Bu Astri Memang Menggemaskan

Keesokan paginya, saya pun bersiap untuk pergi ke sekolah.

Seperti biasa, semua mulai pergi dan ibu ditinggal sendiri. Faiz dan Imah juga berangkat sekolah.

Di jalan, saya dibonceng oleh mas Rifki, dan full kita terdiam tanpa kata.

Biasanya selalu ada kata-kata celoteh darinya yang membuat saya betah dibonceng lama-lama oleh mas Rifki.

Tapi hari ini tidak ada sama sekali. Hampa.

Saya juga tidak ingin memulai. Rasanya masih canggung saja, gituh.

Sampai sudah tiba di sekolahan pun, dia pamit setelah saya menyalami tangannya.

Wajah mas Rifki biasa, tapi saya bisa menebak bahwa sedang ada ketidakbiasaan di antara kita berdua.

Saya pun melenggang menuju ruangan para guru, seperti biasanya juga para murid yang berpapasan satu persatu menyalami tangan gurunya ini.

Ini adalah moment yang selalu bisa menyentuh hati saya. Menjadi guru adalah sebuah kehormatan yang harus dijaga.

Bukan merasa tinggi hati. Tapi amanat di balik itu sungguhlah berat. Semoga tiap-tiap guru termasuk saya bisa menjaga amanat ini. Aamiin.

“Pagi, bu Meta,” sapa pak Guntur. Dia selalu ramah dan penuh semangat.

Saya pun tersenyum. “Pagi juga, Pak.”

Dan seperti biasa, di tangan pak Guntur selalu memegang segelas kopi. Kopinya juga masih mengepul. Sepertinya baru dia seduh.

Beberapa guru juga sudah datang. Beberapa yang lain juga mulai berdatangan.

Ada yang langsung sarapan dan ada juga yang sibuk dengan handphone mereka masing-masing berikut beberapa yang terlihat sedang mengurusi pemberkasan. Entahlah, beragam yang dikerjakan.

Tapi, karena saya sedang tidak mengurusi sesuatu. Saya hanya mengobrol dengan beberapa guru yang sedang santai.

“Gimana perkembangan soal kasus pak Hasyim itu?” tanya bu Astri. Pada pak Soni.

Pak Soni tersenyum sambil menggeleng.

Saya juga hanya tersenyum. Bu Astri memang selalu penasaran dengan kehidupan orang lain. Sudah tidak aneh.

“Aduh, masih pagi Bu. Sudah bergosip aja,” ledek pak Guntur sambil tertawa.

Bu Astri sendiri pun nyengir. Dia membela dirinya sendiri.

“Eh, Pak. Ini tuh hak asasi. Pelanggaran loh. Kalau enggak ditangani dengan cepat, bisa-bisa merambat ke berbagai ranah yang lainnya,” jelasnya sambil terkekeh.

Itulah bu Astri. Dia orangnya tidak perasa. Santai banget, biarpun dilempari sindiran … dia tetap nampak bersemangat dalam berbicara.

Tangannya yang cenderung berjari-jari pendek, tapi lentik itu pun selalu bergerak seiring dengan kalimat yang dia ucapkan. Heboh deh pokoknya.

Guru-guru yang tengah sibuk pun tertawa. Mereka bisa mendengar apa yang diucapkan bu Astri barusan. Walaupun sibuk, telinga mereka berfungsi dengan baik.

“Tapi saya yakin. Bu Astri lebih ke penasaran aja, ya kan? Nunggu episode baru emang seru, Bu,” celetuk guru yang lain.

“Bener, tuh.” Guru yang sedang makan pun ikut nimbrung.

“Eh, tapi anak itu gimana? Mau keluar dari sekolah, ya?”

“Bukan keluar mungkin, Bu. Tapi dikeluarin. Udah bikin malu sekolah soalnya.”

Semuanya tersenyum miris. Saya pun yang hanya mendengarkan saja juga merasa begitu.

Indah pasti akan dikeluarkan. Padahal masuk kelas unggulan adalah sebuah penghargaan tersendiri untuk Indah.

Hmmm, alur Tuhan. Kita tidak pernah tahu.

Masalah ini juga merupakan suatu hal yang mungkin dianggap aneh oleh sebagian orang sebab Indah adalah siswi pintar dan juga baik.

Tidak ada keraguan padanya. Apalagi, kecurigaan kalau Indah berani seperti itu.

Catatan mengenai pergaulan bebas Indah pun tidak ada. Dia merupakan murid yang biasa saja. Tidak aneh-aneh.

Dan kebetulan juga hari ini saya akan mengajar di kelas itu. Waktu juga sudah hampir menunjukkan jam masuk.

