WebNovelTERBIASA34.21%

Tiga belas

           Jika air dapat meredam api,

                              maka sentuhan kasih dapat merdam emosi

Antara Arga dan Eza hampir memiliki banyak persamaan, dan kebiasaan serupa. Contohnya pada saat malam minggu, mereka lebih senang untuk menghabiskan waktunya di rumah, bersantai dan melakukan hal positife, dari pada keluyuran atau membuang waktu tidak jelas.

Malam itu, setelah ribut kecil karna cemburu, mereka sedang berada di ruang tamu. Arga duduk di ujung sofa, punggungnya menyandar pada sandaran sofa, sedangkan kedua telapak tanganya asik memainkan phonsell miliknya.

Sementara Eza berbaring pada sofa yang sama, menggunakan paha Arga sebagai bantalan kepalanya. Sama sepreti yang Arga lakukan kedua tangan Eza pun asik memainkan HP.

"Sayang..." celetuk Eza dengan nada khasnya yang lembut. Meski pelan, tapi sudah dipastikan Arga dapat mendengarnya.

"Hem..." sahut Arga tanpa menoleh. Pandanganya tetap fokus pada layar HPnya.

"Bu Astuti mengirim pesan. Dia meminta tolong sama aku, minta dijemput malam ini. Sekalian ngajak makan malam katanya." Eza bangkit dari tidurannya, duduk di samping Arga. Setelah meletakan HP di atas meja, ia menoleh ke arah Arga, menunggu jawaban darinya.

Arga hanya diam, masih dengan posisi semula. Sibuk dengan HP nya.

"Ga.." lagi, Eza memanggilnya. Telapak tangannya menutup layar HP Arga, berusaha meminta perhatian darinya.

Hal itu membuat Arga lalu mendengkus, menatap sebal kepada pemuda kesayangannya. "kamu mau pergi?" Kemudian ia menyingkirkan telapak tangan Eza yang masih menutupi layar HPnya.

"Aku minta ijin."

"Kalo aku nggak kasih ijin, gimana?" Tandas Arga.

Eza terdiam, setelah berpikir selama beberapa saat, ia berbicara dengan begitu lembut. "Aku cuma nggak enak. Bu Astuti client kita, dia udah mau kerjasama dengan perusahaan kita."

"Enggak enak gimana maksudnya?" Ketus Arga sambil menatap sinis kepada Eza. "Jangan berlagak bodoh dan lugu di depanku." Arga memdesis, menatap tidak percaya kepada Eza. "Pura-pura nggak tau signal-sinyal bu Astuti sama kamu. Jangan manfaatkan rasa tidak enakmu buat jadi alasan, nutupin kalo kamu juga pingin deket-deket sama dia. Aku pikir kamu sudah cukup dewasa untuk bisa mengartikan tujuan bu Astuti malam ini. Dia punya mobil, terus kenapa lebih memili dijemput motor? Huh?"

Eza hanya diam seribu bahasa. Rentetan kalimat yang lebih mengarah ke kata cemburu, membuat dadanya terasa sesak.

"-DIA TAHU POSISI KITA TINGGAL BERDUA DI SINI, TAPI DIA NYURUH KAMU JEMPUT DIA PAKAI MOTOR. ITU ARTINYA DIA INGIN HANYA KAMU DAN DIA BERDUA SAJA, TANPA HARUS ADA AKU!"

Kalimat yang diucapkan dengan nada tinggi, sedikit membuat tubuh Eza tersentak kaget. Tapi bukan Eza namanya kalau tidak bisa bersabar. Membalasnya dengan amarah juga percumah, tidak akan meluruskan yang benar.

"Siapa laki laki yang nggak tergoda sama dia?" Lanjut Arga. Meski nada bicara suda di turukan tapi emosi nya masih belum stabil. "Atau sebenarnya ini memang rencana kamu? pergi jemput wanita itu makan malam dengan sama dia." Arga berdiri dari duduknya kakinya menendang apa saja yang ada di depanya, sambil berjalan brutal menuju ke arah kamar.

Brak!

Suara pintu yang dibanting, membuat Eza kembali tersentak kaget. Setelahnya, ia menghela napas panjang, menambah batas sabar dalam dirinya.

Setelah merenung beberapa saat, pemuda itu akhirnya berdiri dari duduknya. Merasa yakin keadaan sudah sedikit tenang, ia berjalan ke arah kamar sambil membawa phonselnya dan juga phonsel milik Arga.

Eza membuka pintu kamar tanpa mengetuknya. Setelah menutup kemabali pintu, berdiri mematung mendapati Arga yang sedang berbaring--terlentang di atas ranjang.

Melihat kehadiran Eza, pemuda itu merubah posisi tidur menjadi miring, memunggungi Eza. Raut wajahnya, masih terlihat emosi.

Lagi, Eza membuang napas gusar, sambil menjatuhkan pantatnya--duduk di tepi ranjang. Setelah mengintip wajah Arga, perhatiannya beralih pada HP di tangannya.

Menyentuh menu kontak pada layar ponsel, ia menempelkan HP itu di kupingnya. Beberapa detik kemudian, suara sorang wanita terdengar dari HP milik Eza.

Arga masih dalam posisinya, meski terlihat cuek, tapi ia mendengar percakapan Eza dengan sesorang melalui sambungan telefon.

"Sekali lagi, saya minta maaf bu. Selamat malam."

Tidak bisa dipungkiri, kalimat terakhir sebelum Eza menutup sambungan telfon, membuat kedua ujung bibir Arga tertarik. Namun, rasa gengsi memaksa ia harus mempertahankan ekspresi wajahnya yang masam, walapun di dalam sana hatinya berdesir.

Lagi, Eza menghela napas panjang. Kemudian ia membaringkan tubuhnya, tidur miring menghadap ke punggung Arga. Telapak tangannya berjalan meraba, melingkar di pinggang Arga. "Gitu aja, cemburu..." Eza mendekap mesrah tubuh Arga.

Arga hanya memanyunkan bibirnya, sambil menikmati hangatnya dekapan pemuda itu. Ketika ia merasakan pelukan itu semakin erat, rasa hangatan menjalar masuk ke dalam hatinya.

Hangat pelukan yang tengah meraka lakukan, seolah mampu mengusir dinginnya udara malam di kota Jogja.

"Aku sayang sama kamu..." aku Arga.

"Sama..." Eza menengelamkan wajahnya di tengkuk Arga.

TBC