#1

Selang beberapa menit kemudian. ragib datang bersama Amira sambil nembawa dua kantong plastik besar di tangan mereka. 

"Lah, San? Sejak kapan lo dimari? Mau ngutang lagi, ya?" tanya Ragib dengan logat candaannya. 

"Hai, Tante," sapa Sansan salim dengan Amira tanpa menghiraukan ucapan Ragib. 

"Hai, Sayang."

 "Dih, sombong amat lo, San." 

"Iya. Gue mau ngutang lagi. Sanggup berapa lo mau minjemin gue?" 

"Canda, Sist. Pa kabar?" Ragib lalu memeluk Sansan. Gadis tomboy itu memang hobi bercanda.

 "Baik." 

"San, mau makan apa? Mau Tante buatin nasi goreng?" 

"Ah, nggak usah deh, Tante. Aku udah makan kok tadi." 

"Ya udah, Tante ke dalam dulu, ya.

 "Iya, Tante. 

Ragib menarik tangan Sansan duduk di sofa. 

"Cerita aja, lo ngapain ke sini?" tanya Ragib penasaran. 

"Ra, lo kenal nih orang, gak?" tanya Atid memberikan kartu nama itu pada Ragib. 

Mata Ragib melebar melihat kartu nama itu. 

"Pak Zidan?" ucapnya terkejut. 

"Lo kenal?" 

Mata Sansan melebar, sedangkan Ragib mengangguk meyakinkan. 

"Lo kenal di mana?" tanya Sansan. 

"Dia ini bos di tempat gue kerja," jawab Ragib santai. 

"Hah, bos?" 

"Iya. Pak Zidan Leonli. Cowok yang diidam-idamkan karyawan kantor. Untung gue nggak. Sayangnya dia udah punya pacar." 

Dahi Sansan mengkerut. Pria itu sudah memiliki kekasih dan masih saja ke club? Sansan semakin membenci lelaki seperti itu. 

"Emang kenapa? Lo punya utang sama dia?" 

Sansan berdecak pelan. Ia menggeleng menjawab pertanyaan Ragib. 

"Tujuan lo apaan, sih, San?" tanya Atid. 

"Udah, deh. Kalian gak usah kepo, ya. Gue mau balik dulu. Bye!" 

Sansan menarik tasnya, lalu berjalan ke dapur. Ia akan berpamitan dulu dengan Amira. 

------------------

Zidan mengetuk meja di depannya beberapa kali. Menunggu memang membosankan, tetapi Zidan harus mempunyai kesabaran. 

"Sorry, lama. Tadi macet." Itu merupakan alasan klasik yang selalu digunakan saat terlambat. Namun, Zidan hanya mengangguk tak ingin memperpanjang. 

"Apa kabar?" tanya Zidan memulai obrolan mereka malam ini. Reni sudah duduk di depannya sekarang.

 "Seperti yang kamu lihat."

 "Doni kabarnya gimana?" 

"Tanya sama Doni-nya, lah. Kenapa nanya sama aku?" 

"Ya, kan, kamu pacarnya," sindir Zidan. 

"Udah, deh. Kalau kamu mau berdebat sama masalah itu, aku pergi aja sekarang." Reni bangkit hendak 

beranjak dari situ, tetapi Zidan langsung menahan gadis itu dan menyuruhnya duduk kembali. 

"Aku nunggu kamu hampir dua jam, loh. Masa kamu main pergi aja." 

"Ya udah cepat. Kamu mau ngomong apa?" tanya gadis berambut pendek dan beralis tipis itu. 

"Kamu benar-benar ingin mengakhiri hubungan kita?" tanya Zidan serius. 

"Sudah berulang kali, kan, aku bilang sama kamu. Aku gak mau nikah muda. Aku mau menikmati masa mudaku dulu, Mas!" 

"Ya udah. Berarti, kamu rela, kan, aku menikah dengan orang lain?" 

"Ya, terserah kamu. Aku nggak ada hubungan lagi sama kamu. Jadi, tolong urus diri kamu sendiri." 

"Oke, jika itu yang kamu mau. Terima kasih untuk dua tahun ini." 

"Tidak perlu berterima kasih, karena kemarin aku cuma mau main-main sama kamu. Aku sudah menyukai Doni sejak dulu," ucap Reni menusuk. Sakit? Tentu saja.

"Jangan pernah temuin aku lagi," ucap Reni pergi meninggalkan Zidan di sana.

Zidan mengacak rambutnya frustrasi. Ia ingin menikah dengan wanita yang ia cintai dan Reni adalah wanita itu, tetapi tampaknya tidak ada lagi Zidan di hati Reni. 

Reni keluar dari kafe itu dan langsung menuju mobil Doni. 

"Udah, Sayang?" tanya Doni. 

"Udah. Tapi, kamu serius, kan?" 

