BAB 1. Keinginan Evelyn.

Beberapa tahun yang lalu.

Evelyn kecil saat itu masih duduk di sekolah dasar. Rambut panjangnya yang selalu dikuncir dua ikut melambai saat tubuhnya yang gemuk berlari ke arah seorang pria dengan setelan kasual.

"Uncle!" teriaknya dengan suara cempreng.

Pria berusia 20 tahun itu merentangkan kedua lengannya, bermaksud menyambut tubuh gadis kecil itu.

"Eve, rindu, Uncle!" serunya sembari memeluk uncle-nya erat.

"Ayo pulang. Uncle bawa sesuatu untukmu," kata pria itu sembari mengangkat, dan membawa tubuh Evelyn dalam gendongannya kemudian melangkah menuju ke parkiran mobil.

Evelyn kecil tak ingin lepas dari dekapan itu. Tidak, walaupun hanya sekedar duduk di kursi samping kemudi. Alhasil, pria muda itu pun terpaksa menyetir sambil memangku Evelyn.

Begitu sampai, ada beberapa mobil yang terparkir di depan rumah besar nan megah. Rumah di mana selama ini Evelyn bernaung bersama dengan kedua orang tua juga adik laki-lakinya.

"Mommy!" teriak Evelyn saat mereka sampai di ruang tengah dengan tubuhnya yang masih berada dalam gendongan.

"Astaga, ayo turun. Biarkan Uncle Viko istirahat dulu sayang," tegur wanita dewasa yang sedang menimang bayi laki-laki-adik Evelyn.

"Tidak mau!" Evelyn menggeleng sembari mengeratkan pelukan di leher uncle-nya.

"Tidak apa, Kak," kata Viko seraya duduk di sofa berdampingan dengan kakak sepupunya-ayah Evelyn.

"Uncle, kapan kita akan menikah?"

"Uhuk ..., uhuk ...." Ayah Evelyn seketika tersedak saat mendengar pertanyaan polos itu terlontar dari bibir gadis kecilnya.

"Eve, jangan tanya begitu!" tegur ibunya sembari memberikan anak laki-lakinya pada sang suami.

"Siapa yang mengajarimu begitu?" sang ibu membungkuk tepat di depan Evelyn.

Bibir Evelyn mengerucut imut. Bola matanya yang berwarna cokelat madu bersinar memandang Viko.

"Uncle bilang kalau nanti kita akan menikah," ucapnya polos nan lugu. Masih tidak mengerti perihal yang diucapkannya.

"Jaga bicaramu, Viko. Jangan mengotori otak, Evelyn," tegur ayah Evelyn pada adik sepupunya itu.

Viko mengangguk pelan. "Itu karena dia melihat foto pernikahan kakak. Evelyn terus merengek, dia ingin seperti itu juga. Apa yang bisa aku katakan untuk menghentikan rengekannya?" jelas Viko sembari bertanya diakhir penjelasan.

"Jangan pernah ucapkan hal itu lagi padanya," balas ayah Evelyn.

Viko mengangkat kedua bahu tak acuh. Jujur saja, ia pun geli mengatakan omong kosong seperti itu pada bocah seusia Evelyn.

Ibu Evelyn menghela napas pelan. "Eve, harus sekolah dulu sampai besar seperti Mommy, dan baru bisa menikah," jelasnya lembut.

Evelyn sontak mengangguk. "Ya, Mommy!" jawabnya antusias.

Setelah mengiyakan ucapan ibunya, Evelyn berbalik lantas mengecup bibir Viko lumayan lama.

"Eve, mau ice cream, Uncle!" pinta Evelyn setelah berhasil membuat Viko meneguk saliva susah payah. Ia tidak pernah menyangka akan mendapatkan ciuman selama itu tepat di bibir dari seorang bocah ingusan.

Ayah Evelyn hanya bisa menggeleng miris melihat putri kecilnya yang genit.

Berbeda dengan sang istri yang hanya bisa tertawa melihat kelakuan putrinya itu terhadap adik sepupu suaminya.

***

Sembilan tahun kemudian.

Tidak ada lagi gadis kecil dengan tubuh tambun. Rambut dikuncir dua dengan dres kecil penuh hiasan motif bunga seruni.

Evelyn kecil sudah berada di fase dewasa awal. Gadis cantik itu kini sedang menatap tubuhnya di depan cermin besar.

"You're beautiful, Eve!" Evelyn, memuji diri sembari menggoyangkan gaun berwarna biru muda sebatas lutut.

Rambutnya yang panjang bergelombang diikat tinggi, menampilkan leher jenjangnya.

Menginjak usia sembilan belas tahun. Evelyn, tubuh menjadi gadis yang cantik. Kecantikan yang dimilikinya itu seringkali membuat banyak laki-laki adu fisik demi mendapatkannya. Evelyn memiliki tinggi sekitar 175 cm dengan tubuh proporsional, hal itu membuat banyak orang kadang berpikir dia adalah gadis berusia 20-an tahun.

Selama ini Evelyn berusaha untuk tampil sedewasa mungkin, hal itu ia lakukan agar nantinya mampu bersaing dengan wanita yang dekat dengan uncle-nya.

