Seperti yang diperintahkan oleh mertuanya, setiap pagi Mutia harus bangun saat azan subuh berkumandang, menunaikan ibadah, memasak, dan membersihkan rumah. Asisten rumah tangga yang sebelumnya dipekerjakan di rumah itu pun benar-benar sudah diberhentikan. Tugas ke pasar pun kini harus Mutia yang melakukannya. Memang semua uang bulanan selalu diberikan dengan sangat cukup bahkan lebih untuk membeli bahan masakan setiap harinya, namun tetap saja Mutia tidak ikhlas jika harus diperlakukan layaknya seorang babu.
Ia merasa iri kepada Weni yang menjadi istri kedua Ferian. Perempuan itu diperbolehkan bangun siang dan santai selama di rumah, tidak perlu memikirkan pekerjaan rumah karena semua hal sudah dilakukan oleh Mutia. Perempuan itu hanya bangun untuk makan dan pergi tidur lagi.
Mutia meringis sedih, bayangan hidup yang cerah malah berubah suram. Kehidupan pernikahannya justru memperburuk keadaannya. Dia lebih bersyukur tinggal di gubuk kecil bersama ayah dan ibunya meski serba kekurangan namun masih diberkati kebahagiaan, dibandingkan hidup bergelimangan harta tetapi menderita. Benar, Mutia hanyalah seorang menantu di sana dan kekayaan suaminya tetaplah bukan miliknya.
Pagi ini, meja makan telah terisi dengan beberapa menu yang dimasak oleh Mutia. Sayur asam, tempe dan tahu goreng, ikan asin, ayam goreng, dan sambal terasi, serta lalapan terlihat sangat menggiurkan untuk disantap. Setelah menghidangkan semua makanan, kini Mutia memanggil semua penghuni rumah yang masih berada di dalam kamar, sedangkan ia kembali ke dalam kamarnya.
Mutia tidak diperbolehkan makan bersama dalam satu meja makan. Alasannya karena istri kedua Ferian tidak suka melihat gadis desa sepertinya berkumpul bersama. Sangat tidak cocok berada dalam meja yang sama dengan keluarga terpandang sepertinya. Weni memang berasal dari keluarga terpandang yang desanya terletak jauh dari desa Mutia dan Ferian. Perempuan itu ternyata telah menjalin hubungan dengan Ferian sebelum Ferian dekat dengan Mutia.
Ferian adalah lelaki brengs*k yang dengan seenaknya mempermainkan rasa cinta Mutia. Lelaki itu tidak memikirkan betapa terlukanya hati Mutia mendengar kebenaran tersebut. Sontak, Mutia merasa sangat kecewa kepada suaminya yang kini tidak mau memandangnya sama sekali. Pandangan lelaki itu hanya tertuju kepada istri keduanya.
"Apa-apaan ini, Mas? Pagi-pagi begini masa harus sarapan sambal?"
Perempuan yang baru saja bangun tidur dengan rambut yang masih acak-acakan dan gaun tidur transparan yang kusut itu baru saja duduk di meja makan. Dia meninggikan suaranya ketika melihat menu di atas meja yang tidak sesuai dengan selera sarapan paginya.
Astuti dan kakak ipar Mutia—Dini hanya saling pandang, mereka memerhatikan Weni dan Ferian lantas melirik ke arah Mutia yang berdiri tidak jauh dari meja makan.
"Lalu kamu mau makan apa, Sayang?" tanya Ferian lembut.
Perih! Panggilan yang sebelumnya ditujukan kepadanya kini telah sirna dari pendengarannya. Memang sejak awal panggilan itu bukanlah untuk Mutia, tetapi untuk Weni si perempuan beruntung itu.
"Aku mau sarapan roti dan susu! Aku tidak biasa makan nasi di pagi buta seperti ini, Mas!"
Weni merajuk. Ia melipat kedua lengannya di depan dada sambil mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil. Mutia hanya diam melihatnya.
"Tunggu apa lagi, Mas?"
Weni adalah perempuan yang tidak sabaran. Lantas Ferian menoleh ke arah Mutia, meminta istrinya untuk mengambilkan roti dan susu untuk Weni.
Mutia membalikkan badan dengan terpaksa. Dia membuka lemari pendingin, mengambil sebungkus roti tawar dan juga sekotak susu lalu menuangkannya ke dalam gelas, dan membawanya ke meja makan. Baru saja Mutia meletakkan sarapan tersebut di hadapan Weni, perempuan itu kembali berteriak.
"Masa hanya susu saja? Selainya mana, Mas? Kalau begini aku tidak mau makan!"
"Jangan dong, Sayang, kamu harus makan ya?" Ferian berganti menatap Mutia dengan tatapan tajam. "Ambilkan selainya juga, cepat!"
Bergegas, Mutia mengambilkan selai stroberi lalu meletakkannya di hadapan Weni. Perempuan itu seketika tersenyum senang dan membuat sarapannya sendiri. Mutia yang melihat itu hanya bisa diam dan bersabar, ia memutuskan kembali ke kamarnya dan menunggu keluarganya selesai sarapan.
