Awal mula

"Kyra, Aletha bunuh diri."

"Hmm kenapa kau melapor padaku?"

"Dia meninggalkan surat, semua tulisan berisi penindasan yang kau lakukan."

Mata biru gadis cantik berambut panjang itu melotot. Ia langsung turun dari meja yang sejak tadi ia duduki. Tangannya mencengkeram kerah gadis yang berbicara dengannya. Satu telunjuk dengan kuku panjang menusuk kulit lehernya.

"Dimana suratnya?!" tajamnya dengan

Gadis yang melapor tadi menyeringai.

"Sudah kita bereskan."

Mereka tergelak bersama.

"Ah kacung yang nakal, kau hampir membuatku terkena serangan jantung tahu. Aku akan mengajakmu ke club akhir pekan nanti." Kyra menarik hidung kecil gadis di depannya, yang tidak ia tahu namanya. Terlalu banyak pengikut membuat Kyra merasa tidak perlu mengingat nama nama orang di sekitarnya.

"Sungguh?" Mata gadis itu berbinar.

"Tentu saja. Kau dan teman temanmu adalah bagian dari gengku." Kyra kembali duduk di atas meja. Dua gadis di sampingnya memoles dan menghias kukunya seperti seorang tuan putri.

"Terimakasih Kyra! Akan segera kukabari teman temanku. Mereka pasti senang sekali."

"Ya pergilah..." Kyra tersenyum manis dengan bibir ping cantik dan matanya yang menyipit.

Memang fisik gadis itu seperti seorang malaikat. Cantiknya sangat natural seperti dewi yang turun dari langit. Siapapun laki laki yang melihat kecantikan Kyra pasti terpesona olehnya.

Banyak pula perempuan yang bersedia menjadi bawahan Kyra, entah untuk panjat sosial atau untuk menghindari masalah dengan gadis yang mengendalikan sekolah tersebut.

"Cuih penjilat." gadis itu meludah.

Seandainya sifatnya tidak seperti iblis Kyra bisa menjadi malaikat sungguhan.

Sayangnya gadis itu tumbuh dengan segala hal yang dilancarkan. Tidak pernah mengalami kesulitan apapun sampai ia berfikir bahwa dunia dan orang orang berada di atas telapak tangannya. Ia juga cerdas, selalu menjadi juara pertama di seluruh angkatan.

"Kalian tau dimana Bryan?" Kyra bertanya pada 2 gadis yang sedang duduk di pojok kelas. Tatapannya merendahkan.

"Kami tidak tahu.... Maaf..." seketika dua gadis itu menunduk.

"Ah... Begitu ya..." Kyra tersenyum manis. Jari lentiknya yang dihiasi kuku panjang bersih menarik dagu salah satu gadis itu.

"Kalian temannya si cupu kan? Kenapa dia bunuh diri?!" Kyra mendekatkan wajahnya. Memaksa gadis yang sudah hampir menangis itu tidak menghindari matanya.

Ini adalah trik. Kontak mata dapat membuat seseorang bicara lebih jujur daripada yang tidak. Kyra mempelajarinya dari melihat gerak gerik papanya yang tukang selingkuh.

"A-aku t-tidak tahu..."

"Bicara yang benar."

*Plakk

Satu tamparan dengan mudah Kyra lakukan jika ia tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Bagi Kyra, menampar seseorang semudah memukul drum yang sering ia mainkan di ruang musik.

Anak lain juga ada di ruangan itu memilih untuk buta dan tuli. Mereka tidak tertarik melihat kejadian yang naasnya sudah biasa terjadi. Tidak ada yang mau berurusan dengan anak donatur terbesar sekolah. Bahkan kepala sekolah saja tutup mata dengan laporan pembulian yang Kyra lakukan.