"Evelyn, sudah siap belum?"

Evelyn, sontak menoleh ke arah pintu dan mendapati wanita yang paling berharga dalam hidupnya itu berdiri di sana.

"Yes, Mom," jawabnya sembari meraih handphone di atas meja rias.

"Anak gadis Mommy cantik sekali malam ini."

Pujian itu membuat Evelyn mengangkat dagu tinggi. Jalannya semakin dibuat bergaya. "Tentu saja!" ucapnya penuh percaya diri.

Sang ibu hanya bisa tersenyum simpul menanggapi ucapan penuh percaya diri Evelyn.

"Mom, apa Viko akan datang malam ini?" tanya Evelyn tiba-tiba saat langkah mereka mulai mendekat ke arah taman samping-tempat di mana acara ulang tahun kesembilan belas akan dilaksanakan.

"Evelyn, jangan langsung menyebut namanya sayang, itu tidak sopan didengar. Dia uncle-mu," peringat ibunya.

Evelyn berdecak pelan. "Mom, dia calon suamiku bukan uncle-ku lagi!"

"Evelyn, jaga bicaramu! Malu kalau didengar orang!"

Langkah Evelyn berhenti saat ibunya tiba-tiba menahan pergelangan tangannya.

"Tapi--"

"Sudah! Mommy tidak ingin mendengar alasan lagi. Kamu sudah dewasa sekarang. Jangan bersikap seperti anak kecil lagi. Lupakan candaan uncle-mu di masa lalu itu."

Setelah memberi peringatan, lengan Evelyn langsung dilepas.

Evelyn menggigit bibir bawahnya kesal sambil menghentak lantai. Tidak ingin ribut di hari istimewanya, Evelyn pun berjalan duluan ke arah tempat party-meninggalkan ibunya di pintu gerbang buatan yang terbuat dari ukiran bunga seruni.

Edgar-ayah Evelyn menatap kedua wanita yang menjadi belahan jiwanya itu dari jauh. Langkahnya pun berayun ke sana saat menyadari sepertinya telah terjadi perdebatan di antara ibu dan anak itu.

Sesampainya di sana, Edgar segera bertanya pada Elysabeth-ibu Evelyn. "Ada apa dengan, Evelyn?"

Helaan napas ke luar dari bibir Elysabeth. "Apa Viko malam ini akan hadir?" Alih-alih menjawab pertanyaan sang suami. Ely, justru menanyakan perihal kedatangan adik sepupu suaminya.

"Mungkin. Belum pasti juga karena Viko masih ada kesibukan."

"Kuharap dia tidak akan muncul."

Edgar segera memandang istrinya itu dengan dahi berkerut heran. "Memangnya ada yang salah?" tanyanya kembali.

"Putrimu itu masih berpikir akan menikahi Viko. Argh! Bikin pusing saja." Ely memijat pelipisnya.

Edgar hanya bisa terdiam sembari menatap putrinya dari jauh yang sedang bercengkrama dengan rekan kuliahnya yang sudah tiba terlebih dahulu.

"Sampai kapanpun Eve tidak akan bisa bersama dengan, Viko. Kamu tenang saja," kata Edgar seraya mengelus pundak istrinya.

"Kenapa bisa?" Elysabeth bertanya heran.

"Apalagi? Jelas saja karena mereka itu paman dan keponakan. Tidak ada sejarah pernikahan seperti itu," jelas Edgar santai.

"Yah, Viko pria cerdas, dia pasti tidak akan berpikir untuk menikahi keponakannya sendiri," ucap Ely merasa lebih tenang.

"Tidak usah dipikirkan, lebih baik kita ke sana," ajak Edgar sembari meraih lengan istrinya untuk digandeng.

Sementara itu di tempat Evelyn. Ia masih cekikikan tak jelas bersama dengan dua kawannya.

"Eve, sepertinya pria yang di sebelah sana terus menatapmu dari tadi," ucap salah satu gadis dengan gaun hitam pada Evelyn.

"Mana?!" Evelyn sontak berbalik.

"Astaga, jangan di lihat langsung begitu!" gadis dengan gaun merah segera menarik wajah Evelyn.

"Jelek! Viko jauh lebih tampan," ucap Evelyn setelah melihat wajah pria asing yang berdiri di area sajian minuman.

"Siapa Viko? Dia kekasihmu?!" kedua gadis itu bertanya antusias sekaligus penasaran.

Evelyn, tersenyum percaya diri. "Lebih tepatnya calon suamiku! Dia sangat tampan seperti Dewa Yunani!"

"Apa dia akan datang malam ini?" gadis dengan gaun hitam itu kembali bertanya.

Senyuman Evelyn perlahan luntur. Dia terdiam cukup lama sebelum akhirnya menjawab sedikit ragu, "Yah, dia pasti akan datang."

Jujur saja, Evelyn tidak terlalu yakin dengan apa yang ia ucapkan sekarang.

Kedua bola mata indahnya terus tertuju ke depan. Sejak tadi ia sering melirik ke arah datangnya para tamu, berharap sosok yang ia rindukan itu ada di antara tamu yang datang.

BERSAMBUNG.

Mohon berikan koreksi di kolom komentar, yah. Terima kasih.