Leona tercenung mendengar cerita cinta West yang ternyata di luar dugaan. Dia berpikir pria itu tidak menyukai wanita, tapi pikirannya ternyata salah besar. Lelaki yang ia kenal satu bulan lebih tersebut mencintai seseorang secara sepihak.
Di saat dirinya berpikir, lelaki di dunia ini brengsek dan tukang selingkuh, West berhasil membuktikan kesetiaan. West masih mencintai wanita itu meski tidak bisa memilikinya.
“Apakah wanita itu sudah menikah sekarang?” Pertanyaan lain diajukan lagi oleh Leona.
Dia menoleh kepada Cassie yang nyaris menumpahkan minuman karena tersedak. Leona segera meraih tisu dan menyerahkannya kepada wanita berambut pirang tersebut.
Bahu yang berukuran ideal milik Cassie terangkat sebentar ke atas. “Entahlah. Shaun tidak menceritakannya kepadaku. Yang jelas wanita itu sudah melakukan kesalahan besar, karena telah menolak pria sebaik Bos.”
Leona mengangguk membenarkan perkataan rekan kerja West ini. Satu bulan mengenalnya, ia tahu pria itu baik dan penyayang. Jelas terasa dari bagaimana West memperlakukannya dengan sangat baik, tanpa menilai penampilan luar dirinya.
“Itu mereka datang,” seru Cassie melihat suami dan bosnya berjalan beriringan menuju rumah.
Kedua wanita tersebut segera berdiri menyambut kedatangan West dan Shaun.
Cassie memberi kecupan singkat di bibir Shaun, kemudian mengambil senapan yang ditenteng suaminya. Sementara Leona hanya berdiri canggung tak jauh dari tempat rekannya berada.
“Sorry. Tidak ada yang berhasil ditangkap.” West membuka kedua lengan yang kosong, sebelum menurunkan senapan angin yang menggantung di bahu kiri.
“Tidak masalah, Bos. Stok makanan kalian sudah terisi penuh,” sahut Cassie disambut anggukan kepala dari Leona.
“Kita masih punya daging di kulkas. Aku bisa membuatkan makan malam yang lezat untuk kalian,” imbuh Leona.
“Ini yang paling aku suka. Menantikan masakanmu yang sangat lezat.” Shaun pantang kalah.
Leona berdecak sambil geleng-geleng kepala. Dia melangkah terlebih dahulu ke dalam rumah, meninggalkan West dan kedua rekannya di belakang.
“Apa kau akan mengatakan yang sebenarnya, Bos?” Langkah Shaun berhenti tepat satu langkah sebelum pintu masuk.
“Dia harus tahu yang sebenarnya, Shaun.”
“Bagaimana jika dia semakin frustasi?” Shaun tampak khawatir.
“Justru itu semakin bagus. Dia memiliki motivasi yang lebih kuat,” tanggap West melirik ke dalam rumah.
“Apa kalian membahas tentang pria brengsek itu?” sela Cassie penasaran.
Shaun menoleh kepada istrinya, kemudian mengusap pinggir pipi tirus Cassie. “Siapa lagi, Honey.”
Sorot mata biru wanita itu tampak menajam. Dia mendengkus sebelum memberi komentar. “Aku tidak habis pikir kenapa dia tidak tahu tabiat suaminya? Dia wanita yang pintar dan terpelajar, tapi masih saja bisa tertipu.”
“Sssttt. Pelankan suaramu,” tegur Shaun.
Cassie menarik napas singkat, lantas memasuki rumah dengan kesal. Dia sudah tidak sabar lagi menantikan Leona membalas semua perbuatan Mark. Wanita itu kemudian memilih untuk membantu Leona di dapur.
“Apa tidak sebaiknya kalian menginap dulu di sini?” tawar Leona begitu Cassie datang.
“Sebaiknya langsung ke kota saja. Besok ada pekerjaan yang harus dilakukan,” sahut perempuan berambut pirang tersebut.
“Shaun pasti lelah setelah berburu.”
“Aku bisa menggantikannya mengemudi jika itu yang membuatmu khawatir, Leona,” tanggap Cassie tersenyum lembut.
Leona kembali fokus dengan adonan makan malam yang akan dibuat. Ada berbagai macam sayuran untuk dijadikan salad dan juga daging ayam yang siap diolah.
“Astaga, aku lupa,” cetus Cassie menepuk pelan kening sendiri.
“Ada apa?” tanya Leona dengan kening berkerut.
“Sebentar.” Cassie mendongakkan kepala agar bisa melihat Shaun yang sedang duduk di depan perapian.
“Shaun,” panggilnya kemudian.
“Ya? Kenapa, Honey?” Lelaki bertubuh besar itu menoleh ke dapur.
“Jangan lupa turunkan selimut yang kita bawa tadi,” ujar Cassie sedikit mengeraskan suara.
Sang Suami mengacungkan ibu jari sebelum beranjak ke luar mengambil selimut di dalam mobil.
“Aku lupa mengeluarkan selimut untuk Bos.” Cassie tersenyum usil sebelum melirik Leona. “Kasihan jika kalian harus berbagi selimut selama tiga bulan.”
Aktivitas mengiris bawang yang dilakukan Leona langsung berhenti mendengar perkataan Cassie. Artinya mulai malam ini dia dan West tidak lagi tidur satu kamar dan berbagi selimut. Tilikan mata abu-abunya berpindah kepada West yang duduk bersandar seraya memejamkan mata di depan tungku perapian.
