Stalk Instagram

Meski kepergian ini tak membuatmu rindu, kuharap kepulanganku akan menjadi sesuatu yang kau tunggu.

***

Diandra mengempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Dia berbaring dengan posisi terlentang, menatap langit-langit berwarna putih. Imajinasinya masih sama, tertuju kepada Samuel yang setiap harinya memang selalu menjadi objek imajinasinya.

Dia kemudian mengangkat ponsel yang masih berada dalam genggaman. Ditatapanya benda pipih itu, kemudian dia membuka aplikasi instagram dan memeriksa unggahannya. Dia berharap ada komentar dari Samuel. Namun sayang sekali, nyatanya tidak ada hal baru di sana.

Wanita itu tampak mengembuskan napas berat, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk stalk akun Samuel, kemudian menggulir ponsel itu ke atas dan ke bawah secara bergantian. Sesekali dia tersenyum melihat foto-foto Samuel yang sempat diunggah di sana. Bahkan, ada juga satu foto kebersaaman dirinya dengan Samuel dan juga ketiga sahabatnya. Foto dua tahun lalu, ketika Samuel masih berusaha mengejar Aretha.

Ya, dulu Samuel memang sempat tergila-gila dengan Aretha. Namun, entah kenapa Aretha tidak tertarik sedikit pun, meskipun Samuel sudah berusaha keras mengejarnya. Dia justru lebih memilih David untuk menjadi pendamping hidupnya.

Pada saat itu, Diandra adalah satu-satunya orang yang tidak menyetujui Aretha berhubungan dengan Samuel. Bukan karena cemburu, hanya saja dia merasa tidak rela jika sahabatnya memiliki hubungan spesial dengan pria yang sangat dia benci. Ya, karena waktu itu Dia masih belum memiliki perasaan apa pun kepada Samuel, atau mungkin dia memang belum menyadari perasaan yang sesungguhna? Entalah.

Diandra terus menggulir layar ponsel itu, melihat semua unggahan Samuel. Seketika dia terbelalak ketika mendapati unggahan terbaru di sana, tepat saat dia menggulir layar ponsel itu ke atas.

@sam_muel Meski kepergian ini tak membuatmu rindu, kuharap kepulanganku akan menjadi sesuatu yang kau tunggu.

Lagi-lagi Diandra mengembuskan napas berat, saat membaca unggahan Samuel. Jika apa yang diunggah Samuel di akun instagramnya adalah jawaban atas unggahannya beberapa menit lalu, sungguh bukan itu jawaban yang dia inginkan. Dia hanya butuh penjelasan tentang sebuah alasan dan kepastian. Namun, nyatanya Samuel masih belum peka, atau pria itu memang sedang berpura-pura tidak peka?

"Lalu, menurutmu aku harus bertahan di tengah ketidakpastian ini? Untuk apa? Bahkan, aku masih belum tahu tentang siapa aku di hatimu," lirih Diandra mulai bermonolog. "Kamu tahu? Ibarat menunggu pohon cabai berbuah tomat, seperti itulah aku yang selama ini menunggumu di tengah ketidakpastian," imbuhnya dengan mata yang sudah tampak berkaca-kaca.

Bagaimana tidak? Lagi-lagi dia harus menelan kekecewaan dan menahan rasa rindu yang makin terasa berat. Bahkan, sekadar ingin mendengar suara Samuel saja, rasanya susah sekali. Lantas, apakah dia harus tetap menunggu, saat Samuel tidak pernah sekali pun memberinya kabar secara pribadi?

Diandra tidak mau kalah. Dia kembali memfokuskan pandangannya ke layar ponsel, berniat untuk membalas unggahan Samuel. Jari jempolmya tampak sudah menari-nari di atas layar ponsel. Tanpa ragu dia mengunggah hasil ketikannya.

@diandranjani Sebab, semua hal butuh kepastian, lalu untuk apa aku menunggu, jika itu hanya penantian semu?

Tak berapa lama, Samuel kembali mengunggah status yang memang seolah-olah ditunjukkan kepada Diandra, sebagai jawaban atas unggahan status wanita itu. Akhirnya, terjadilah perang status di antara mereka berdua.

@sam_muel Banyak yang bisa bertahan tanpa kepastian. Bukankah itu alasan mengapa Tuhan menciptakan harapan?

"Sam ... peka sedikit kenapa, sih? Kirim DM, kek, ke aku. Kamu tahu enggak, sih? Aku tuh kangen!" gerutu Diandra, setelah membaca unggahan Samuel. Sungguh itu membuatnya sangat kesal dan kecewa. Untuk yang ke sekian kalinya, dia tidak mendapatkan jawaban yang pasti dari pria itu.

"Satu tahun lagi? Lama banget, Sam ... apa aku bisa? Akh!" Diandra mendesah frustrasi, lalu membantingkan ponselnya ke atas tempat tidur

***

Di sebuah restoran ternama di Ibukota, seorang pria berusia 27 tahun tengah duduk di salah satu kursi pengunjung nomor 15, tanpa siapa pun yang menemaninya. Pria itu tampak sibuk dengan gawai di tangannya sembari menyilangkan kaki kanan yang di atas paha kiri.

