WebNovelDiary Lin100.00%

Malas

Sesampaimya di kamar, buru-buru Zeline merebahkan tubuhnya diatas kasur. Dia segera membuka aplikasi hijau. Mencari vidio yang dikirim oleh Diella.

Coba tanyakan lagi pada hatimu...

Apakah sebaikmya kita putus atau terus...

Kita sedang mempertahankan hubungan...

Atau hanya sekedar menunda perpisahan...

Dengan headset, Zeline bisa mendengar secara jelas suara laki-laki yang akhir-akhir ini memenuhi pikirannya. Menurut Zeline, suara Aiman lumayan bagus. Walau tak sebagus mas Miftah, vokalis group hadroh pesantren.

Tapi, hatinya merasa sejuk mendengar suara Aiman untuk pertama kalinya. Apalagi iringan petikan gitar berhasil menambah shahdu lagu yang dibawakan. Hal itu membuat Zeline ingin terus mendengar suara Aiman yang termasuk langka.

"Mba Delisa! Sini! Ada yang mau aku tunjukin!" Zeline mengaba-aba pada seorang perempuan berkrudung dengan kacamata yang bertengger dihidungnya, namanya Delisa. Lebih muda dari Zeline, hanya beberapa bulan. Tapi Zeline memanggilnya dengan 'mba' karena jenjang pendidikannya lebih tinggi satu tahun, kakak kelas.

Mba Delisa duduk disamping Zeline. Ikut penasaran dengan apa yang akan Zeline beritau seperti biasa padanya. "Apa?"

Zeline melepas headset-nya. Mengeraskan volume agar mba Delisa bisa mendengar suara Aiman. "Dengerin suaranya dia mba. Lumayan kan?"

Setelah mendengar suara Aiman, mba Delisa mengangguk, "Lumayan si." balasnya, berpendapat tentang suara Aiman.

"Ya ampun mba, rasanya aku pengen dengerin suaranya dia. Walau ngga bagus banget, tapi bikin sejuk aja gitu." ungkap Zeline dengan penuh senyuman menghias diwajahnya, membuat mba Delisa geleng-geleng. Mba Delisa memaklumi adik kelasnya ini, lagi kasmaran. Haha.

Suara adzan menjadi akhir kegiatan Zeline, mendengar suara Aiman. Memutar vidio berdurasi tidak sampai satu menit itu berulang kali karena saking senangnya.

***

Malam hari Zeline mempersiapkan diri untuk hari esok. Menata buku pelajaran sesuai jadwal, menyetrika baju dan tak lupa memantau grup, siapa tahu ada pemberitahuan. Tak lupa juga memantau chat-nya dengan Aiman yang terkadang cepat dibalas tapi sering juga lama. Entahlah untuk masalah itu.

Zeline sendiri memaklumi, dia tidak boleh suudzon. Mungkin saja Aiman sibuk, dia kelas dua belas sebentar lagi ujian. Harus dipersiapkan dengan sebaik mungkin. Mengingat cita-citanya yaitu kuliah di Turki. Extra belajar.

Tak lupa menghapal Al-qur'an. Sudah pasti Aiman adalah orang yang sibuk. Maka dari itu, untuk mencegah pikiran negatif Zeline mengalihkannya dengan musik. Tidak ingin berpikiran yang negatif tentang Aiman.

Keesokan harinya, Zeline berangkat bersama Diana dengan motor pinjaman. Setengah hari sudah dia duduk menghadap papan tulis dan berteman buku diatas mejanya. Jenuh? Jelas. Untuk menghilangkan kejenuhan itu, Zeline diam-diam mencuri kesempatan membuka aplikasi hijaunya. Berharap ada balasan dari Aiman. Dan itu membuatnya tidak lagi merasa jenuh.

Tiba-tiba, terlintas dipikiran Zeline untuk bertanya sesuatu pada Aiman. Dia ingin tahu pendapat laki-laki itu tentang sesuatu yang selama ini menjadi pertanyaan bagi Zeline sendiri.

{Dan, mau tanya sesuatu boleh?}

{Boleh.}

Dengan jantung yang berdegup kencang, Zeline pun memberanikan diri untuk bertanya saat jam pelajaran usai. Dia bisa fokus mengetik pertanyaan untuk Aiman. Cukup panjang sampai Zeline harus membaca ulang pertanyaannya itu. Setelahnya dia kirim.

Teman kelas Zeline satu per satu mulai keluar. Mereka pulamg ke rumah dan pesantren. Kini, hanya tersisa Zeline dan Diana didalam kelas. Seperti biasa.

"Pulangnya nanti ya kaya biasa." ucap Zeline, melihat ke arah Diana yang sedang sibuk memperbaiki krudung yang memang susah.

"Iya."

Zeline kembali membuka aplikasi hijau setelah notif pesan masuk dia terima.

{Kalau bagi aku, bukan maksiat yang jadi halangan menghapal. Tapi rasa malas. Malas murojaah dan hapalan. Jadinya ya kadang suka hilang gitu hapalannya. Itu faktor malas aja si, bukan karena maksiat.}

Membaca itu Zeline berpikir. Ada banyak pertanyaan yang menghampiri pikirannya setelah membaca balasan dari Aiman.

{Semisal orang yang sedang hapalan itu pacaran termasuk faktor lupa sama hapalannya? Kan pacaran itu maksiat.}

{Iya mungkin bisa jadi faktor lupa sama hapalannya. Tapi pada intinya kalau aku sendiri itu karena malas. Bukan maksiat, apalagi pacaran. Gitu aja si.}

Zeline tersenyum. Jawaban Aiman membuatnya puas. Tapi tunggu dulu. Seorang Aiman ternyata malas juga ya? Rasanya ingin tertawa saja. Selama ini Zeline terlalu positif thinking dengan Aiman. Dia lupa, Aiman juga manusia biasa yang punya rasa malas.

Puk!

Zeline reflek menoleh ketika Diana menepuknya. "Kok senyum-senyum sendiri? Lagi chat sama ajudan ya?"

"Hmmm. Biasalah. Haha."

"Yuk pulang." Diana berjalan menuju pintu. Melihat sekitar kelas yang sepi. Hanya ada beberapa orang.

"Yuk." Zeline bangkit. Memasukkan ponselmya ke dalam saku baju. Melenggang bersama Diana menuju parkiran motor.

"Mampir dulu ya."

"Yaps."

Mereka berdua pun naik motor setelah memakai helm. Bergegas pulang karena sudah lapar dan ingin istirahat. Tak lupa mampir seperti biasa. Beli jajan.