Ingin sekali Mutia duduk bersama di meja itu, duduk di samping Ferian dan mengambilkan makanan untuk lelaki itu, namun dia tidak bisa. Sudah ada Astuti yang dengan sigap mengambilkan makanan ke piring Ferian dan Weni yang duduk di sebelahnya. Tidak terasa air matanya kembali mengalir. Sejak hari pertama dia menginjakkan kaki di rumah itu, Mutia bahkan belum pernah duduk bersama mereka.
Seusai sarapan selesai, kini giliran Mutia untuk makan, sebelum melanjutkan aktivitasnya membersihkan rumah yang cukup besar milik keluarga Ferian. Melakukan pekerjaan untuk seukuran rumah yang ia tinggali seorang diri tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang lama, apalagi Astuti selalu mengeluh jika lantai rumah mereka kotor sedikit saja, maka Mutia harus mengepelnya setiap pagi agar terlihat bersih.
Ketika Mutia sedang membersihkan lantai, ia melihat Weni sedang duduk di sofa depan televisi sambil bermain gawai. Pakaiannya masih sama seperti saat sarapan, perempuan itu bahkan belum mandi dan berganti pakaian. Ferian lantas datang dan berhambur ke dalam pelukan istri keduanya. Lelaki itu menciumi seluruh wajah Weni penuh kasih sayang dan tidak sedikit pun terganggu dengan keberadaan Mutia yang sedang mengepel.
Mutia yang melihat pemandangan tersebut merasa tidak enak hati dan memanas. Sebagai istri sahnya, Mutia belum pernah disentuh oleh suaminya sendiri, apalagi melakukan malam pertama yang biasanya orang-orang bicarakan. Ia malah harus tidur di ranjangnya sendiri dan bergelung dengan selimut kala hawa dingin menusuknya.
Perempuan itu lantas mempercepat pekerjaannya agar segera meninggalkan ruang televisi di mana pasangan pengantin baru itu tengah bermesraan. Melihat kemesraan tersebut membuatnya ingin menumpahkan air matanya lagi. Apalagi ketika Weni mengatakan bahwa dia ingin melakukan hubungan dengan Ferian. Lelaki itu bahkan tidak malu dan langsung saja merengkuh istrinya di sana.
Sungguh pemandangan yang tidak etis untuk dilihat. Mutia lantas membalikkan badan meninggalkan mereka yang sedang asyik dengan kegiatan mereka. Dia bertanya-tanya ke manakah ibu mertua dan kakak iparnya seusai sarapan. Apakah mereka sengaja tidak keluar kamar agar Ferian dan Weni bisa berbuat sesuka hati mereka? Sungguh tidak berperasaan sekali mereka.
"Mas, ayo lagi!"
Itu suara Weni yang tengah merengek, membuat Mutia ingin memuntahkan sarapan yang beberapa menit yang lalu baru saja masuk ke dalam perutnya. Dengan segera ia masuk ke dalam kamar setelah menyelesaikan pekerjaannya, menutup pintu rapat-rapat agar tidak mendengar suara aneh yang mungkin akan terdengar olehnya.
Air matanya hendak tumpah, namun Mutia menahannya sekuat tenaga agar dirinya ikhlas dan menerima jalan hidupnya ini. Dia harus ikhlas berbagi suami dengan istri kedua Ferian dan sabar menerima ketidakadilan perlakukan sang suami.
Seharian ini, Mutia tidak keluar kamar, dia memutuskan untuk berdiam di dalam kamar untuk menjaga hatinya agar tidak semakin terluka melihat suami dan istri kedua yang sedang berbahagia. Sejatinya, Mutia telah jatuh cinta kepada Ferian dan memasrahkan hatinya untuk lelaki itu, namun hanya luka yang ia dapatkan. Luka lama bahkan belum kering dengan sempurna, kini ditambah dengan luka baru yang membuatnya semakin menderita.
Mutia kembali menjalankan jualan onlinenya yang sempat tertunda. Selama suaminya belum melarangnya untuk berjualan, maka Mutia ingin menjalaninya diam-diam. Bagaimana pun ia ingin memiliki penghasilan sendiri untuk memenuhi kebutuhan ayah dan ibunya serta janjinya kepada Doni dan Uni untuk membalas budi kepada mereka. Gawai pemberian Doni pun masih ia simpan dengan baik, bahkan nomor telepon lelaki itu masih tersimpan di sana. Sebenarnya ada rasa ingin menghubungi lelaki itu, namun ia sadar bahwa kini ia sudah menjadi istri orang lain dan tidak sewajarnya Mutia mempermainkan lelaki itu.
Ia jadi teringat pesan sang ibu ketika ia hendak meninggalkan rumah. Saminem sempat memberinya beberapa pesan sebelum hari pernikahannya tiba.
"Apa pun masalah yang terjadi dalam rumah tanggamu, kamu ndak usah menceritakannya kepada orang lain, Nduk. Itu adalah aib keluargamu dan tugasmu adalah menjaga aib tersebut."
Kini pikirannya memberontak, bahwa suami pilihan sang ayah tidaklah seperti yang ayahnya pikirkan. Namun, Mutia hanya bisa memendamnya seorang diri. Dia ingat pesan sang ibu dan harus menjaganya sampai kapanpun. Tuhan sedang memberikan ujian untuk rumah tangganya.
Bersambung ...