Seketika dia mengakhiri kegiatannya saat seorang pelayan datang membawakan secangkir minuman.

"Selamat menikmati," ucap pelayan itu dengan sangat sopan.

"Terima kasih, Mas." Pria itu langsung mengalihkan fokusnya ke arah cangkir kopi. "Lho, Mas!" panggilnya kemudian seraya menoleh kembali ke arah pelayan yang masih berdiri di sana.

"Kenapa, Pak? Apa ada yang salah?" Pelayan itu dengan reflect bertanya, sepertinya dia sudah memahami ekspresi dari pria itu.

"Saya pesan caffe latte, bukan cappucino." Pria itu sedikit mendongak, lalu menatap si pelayan dengan ekspresi kesal. Bagaimana tidak? Setelah sekian lama menunggu, ternyata minuman yang datang tidak sesuai dengan harapan.

Wajah pelayan itu tiba-tiba berubah memerah saat mendapatkan protes dari pria itu. Sekian lama dia bekerja di sana, baru kali ini melakukan kesalahan. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Bukan hanya malu, tetapi juga takut dan merasa tidak enak hati, karena tidak bisa melayani pengunjung dengan baik. "Ma-maaf, Pak, sepertinya saya memang salah mencatat pesanan Bapak," ucapnya gugup.

"Kalau kerja itu yang benar, Mas. Kasihan sekali pemilik resto ini, karena memiliki pegawai yang tidak bisa bekerja dengan baik seperti Anda," gerutu pria berbusana eksekutif muda itu. Dari penampilannya sudah dapat dipastikan bahwa dia bukanlah berasal dari kalangan biasa-biasa saja.

"Maaf, Pak, ini memang sepenuhnya kesalahan saya. Saya akan segera mengganti pesanan Bapak secepatnya." Pelayan itu tanpa malu mengakui kesalahannya, kemudian dia segera meraih kembali cangkir kopi yang berada di atas meja.

Diandra yang menyadari keributan antara pelayan dan pengunjung restoran yang tengah dikelolanya, sesegera mungkin menghampiri kedua pria itu.

"Maaf, ada apa ini?" tanya Diandra yang sontak mengalihkan perhatian pelayan dan pria asing itu kepadanya.

"Anda siapa?" Pria bertubuh tinggi sekitar 180 cm itu tampak bangkit dari tempat duduk dan memperhatikan Diandra dari atas hingga ke bawah.

Diandra terdiam sejenak, sebelum akhirnya dia menjawab pertanyaan pria asing di depannya. Dia sedikit mengamati wajah pria itu. Entah kenapa wajah itu seolah-olah mengingatkan dirinya kepada seseorang, tetapi siapa?

"Kebetulan saya adalah pemilik kafe ini." Diandra menerbitkan senyuman di wajahnya, sekadar berusaha untuk bersikap ramah kepada pengunjung kafe. "Apakah ada masalah?" tanyanya penasaran.

"Maaf, Bu, saya telah lalai dengan membawakan pesanan yang salah untuk Bapak ini," balas pelayan itu sedikit ragu. Namun, di samping itu dia tahu bahwa Diandra adalah atasan yang sangat bijaksana menurutnya. Setidaknya, dia tidak perlu terlalu takut kepada Diandra.

Diandra menganggukkan kepala dengan perlahan, lalu beralih fokus kepada pria asing berwajah tampan itu. "Saya mohon maaf atas kelalaian pegawai saya. Minuman kopi Bapak, secepatnya akan kami ganti. Mohon tunggu sebentar!" Diandra memasang ekspresi tidak enak hati, karena sudah membuat pengunjung kafe merasa tidak nyaman. Namun, dia juga sadar bahwa tidak ada manusia yang luput dari kesalahan, termasuk pegawainya itu.

Walau bagaimana pun dia adalah seorang atasan dan harus siap bertanggung jawab atas kelalaian para pegawainya.

"Tolong kamu ambilkan minuman baru sesuai yang dipesan Bapak ini," perintah Diandra kepada pelayan itu.

"Baik, Bu." Pelayan itu segera dan melakukan perintah sang atasan.

"Silakan duduk kembali, Pak. Sekali lagi saya mohon maaf yang atas ketidaknyamanannya," ucap Diandra kemudian.

Tanpa mengalihkan fokusnya dari wajah Diandra, pria asing itu kemudian mendaratkan kembali tubuhnya di tempat semula. Tidak ada sepatah kata pun yang dia ucapkan. Namun, dari sikapnya Diandra tahu bahwa pria itu tidak ingin memperpanjang masalah tersebut.

Pria itu masih mengamati wajah Diandra, sehingga membuat Diandra yang kala itu masih bediri di sana menjadi salah tingkah. Diandra pun memutuskan untuk segera pamit, tanpa menunggu pelayan tadi kembali.

"Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu. Terima kasih atas pengertiannya," ujar Diandra dengan sedikit gugup yang langsung ditanggapi dengan anggukkan kepala oleh pria itu.