Tumben Pulang Cepat

“Bu MetaaaAAA, tahu enggak sih kalau kemarin rumah si Indah didatangi sama istrinya pak Hasyim? Dan pak Rifki juga ada di sana, Bu.” Bu Astri heboh sekali. “Wah, itu anak kasihan banget ya,” sambungnya.

Saya masih diam. Rasanya tenggorokan saya serak seketika.

Saya dan bu Astri tetap berjalan bersama menuju kantor (ruanga para guru). Bu Astri masih nyerocos.

Saya yang kalut memikirkan mas Rifki, jadi tidak fokus dengan apa yang sudah dibicarakan bu Astri pada saya.

Tak terasa, langkah saya dan dirinya pun sudah sampai di depan kantor.

“Tapi saya kok jadi ngerasa aneh ya ke pak Rifki,” ucap bu Astri.

Saya refleks menoleh pada bu Astri. Dia tampak merenungkan sesuatu yang tidak saya ketahui.

“Maksud, Ibu?” tanya saya padanya. Perasaan saya pun jadi terasa tidak enak dan enggak jelas gituh.

Campur aduh deh jadinya.

Ditodong dengan sorotan mata saya yang menegang, bu Astri sepertinya terkejut. Takut mungkin?

Dia menatap saya dengan ekspresi yang kikuk.

Bu Astri nyengir. “Enggak.” Dia menggeleng beberapa kali dengan gerakan tubuh yang tidak bisa diam. Tangannya pun meraba-raba tubuhnya sendiri seperti kehilangan sesuatu.

Tapi saya cukup tahu kalau reaksi yang tercipta dari bu Astri tersebut adalah refleksi dari kegugupannya. Bu Astri pasti sedang menyembunyikan sesuatu dari saya.

Saya masih menatapnya. Menunggu jawaban pasti agar saya tidak penasaran dan berprasangka yang tidak-tidak pada mas Rifki.

“Enggak, Bu,” sambungnya lagi sambil menghindar. Bu Astri masuk ke dalam kantor lebih dulu.

Apa bu Astri mau bicara sesuatu yang memang sangat ingin dia sampaikan pada saya? Soal mas Rifki? Entahlah. Tak yakin. Tak pasti.

Dan saya juga sedang merasa tidak karuan.

Saya punya ketakutan tersendiri. Melihat sang suami terlibat di tempat kejadian ramai itu. Takutnya ada sesuatu juga yang nanti bisa menyeret mas Rifki.

Dan ketika saya masuk, para rekan se-profesi guru tengah mengobrolkan kasus yang menimpa Indah itu.

Beragam ekspresi tersaji. Ada yang datar-datar saja tapi memerhatikan dengan serius, ada yang cuek-cuek bebek padahal telinganya terbuka lebar, ada yang heboh dan terus nyerocos, dan ada juga yang tampak biasa-biasanya dan lebih memilih untuk bungkam tapi tetap penasaran dengan apa yang sudah terjadi.

Ya wajarlah. Guru juga manusia. Obrolan seperti ini juga lumrah adanya terlebih memang karena Indah adalah siswi di sekolah ini yang kasusnya bisa dibilang cukup menghebohkan.

Bersangkut paut juga dengan sang guru yang juga mengajar di sini. Ini benar-benar problematika dunia pendidikan.

***

Pulang mengajar, saya ikut nebeng bareng bu Astri seperti biasa. Dan seperti biasa pula, dia bergosip tentang banyak hal.

Tapi saya juga tidak begitu menanggapinya. Hanya senyum-senyum saja, iya iya saja dan mengangguk-angguk saja.

Dan katanya pula, putusan sudah dibuat oleh pihak pak Abdul dan bu Isma bahwa hasilnya adalah pak Hasyim dan Indah sama-sama dikeluarkan dari sekolah sebab keduanya sama-sama melakukan perzinaan dalam kesadaran masing-masing dan atas dasar suka sama suka.

Saya sangat syok mendengarnya. Tapi saya juga bukannya tidak setuju. Harus bagaimana lagi? Menurut saya keputusannya juga sudah benar. Karena kalau pak Hasyim tidak dikeluarkan, itu akan menimbulkan ketidakpercayaan orang tua para murid pada pihak sekolah sebab ditakutkan akan ada guru-guru seperti pak Hasyim nantinya dan ditakutkan juga aka nada sasaran pak Hasyim berikutnya.