***
Malam menjelang setelah Cassie dan Shaun kembali ke Earth Ville. Tinggallah Leona dan West berdua di rumah sederhana tersebut. Mereka duduk bersisian menghadap tungku api dalam diam, larut dengan pikiran masing-masing.
Leona masih memikirkan kisah cinta West yang tak kalah tragis darinya. Belum lagi rasa penasaran akan keluarga pria itu yang masih belum terjawab.
Sementara itu, West juga masih mempertimbangkan apakah akan memberitahu Leona fakta lain tentang Mark, atau menutupinya. Dia tidak ingin wanita itu sedih lagi jika tahu tentang pria yang akan menjadi mantan suaminya itu.
Leona melirik kepada West sembari menyeruput sedikit kopi panas yang asapnya masih mengepul. Rasa penasaran sudah sampai ke ubun-ubun sekarang.
“Maaf aku tidak bisa menceritakannya kepadamu tentang keluarga Bos. Sebaiknya biar dia saja yang mengatakannya langsung.” Perkataan Cassie tadi sore kembali berputar di benaknya.
Apa aku tanyakan saja kepadanya? Ah, tidak! Bagaimana jika dia berpikir aku terlalu ikut campur dengan urusan pribadinya? gumam hati Leona.
Tapi kenapa Cassie tidak mau menceritakan tentang keluarga West? Dia tidak keberatan bercerita tentang kisah cintanya, sambungnya lagi di dalam hati.
Mata abu-abu Leona terpejam sebentar. Dia meletakkan kembali cangkir yang ada di tangan.
“Aku … rindu dengan keluargaku, West,” cetus Leona tersenyum samar melihat kobaran api yang memberi kehangatan bagi mereka berdua.
West mengalihkan pandangan kepada Leona. Pantulan warna api di paras yang mulai tirus itu, menambah keelokan rupa wanita tersebut.
“Apa kau mau aku antarkan ke Outville bertemu dengan keluargamu?” tanya West.
Leona menggeleng pelan. “Aku masih belum berani bertemu dengan mereka.”
“Mentalku belum siap, West,” sambungnya kemudian.
“Kau tidak harus bertemu dengan mereka, Leona. Bisa melihat dari kejauhan, bukan?”
Wanita itu memalingkan paras ke arah West, sehingga netra mereka bertemu. Pantulan api menari di netra biru lelaki itu. Perlahan kepala Leona menggeleng pelan.
“Apa kau tidak pernah merindukan keluargamu, West?” selidik Leona kemudian.
Pria itu lekas memalingkan wajah kembali melihat api yang melahap kayu kering di dalam tungku.
“Kau tidak mengantuk Leona? Sudah malam, tidurlah. Besok kita akan mulai training berikutnya,” elak West mengalihkan pembicaraan.
Leona memiringkan kepala ketika mematut perubahan wajah pria itu. Dia bisa menangkap kesedihan mendalam di sana, karena membahas masalah ini.
“Baiklah. Seperti biasa aku akan ikuti saranmu, Mister Coach,” kata Leona segera berdiri.
Gagal sudah keinginannya mengorek tentang keluarga West sekarang. Dia harus memikirkan cara lain, agar lelaki tersebut mau berbagi cerita dengannya.
“Good night, Leona,” ucap West tersenyum samar.
“Good night, West,” balasnya sebelum berbalik menuju kamar.
Leona melangkah memasuki kamar. Ia mendesah pelan begitu pintu tertutup.
“Kenapa dia selalu menghindar ketika ditanyakan tentang keluarganya?” bisiknya pada diri sendiri.
Tubuh yang masih berisi tersebut berbaring di atas kasur. Begitu banyak hal yang dipikirkan saat ini membuat Leona tidak bisa memejamkan mata. Pandangannya berpindah ke sisi tempat West biasa tidur. Tangannya meraba ke tempat kosong itu, sebelum ditarik lagi ke bawa selimut.
Wanita berambut hitam tersebut kembali ke posisi telentang. Dia kembali mencoba tidur, tapi tetap saja tidak bisa. Desahan pelan keluar dari sela bibir saat merasa sepi sendirian di kamar ini. Apakah ia merasa kehilangan West yang menemani dirinya selama sebulan?
“Apa dia sudah tidur?” gumamnya kembali ke posisi duduk.
“Ah, kenapa aku jadi memikirkan West?” desisnya lagi pada diri sendiri.
Leona berbaring lagi di atas kasur. Selang dua menit kemudian dia kembali duduk.
“Astaga, ada apa denganku?” keluhnya uring-uringan.
Setelah menarik napas panjang, wanita itu turun dari tempat tidur berniat keluar dari kamar. Langkahnya berhenti ketika hampir mencapai pintu.
“Bagaimana jika dia sudah tidur? Atau masih bangun dan bertanya kenapa aku keluar lagi?” racaunya.
Kepala Leona menggeleng cepat. “Tidak perlu pusing, tinggal bilang kalau aku hanya ingin mengambil air minum.”
Wanita itu mengangguk mantap sebelum membuka pintu. Mata abu-abu miliknya terbelalak saat melihat sosok tubuh tinggi tegap berdiri tepat di depan pintu. Jantungnya kembali berdebar ketika manik biru itu menatapnya sayu.
“I can’t sleep without you, Leona,” ungkap West membuat irama alat pemompa darah di dalam tubuhnya semakin cepat.
Bersambung....