Entah kenapa, Weni terlihat sangat membenci Mutia. Setiap kali mereka berpapasan, perempuan itu selalu memandang Mutia dengan sorot marah. Padahal, Mutia merasa tidak melakukan kesalahan apapun kepadanya dan seharusnya Mutia-lah yang marah, sebab suaminya selalu memanjakan istri keduanya dan tidak peduli kepadanya.
Mutia diam mendengar dengusan Weni, ketika perempuan itu mengambil minum di dapur saat ia sedang memotong sayuran untuk makan malam. Ferian tengah pergi bekerja, sedangkan kakak ipar dan juga mertuanya tengah mengobrol di ruang tamu. Oh ya, mengenai ayah mertua Mutia, perempuan itu bahkan belum pernah melihat ayah Ferian yang sedang di luar kota untuk masalah bisnis keluarga.
"Harusnya kamu bersyukur bisa makan tiga kali sehari dengan kenyang, Mbak," celetuk Weni menuangkan air dari teko ke dalam gelas. Perempuan itu menatap Mutia dari ujung kepala hingga kaki, menatap sebelah mata. "Mana ada lelaki yang mau menikahimu yang miskin kalau bukan suamiku, Mas Ferian. Karena kamu, aku yang seharusnya menjadi satu-satunya istri dia, jadi harus mengalah karena dirimu. Apa kamu tidak penasaran apa di balik semua ini?"
Mutia diam dan melanjutkan kegiatan memasaknya. Tidak ada yang ingin dia dengar dari perempuan itu. Dia hanya akan mendengarkan penjelasan dari suaminya. Bisa saja perempuan ini mengarang cerita dan membohonginya agar ia benci kepada suaminya lantas meminta cerai. Tidak akan pernah Mutia lakukan!
"Aku mengajak kamu berbicara, Mutia! Apa kamu tuli?" tanya perempuan yang usianya satu tahun lebih muda darinya. Perempuan itu bahkan sudah berani memanggilnya nama saja, padahal Mutia jelas lebih tua usia dan kedudukannya di rumah ini.
"Aku sedang memasak, alangkah baiknya kamu membantuku agar cepat selesai," ujar Mutia datar.
Mata Weni membulat, dia tidak menyangka Mutia akan menyuruhnya demikian. "Kamu berani memerintahku?" tanya Weni setengah berteriak.
"Aku tidak memerintahmu. Tetapi kamu seorang istri dan layak melayani suaminya, menyiapkan segala keperluannya, jangan hanya melayaninya di dalam kamar saja."
"Oh, jadi kamu cemburu karena Mas Ferian belum menyentuhmu?" Weni tersenyum mengejek. "Asal kamu tahu, sejak awal Ferian adalah milikku dan dia tidak akan sudi tidur bersamamu. Kamu hanya sebatas istri dalam kertas, bukan istri sesungguhnya, Mutia. Jelas-jelas Ferian hanya mencintaiku dan tergila-gila kepadaku, jadi sadar dirilah dirimu."
"Jangan sombong! Aku tidak akan percaya dengan apa katamu. Lagi pula jika memang kamu istrinya, seharusnya kamu belajar menyiapkan semua kebutuhannya, membuatkan makanan untuknya, dan membersihkan rumah. Bukankah itu tugas istri?"
"Kamu saja sana! Tugasku hanya menemani Mas Ferian dan mencintainya!"
Perempuan itu lantas bergegas meninggalkan Mutia seusai meletakkan gelas kotor sembarangan tempat. Mutia menghela napas lelah, ia menggelengkan kepalanya melihat kelakukan Weni yang tidak bisa diatur. Perempuan itu sudah terbiasa dimanja oleh keluarganya, jadi dia tidak pernah merasakan apa yang namanya bertahan hidup.
Seketika Mutia menjadi terpikirkan oleh omongan Weni barusan. Apa benar kalau Ferian tidak berniat ingin menyentuhnya yang sudah sah secara agama dan negara. Jika iya, apa alasannya, bukankah dulu ketika mereka belum menikah, lelaki itu bahkan ingin segera mempercepat hari pernikahan? Ia menggelengkan kepalanya cepat dan menasihati diri sendiri agar tidak termakan omongan Weni yang belum jelas kebenarannya.
Makan malam sudah siap, semua anggota keluarga pun sudah berkumpul di meja makan. Ferian baru saja pulang bekerja dan belum berganti pakaian, namun lelaki itu langsung duduk di meja makan karena sudah lapar.
"Ih, Mas, kamu mandi dulu sana. Bau keringat tahu!" ujar Weni ketika Ferian duduk di sebelahnya. Perempuan itu menutup hidungnya dengan telapak tangan sebelah kiri sedangkan lainnya mengibaskan udara di depannya.
"Ah, sebentar, aku mau makan dulu, sudah lapar," ujar Ferian menerima uluran piring dari Mutia.
Weni berdecak mendengar respon suaminya yang mengabaikan ucapannya. Perempuan itu lantas mengambil sesendok sup buntut buatan Mutia dan menaruhnya di piringnya. Weni terbatuk ketika mencicipi sup tersebut dan meludahkannya di lantai.
"Asin banget! Kamu mau meracuniku?" teriak Weni segera meneguk segelas air.
"Apa maksudmu, Weni, aku tidak punya niatan begitu. Lagi pula aku memasaknya dengan rasa yang pas," bantah Mutia jujur.
Ferian, Astuti, dan Dini lantas ikut mencicipi sup buatan Mutia.
"Ini enak, kok," kata Ferian membuat senyum Mutia terbit di wajahnya.
Mutia senang kalau masakannya sesuai selera suaminya.