Saya pun bersegera pergi dan pamit pada rekan guru yang lainnya. Beberapa dari mereka bahkan sudah ada yang lebih dulu pergi.

Bu Astri pun memanggil, “bu Meta, tunggu!” katanya.

Saya pun menoleh.

Bu Astri kembali bersuara, “bareng ya, hehehe.” Dia nyengir. Bu Astri juga sibuk mengambil cemilan yang tersuguh di meja dan juga celingukan mencari tasnya. Padahal, tasnya tidak jauh dari posisi dia duduk.

Dan akhirnya dia pun sadar dan mengambil tasnya dengan segera lalu menyusul langkah kaki saya.

Pak Guntur dan guru-guru yang lainnya pun tertawa melihat tingkah bu Astri yang menggemaskan itu.

Dia terpogoh-pogoh menyusul dan bahkan mulutnya pun masih mengunyah, penuh.

Aduh, bisa saya sebut itu adalah contoh yang tidak baik karena makan terburu-buru, ngomong dalam keadaan mulut penuh apalagi makan sambil berjalan sangat tidak dianjurkan.

Saya hanya bisa menggeleng-geleng kepala saja melihatnya.

Setelah berjalan cukup jauh, bu Astri kembali membuka suara, “gimana si Indah sama pak Hasyim?” tanyanya.

Mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutnya barusan, ingin sekali saya menepuk jidat saya sendiri sambil bilang Astagfirullah. Tapi saya tahan. Takutnya bu Astri merasa tidak enak dan nantinya beranggapan saya sok suci karena mencoba menghindar dari pembahasan masalah yang masih hangat di sekolah ini.

“Aduh, Bu … saya juga enggak tahu.” Saya membalasnya dengan lembut dan tak lupa juga tersenyum.

Terlihat wajah bu Astri sepertinya tidak percaya dengan ucapan saya barusan.

“Emangnya pak Rifki enggak tahu apa-apa ya, Bu?” tanyanya lagi.

Dia sepertinya amat penasaran sekali.

Saya pun paham. Bu Astri tahu betul kalau mas Rifki dan pak Hasyim cukup dekat. Itulah sebabnya dia mengira saya tahu banyak soal itu.

Saya pun menjawabnya dengan gelengan kepala saja. Tidak ingin pula menanggapinya terlalu banyak.

Dan lagi pula, kalaupun saya tahu … tidak mungkin juga saya umbar.

Saya juga akan memegang amanat curhatan Indah dengan baik. Insya Allah.

Setiap orang yang dengan kerendahan hatinya percaya pada kita, meyakini amanat kita. Seharusnya janganlah disia-siakan.

Dalam arti, ya … kita harus menjaga kepercayaannya itu. Dan alangkah baiknya kita juga bisa meringankan masalah orang lain. Membantu jika mampu.

Karena saya percaya. Jika kita memudahkan jalan untuk orang lain, maka jalan kita pun akan mudah.

Apa yang kita tabor, itulah yang akan kita tuai nantinya.

Saya hanya berharap masalah ini cepat selesai.

Dan karena kepercayaan itu mahal. Sekali cacat, orang akan sulit untuk percaya lagi.

Sudah ada bekas. Diibaratkannya mirip seperti catatan kepolisian yang menyatakan kalau kita ada jejak kriminal.

Maka, kita harus terima konsikuensinya jika suatu hari nanti orang akan sulit mempercayai kita dan juga akan

Saya dan bu Astri pun kembali berpisah seperti biasa.

Saya kemudian langsung masuk ke kelas sebelas IPS A.

Dan tidak seperti biasanya.

Suasana di dalam kelas membuat saya sangat kaget, setengah lebih dari populasi murid kini tengah berkerumun.

Saat saya mengucap salam, akhirnya mereka berpencar.

“Aduh, ada apa ini?” tanya saya kemudian sambil berjalan menuju kursi.

Mereka semua tampak gugup.

“Enggak ada apa-apa, Bu. Tadi cuman nobar aja,” celetuk si Ramdani.

Dia memang sering jadi orang pertama yang selalu menyahut. Terkecuali kalau saya ajukan pertanyaan. Dia adalah orang yang seringkali menutup mulut dan pura-pura sibuk sendiri.

Konyol memang murid yang satu ini.

Mendengar celetukannya yang barusan juga … saya kira sedikit ambigu. Dan membuat teman-temannya sendiri juga tertawa, bisa saya tebak kalau Ramdani dan yang lainnya tengah menyembunyikan sesuatu dari guru di depan mereka ini.

“Nobar apa emang, hem?” tanya saya sembari mengangkat kedua alis dan melipat kedua tangan saya dan saya taruh di depan dada.