IND 13

Aku tidak tahu ini bisa disebut perkosaan atau bukan? Faktanya, status Kak Sean itu suami sahku, dan dia memang berhak atas diriku. Bahkan, melayaninya adalah pahala untukku. Namun, haruskah dengan cara seperti ini?

Tidak bisakah dia memintaku dengan baik-baik dan lembut? Bisakah dia memintaku dalam keadaan normal dan memang menginginkanku. Bukan dengan memaksaku, dan dalam pengaruh alkohol seperti ini. Karena sungguh, aku sakit hati diperlakukan layaknya jalang seperti ini.

Bagaimana pun, aku masih istri yang berhak dapat hormatnya. Bukan cuma pengganti, yang bisa digunakan di balik bayangan wanita yang ada di hatinya.

Audy! Entah kenapa nama itu sekarang sangat menyakitiku.

“Audy,” lirih Kak Sean sekali lagi dalam lelapnya setelah menuntaskan kebutuhan biologis sialannya itu secara paksa padaku. Membuat aku lagi dan lagi sakit untuk kesekian kalinya.

Apakah aku benar-benar tak pernah ada dalam ingatannya sedikit pun? Aku memejamkan mata dengan erat sekali lagi, sebelum mengusap air mataku dengan kasar setelahnya. Seperti kaset rusak, ingatanku pun berputar otomatis pada beberapa jam lalu, di mana akhirnya kejadian ini tercipta.

Tadi, sebenarnya aku sudah terlelap setelah mengerjakan tugas kuliahku yang menumpuk. Kebetulan, Kak Sean juga sedang tidak ada di rumah, karena harus menghadiri pesta ulang tahun salah satu rekan bisnisnya di negara ini.

Tentu saja, moment itu aku gunakan untuk menyelesaikan semua tugas kuliah yang menumpuk, mumpung tak ada yang merecokiku seperti biasa.

Awalnya, semuanya baik-baik saja. Aku mengerjakan tugas kuliah hingga selesai, sambil diselingi makan malam hari ini. Akhirnya semua tugas itu selesai, aku pun langsung tidur karena memang sudah sangat mengantuk.

Namun, saat jam di dinding menunjukan pukul dua dini hari. Aku terpaksa bangun, karena bunyi bell loft yang sangat nyaring dan bertubi-tubi.

“Ck, siapa, sih? Malam-malam gini mainin bell, apa dia tidak punya jam di rumahnya?” Aku menggerutu kesal, sambil turun dengan malas ke lantai bawah.

Awalnya, aku yakin itu bukan Kak Sean, karena pria itu punya kunci cadangan rumah ini. Namun, siapa sangka? Saat aku baru saja membuka pintu depan. Aku pun langsung disambut tubuh oleng Kak Sean, yang dari aromanya saja, membuatku ingin muntah karena bau alkohol yang sangat menyengat dari tubuhnya.

“Kak Sean mabuk?”

Tentu saja aku langsung bertanya, sambil membantunya masuk kedalam rumah.

“Berisik!” hardiknya galak. “Bisa tidak kamu jangan banyak omong dan bantu aku saja ke tempat tidur. Kepalaku pusing sekali,” keluhnya, masih dengan ketus.

Ya, saat dia datang, dia memang masih setengah sadar, dan masih bisa menguasai diri meski sedang mabuk. Tak ingin membuatnya semakin marah, aku membungkam mulutku, dan memapahnya dalam diam hingga ke tepian kasur.

“Ambilkan Air putih, saya mau minum obat sakit kepala,” titahnya kemudian. Yang juga kuturuti masih dalam diamku.

“Siapkan air hangat. Saya mau mandi dulu sebelum tidur, badan saya lengket sekali,” titah keduanya, sesaat setelah aku menyodorkan air minum yang dia minta sebelumnya.

Lagi, aku segera menuruti titahnya. Meski masih tanpa komentar apapun. Aku tak ingin cari ribut dengannya. Aku masuk ke dalam kamar mandi, dan segera menyiapkan air hangat sesuai request pria galak itu.

Aku tidak tahu apa yang dilakukan Kak Sean atau apa yang dia minum saat aku di dalam kamar mandi. Yang jelas, entah kenapa ketika aku selesai dengan semua tugasku dan berniat memberitahukannya, jika dia sudah bisa mandi.

Tiba-tiba saja dia melihatku lekat dengan napas memburu, sebelum akhirnya menarikku ke atas tempat tidur dan ditindihnya begitu saja.

