WebNovelTERBIASA28.95%

Sebelas

"Yank... hari ini jadwal kita kemana?"

Pertanyaan rutin yang hampir setiap pagi Arga tanyakan kepada Eza. Bahkan panggilan sayang pun sudah sangat lues terucap dari mulut mereka. Meski awalnya mereka masih kaku dan merasa aneh, tapi seiring berjalanya waktu mereka mulai terbiasa.

Pagi hari, Eza yang sudah siap dengan penampilanya, memakai kemeja biru polos, menempel ketat di tubuhnya. Sehingga terlihat jelasa cetakan di bagian dadanya yang bidang. Kemudian celana yang juga ketat membuat bokongnya terlihat semakin montok.

Eza berdiri di ambang pintu kamar, menyenderkan pundaknya di kusen pintu. Melipat kedua tangannya di perut, sorot matanya lurus menatap Arga yang masih bercermin di depan lemari.

Manik mata Eza menelusuri tubuh Arga dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Bibirnya melengkung, tersenyum bangga saat melihat perubahan dalam diri Arga. Pasalnya Arga yang ia lihat sekarang, penampilannya sedikit banyak berubah, dari Arga yang pertamakali ia lihat.

Peka sedang diperhatiakan oleh Eza,

Arga memutar kepala sambil meneruskan aktifitasnya yang sedang menyisir rambut.

"Apa?" tanya Arga, kemudian ia kembali menoleh ke arah cermin, melihat pantulan dirinya sendiri.

Menarik ujung bibirnya, Eza tersenyum menceng seraya mendesis. "Nggak apa-apa, cuma heran aja. Makin cakep."

Pujian dari Eza sukses membuat rona wajah Arga bersemu merah, dan senyumnya mengembang. "Udah dari orok, kalo cakep mah..." sombong Arga untuk menutupi rasa malunya.

"Percaya, udah ah yuk, ntar telat." Ucap Eza, kemudian ia memutar tubuh berjalan menuju pintu ruang tamu.

Sementara Arga buru-buru menyudahi aktifitasnya, lalu berjalan mengekor di belakang Eza.

Sesampainya mereka di halaman, Arga segera menaiki motor matic yang sudah diparkirkan di sana. Semantara Eza duduk membonceng di belakang Arga.

Arga menyalakan mesin, sebelum menarik gas, ia memutar kepala, menoleh ke arah Eza yang sudah menopangkan dagu di pundaknya.

"Peluk...!" Perintah Arga.

Tidak menunggu waktu lama, Eza langsung melingkarkan pergelangannya di atas perut Arga, lalu memeluknya erat.

"Udah...?" Tanya Arga.

"Udah..." jawab Eza.

"Turun kalo udah..." gurau Arga, kemudian terbahak. Ia langsung menarik gas setelah mendapatkan pukulan pelan di helm nya.

Tidak lama setelah itu motor yang dinaiki Arga dan Eza melesat membelah jalanan kota Jogjakarta.

***

Setelah menempuh perjalanan kurang dari dua jam, akhirnya mereka sampai pada tempat tujuan. Keduanya jalan beriiringan menuju ke sebuah gedung yang berlantai dua.

"Permisi mbak kami dari PT. JAYA MANDIRI. sebelumnya sudah ada janji dengan bu Astui," sapa Eza kepada salah satu seorang receptionis yang berdiri di hadapanya.

Petugas resepsionis mengulas senyum, ia menatap Arga dan Eza secara bergantian. "Sebentar mas," jawab petugas receptionis sambil mengakat gagang telfon yang ada di hadapanya, lalu ia tempelkan di kuping. Manik matanya tidak berkedip menatap dua sosok pemuda tampan yang berada di hadapannya.

Selang berapa saat receptionis melatakan kembali gagang telfon pada posisi semula.

"Mari mas ikut saya bu Astuti sudah menunggu di ruanganya." Ajak resepsionis dengan senyum yang masih menghias di bibirnya.

"Ooh baik mbak," jawab Eza.

Beberapa saat kemudian, petugas receptionis keluar dari ruangannya, berjalan ke ruangan ibu Astuti, diikuti Eza dan Arga di belakangnya.

Rok mini yang dikenakan petugas receptionis, membuat manik mata Arga tidak berkedip memperhatikan langkah kakinya. Betis yang jenjang, dan mulus membuat ia merasa sayang untuk melewatkan pemandang indah tersebut.