"Cengeng. Kalau kau tidak berhenti menangis saat guru datang nanti akan kubuat kau tidak bisa bicara selama satu Minggu!" Ancamnya.

~~~

"Bryan, kau ke kantin sendirian? Kenapa tidak mengajakku?" Kyra langsung memasang wajah paling cerah ketika laki laki jangkung dengan wajah tampan bak seorang pangeran itu terlihat di depan pintu. Dua tangan Kyra bergelayut manja pada lengan Bryan.

Laki laki itu biasanya akan tersenyum manis sambil mengusap kepala Kyra mengatakan kata kata yang lembut penuh kasih sayang. Tapi sekarang Bryan malah menepis tangan Kyra. Tatapannya dingin seolah malas bertemu dengan gadis itu.

"Ada apa Bry?" mata Kyra mengerjap polos, wajah cantik itu terlihat sedih dan menggemaskan secara bersamaan. Jemarinya menggenggam telapak tangan Bryan.

Sekali lagi Bryan menepis tangan Kyra.

Bryan mengusap kasar wajahnya.

"Aku sedang lelah. Aku ingin sendiri. Maaf Kyra, bisa kita bicara nanti saja?"

"Aku ada salah?"

Bryan tidak menjawab, laki laki itu sudah duduk di bangku paling depan pojok kanan. Pandangannya tertuju keluar jendela. Entah apa yang sedang ia pikirkan sekarang.

Yang jelas perlakuan Bryan pada Kyra menjadi tontonan satu kelas. Mereka diam diam merekam kejadian Kyra ditolak oleh lelaki paling baik satu angkatan.

Kyra sendiri sudah tidak peduli. Ia tidak sadar jika teman sekelasnya diam diam menertawakannya. Yang ia pikirkan sekarang hanyalah Bryan, satu satunya orang yang paling penting bagi Kyra tiba tiba terlihat membencinya.

Guru pelajaran sejarah datang membuat pikiran Kyra teralihkan sejenak.

"Bry, kita pulang bareng kan?" Kyra langsung merapat ke bangku Bryan bahkan sebelum guru terakhir pelajaran itu keluar kelas.

"Iya."

"Kau bawa mobil sendiri atau dijemput supir?"

"Tidak keduanya."

"Eh, lalu? Kita naik taksi?"

"Aku akan membawamu ke suatu tempat. Ikutlah denganku."

"Tentu saja Bryan. Kemanapun itu aku akan ikut denganmu. Bahkan jika ke hotel sekalipun aku siap jika kau yang mengajak."

Bryan yang biasanya akan tertawa dengan lelucon Kyra yang sebenarnya bukan lelucon. Tapi kali ini Bryan hanya menghela napas, terlihat tidak suka.

Kyra melihatnya dengan kekhawatiran, meski sungguh gadis itu tidak punya dugaan tentang apa yang membuat laki laki itu marah. Ia sama sekali tidak merasa punya salah.

"Kau bisa menyuruhku diam jika tidak suka dengan candaan ku." Kyra menautkan kedua tangannya, kebiasaannya saat kebingungan. Mata hitam legam Bryan menatap sorot sedih Kyra.

"Iya, tolong"

Segera Bryan menyampirkan tas di lengannya. Ia keluar kelas diikuti tatapan seluruh penghuni ruangan. Diikuti Kyra yang sekarang menjaga jarak. Ini pertama kalinya Bryan terasa begitu dingin.

"Tunggu di sini."

Kyra mengangguk patuh. Menunggu di depan gerbang. Dalam beberapa detik saja ia sudah menjadi pusat perhatian.

"Ayo."

Kyra mengerjap beberapa kali. Melihat Bryan di depannya yang mengendarai sepeda ontel dengan boncengan di belakang.

Gadis itu tertawa renyah.

"Aha kau ingin kencan denganku ya?" Langsung duduk di belakang Bryan. Kedua tangan Kyra menyabuk di perut rata laki laki itu. Bryan mengayuh sepedanya.