Tentu saja aku kaget luar biasa dengan aksinya ini. Karena, ... kalian pasti mengerti apa yang aku rasakan dalam posisi itu, kan?

“Kak, ap— hhmmmfffttt ....”

Belum sempat aku melanjutkan tanyaku, Kak Sean sudah lebih dulu melumat dan memagut bibirku dengan panas. Membuat aku langsung berontak dan mencoba melepaskan diri.

Namun, dilihat dari postur tubuh dan kekuatan saja, jelas aku kalah telak dengan Kak Sean. Karena selain dia ini pria, dia juga punya badan tegap, dan seperti sedang dipengaruhi sesuatu hingga menggila seperti ini.

Kenapa aku bilang menggila? Karena memang Kak Sean mencumbuku seperti orang kesetanan. Meski aku terus berontak. Dengan mudahnya dia mengunci gerakanku, bahkan menyatukan kedua tanganku dalam satu genggaman, dan ditekannya di atas kepala.

“Shit! Buka mulutmu!” makinya karena aku tak mau membalas cumbuannya dan malah sengaja menutup mulutku rapat-rapat.

Aku menggeleng cepat, karena tak ingin diperlakukan seperti ini.

“Buka!” titahnya keras, tetapi masih kutanggapi dengan gelengan dan air mata yang mulai merembes dari mataku. Aku takut.

Takut sekali dengan keadaan seperti ini. Apalagi Kak Sean benar-benar seperti bukan dirinya. Mata merah, napasnya panas dan tatapan itu kelam sekali.

“Jangan, Kak. Aku mohon. Aku ... akh!”

Saat aku berusaha menolak dan meminta belas kasihnya. Dengan pintar dia kembali melumat dan sengaja menggigit bibir bawahku dengan keras.

Tentu saja hal itu membuat aku mau tak mau membuka mulutku, yang langsung dikuasainya seperti orang kesetanan. Ia membelit lidahku, membelai deretan gigiku dan mengajakku bertukar saliva dengan menjijikan. Membuat aku mual sekali. Akhirnya, aku pun hanya bisa menangis diperlakukan seperti itu.

“Kak ... jangan!” Aku mencoba memohon sekali lagi, saat kembali bersirobok dengan matanya.

Dia terdiam. Kukira, dia mengerti dan akan menghentikan kegilaannya ini. Dia bahkan tersenyum dan membelai wajahku dengan lembut, oleh sebelah tangannya yang bebas. Aku sudah mengucapkan syukur dalam hati, karena mengira semuanya akan segera baik-baik saja.

“Berikan hakku, Sayang. Aku sangat menginginkanmu?” ucapnya kemudian di telingaku, sebelum kembali mencumbuku yang kali ini lembut, tetapi tetap penuh tuntutan.

Menginginkanku? Benarkah? Mendengarnya, hatiku pun mulai menghangat. Akhirnya aku pun pasrah dan bersedia melayaninya seperti apa yang dia inginkan.

Awalnya, semuanya baik-baik saja. Meski aku tidak tahu kenapa Kak Sean tiba-tiba meminta haknya seperti ini? Aku tetap mencoba melayaninya seperti yang dia inginkan.

Aku mencoba mengimbangi dan membalas apa yang dia lakukan terhadap tubuhku, sebisa dan semampuku. Hingga akhirnya aku pun turut terbuai dalam kenikmatan yang dia tawarkan, karena jujur aku akui, sentuhannya memang membuat aku gila dan turut menginginkannya.

Bagaimanapun, aku juga seorang wanita dewasa yang punya kebutuhan biologis seperti dirinya. Walau tak selalu mendesak seperti halnya pria. Namun, aku juga punya dan itu normal ‘kan?

Malam itu aku benar-benar menikmati penyatuan kami, walau di awal penyatuan terasa sakit dan seperti ada yang robek di inti tubuhku, tapi aku sangat menikmati semua treath yang Kak Sean lakukan.

Kami hampir meraih puncak bersama jika saja Kak Sean tak mengucapkan nama itu saat mendapat klimaknya.

“Augh ... Audy ... I feel that!” ucapnya sambil menengadah penuh rasa puas. “Makasih, Sayang. I love u Always,” lanjutnya setelahnya sambil merangkum wajahku dan mengecup bibirku sekilas, sebelum jatuh tertidur di sampingku.

Seketika aku seperti ditampar kenyataan, karena ternyata bukan aku yang saat itu dilihat Kak Sean selama percintaan kami. Melainkan Kak Audy dan ... Tuhan ... hatiku sakit sekali.