"Rina." Panggil kakak perempuanku Ati.
"Iya, kak. Ada apa?" Tanyaku.
"Itu, si Anjar meninggal dunia." Jawab kak Ati.
"Innalillah. Sakitkah dia, kak?" Tanyaku kembali.
"Katanya sih sakit." Jawab kak Ati.
"Sakit apa, kak?"
*Katanya sih, sakitnya sama seperti Agus."
"Sakit perut sampai muntah darah gitu, kak?"
"Iya, Rin. Katanya sih lebih parah."
Aku terperangak. Aku merasa seperti ada yang aneh dengan penyakit yang Agus dan Anjar derita.
"Ya udah, kak. Rina mau siap-siap melawat dulu."
"Kita bareng aja ya, Rin." Ajak kak Ati.
"Iya, kak. Boleh."
Aku dan kak Ati segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah almarhum Anjar.
*******
Kami sudah sampai di rumahnya Anjar.
"Assalamualaikum." Ucap kami.
"Wa alaikumsalam." Balas para pelawat di rumah Anjar.
Ku bacakan alfatihah, zikir, surah yasin, dan do'a untuk almarhum Anjar.
Selesai memanjatkan do'a untuk Anjar. Aku menggeserkan diri dan mendekati ibu kandungnya Anjar.
Ku ulurkan selembar amplop yang berisikan uang dan ku serahkan satu bungkusan plastik hitam yang di dalamnya ada bermacam-macam sembako ke pada ibunya Anjar.
"Makasih ya, nak. Repot-repot kamu bawain ini semua." Ucap ibunya Anjar.
"Iya sama-sama, bu. Sama sekali nggak merepotkan kok, bu. Mudah-mudahan semua ini bisa bermanfaat untuk ibu."
"Aamiin. In syaa Allah sangat bermanfaat kok, nak."
Ku beranikan diri bertanya ke pada ibunya Anjar pasal meninggalnya Anjar.
"Bu, maaf ni. Anjar sakit ya, bu?"
"Iya, nak." Ibunya Anjar kembali menangis.
"Sakit apa, bu?"
"Entahlah, nak. Seminggu yang lalu Anjar mengeluh sakit perut. Katanya sakit sekali sampai Anjar berguling-guling di kasur."
"Sudah dibawa ke dokter, bu?"
"Sudah, nak."
"Lalu, kata dokter Anjar sakit apa, bu?"
"Dokter bilang, Anjar tidak sakit apa-apa. Seluruh tubuh Anjar juga sudah di ronsen. Tapi tidak ditemukan penyakit sama sekali."
"Loh? Aneh sekali, bu."
"Ibu juga bingung, nak Rina."
"Anjar dikasih obat nggak sama dokternya, bu?"
"Ada. Cuman obat anti nyeri. Tapi, tetap nggak ada perubahan. Semakin hari Anjar semakin kesakitan. Sampai tibanya semalam, Anjar muntah darah banyak sekali. Darahnya beku dan berbiji-biji."
"Astaghfirullah. Ngeri sekali bu."
"Dan, subuh tadi sehabis sholat subuh Anjar meninggal dunia. Setelah semalaman dia muntah darah."
"Innalillah. Ibu yang sabar ya. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa Anjar. Dan semoga Anjar dimasukan ke dalam surganya Allah."
"Aamiin. Makasih do'anya ya, nak."
"Iya, bu. Sama-sama."
******
Jasadnya Anjar diangkat menuju ke pemandian mayit. Sedang proses memandikan jasadnya Anjar. Pak ustadz berbicara sesuatu ke pada si pemandi mayitnya Anjar.
"Pak Teguh." Panggil pak ustadz.
"Iya, pak ustadz." Jawab pak Teguh yang memandikan jasad Anjar.
"Sepertinya kematian Anjar sangat tidak wajar." Ujar pak ustadz.
"Maksud pak ustadz apa ya?" Tanya pak Teguh.
"Anjar sepertinya meninggal bukan karena sakit dari Allah. Tapi, melainkan meninggal terkena ilmu hitam."
"Astaghfirullah." Pak Tegur beristighfar.
"Maksud pak ustad semacam terkena santet gitu, pak?" Tanya pak Teguh.
"Entahlah pak Teguh. Batin saya mengatakan kalau Anjar meninggal terkena ilmu hitam." Ujar pak ustadz.
"Astaghfirullah. Mudah-mudahan Allah mengampuni semua dosa-dosa Anjar. Dan menempatkan di dalam surganya Allah." Do'a pak Teguh.
"Aamiin." Pak ustadz mengaminkan do'a pak Teguh.
"Mari pak Teguh kita lanjutkan fardu kipayah ini sebelum tiba waktu ashar." Ajak pak ustadz.
