TOK! TOK! TOK!
Saya segera menyeka air mata saya agar orang yang mengetuk pintu itu tidak melihatnya. Orang yang telah membuat hati saya terluka akhir-akhir ini. Dia, tidak lain adalah mas Rifki—suami saya sendiri.
“Ma? Udah tidur belum? Kok pintunya dikunci? Mas mau masuk, bukain dong Ma,” katanya terdengar lembut.
Ya Alloh, hati saya masih sakit. Belum jelas apa yang sudah saya lihat dan dengar tadi, sekarang mengapa tiba-tiba mas Rifki berkunjung ke kamar selarut ini? Bukankah sungguh aneh? Tapi, saya tidak ingin banyak menduga-duga. Takutnya saya su’udzon pada suami sendiri. Saya pun menguatkan hati saya, mematikan memori ingatan yang sedang saya putar tadi. Mencoba berdiri dan melangkahkan kaki mendekati pintu.
Mulut saya belum berani menjawab lelaki itu. Tapi saya mampu untuk menggerakkan tangan saya, berniat untuk membukakan pintu untuknya. Paling-paling mas Rifki kelupaan sesuatu, semisal pulpen, notebook, ataupun beberapa buku maupun alat tulis lainnya dan biasanya memang saya tidak suka mengunci pintu kamar agar mas Rifki leluasa untuk keluar masuk.
Apa dia akan curiga? Kalau dia tahu saya sudah menangis mungkin saya akan diserbu dengan beragam pertanyaan olehnya. Tapi, tunggu! Kenapa saya jadi takut? Jika benar mas Rifki selingkuh, seharusnya dia yang takut ketahuan oleh saya. Lah, saya? Saya harus berani. Ayo maju, Meta!
Dia suamimu, apa pun yang dia lakukan di belakang … kamu harus tahu. Tidak boleh mas Rifki berbuat yang tidak-tidak dan mengkhianati pernikahan kalian, bukan? Tapi saya harap dugaan saya dan prasangka kak Nada salah. Mana mungkin mas Rifki berani melakukan dosa besar itu. Mana mungkin. Saya pun menggenggam erat gagang pintu dan bersiap membuka slot kunci.
Kemudian ….
“Kenapa dikunci? Tumben?” tanya mas Rifki tepat di hadapan saya setelah pintu terbuka. Saya ragu untuk menjawab. Ekspresi saya yang terkesan tidak jago berbohong mungkin bisa dengan mudah ditebak oleh mas Rifki saat ini.
“Ta-ta, ta-tadi mama ….” Saya kesulitan menjawab. Memutar otak mencari-cari alasan rupanya tak mudah. “Mama cuman kepengen aja dikunci. Ada apa Mas ke sini?” tanya saya kikuk dan tak sanggup menatap mata mas Rifki yang menyorot saat ini. Mas Rifki kemudian menutup pintu dan menggenggam tangan saya.
GREPPP!
Tangannya kali ini hangat.
Saya pun melongo melihatnya. Mas Rifki tersenyum. Sungguh aneh, kenapa dia?
“Mas mau tidur sama Mama malam ini. Mama lagi tidak datang bulan, kan?” tanyanya.
Sungguh mengagetkan. Jantung saya serasa copot. Tapi jujur, kenapa rasanya bibir ini tak kuasa untuk menahannya agar tidak mengembangkan senyuman pada mas Rifki. Terasa seperti bunga yang layu disiram kembali oleh sang Pemiliknya. Kenapa? Padahal saya seharusnya marah pada mas Rifki. Saya seharusnya mempertanyakan dia soal obrolannya dengan seorang perempuan di telepon tadi. Tapi, saya tak bisa. Saya menurutinya. Mas Rifki menggiring saya mendekati kasur kami dan ….
Kami kembali hanyut dalam nikmatnya hubungan rumah tangga.
Meskipun ini seharusnya menjadi sebuah pertanyaan. Apa mas Rifki takut? Atau mungkin saya terlalu berprasangka buruk padanya? Mana yang benar?
Ah sudahlah! Malam ini serasa pengantin baru. Sudah lama mas Rifki tidak seperti ini. Dia tampak kembali menjadi seorang suami yang sangat mampu membuat istrinya dimabuk asmara setiap hari. Dia selalu pandai menggoda istrinya. Mas Rifki.
Apakah karena kurang disiram jadi membuat saya banyak berprasangka buruk padanya? Apakah saya yang salah? Terlalu over thinking? Saya harap, saya tidak termasuk kepada golongan istri-istri yang kurang bersyukur dan selalu mencari celah kejelekkan sang suami. Mungkin mas Rifki memang sedang berjuang dengan bisnisnya. Dia mungkin mempersiapkan semuanya untuk anak-anaknya kelak agar jika kita sudah tua nanti, Faiz dan Imah bisa menikmatinya.
