Mutia pulang dari pasar dengan belanja yang lebih sedikit dari biasanya. Astuti yang tengah duduk di teras sambil menikmati jus jeruk kesukaannya lantas menatap aneh kepada Mutia.
"Kenapa belanjaanmu hanya segitu?" tanyanya menginterogasi.
"Maaf, Bu, belanjaan terpaksa saya kurangi sebab-"
"Atas perintah siapa kamu mengurangi daftar belanjaan? Uang yang kuberikan sudah pasti cukup bahkan sisa. Kamu kemanakan uangku selama ini?"
"Maafkan saya, Bu, sebenarnya uang belanja pagi ini diambil oleh Weni dan hanya tersisa lima ratus ribu saja. Jadi-"
Lagi-lagi Astuti memotong perkataan Mutia. Sorot matanya menatap Mutia tajam, wajah wanita yang usianya hampir enam puluh lima tahun itu sedikit memerah menahan marah. "Bagaimana bisa, hah? Harusnya kamu melarang Weni mengambilnya. Kamu tahu bukan, kalau itu jatah makan minggu ini?"
"Maafkan saya, Bu."
"Lalu sisa belanja sebelumnya di mana?"
"Untuk beli listrik dua hari yang lalu, Bu."
Mutia menundukkan kepalanya tidak berani menatap wajah mertuanya yang sedang marah.
Astuti menghela napas lelah. Ia lantas menyuruh Mutia segera masuk ke rumah dan melanjutkan pekerjaannya.
Ketika Weni tiba di rumah, Astuti lantas menegur menantunya itu. Melihat barang belanjaan Weni, perempuan itu tahu kalau menantunya habis berbelanja.
"Dari mana saja kamu, Wen?"
"Berbelanja, Bu. Ini barangnya," ujar Weni sambil menunjukkan beberapa paper bag di tangannya.
Astuti meliriknya enggan. "Tadi pagi kamu ambil uang belanja dari Mutia?"
"Enggak kok, Bu. Buat apa aku ambil uang belanja?"
"Mana Ibu tahu, kamu ambil uang itu buat apa karena tadi Mutia ke pasar hanya beli beberapa sayuran saja. Dia bilang kalau kamu mengambil uang belanja dan menyisakan lima ratus ribu saja."
Weni menggeram pelan. "Ibu percaya sama dia?"
"Ya, Ibu memastikan saja, siapa tahu kamu mengambilnya. Lagi pula kalau kamu butuh uang, bilang sama Ibu. Nanti Ibu berikan, tidak perlu kamu ambil uang belanja," ucap Astuti lembut.
"Weni benar tidak mengambilnya kok, Bu," jawab Weni menggeleng. "Ah, pasti akal-akalannya Mutia saja karena dia iri kepadaku, Bu. Aku bisa bebas di rumah ini, tetapi dia tidak bisa," cibirnya kesal.
Astuti mengiyakan. Dia lalu menyuruh Weni agar masuk ke kamar, kepalanya sakit jika harus mendengarkan cibiran dari menantunya yang sangat cerewet.
Hari berikutnya, Mutia diberi uang belanjaan lagi oleh Astuti. Wanita tua itu juga menasihati Mutia agar tidak menuduh orang lain sembarangan dan menyimpan uang dengan benar agar tidak terulang lagi peristiwa yang sama.
Mutia benar-benar berkata jujur, namun ibu mertuanya hanya percaya kepada salah satu menantunya saja. Ia meringis menyadari bahwa tidak ada satu pun penghuni di rumah itu yang memercayainya. Dia hanya dianggap angin lalu dan seorang pembantu saja.
Kali ini Mutia menyimpan uang belanja dengan baik. Dia tidak menaruh uang tersebut dalam dompet karena dikhawatirkan Weni akan mengambilnya lagi. Namun, sejak laporan Mutia terkait sikap Weni yang mengambil uang belanjaan tidak kunjung terulang. Ia bersyukur bahwa perempuan itu telah sadar diri bahwa perbuatannya salah.
Namun, bukan Weni namanya kalau dia jera dengan mudah. Ia sangat membenci Mutia dan menginginkan perempuan itu meninggalkan rumah kediaman suaminya. Perempuan itu telah memiliki sebuah rencana yang akan membuat Mutia menderita karena telah beraninya melaporkannya kepada Astuti.