Jalanan rata yang tidak terlalu ramai karena hari sudah sore. Angin semilir memainkan rambut panjang Kyra, terkibar indah.

"Kau marah denganku Bry?"

"Tidak."

"Kenapa kau marah?"

"Aku tidak marah."

Kyra mendengus. Laki laki yang sudah bersamanya sejak kecil ini sangat tertutup. Tidak pernah menceritakan tentang apa yang ia pikirkan begitu saja.

"Eh kita mau kemana?" tanya Kyra. Bryan melewatkan jalan yang seharusnya membawa mereka ke rumah.

"Bisa kau berhenti bertanya?"

Kyra langsung menutup rapat mulutnya. Tidak mau membuat Bryan tambah kesal. Perlahan gadis itu melepaskan tangannya dari pinggang Bryan.

"Pegangan. Nanti kau jatuh."

"Eh, kupikir kau sedang marah."

"Itu tidak ada hubungannya."

Inilah sisi manis Bryan yang paling Kyra suka. Laki laki itu selalu hangat.

Bryan membawa Kyra ke tempat dimana pertama kali mereka bertemu, panti asuhan, orang tua Kyra selalu memberikan donasi melimpah untuk panti asuhan ini setelah mereka mengadopsi Bryan.

Mereka hanya 15 menit berada di sana. Entah kenapa Bryan terlihat hanya berpamitan. Kemudian laki laki itu membawa Kyra ke sebuah taman yang dekat dengan panti itu. Masih ada beberapa anak kecil yang sedang bermain pasir menunggu dijemput orang tua. Juga penjaga taman yang ramah menyapa.

Bryan duduk di bawah pohon Cemara. Ia melepas Hoodie nya, meletakkannya di atas tanah untuk Kyra duduk i. Sebenarnya laki laki itu cukup takjub karena Kyra tidak seberisik biasanya.

"Terimakasih Bry."

Bryan tidak menjawab. Menatap langit yang mulai berwarna jingga.

"Aku dulu suka bermain di sini." katanya tiba tiba.

"Oh ya? Bermain apa?"

"Entahlah... Ha... Sebenarnya aku hanya duduk sambil menjaga anak anak panti yang bermain karena ibu panti kami sedang bekerja mencari sumbangan."

Kyra diam. Menyimak cerita yang Bryan katakan.

"Aku berhutang banyak dengan keluargamu. Kau tau, sejak wabah penyakit itu aku sudah bersumpah jika ada orang baik yang menolong pantiku, aku akan mengabdikan hidupku sepenuhnya."

Kyra tersenyum mendengar ketulusan Bryan.

"Tentu Bry, kau akan menikah denganku dan menjadi milikku sampai mati nanti. Ah mungkin kita bisa mati bersama."

Mendengar hal konyol yang Kyra katakan membuat Bryan tertawa kecil.

Laki laki itu menatap wajah cantik Kyra. Menyibak rambut gadis itu, menyampirkannya di belakang telinga.

"Kau tidak boleh mati. Kalau memang waktumu, aku siap menjadi orang pertama yang menggantikanmu."

Kyra tau satu hal setelah itu, Bryan tidak marah. Bryan hanya sedang mengucapkan kalimat perpisahan.

*****

Langit gelap. Hujan deras beserta kilat menyambar. Cahaya seperti sedang berlomba lomba melukis kanvas hitam disertai suara yang cukup keras.

Gadis yang sedang memakai piyama itu keluar dari kamarnya begitu terdengar suara tembakan. Ia berlari berusaha mengejar mobil polisi yang membawa laki laki tak berdosa untuk dihukum mati esok hari.

Sebenarnya mudah saja Kyra untuk menyogok semua orang penting untuk mengubur kasus bullying yang ia lakukan selama ini. Tapi Bryan tidak setuju, laki laki itu memutuskan menebus dosa Kyra sendirian.

Sambil berdoa, semoga gadis itu berubah. Doa yang sangat tulus.

Hingga peri peri mendengarnya.

*****