Mas Rifki hanya tersenyum saja. Dia memang jarang memprotes. Walaupun sisi negatifnya mas Rifki ialah selalu menuruti kemauan Imah.
Saya tidak bisa melarangnya. Hanya sesekali mengingatkan agar mas Rifki menerapkan batasan pada Imah.
Bahkan mas Rifki berbeda dengan saya, dia terkesan jarang membatasi. Seorang Ayah rata-rata memang selalu begitu.
Dan seorang Ibu-lah yang selalu cerewet mengatur ini dan itu. Enggak boleh begini dan enggak boleh begitu.
“Imah, aduh. Emangnya kamu mau nulis apa di binder itu? Awas ya kalau kamu mulai cem-ceman! Masih kecil.” Ibu ikut nimbrung. Dia menghampiri kami sambil tertawa kecil.
Imah menampik tuduhan Omahnya itu.
“Bukan Omah. Imah tahu Imah masih kecil. Imah cuman pengen cerita aja di binder Imah. Nanti pas Imah udah gede, Imah baca-baca lagi. Dan Omah tahu? Yang akan sering Imah curhatin adalah soal kak Faiz. Dia adalah abangnya Imah yang super rese.” Imah seolah benar sendiri. Terlihat dari wajahnya yang pede sekali.
“Enak saja. Huuuu. Enggak kebalik tuh? Justru kamu yang seringnya ganggu kakak.” Faiz datang. Tentunya dia tidak terima dengan tuduhan itu.
Saya dan mas Rifki hanya tersenyum saja.
“Iya, semua apa yang Imah mau nanti ayah beliin,” kata mas Rifki.
Imah menampakkan gigi ompongnya. Nyengir. Dan Faiz memelototinya. Imah pun kabur ke luar.
Kami tertawa oleh kelucuan mereka. Faiz mengejarnya.
“Imah, hey Imah!” teriak Faiz.
Mas Rifki memandang saya dan dia berkata, “mas mau langsung mandi.” Matanya terlihat layu.
Selaku istri, melihat suaminya pulang bekerja dan terlihat lelah seperti ini … siapa yang tak terenyuh coba?
Saya pun mengangguk. Mas Rifki pun pergi. Tapi melihat wajahnya yang lusuh, saya jadi punya pikiran negatif. Sepertinya benar kata Ibu. Kalau mas Rifki memang sedang bermasalah dengan bisnisnya.
Tapi ya sudahlah, nanti saya tanyakan saja kenapa. Mungkin sebagai istri, saya bisa sedikit membantu beban mas Rifki juga.
Setelah mas Rifki pergi, saya menengok ke kiri. Posisi di mana tadi ibu berdiri di sana.
Tapi … ternyata tidak ada. Ibu sudah pergi entah ke mana.
Padahal mengobrol dengan mas Rifki begitu singkat, tapi keberadaan ibu sudah tak terlihat. Ah, biarlah. Mungkin ibu pergi ke kamar.
Saya pun melangkahkan kaki. Naik ke tangga menuju kamar saya sendiri.
Suara keran yang menyala bisa terdengar. Mas Rifki sudah masuk ke dalam. Saya pun berinisiatif menyiapkan bajunya. Sebenarnya saya jarang sih untuk menyiapkan baju untuknya. Hanya sesekali saja.
Lemari baju kemudian saya buka. Memilih baju, celana dan sekalian dalemannya juga.
Kemudian saya taruh di kasur.
Saya melihat handphone.
“Ini handphone mas Rifki, kan?” gumam saya.
Handphone mas Rifki tergeletak di kasur. Tidak biasanya. Mungkin mas Rifki lupa. Saya pun inisiatif untuk menyimpannya di meja.
Mas Rifki kadang suka lupa menaruhnya di mana. Dan tempat yang paling mudah untuk diingat adalah di meja dekat kasur.
Saya pun melangkah ke dekat meja dan handphone mas Rifki sudah berada di tangan.
Tiba-tiba, handphone-nya berdering. Ada panggilan telepon.
“KM kelas?”
Tertulis nama si penelepon. Pasti murid mas Rifki. Tapi tidak ada petunjuk dia kelas berapa.
Saya rasa, dengan mengangkat panggilan teleponnya –tidak akan disebut tidak sopan. Walaupun saya tahu kalau mas Rifki sudah mengubah sandi handphone miliknya ini. Entah kenapa. Saya juga tidak sempat bertanya.
Tapi saat panggilan masuk, saya bisa mengangkat panggilan tanpa harus tahu berapa kode yang sudah di setting untuk dijadikan kata kunci handphone mas Rifki.
