Saya juga kembali dibingungkan. Kalau sama-sama murid, kenapa si lelaki sudah menikah? Apa Indah hamil sama alumni sekolah ini? Tadi Megan bilang lelakinya di sekolah ini kan? Apa jangan-jangan? Ah, saya sudah su’udzon duluan.
Tiba-tiba, celetukkan Tasya pun mem-Boom hati saya. Sangat mampu membuat kaki dan tangan saya bergetar hebat. Tadi Bu Astri mungkin ingin memberitahu saya siapa pacar Indah, tapi waktu memang tidak memihak karena saya harus segera masuk ke kelas dan dia pun juga sama.
“Pacar Indah, Pak Hasyim Bu,” ucap Tasya pelan.
Celetukkan-celetukkan murid yang lainnya pun terdengar. Melihat ekspresi saya yang benar-benar terkejut mungkin bisa mereka percayai kalau saya memang belum tahu apa pun terkecuali dari Bu Astri, itu pun hanya tahu Indah hamil di luar nikah saja. Tak tahu siapa yang menghamilinya, dan ternyata kebenarannya sungguh mencengangkan.
“Ibu enggak percaya, kan?”
“Tuh Bu, guru kok seperti itu.”
“Kasihan Indah Bu.”
“Tapi si Indahnya juga sih, bodoh! Udah tahu guru itu udah nikah eh kecentilan.”
“Aku jadi takut ih sama pak Hasyim.”
“Sama. Dikeluarin enggak ya dia nanti?”
“Terus guru olahraga kita siapa nanti?”
“Pantes aja pas olahraga selalu natapin bokong si Windi, ternyata mata keranjang. Hahahah.” Murid bernama Windi itu pun menyenggol lengan teman yang membawa-bawa namanya itu.
Anak-anak mulai membuat keributan, saya pun masih syok akan fakta yang baru saja saya dengar. Ini bukan hanya isu belaka kan? Masa semua orang sudah pada tahu dan mana mungkin juga ini sebuah tudingan? Jika iya Pak Hasyim seperti itu, bagaimana istrinya nanti? Dia pasti sakit hati dan tentunya malu. Ya Alloh, jika sampai berita di sekolah ini meluas ke masyarakat pastinya sekolah juga akan tercemar.
Sekolah yang dirintis oleh pak Abdul dan bu Isma sekarang sedang diguncang masalah, mereka pasti sedang memikirkan jalan untuk menyelesaikannya. Mana mungkin pak Hasyim masih dipertahankan mengajar di sekolah kan? Bagaimanakah nanti ke depannya? Para orang tua murid pastinya tidak mau kalau ada guru seperti pak Hasyim di sekolah, mereka pastinya takut kalau anak gadis mereka menjadi sasaran berikutnya.
“Tapi kalian tahu dari siapa?” tanya saya sesudah mulai bisa berpikir logis lagi.
“Si Indahnya Bu, dia juga udah cerita sama orang tuanya.”
“Malah pak Hasyim nyuruh Indah untuk gugurin kandungan Bu, sama jangan bilang ke siapa-siapa katanya.”
“Orang tua Indah marah Bu, enggak terima.”
“Padahal anaknya juga salah kenapa mau jadi pelakor.”
“Hahahaha.”
“Makanya heiii kalian-kalian para ciwik-ciwik jangan keganjenan! Jangan gampangan!”
“Idih, laki-laki tuh! Jangan serakah! Udah punya istri masih jelalatan.”
Ya Alloh, semakin karuan saya mendengar penjelasan dari anak-anak dan adu debat mereka. Bukan saya tidak peduli dengan masalah yang menimpa Indah. Tapi, saya tidak ingin membahas ini sampai jam pelajaran berakhir. Anak-anak juga kembali ribut dan memperdebatkannya. Jadi saya sudahi saja obrolan kita dan mengajak mereka untuk membuka buku catatan dan mengulas pembelajaran minggu kemarin.
“Sudah, sudah anak-anak. Kita doakan saja semoga masalahnya cepet selesai, jangan saling judge satu sama lain. Jadikan saja pelajaran untuk perempuan maupun untuk para laki-laki ya. Jangan jauhi Indah juga, kalian harus dukung Indah secara moral ya. Pastinya Indah juga nyesel dengan yang sudah dia perbuat.” Saya menatap semuanya dengan lekat. “Baik, sekarang buka saja buku catatannya ya. Kita ulas materi kemarin, nanti ibu tanya-tanya lagi. Kalau yang enggak baca pastinya ketahuan,” ucap saya pada mereka dan di akhirnya pun saya tersenyum. Terlihat wajah mereka yang tadi antusias bergossip mulai redup, mereka jadi takut kalau gurunya ini akan bertanya ke satu-satu dari mereka soal materi yang sudah disampaikan minggu lalu.
“Ya … Ibu, kirain mau tetap curcol.” Serempak terdengar mereka mengeluh sambil ada juga yang cengengesan. Katanya, si Ibu sudah disuguhi gossip yang tranding topik tetap aja enggak bisa membiarkan mereka untuk menikmati mata pelajaran dengan tema ‘ngobrol’. Anak-anak SMA memang ada-ada aja sih.
Saya pun kembali berusaha professional, meski di pikiran saya masih memikirkan gossip tadi. Pak Hasyim, ya Alloh … saya kira dia tidak begitu. Setahu saya agamanya bagus kok, rajin salat dan suka kasih nasihat ke guru-guru yang lain juga. Kita memang tidak bisa mengukur kapasitas keimanan seseorang lewat gambaran luar, apa yang dilakukan mereka di belakang tentunya tidak bisa kita lihat.