Malam ini, semua terasa indah kembali. Semua prasangka buruk terhadapnya hilang seketika, yang ada hanya malam-malam dengan kebahagiaan. Bibir yang tersenyum mengambang, dan dekap mas Rifki yang menghangatkan.
Saya terlalu su’udzon padanya. Tidak seharusnya saya seperti tadi. Kenapa saya menangis? Semua belum terbukti dan tidak ada celah yang patut saya robek untuk sengaja mencari kesalahan seorang suami sebaik mas Rifki. Saya sudah keliru terhadapnya. Ya Alloh, ampuni saya.
***
Mata saya terbuka, saya melihat mas Rifki masih terpejam. Seketika senyuman saya pun mengembang mengingat semalam.
Saya pun membangunkan mas Rifki untuk segera bangun dan segera salat subuh berjamaah.
“Mas, Mas bangun Mas!” Saya gerak-gerakkan dada mas Rifki. Biasanya, setiap hari. Dulu …. Dia selalu meminta untuk dibangunan seperti ini. Katanya, adem kalau istri membangunkannya dengan suara lembut dan sentuhan yang juga lembut. Kalau mas Rifki belum bangun juga, itu tandanya dia meminta sesuatu. Sun di pipi. Ya, saya rasa dia ingin itu. Dia hanya pura-pura masih tertidur saja. Perlahan, saya pun mendekatkan bibir saja ke pipinya. Namun, tiba-tiba ….
“Imah?” Saya pun kaget saat Imah membuka pintu kamar dan melongo melihat saya ingin mencium mas Rifki. Berbarengan mas Rifki pun membuka matanya dan terkejut.
Mas Rifki akhirnya juga terbangun. Dia ingin segera turun dari kasur tapi dia baru sadar akan sesuatu hal. Saya pun tertawa karenanya.
“Imah ngapain di sini?” tanya mas Rifki setelah dia sadar kalau bawahnya belum memakai apa-apa.
Imah yang melongo pun tersenyum malu sambil menutup mulutnya. Imah sudah terlihat siap untuk salat berjamaah, bahkan dia sudah memakai mukena. Kemudian, di belakangnya Faiz juga melihat kami. Dia juga terlihat sudah berwudhu. Faiz selalu mengingatkan saya dengan wajah mas Rifki waktu muda. Dia selalu terlihat tampan apalagi dengan sisa air wudhu di alis dan hidungnya yang masih mengucur. Rambutnya yang kelimis terlihat seperti sosok lelaki dewasa yang memang sudah siap berumah tangga. Ah, Faiz.
Saya harap dia menjadi imam yang bisa dicontoh istri dan anak-anaknya, saya harap Imah juga bisa menjadi istri yang solehah. Aamiin. Melihat mereka berdua, hati saya spontan mendoakan. Betapa bahagianya keluarga kami jika saya bisa bersyukur atasnya. Mempunyai dua anak yang soleh dan solehah itu adalah sebuah anugerah dari Alloh. Mas Rifki pun tidak pernah sedikit pun berkata-kata kasar yang melukai hati saya.
Kurang apalagi? Kemarin saya memang bodoh, begitu bodohnya sampai menuduh mas Rifki yang tidak-tidak. Sebaiknya nanti mendingan saya tanyakan langsung saja padanya daripa salah paham dan akhirnya menimbulkan banyak kecurigaan.
“Imah, eh! Ayo, keluar!” Faiz tampak ingin kembali mengomel, dia sangat tahu situasi dan menarik tangan adiknya itu sambil tersenyum. Segera ditutupnya pintu kamar, terdengar keduanya cekikikkan. Saya pun mendengar Imah yang bertanya pada Faiz.
“Kak, padahal dingin ya. Kenapa Ayah sama Mama?”
“Susssttt!” Faiz terdengar tidak menanggapi, saya rasa dia juga bingung bagaimana menjelaskannya pada Imah.
Saya dan mas Rifki pun tersenyum malu karenanya. Mas Rifki bahkan menepuk jidatnya sendiri.
Dia pun berkata, “mas lupa tutup pintu semalam.”
Saya pun hanya tersenyum saja. Lagian, sudah telanjur dan memang harusnya seperti itu barangkali. Pagi-pagi sudah terasa kocak. Saya dan mas Rifki hanya bisa geleng-geleng kepala saja.
***
Seperti biasa, menyalami tangan mas Rifki yang sudah mengantarkan saya ke sekolah dan dia pun berlalu pergi. Saya kemudian mulai berjalan menuju ruang guru. Di sana, sudah ada beberapa guru yang datang lebih subuh dibandingkan saya. Ada dari mereka yang sengaja sarapan di sekolah karena kendala jarak rumah yang jauh.
Guru-guru seperti itulah yang selalu membuat saya kagum. Seperti bu Tia, dia selalu membawa anaknya yang masih kecil ke sekolah karena tidak ada yang mengurus di rumah dan terlebih katanya agar anaknya terbiasa dengan lingkungan pendidikan.