Ku mulai pagiku dengan segelas americano. Ujung jari tanganku menari-nari riang di atas keyboard sebuah laptop tua peninggalan sejarah firaun (bercanda). Laptop ini aku dapat sebagai hadiah kelulusan SMPku. Huruf pada tuts sudah memudar karena sering aku gunakan, untung aku hapal tata letaknya.
Kopi yang aku seruput sedikit demi sedikit supaya aku tetap terjaga. Aku tidak tidur dari semalam, dan sibuk menulis cerita-cerita keseharianku.
Penulis? Bukan. Aku hanya iseng saja. Tadinya aku seorang karyawan swasta sebuah perusahaan yang terbilang cukup besar. Tapi karena pandemi virus ini aku harus diberhentikan dari pekerjaanku. Miris.
Aku mengisi waktu luang dengan menulis. Memang bukan keahlianku, tapi untuk curhat dan menuangkan ide tidak ada tempat terbaik selain melalui ketikan. Dan mendapatkan uang dari tulisanku, lumayan. Ya, meskipun tak banyak namun bisa menghidupi diriku sendiri.
Kasihan? Jangan dong. Karena aku cukup menikmati kehidupanku sekarang. Hmm... lebih tepatnya, aku ini berusaha menikmati hidupku yang sekarang. Karena kalau tidak aku nikmati, tubuhku tidak akan semakmur ini. Hahaha
Berita tentang menakutkannya virus yang merajalela selalu menghiasi televisi dan berita online setiap hari. Jutaan orang terpapar dan meninggal sudah ribuan kali tayang di TV. Di dalam dan luar negeri pun sama saja, semua membahas tentang pandemi. Betapa betahnya dia sampai dua tahun tak hilang dari muka bumi. Sampai suatu saat aku berpikir "Apa ini awal dari wabah zombie?" Konyol kan?
Semua awal film zombie bercerita tentang virus yang menyebar kan? Ga salah dong kalau imajinasiku sampai setinggi itu. Namanya juga ga ada kerjaan.
Kalian pasti pernah lihat film zombie kan? Aku termasuk fans berat genre itu. Kalau menurut kalian zombie itu menakutkan dan bikin mual. Coba lihat film Train to Busan, Kingdom, atau Rampant, tersedia para samchon ganteng buat penikmat drakor. Atau suka yang kebarat-baratan? Ada War World Z, I am Legend, The Walking Dead. Saking banyaknya film sampai aku ga bisa sebutin satu-satu karena durasi.
Tapi jujur aku benar-benar sudah menyiapkan diri kalau nanti semua orang berubah jadi zombie dan memakan orang lain hidup-hidup, mungkin cerita yang aku tulis ini akan berubah genre jadi horror dan thriller bukan romantis lagi.
Sudah bicara panjang lebar begini, tapi kita belum kenalan. Namaku Eliza Francisse, panggilannya Eli atau Encis, terserah kalian mau panggil aku apa. Usia dua puluh lima tahun, baru saja berulang tahun bulan februari kemarin. Single.
Karena takut virus yang selalu rawan di keramaian apalagi ibu kota, jadi aku pindah ke pedesaan di kaki gunung. Sekalian belajar hidup mandiri kalau nanti sudah resmi pisah dari orang tua. Itu pun setelah berdiskusi dengan keluarga lain, meminta izin rumah ini akan aku tinggali.
Tinggal di sendiri di rumah nenek di pedesaan membuatku selalu mendapatkan udara segar setiap hari. Tidak seperti ibu kota, baru keluar sedikit sudah banyak kerumunan di mana-mana. Giliran pandemi ga selesai salahin pemerintah. Aneh.
Menakutkan tinggal sendirian? Tidak juga. Rumah ini cukup luas namun sangat terawat, karena ayah dan paman-pamanku yang lain selalu rutin setahun sekali berkunjung membersihkan rumah tua ini. Sekarang giliran aku yang merawat rumah peninggalan sejarah ini.
Aku teringat pada cerita yang aku alami sekitar dua tahun lalu. Cerita lucu dan bisa di bilang mustahil diserap logika. Cerita pada minggu pertama aku pindah ke sini. Seperti ini ceritanya...