Hanya Alloh yang Maha Tahu. Saya juga bukan orang yang tak luput dari dosa, semoga saja aib saya senantiasa terlindungi oleh tirai kebaikan Alloh yang mau menutupinya.
***
Mas Rifki tiba-tiba tersedak setelah saya menceritakan gossip yang tadi beredar di sekolah soal pak Hasyim. Kurasa Mas Rifki juga tak percaya soal itu.
Segera saya menuangkan air ke gelasnya dan disodorkan padanya. “Minum, Yah!” Dia pun bersicepat mengambilnya dan meneguk segelas air yang saya berikan, dihabiskannya setengahnya.
Dia kemudian menyimpan handphone-nya setelah sedari tadi matanya tidak dibiarkannya menjauh dari telepon genggam tersebut dan saya kemudian melanjutkan masak setelah tersenyum padanya. Mas Rifki terlihat seperti bocah kalau tersedak seperti itu.
Anak-anak kami belum pulang karena sekolah Full-time. Mas Rifki kebetulan juga tidak ada kegiatan lain, sepulang mengajar dia langsung pulang ke rumah. Namun, sebelumnya dia berpesan kalau nanti malam dia akan pergi ke gor dekat jalan untuk main bulu tangkis seperti biasa –yang sering dia lakukan bersama teman-temannya di hari senin. Dia tidak pernah mengajak saya karena dia tahu kalau dari dulu, nilai olahraga istrinya ini jelek.
Jadi teringat saat dulu SMA, saat kelas saya sedang olahraga di lapangan dan dia selalu kebetulan lewat. Dan tidak pernah saya sangka sebelumnya kalau Mas Rifki datang ke rumah dan melamar perempuan yang terkenal centil waktu itu. Saya sendiri.
Kalau saya ingat-ingat lagi, bibir ini selalu mengembang senyum dan pikir saya kisah cinta kita kalau dijadikan sebuah novel sangatlah menarik. Menikah dengan guru sendiri adalah sensasi yang sangat berbeda sekali. Ahhh, rasanya sulit digambarkan.
“Terus pak Hasyimnya gimana, Ma?” tanya Mas Rifki sambil melihat saya yang tengah mengoseng. Sibuk memasukkan bumbu agar masakkan enak, sembari saya jawab pertanyaan Mas Rifki itu.
“Enggak tahu, Yah. Mungkin pak Abdul sama bu Isma juga pikirin ini matang-matang.”
Mas Rifki terlihat menganggung-angguk saja. Tapi kalau boleh saya jujur, anggukan Mas Rifki yang kalem seperti itu adalah sikap yang berkarisma menurut saya. Dulu, sikap itu pun sangat saya sukai. Betapa kalemnya dia dengan wibawanya seorang gurunya. Semoga saja perasaan tak tenang di dada saya setelah Mas Rifki memutuskan pindah ranjang bukanlah pirasat yang buruk, kuharap begitu.
“Kalau begitu ayah berangkat jemput Imah ya Ma,” ucapnya sambil berlalu.
“Iya Yah, hati-hati.”
“Iya,” balasnya terdengar samar karena sudah jauh dari dapur tempat kita tadi berbincang.
***
Malamnya, Mas Rifki bersiap pergi. Dia sudah tinggal berangkat, memakai sepatu, membawa raket, pokoknya sudah tampil modis seperti anak muda. Seperti biasanya, harum semerbak juga selalu kecium. Aroma parfum baru, karena parfum yang biasa dia pakai sudah tak dilirik Mas Rifki lagi. Katanya, beda zaman … parfum juga harus ganti biar auranya fresh dan enggak sumpek.
“Ma, ayah berangkat ya.” Mas Rikfi pun melenggang menuju pintu keluar. Saya pun mengikutinya sampai ke pintu, melihat dia menaiki motor dan kemudian menyalakannya.
Tiba-tiba, Imah berlari-lari dan langsung menghampiri ayahnya.
“Ayah, Imah mau ikut!” ucapnya sambil menghalangi jalan Mas Rifki, lalu kutarik lengan Imah.
“Eh, enggak boleh! Ayah pulang malem, nanti kamu bosen di sana. Semuanya bapak-bapak,” kataku, agar Imah tidak ikut. Kutahu Mas Rifki ingin bebas kalau berkumpul bersama teman-temannya, tertawa, ngopi, dan ngerokok sesekali. Mas Rifki bukan perokok aktif, dan jika ada kumpulan dengan teman-temannya itu merupakan waktu yang tepat untuk dia juga berbaur.
Dengan tatapan teduh dan suara yang lembut, Mas Rifki berucap, “Imah jangan ikut ya! Besok ayah beliin ice cream, kita jalan-jalan sekeluarga ke pameran yang baru buka. Oke?” Mas Rifki membujuk Imah dengan senyuman dan mengajak anak bungsu kami yang manja itu tos. Imah yang tadinya murung karena tidak boleh ikut pun jadi sedikit ceria karena rayuan janji ayahnya. Mas Rifki memang selalu nepatin janji, jadi wajar kalau Imah langsung percaya.
Biasanya Imah jarang ingin ikut, tapi entahlah. Mungkin Imah lagi kangen ayahnya, Imah juga memang punya karakter yang berlawanan dengan Faiz. Dia lebih dekat ke Mas Rifki ketimbang dengan saya, kalau Faiz … yang saya rasakan dia justru lebih dekat dengan saya ketimbang dengan ayahnya. Terasa kebalik ya.