Mengingat Dulu

Pernah memergoki pasangan sendiri melontarkan kalimat romantis pada orang lain? Atau memanggilnya dengan panggilan ‘Sayang’? Kalau pernah, kalian pasti sudah tahu rasanya. Bagaimana ketika detak jantung tak bisa diraba apa dia masih sadar atau tidak! Kalau belum, kalian berada di laman yang tepat. Saya akan ceritakan semuanya di sini. Tentang pengkhianatan suami saya yang bergelar sebagai seorang pengajar, tentang dia yang awalnya selalu membuat saya berbangga diri karena memilikinya. Sosok yang begitu dihormati di sekolah, tapi tidak bisa menghargai perasaan istrinya.

***

Siapa?

Hati saya pun tak karuan. Seperti ada tali yang terasa mengikat begitu kuat di badan saya sampai paru-paru pun tidak leluasa bekerja dengan semestinya.

Dari bahasa yang terlontar, membuat saya berpikiran negatif. Apa mas Rifki benar-benar selingkuh seperti dugaan kak Nada? Astagfirullah, saya ingin menepis pikiran buruk ini. Tapi, mendengar redaksi kalimat yang terucap sungguh tidak bisa dielak lagi. Mas Rifki tadi datang ke rumah seseorang? Nawarin dia juga, maunya apa? Siapa dia? Apa saya harus melanjutkan niat saya untuk masuk ke dalam kamarnya? Andai saja bisa, tapi kaki ini seketika terasa berat sekali. Bibir saya pun rasanya kelu.

“Iya, Sayang,” kata mas Rifki sambil menutup panggilannya. Saya tersentak. Langsung mundur ke belakang, dan ….

BLUKG!

“Faiz?” Saya terkejut, sepertinya suara saya barusan sanggup membuat mas Rifki yang sedang di dalam kamar juga kaget karena di luar ada orang yang sedang menguping pembicaraannya dengan seseorang itu.

Faiz berdiri di belakang saya, melihat sorot matanya yang menyelidik membuat saya gelagapan jadinya. Sekuat tenaga saya tahan air mata yang memberontak ingin menjatuhkan diri ini. Tidak, saya harus kuat. Faiz tidak boleh tahu.

“Ma? Kenapa berdiri di lawang pintu? Enggak masuk?” tanya Faiz.

Tiba-tiba, mas Rifki datang. Wajahnya tampak pucat, bibirnya agak gemetar melihat saya yang berusaha memalingkan pandangan dari wajahnya. Dia pun memegang tangan saya lembut.

“Ma? Ada apa?” tanya mas Rifki.

Ada apa katanya? Apa dia pura-pura? Atau justru dia benar-benar tidak tahu kalau saya barusan sudah mendengar obrolannya dengan seseorang?

Faiz dan mas Rifki memandang saya penuh tanda tanya. Tidak! Jangan biarkan ekspresi kecewa saya di depan Faiz.

“Mama sakit?” tanya Faiz terlihat khawatir pada ibunya ini.

Segera kujawab, “enggak kok Iz, mama enggak sakit. Justru mama mau tanya ayah kamu.” Saya menatap mas Rifki, canggung. “Mas lagi sakit?” tanya saya dengan pura-pura terlihat khawatir agar meyakinkan Faiz dan juga agar mas Rifki tidak curiga. Mungkin tadi khawatir, tapi sekarang rasanya getir.

Mas … apa kamu benar-benar selingkuh dari saya? Apa selama ini bentuk menghindar itu adalah pernyataan darimu kalau kamu sudah tidak lagi mencintai istrimu ini?

“Mas enggak sakit kok Ma,” jawab mas Rifki.

Saya pun tidak ingin berlama-lama mematung dengan perasaan yang termat kacau ini.

“Oh ya udah kalau enggak sakit,” balas saya, “Iz, kamu tidur gih! Mama sama ayah juga mau tidur.” Saya tersenyum sambil memegang punggung Faiz.

Kedua lelaki di hadapan saya pun mengangguk, Faiz pergi meninggalkan kami. Tinggal saya dan mas Rifki yang masih saling berhadapan. Saya tak bisa menahan air mata ini berlama-lama, tanpa menatap mas Rifki apalagi tersenyum padanya, saya pun berlalu pergi. Mas Rifki tidak berkata apa pun pada saya.

Saya rasa dia pun langsung masuk ke dalam kamarnya lagi. Apa dia memang tidak menyangka kalau saya telah menguping pembicaraannya? Ya Alloh, saya jadi bingung begini. Saya tidak ingin su’udzon, tapi apa yang sudah saya dengar tadi begitu jelas. Apa yang harus saya lakukan di situasi terasa mencekik seperti ini?

Di kamar, saya meringkuk. Memeluk bantal guling yang selalu menjadi peneman beberapa bulan terakhir ini. Jujur, terasa menjadi janda yang ditinggal mati sang suami. Dingin, kesepian. Terkadang juga bantal guling ini selalu menjadi sarana untuk menggambarkan sosok mas Rifki, saya ajak ngobrol seolah-olah dia adalah suami saya yang sekarang sudah saya ketahui penyebab dia menghindar dari saya kenapa. Meskipun belum diketahui jelas, tapi saya yakin. Tadi dia mengobrol dengan seorang perempuan, mana mungkin teman lelakinya, kan?

