louis dan jasad para korban pun dikuburkan di pemakaman umum desa. Jasad Donan sendiri, ayah Trenia dikuburkan di sebelah kuburan ibunya yang juga merupakan neneknya Trenia. Penguburan itu dihadiri oleh keluarga besar Woodson dan juga Syuhada serta Ardh.
"Ayah, maafkan aku jika aku belum menjadi anak yang berbakti. Aku belum sempat membahagiakanmu. Maafkan aku..." ujar Trenia dengan lirih.
Di dekapannya terdapat sebuah apel. Trenia mendekat ke kubur ayahnya itu dan meletakan apel itu di dekat batu nisan ayahnya.
Setelah meletakan apel itu Trenia menangis lagi. Ibunya mendekapnya dari samping. Sementara beberapa meter di belakangnya, Syuhada menyaksikan itu dengan ekspresi datar.
"Tuan Hada?" ucap Ardh yang khawatir melihat ekspresi dingin Syuhada.
"{Semua yang berasal dariNYA akan kembali padaNYA. Tak ada yang tinggal abadi di dunia yang fana ini. Semua yang ada di sini hanyalah sementara. Mungkin sebuah apel apabila telah dikupas kulitnya akan cepat membusuk, tapi meski tak dikupas pun apel pada akhirnya akan membusuk juga. Yang berbeda hanyalah apakah apel itu berguna atau tidak selama masa hidupnya}" ujar Syuhada sambil memejamkan matanya.
"(Bukankah begitu, Hud?)" tanya Syuhada.
「Tepat seperti yang Syin katakan.」
Syuhada menundukkan kepalanya. Perlahan hujan turun dari langit. Langit yang tadinya cerah tiba-tiba saja gelap oleh awan.
"Eh, hujan? Ayo kita segera pulang!" ajak Adnan.
"Y—ya!" sahut Trenia dan Telia.
Syuhada dan Ardh mengikuti dari belakang.
"{Terima kasih Ardh}" ucap Syuhada.
"{Sama-sama, tuan Hada}" jawab Ardh.
"(Jadi bahkan meski memiliki kemampuan yang hebat sekalipun, kita tetap tak bisa melawan takdir dari The Creator of All Creations ya. Apa ini sudah ending-nya?)" tanya Syuhada.
「Ya, selamat Syin. Kamu sudah mencapai Secret True Ending. Hadiah dari pencapaian ini adalah sebagai berikut: Pertama, "Torch of Truth" akan dinaik-tingkatkan menjadi "Moonlight of Revealing Heart". Syin akan mendapatkan kemampuan tambahan 〘Word of Guidance〙 yang memiliki efek menjadikan setiap kata yang diucapkan saat kemampuan ini diaktifkan akan menjadi panduan bagi orang yang mendengarkannya. Peringatan keras, harap digunakan dengan bijaksana. Kemampuan 〘Revealing Secret〙 berevolusi menjadi 〘Revealing Darkness〙 yang membuat Syin memiliki kemampuan tambahan untuk mengetahui niatan seseorang bukan hanya yang dipikirkannya tapi juga yang dirasakannya. Lalu kegelapan takkan menyesatkanmu dan ilusi tak berefek padamu. Kemampuan 〘Lie Detection〙 berevolusi menjadi 〘Doubtless〙 sugesti, berita, serta cerita yang bohong tidak akan bisa menipu dan mempengaruhimu. 〘Divine Guidance Lv. 3〙 naik tingkat menjadi 〘Divine Guidance Lv. 4〙 yang membuatmu bukan hanya bisa mendengar panduan, tapi juga bisa melihatnya.」
"(Itu semua terdengar hebat)" komentar Syuhada.
「Syin nampaknya tidak senang.」
"(Bukannya tidak senang. Saat ini aku hanya sedang bingung harus berekspresi apa?" balas Syuhada.
Mereka semua akhirnya sampai di kediaman Woodson dalam keadaan basah kuyup, kecuali Syuhada dan Ardh.
****