Saya pun menggeser icon telepon berwarna hijau.
Saya pun mengangkatnya dan saya tempel di telinga.
“Assalamu’alaikum, maaf ada perlu apa ya? Ini dengan istrinya pak Rifki,” ucap saya. Menunggu jawaban di ujung sana.
Masih hening. Belum juga ada jawaban. Dan kini mas Rifki membuka pintu kamar mandi. Saya cukup terkejut saat dia melihat saya memegang handphone miliknya.
Kerut di kening mas Rifki terlihat menggulung.
Dia melangkah dengan cepat dan merenggut handphone-nya yang tengah saya pegang.
“Siapa yang menelepon?” tanya mas Rifki dan dia terlihat terkejut setelah dia melihat siapa yang tengah menelepon.
“Murid Mas kayaknya. Maaf mama angkat karena Mas lagi mandi. Takutnya penting.” Saya jadi merasa tidak enak karena mas Rifki terlihat tidak suka.
Apakah saya salah?
Saya jadi heran melihat gerak gerik mas Rifki yang terasa mencurigakan.
Apa jangan-jangan?
Ah, tidak. Jangan su’udzon, Meta.
Mas Rifki pun menempelkan handphone-nya di telinga.
Dia sedkit menjauhi saya.
“Ya, Adrian. Gimana? Oh iya. Iya terserah kamu aja. Bapak serahin ke kamu ya. Nanti kita bahas lagi pas di kelas. Maaf tadi istri bapak yang jawab.” Mas Rifki tersenyum pada saya.
Syukurlah. Dia benar-benar siswa yang mas Rifki ajar. Saya pun tidak ingin banyak bertanya. Setelah mas Rifki mematikan panggilan teleponnya, dia pun menyimpan handphone-nya di atas televisi.
“KM kelas, biasa,” katanya. Mas Rifki terlihat gugup.
Padahal … saya juga tidak bertanya apa pun soal pembicaraan mereka.
“Oh.” Bibir saya membulat. “Ini bajunya udah mama siapin. Mama pergi ke dapur dulu ya, Mas. Mau nyiapan makan.”
Mas Rifki melihat baju yang sudah saya siapkan untuknya dan kemudian mengangguk.
Saya pun berlalu.
Sepanjang jalan menuju dapur, saya masih memikirkan si penelepon itu.
Dilihat dari gerak gerik mas Rifki yang terkejut saat melihat istrinya sendiri mengangkat panggilan telepon itu, saya jadi kepikiran soal kata-kata kak Nada.
Takut kalau mas Rifki memang tengah dekat dengan perempuan lain. aduh, lagi-lagi prasangka negatif itu datang. Entang firasat atau hanya sugesti saja, saya pun tidak mengerti.
Mungkin karena kak Nada yang sering bicara ngawur soal gossip-gosip rumah tangga orang yang yang tengah beredar. Jadinya saya pun kebawa perasaan dan menumpuk perasaan takut yang berlebih.
Mas Rifki yang sangat baik pun, jadi bisa tertuduh yang enggak-enggak.
Saya masih meneruskan langkah menuju dapur. Berusaha melenyapkan pikiran buruk yang tengah merayu-rayu untuk didengarkan.
Saat saya masuk dapur, terlihat semuanya sudah beres disiapkan oleh ibu.
Saya pun mendekatinya. “Padahal sama Meta aja, Ibu jangan banyak ini itu. Waktunya diem, ngemil apa gituh atau nonton sinetron kesukaan Ibu.” Saya memeluknya dari belakang.
Ibu terkekeh. “Kamu nih, kayak kak Nada aja. Memangnya ibu tuh lagi sakit? Kan enggak. Ibu masih sehat. Kalian terlalu berlebihan. Justru kalau enggak bergerak, ibu jadi sering sakit karena otot-otot ibu kaku.” Ibu selalu mengoceh seperti itu.
“Olahraga pagi aja. Urusan dapur biar sama Meta aja, Bu.”
“Ah, kamu nih. Udah ah, jangan peluk ibu. Peluk tuh suami kamu aja, kasih semangat. Mungkin dia sangat butuh belaian dari kamu.” Ibu tertawa puas.
Ibu memang selalu seperti itu.
“Hem, hem.” Seseorang berdeham.
Membuat saya dan ibu jadi kaget. Kami berdua pun menoleh ke belakang secara bersamaan. Ternyata mas Rifki.
Saya pun melepaskan pelukan saya pada ibu.
“Mas,” lirih saya jadi sedikit malu.
Ibu pun sama.
Sepertinya mas Rifki mendengar obrolan kami tadi.