"Aduh...!"

Arga mengaduh kesakitan saat merasakan cubitan kecil dibagian pinggang. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Eza.

Rupaya tanpa disadari, sejak tadi Eza memperhatikan gerak gerik Arga.

"Sory," ucap Arga. Setelah itu ia tersenyum nyengir.

Eza hanya memutar bola matanya jengah, sambil melanjutkan perjalanan mereka, mengikuti petugas receptionis tersebut.

Tidak lama kemudian, petugas receptionis membawa mereka sampai pada ruangan, dimana Arga dan Eza akan bertemu dengan seseorang di dalam sana.

Took... took...

Arga mengedarkan pandangannya ke mana saja saat sedang menunggu petugas receptionis mengetuk pintu. Ia sudah kapok, tidak mau mencuri pandang, lantaran takut mendapat cubitan kembali dari Eza.

"Masuk..." terdengar surah lembut seorang wanita dari dalam ruangan tersebut.

"Silahkan masuk mas," perintah petugas receptionis sambil membukakan pintu ruangan ibu Astuti.

Keduanya mengangguk takjim sambil memasuki ruangan tersebut.

"Saya permisi dulu mas kalo ada apa-apa bisa panggil saya..." ucap petugas receptionis, setelah Arga dan Eza mendudukan dirinya di sofa khusus untuk tamu. "Bentar lagi bu Astuti keluar kok..."

"Terima kasih mbak..."

Arga dan Eza menjawab secara bersamaan. Keduanya saling bersitatap setelah petugas receptionis meninggalkan mereka.

"Sory... nggak sengaja yang tadi," ucap Arga membahas soal matanya yang tidak bisa tahan kalau melihat barang bagus.

"Nggak sengaja tapi keterusan," Eza memalingkan mukanya, mengedarkan pandangan ke ruangan dimana mereka duduk. "Gatel!"

Beberapa detik kemudian, dari ruangan berbeda muncul seorang wanita yang diketahui bernama ibu Astuti. Wanita yang diperkirakan usianya lebih tua dari mereka, namun masih tetap terlihat cantik dengan riasaan wajah yang sedikit tebal, namun tetap terlihat lues. Mengenakan rok mini warna hitam yang panjangnya cuma sampai di atas lutut. Kemeja warna putih ketat, membuat tonjolan dibagian dadanya terlihat menggoda.

Dengan anggunya wanita yang memiliki tubuh tinggi semampai, jalan mendekati mereka. Langkah kakinya di iringi suara yang dihasilkan oleh hils nya yang menginjak lantai marmer.

"Selamat pagi, maaf udah menunggu lama..."

Eza dan Arga berjanjak dari duduknya dan membalas salam bu Astuti.

"Selamat pagi bu Astuti" sapa Eza dan Arga secara bersamaan.

"Selamat pagi mas Eza" balas bu Astuti sambil menjulurkan tanganya pada Arga--Arga mebalas jabatan bu Astuti dengan bengong.

"Selamat pagi bu," jawab Arga.

Hal yang sama pun dilakukan bu Astuti pada Eza dan menyubut nama Eza itu Arga. "Selamat pagi mas Arga."

"Selamat pagi bu Astuti saya yang Eza dan itu Arga" jawab Eza sambil menujuk Arga. memperjelas supaya tidak salah lagi.

"Oooh begitu maaf-maaf," Rona wajah bu Astuti  terlihat bersemu merah. "Maklum sudah tua jadi suka lupa. Lagian kalian kan emang mirip."

"tua bagiamana? masih muda dan terlihat cantik begini." kata Eza memuji.

Mendengar pujian Eza bu Astuti yang memang sedikit genit, langsung melambung tinggi, tubuhnya mendadak ringan seprti kapas. Rona wajahnya semakin bersemu merah.

"Ah.. mas Arga, Eh mas Eza bisa aja." Ibu Astuti tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Bahkan ia sampai berani memberikan cubitan kecil di pinggang Eza.

Arga hanya terdiam dan senyum tipis.

"Ayo silakan duduk," lanjut bu Astuti.

Arga dan Eza menjatuhkan bokong mereka pada sofa empuk yang memang sudah di sediakan khusus untuk tamu. Keduanya duduk berdampingan, sedangkan bu Astuti duduk di hadapan mereka. Terhalang meja kecil yang terbuat dari kaca.