Air mata saya tumpah, sesak di dada rasanya semakin parah. Mengenang kembali kebersamaan dulu bersama mas Rifki, membuat saya rindu masa-masa itu. Tapi, sekarang seolah dia bukan siapa-siapa di hidup saya. Mas, apa benar kamu selingkuh? Ingin sekali saya tanyai dia langsung, tapi masa saya datang-datang ke kamarnya sambil terisak begini. Belum ada bukti yang jelas, bisa saja mas Rifki mengelaknya.

Bisa juga saya salah sangka, tapi masa iya? Dua kemungkinan bertolak belakang, yang pertama saya tidak mungkin salah dengar, yang kedua mas Rifki tidak mungkin berselingkuh dari saya. Jika benar ia selingkuh, betapa mahirnya dia berperan sebagai suami dan ayah yang sangat perhatian di keluarga.

Dulu, saat saya SMA. Bersama teman-teman receh saya. Saya sering bergerombol di tangga, menghalangi jalanan yang menjadi tempat lalu lalangnya para murid di sekolah. Bahkan, sesudah bel berbunyi saya dan keempat teman saya; Rohimat, Tatang, Sandra dan Reina. Masih betah bergossip di sana, sebelum guru mata pelajaran terlihat, kami tidak akan buru-buru masuk.

Pernah suatu hari, mas Rifki si guru muda lewat dan menatap kami dengan sorotan mata tajam. Kami pun menyingkir, memberinya jalan.

“Kalian anak kelas berapa?” tanya dia waktu itu.

Saya dan teman-teman saya saling menatap satu sama lain. Ada sedikit rasa takut karena wajah mas Rifki sangat tegas waktu itu, hingga Rohimat menjawabnya seorang diri.

“Kelas sebelas Pak.” Rohimat juga tampak gugup sambil nyengir.

“Enggak denger bel masuk emang?” tanya mas Rifki lagi. Sandra dan Reina mencolek-colek pinggang saya, sebagai isyarat agar saya menjawab pertanyaan mas Rifki.

“Gurunya belum datang kok Pak, jadi nanti saja,” celetuk saya waktu itu dengan begitu pedenya.

Dia mengernyit dan kemudian pergi dan dia juga tidak memarahi kami saat itu. Setelah mas Rifki tidak terlihat, semuanya menghela napas panjang. Lega.

“Guru baru, ya?” tanya Reina.

“Iya, dia guru baru yang digossipin karena kegantengannya dan kegalakkannya.” Tatang menimpali dengan raut wajah ketusnya.

“Tapi katanya dia baik banget kok.” Sandra membela.

“Enggak apa galak, yang penting ganteng.” Reina tertawa sendiri.

“Ah, nggak peduli. Mau dia ganteng, baik, galak, yang jelas dia enggak sopan natap kita setajam tadi. Benerkan, Him?” Saat itu saya mencari pembenaran dari Rohimat.

Rohimat pun mengangguk. “Eh, tapi bu Liza ke mana ya? Kok dia belum datang?”

Kami pun saat itu setuju dengan Rohim. Bu Liza seharusnya sudah kelihatan, tapi masih belum terlihat batang hidungnya sampai saat ini.

“Heem, padahal gue mau ngasih dia gombalan kalau bu Liza datang.” Tatang tertawa, dia memang penggemar bu Liza.

Reina tampak gelisah, dia adalah satu-satunya orang yang gampang panik.

“Kita masuk aja, yuk! Takutnya dimarahin guru lain kalau kita di sini terus.”

Kali ini semua setuju. Takutnya bu Liza memang absen ngajar hari itu. Saya dan keempat teman saya pun pergi menuju kelas, sambil sepanjang jalan membahas bu Liza. Waktu itu, bu Liza baru saja menikah.

Jadi, anggapan Rohimat dan Tatang pun mesum. Katanya, suami bu Liza ingin bermain ranjang terus jadinya bu Liza dilarang untuk mengajar oleh suaminya. Saya dan kedua teman perempuan saya pun tertawa, bahkan Sandra memukul kepala dua lelaki itu. Dan saat kami masuk ke kelas, semua begitu syok sekali. Mas Rifki ada di dalam, dan dia terlihat sedang menerangkan pelajaran di depan kelas.

Lah, kok mas Rifki? Saya dan keempat teman saya pun melongo dan sungguh malu waktu itu. Apalagi, mas Rifki menghukum kami Squat Jump di depan kelas. Jumlahnya berapa? Waktu itu enggak kira-kira dia suruh kami Squat Jump lima puluh kali. Wah, rungkad saat itu kita. Cape, haus, malu banget, campur aduk deh pokoknya. Apalagi Tatang dan Rohimat yang dua kali lipat daripada kami. Seratus Squat Jump!