Aku terkejut mendengar pembicaraan pak ustadz dan pak Teguh. Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Tapi, tetap ku lanjutkan untuk menguping
*******
Jasad Anjar sudah selesai dimandikan dan dikafani. Para pelawat besiap-siap untuk mengantarkan jasad Anjar ke pemakaman.
"Rina." Panggil sahabatku, Wifa.
"Eh, Wifa."
"Kamu ikut ke pemakaman, Rin?"
"Iya, Wif. Kamu ikut juga?"
"Kalau ada kamu, aku ikut juga deh."
"Sama siapa kamu ke sini, Wif?"
"Sama mamahku, Rin. Kamu sama siapa?"
"Aku sama kak Ati."
"Rin." Kak Ati menepuk bahuku.
"Iya, kak. Kakak ikut ke pemakaman?"
"Sepertinya nggak, Rin. Kakak di sini aja bantu-bantu ibunya Anjar. Kamu ikut ke pemakaman, Rin?"
"Iya, kak. Rina ikut."
"Oh, ya udah."
Jenazah Anjar dimasukan ke dalam keranda mayat. Beberapa orang telah menandu keranda. Jenazah Anjar kini telah meninggalkan rumah duka. Seruan tasbih, tahmid, tahlil dan takbir berkumandan berderu oleh para pengantar jenazah Anjar. Sebelum dimakamkan, jenazah Anjar disholat dulu di masjid kampung kami.
******
Pemakaman jenazah Anjar sudah selesai. Para pengantar pun kembali pulang ke rumah masing-masing.
Aku dan Wifa kembali ke rumahnya ibunya Anjar. Kami berjalan berdua menuju rumah duka. Sepulang dari pemakaman, kami berniat ingin membantu ibunya Anjar untuk menyiapkan acara tahlilan untuk Anjar malam ini.
"Wif, kita mampir ke warung dulu ya? Aku haus banget, Wif." Ajakku.
"Ayo, Rin. Aku juga haus." Balas Wifa.
Ketika di warung, kami bertemu dengan pak Akin.
"Habis dari pemakaman ya, neng?" Tanya pak Akin pada kami.
"Iya, pak." Jawab kami.
"Kasihan ya, si Anjar matinya seperti itu." Ujar pak Akin.
"Seperti itu gimana maksudnya, pak?" Tanyaku agak sedikt terkejut.
"Ya, seperti itu. Sakitnya parah, neng." Jawab pak Akin.
Aku merasa pak Akin seperti menyembunyikan sesuatu. Aku yakin pak Akin pasti mengetahui sesuatu tentang kematian Anjar.
******
Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah ibunya Anjar.
"Rin, kok aku merasa ada yang anehnya dengan perkataan pak Akin di warung tadi." Ucap Wifa.
"Aku juga, Wif."
Di tengah perjalan kami bertemu dengan pak ustadz.
"Itu pak ustadz. Ayok kita samperin, Wif." Ajakku.
"Memang ada urusan apa sama pak ustadz, Rin?"
"Ada yang ingin aku tanyakan, Wif. Ayok ikut aku."
Kami pun segera mengejar pak ustadz.
"Pak ustadz, pak ustadz. Tunggguuuu...." Teriakku memanggil pak ustadz.
Pak ustadz pun menoleh ke belakang ke arah kami. Dan pak ustadz pun menghentikan langkahnya.
"Iya, ada apa, nak Rina?" Tanya pak ustadz.
"Pak ustadz, saya ingin menanyakan sesuatu."
"Tanya apa, nak Rina?"
"Tentang kematiannya Anjar."
Pak ustadz terkejut dan dia terdiam sejenak.
"Memang ada apa dengan kematiannya Anjar, nak Rina?"
"Maaf sebelumnya, pak ustadz. Mungkin Rina telah lancang menguping pembicaraan pak ustadz dan pak Teguh waktu memandikan jenazahnya Anjar. Tapi, sungguh Rina tidak sengaja pak ustadz."
"Sebenarnya Rina merasa aneh dengan kematian Anjar, pak ustadz. Apa yang dialami dan diderita Anjar sama persis dengan yang dialami Agus, pak ustadz. Rina merasa kematian mereka berdua akibat diperbuat orang jahat."
"Maksudnya apa, Rin? Aku nggak ngerti." Tanya Wifa.
Pak ustadz menghembuskan nafasnya dan kemudian.
"Sebenarnya bapak juga merasa begitu, nak Rina. Ketika memandikan jenazahnya Anjar tadi, bapak seperti memegang sesuatu yang bergerak di dalam perutnya Anjar. Sesuatu itulah yang membuat Anjar jatuh sakit dan meninggal dunia."
"Sesuatu itu seperti apa, pak ustadz?" Tanyaku.
"Seperti racun kiriman." Jawab pak ustadz.
"Astaghfirullah." Ucapku dan Wifa secara serentak.