"Gimana? apa dokumen serta beberapa contoh produk sudah di siapkan." lanjut bu Astuti sambil, menunagkan dua gelas air putih, yang sudah tersedia di atas meja.

"Pasti dong bu." Jawab Eza.

Terlihat Arga langsung sibuk membuka tas yang ia bawa, kemudian mencari dokumen juga laptop, yang sudah mereka siapkan sebelumnya. Setelah apa yang ia cari sudah ketemu, kemudian langsung diberikan kepada Eza.

Setelah itu Eza meletakan dokumen dan membuka laptonya di atas meja.

Terlihat bu Astuti berdiri dari duduknya--melangkah menghampiri Eza dan duduk tepat di samping Eza.

Sehingga kini Eza duduk di tengah-tengah antara Arga dan bu Astuti.

Arga hanya diam dan memperhatikan bu Astuti, ia ingin tau apa yang akan dilakukan oleh wanita seksi tersebut.

"Maaf mas Eza, tidak apa-apa kan kalo saya duduk di sebalah mas Eza, supaya saya bisa lebih jelas dan paham mendengar penjelasn dari mas Eza." Ucap ibu Astuti.

"Oh, tidak apa-apa bu Astuti, dengan senang hati." jawab Eza ramah. Ia tidak lupa memberikan senyum termanisnya kepada ibu Astuti.

Arga hanya diam--sambil menelan ludahnya susah payah. Manik mata meliriknya melirik ke arah Eza--yang tetap fokus pada laptop yang ada di hadapanya.

Eza menjelaskan semua yang perlu di jelaskan pada bu Astuti, semantara bu Astuti pandanganya tidak tertuju pada Laptop melainkan pada wajah dan bibir Eza yang sedang fokus menjelaskan. Bu Astuti sepertinya lebih tertarik memandang wajah Eza yang sedang fokus, ketimbang laptop yang berisi beberapa contoh produk.

sesekali bu Astuti bertanya dan menyuruh Eza mengulang lagi penjelasanaya dengan alibi ia belum mengerti, sambil tanganganya menujuk kearah laptop--sambil mendekatkan wajahnya pada wajah milik Eza. Jarak wajah yang sangat dekat membuat pipi mereka hampir bersentuhan.

"Aduh mas Eza munkin saya udah tua beneran kali yaa? jadi saya masih belum paham itu tadi yang bagian bahan baku tolong di jelaskan lagi."

Entah sudah berapa kali pertanyaan serupa dilontarkan ibu Astuti kepada Eza. Namun karena sudah menjadi tanggung jawabnya, sehingga Eza dengan sabar menjelaskan kembali tiap kali ibu Astuti bertanya. Ia tidak mau kehilangan klien.

Berbeda dengan Eza--sikap ibu Astuti membuat Arga harus membuka kancing kemeja teratasnya. Ruangan ibu Astuti mendadak terasa panas baginya.

Sepertinya Arga menangkap sinyal sinyal aneh yang di tujukan bu Astuti terhadap Eza. Arga menangkap sesuatu yang tidak biasa. Ia sudah cukup dewasa untuk bisa menilai mana gaya biacra yang biasa dan mana gaya bicara yang sifatnya menggoda.

Beberapa saat kemudian, Arga mulai risih dengan sikap bu Astuti kepada Eza. Bahkan sesekali bu Astuti mencoba menyentuh tangan Eza dengan alesan yang selalu di buat-buat.

Eza yang masih fokus tidak menghiruakan dan memikrinya, yang ia tau sekarang, ia sedang menjalankan tugas. Bahkan ia tidak menyadari ada hati yang sedang terbakar akibat ulah ibu Astuti.

"Mas Eza rajin fintes ya, lenganya besar?" kata bu Astuti sambil menyentuh lengan Eza yang terlihat menonjol karna kemejanya yang ketat.

Arga semakin tidak nyaman, tengorokan Arga tiba tiba terasa sakit karna menahan jengkel. Arga cuma bisa diam dan berharap ini cepat selesai. Ia semakin gondok dan kesal ketika mendengar Eza sedang memuji bu Astuti tanpa memikirkan perasanya.

Kelakuan bu Astuti kepada Eza membuat darah Arga semakin naik saja. Namun sebisa mungkin Arga berusaha menahan emosi karna situasi. Sama seperti Eza--Arga juga tidak mau kehilangan klien.

Tunggu saja nanti di rumah. Pikir Arga sambil mengepalkan jemarinya.

Tbc