"Nggak, Mas, ini asin banget. Dia sengaja mau meracuniku."
Weni masih saja menuduh Mutia, perempuan itu merajuk kepada suaminya membuat Ferian harus menenangkan istri keduanya itu. "Ayolah, Sayang. Ini enak kok, kamu coba lagi ya?" Ferian mencoba menyuapi istrinya, namun ditepis oleh perempuan itu.
"Lidahmu yang bermasalah! Sup ini rasanya pas kenapa kamu bilang asin?" tanya Dini kemudian. "Kalau kamu tidak suka dengan masakan Mutia, maka buatlah makananmu sendiri, jangan merepotkan adikku yang sedang kelaparan!"
"Mas … lihat Mbak Dini, dia memarahiku," mimik wajah Weni berubah sedih, matanya mulai mengembun dengan air mata yang hampir jatuh.
"Mutia, coba kamu buatkan telur goreng untuknya," kata Astuti yang diangguki oleh Mutia.
"Nggak mau! Nanti dia akan meracuniku lagi seperti ini!"
"Jangan begitu, Sayang. Ya sudah, kamu mau makan apa kalau tidak mau makanan ini?"
Akhirnya Ferian mengalah, dia menawari pilihan lain kepada istri keduanya. Mutia yang melihat betapa lembutnya perlakukan Ferian kepada Weni membuat hatinya panas.
"Besok aku mau beli perhiasan, Mas dan malam ini aku mau minum susu saja," kata Weni yang tidak lepas dari senyum cerianya.
"Apa hubungannya sup asin dengan perhiasan? Kamu jangan mengada-ada deh, Wen. Lebih baik kamu belajar masak sana sama madumu!"
"Mbak Dini ini tidak tahu tren, ya? Coba bayangkan saja, Mbak, apa yang biasa orang-orang lihat kepada pengantin baru? Tentu saja pakaian yang bagus dan perhiasan yang banyak. Perempuan setelah menikah harusnya memiliki banyak perhiasan agar bahagia. Bukan begitu, Bu?"
Astuti hanya diam, dia memilih tidak merespon ucapan Weni dan sibuk menyendok makanannya. Dini hanya melirik kecil ke arah ibunya dan tidak menjawab perkataan adik iparnya itu, sedangkan Mutia hanya menyimak obrolan mereka.
"Boleh ya, Mas?"
Mau tidak mau Ferian mengiyakan. Weni bersorak senang lantaran suaminya mengiyakan permintaannya. Dia lantas melirik Mutia dengan senyum kemenangan. "Kamu jangan iri, Mbak, lagipula kamu juga tidak akan pantas memakai perhiasan!"
"Sudahlah, Sayang. Ayo kita makan."
***
Paginya Weni sudah bersiap ingin berbelanja sesuai kemauannya semalam. Ia melirik Mutia yang tengah membersihkan meja ruang tamu. Dia menengadahkan tangannya kepada Mutia sambil menanyakan jatah uang belanja.
"Mana uang belanja hari ini?"
Mutia menatap Weni penuh tanya. "Apa maksudnya?"
"Kamu memang b*doh, ya? Berikan uang pasar hari ini kepadaku!"
"Tetapi itu untuk membeli bahan makanan selama satu minggu ke depan, Wen. Kamu jangan aneh-aneh deh."
Mutia mengabaikan permintaan Weni. Pagi tadi sebelum sarapan dia sempat diberi uang pasar untuk satu minggu ke depan. Nominal yang diberikan oleh Astuti pun cukuplah banyak bahkan lebih untuk jatah satu minggu. Biasanya kelebihan tersebut akan Mutia simpan untuk keperluan mendesak seperti listrik dan lainnya karena mertuanya itu tidak pernah mengambil uang sisa belanja dan mempercayakan sepenuhnya kepada Mutia.
"Ya ampun, Mbak, uang sebanyak itu pastilah sisa. Sini berikan aku satu juta, kamu pegang lima ratus ribu saja."
Diabaikan oleh Mutia, perempuan itu berjalan menerobos kamar Mutia dan mencari dompet miliknya lalu mengambil uang belanja yang memang tersimpan di sana. Weni menyerahkan lima lembar seratus ribuan kepada Mutia sembari mengembalikan dompet milik Mutia, sedangkan dia mengambil uang satu juta tersebut.
"Kembalikan Wen, nanti Ibu marah kalau uang belanjanya kurang!"
Mutia mencoba merebut uang pasarnya, namun tenaga Weni lebih kuat dan berhasil mendorong Mutia hingga perempuan itu tersungkur di lantai.
"Jangan beraninya kamu mengambil uang ini, Mbak. Uang ini sudah jadi milikku dan ke depannya, aku akan terus mengambilnya darimu. Berbagilah sedikit denganku, Mbak, jangan pelit! Aku juga istri Mas Ferian."
"Namun itu uang belanja, Wen, bukan pemberian dari Mas Ferian."
"Aku tidak mau tahu. Sudah ya, keburu siang, aku mau belanja dulu. Bye Mbak Babu."
Weni lalu bergegas pergi tanpa mendengarkan panggilan Mutia. Perempuan itu menulikan pendengarannya dan bersenandung senang.
Mutia menghela napas berat. Sisa uang belanja di tangannya hanya tersisa sedikit, padahal untuk jatah satu minggu biasanya ia habis satu juta rupiah. Kini ia terpaksa harus mengurangi daftar menu belanjaan yang akan ia beli karena uang sisa dari jatah belanja sebelumnya sudah ia pakai untuk membeli listrik yang tiba-tiba habis.
Ia berharap semoga tidak akan kena marah oleh mertuanya sebab menu belanjaan tidak sebanyak biasanya.
Bersambung ...