"Serius, dong." Doni mendekati muka Reni, lalu mencium pipi gadis itu pelan. 

"Aku nggak akan ninggalin kamu," ucap Doni tersenyum. 

"Makasih, Sayang," ucap Reni mengusap pipi Doni. 

"Ya udah, yuk! Kita bersenang-senang malam ini." 

"Yuk!" 

Doni merangkul pundak Reni masuk ke dalam mobilnya. Doni tersenyum miring, lalu masuk ke pintu pengemudi. 

Satu minggu berlalu dengan cepat. Sejak kejadian itu, Sansan tidak lagi pergi ke club. Ia masih trauma dan tidak ingin terjadi hal yang sama untuk kedua kalinya. 

Siang ini, Sansan mengantarkan Nuni ke rumah sakit untuk terapi kakinya. Dua tahun yang lalu, Nuni dan suaminya kecelakaan, menyebabkan kaki Nuni patah. Maka dari itu, sampai sekarang Nuni harus rajin terapi, agar 

kakinya bisa normal kembali. 

"Nek, nanti kalau udah selesai terapinya, telepon aku aja, ya. Biar aku jemput, soalnya aku ada urusan sebentar." 

"Baik, Nak." 

"Ya udah. Aku tinggal sebentar ya, Nek," ucap Sansan. Nuni mengangguk saja. 

Nuni duduk di ruang tunggu, untuk menunggu antrean namanya. Tiba-tiba ada seseorang yang duduk di sebelah Nuni. 

"Kamu beneran gak bisa jemput Mama?" tanya wanita di sebelah Nuni pada anak laki-lakinya. 

"Nggak, Ma. Nanti Mama pulang sendiri aja, ya. Soalnya aku lembur sampai malam." 

"Ya udah, deh." 

"Yang penting, kan, aku udah nganterin Mama." 

"Iya-iya. Ya udah, sana. Kembali lagi ke kantor." 

"Iya, Ma." 

Wanita itu tampaknya mendengkus saat anaknya sudah pergi meninggalkannya. Nuni hendak menyapa wanita yang seumuran dengan anaknya, tetapi namanya dipanggil untuk terapi. Nuni bangkit dan berjalan masuk ke ruangan. Wanita yang duduk di samping Nuni menatap heran. Seperti kenal dengan nama itu. 

---

Sansan mengambil uang di ATM. Ya, inilah alasan ia pergi meninggalkan Nuni tadi. Ia sudah tidak memiliki uang cash untuk membayar biaya terapi. Sisa uang di rekeningnya pun sudah menipis, karena Sansan tidak ke club lagi. 

Saat mendorong pintu, mata Sansan beradu dengan seorang pria yang tak asing baginya. Sansan menatap mata itu tajam, dehaman laki-laki itu membuat Sansan tersadar dan langsung menundukkan pandangannya. 

"Itu kan ...." Sansan sangat yakin jika pria itu adalah Zidan, tetapi pria itu tak mengetahui dirinya adalah Sansan. Apakah karena penampilan Sansan yang memakai baju panjang dan jilbab syari ini membuat Zidan tak mengingatnya? 

Pintu ATM kembali terbuka dan Sansan masih di sana. Ia kembali menatap Zidan. Mencoba mengetes pria itu. Namun, Zidan hanya menaikkan satu alisnya. 

"Ada apa ya, Mbak?" tanya Zidan heran. 

"Eh, ngg-nggak," jawab Sansan langsung menunduk. 

Zidan hanya mengangkat bahu, ia merapikan jasnya, lalu melangkah meninggalkan Sansan di sana. 

"Dia benar-benar nggak tahu siapa gue," ucap Sansan terkejut. 

Dering telepon Sansan mengalihkan semuanya. Ia langsung menatap nomor tidak dikenal yang muncul di layar ponselnya. Tanpa pikir panjang, Sansan langsung mengangkat telepon.

 "Halo?" 

"Assalammualaikum, Nak. Ini Nenek." 

"Waalaikumsalam, Nek. Nenek pakai HP siapa, nih?" tanya Sansan terkejut. 

"Oh, ini ... udah, nanti aja Nenek jelasin. Kamu kembali ke sini ya, Nak. Nenek udah selesai terapinya." 

"Oke, Nek. Aku ke sana sekarang." 

"Iya, Nak. Nenek tunggu, ya." 

"Siap, Nek." 

Sansan jadi penasaran, HP siapa yang dipakai oleh neneknya itu? 

---

"Bagaimana, Bu?" 

"Cucu saya mau ke sini jemput. 

Terima kasih, ya."

 "Sama-sama, Bu." 

Nuni mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya. Nuni tidak bisa menelepon Sansan, karena kehabisan pulsa. Maka dari itu, Nuni hendak meminjam ponsel wanita yang duduk di sebelahnya. Ternyata, wanita itu adalah ...