Dan bukan hanya itu juga, jika hanya pak Hasyim yang dikeluarkan pastinya nasib Indah juga tidak akan jelas di sekolah. Selain karena dia sudah dicap sebagai pelakor, Indah juga memang tidak bisa melanjutkan lagi sekolahnya. Makanya sebagai peringatan bagi para murid lainnya, Indah terpaksa dikeluarkan dari sekolah.

Setelah tiba dekat rumah, aku pun turun.

“Terima kasih ya Bu,” ucap saya pada bu Astri.

Bu Astri mengangguk dengan senyumnya yang merekah seperti biasa. Dan dia pun pergi setelah mengucapkan salam.

Saya pun berjalan beberapa meter menuju rumah. Dan tiba-tiba, pengendara bermotor berhenti tepat di depanku.

“Mas Rifki?” Saya tahu betul dia itu adalah suami saya.

Dia membuka helmnya dan menoleh ke belakang.

“Ayo naik, Ma,” katanya. Mas Rifki tersenyum. Mungkin wajah istrinya ini terlihat lucu karena bengong.

Saya pun melempar senyum padanya dan segera menghampiri mas Rifki yang berjarak beberapa langkah dari posisi saya kini.

“Mas tumben pulang jam segini?” tanya saya setelah naik di motornya.

Mas Rifki terdengar tertawa. “Kenapa? Aneh, ya?” Dia malah balik bertanya.

Saya pun terkekeh. “Iya, aneh.”

“Seharusnya Mama seneng dong,” ucap mas Rifki terdengar menggoda.

“Iya, mama seneng. Tapi kan mama pengen tahu juga kenapa pulang jam segini.” Saya kekeh ingin tahu.

“Mas pulang sebentar, nanti sore berangkat lagi. Mau tidur siang. Mas rasanya cape banget hari ini.” Mas Rifki terdengar lesu.

Seharusnya saya prihatin padanya. Tapi anehnya, saya jadi curiga.

Mas Rifki hanya pulang untuk tidur siang? Dan dia nanti sore akan berangkat lagi?

Mendengar alasan kepulangannya itu, saya jadi merasa ada yang aneh.

Makin ke sini saya jadinya semakin percaya dengan ucapan kak Nada. Kalau suami ada sesuatu di luar rumah, katanya mereka sering kali punya alasan yang beragam agar bisa keluar.

Saya pun tidak berselera untuk berkata-kata lagi atau membahas hal-hal lain dengan mas Rifki. Dan setibanya di rumah, saya pun langsung masuk ke dalam.

Di dalam rumah, Ibu terlihat sedang menonton televisi.

“Assalamu’alaikum.” Saya mengucap salam.

Dan tentunya, Ibu menjawab,” wa’alaikumsalam.” Dia memerhatikan saya dan dia juga melihat ke pintu keluar. “Motor siapa?” tanyanya.

Ibu pasti merasa aneh karena biasanya setiap saya pulang, tidak ada suara motor. Kalau ada suara motor, berarti itu pertanda ada yang mengantarkan pulang.

Dan Ibu juga sangat terkejut saat melihat mas Rifki datang.

Mas Rifki juga mengucapkan salam saat baru masuk ke dalam rumah. “Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.” Saya dan Ibu menjawab bersamaan.

Saya lihat raut wajah ibu nampak aneh dengan kepulangan mas Rifki di jam segini. Di jam yang tidak biasanya karena mas Rifki terbiasa pulang jam lima sore. Saya pun tersenyum. Wajah Ibu tampak lucu.

Mas Rifki lebih dulu naik ke atas dan saya memilih pergi ke dapur.

Seperti dugaan, Ibu menyusul saya ke dapur. Saya yang sedang mengambil gelas untuk diisi dengan air minum pun menoleh pada ibu yang kini menghampiri saya seraya berbisik ke telinga kanan saya.

“Suamimu udah pulang, tumben,” katanya. Ibu jadi mirip sama ibu-ibu tukang gossip yang suka nongkrong di warung.

Saya pun jadi tertawa melihat ekspresinya.

Sembari berjalan menuju dispenser saya pun menjawab pertanyaan ibu.

“Katanya mas Rifki cape, Bu. Dia mau istirahat dulu. Tidur siang. Nanti sore berangkat lagi.”

Gelas saya sudah penuh dengan air yang tadi sudah keluar dari dispenser. Saya pun berjalan menuju tempat duduk untuk meminumnya.

Beberapa tegukan saja sudah mampu membuat dahaga saya hilang dalam sekejap. Dan Ibu masih memandangi saya dengan tatapan herannya. Saya bisa tahu itu. Ibu pasti sama halnya dengan kak Nada. Banyak curiga pada mas Rifki.