Pagi itu ketika Mutia sedang memasak di dapur, Weni bangun pagi-pagi sekali. Seperti biasanya, sesudah subuh mertuanya akan olahraga pagi bersama putrinya mengelilingi desa dan kembali pukul tujuh. Tanpa sepengetahuan siapapun, Weni menyelinap masuk ke dalam kamar mertuanya.
Perempuan itu tahu bahwa keluarga suaminya memiliki banyak harta dan mertuanya pun memiliki banyak perhiasan mewah. Weni mengambil sebuah kalung dengan liontin besar dari kotak perhiasan yang tersimpan dalam lemari. Ia tahu di mana mertuanya menyimpan semua perhiasan sebab beberapa waktu yang lalu, ia pernah melihat Astuti mengambilnya dari dalam lemari.
Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, Weni segera keluar lalu masuk ke dalam kamar Mutia. Ia meletakkan kalung mertuanya di bawah bantal lantas bergegas pergi. Ia tersenyum licik melirik Mutia yang sedang sibuk di dalam dapur, membayangkan peristiwa besar yang akan terjadi di rumahnya membuatnya menyeringai lebar.
Beberapa saat kemudian, ibu mertua dan kakak ipar pulang. Seperti biasanya, Astuti meminta Mutia untuk menyiapkan air hangat untuknya membersihkan diri sebelum sarapan bersama.
"Mutia, tolong siapkan air hangat ya, Ibu mau mandi karena hari ini ada arisan bulanan," ujar Astuti sambil menyeka keringat dengan handuk kecil yang melingkar di lehernya.
Weni yang mendengar hal tersebut pun tersenyum riang. Seperti ibu-ibu konglomerat biasanya, ibu mertuanya akan memakai banyak perhiasan saat datang ke arisan tersebut, memamerkan perhiasan yang ia miliki kepada orang lain. Kebetulan sekali, kalung yang diambilnya adalah kalung yang sering dipakai oleh Astuti. Perempuan itu tidak sabar menunggu hal besar akan terjadi.
Mutia yang sedang meletakkan makanan di meja makan mengernyit bingung mendengar percakapan ibu mertuanya di dalam kamar. Dia hanya mengabaikan lantas semakin penasaran ketika Ferian dan Dini masuk bersamaan.
"Ada apa, Bu?" tanya Ferian yang melihat Astuti sibuk membongkar isi lemari.
"Ibu cari apa?" tanya Dini membantu merapikan beberapa pakaian ibunya yang berserakan di atas ranjang.
Astuti berdecak kesal, "Ini loh, Ibu sedang mencari kalung kesayangan Ibu. Biasanya Ibu letakkan di kotak ini bersamaan dengan perhiasan lainnya, kok sekarang tidak ada," ucapnya sambil menunjukkan kotak perhiasan yang tengah dipegangnya.
"Kalung seperti apa, Bu, biar aku bantu cari," ujar Ferian membantu mencari kalung ibunya di dalam lemari.
"Kalung yang berliontin besar yang biasa Ibu pakai, Ferian."
Wanita tua itu menghela napas panjang. Tubuhnya mendadak lemas dan dia terduduk di pinggir ranjang. Dia membiarkan kedua anaknya mencari perhiasannya karena tubuhnya terasa lemah.
"Tidak ada, Bu," kata Ferian setelah meneliti ke sela pakaian dalam lemari dan juga kotak perhiasan. "Ibu yakin menyimpannya di sini?"
Astuti mengiyakan. Tidak ada tempat lain kecuali lemari yang menurutnya tempat paling aman di rumah ini.
"Ada apa, Bu? Weni dengar kerusuhan dari sini."
Perempuan itu datang dengan wajah polos, seolah-olah tidak tahu apa yang sedang terjadi.
"Ibu kehilangan kalung, apa kamu melihatnya?"
Weni menggeleng. "Sudah dicari ke seluruh rumah?"
Astuti, Ferian, dan Dini mengernyit mendengar pertanyaan Weni.
"Belum, untuk apa dicari ke seluruh rumah, Ibu menyimpannya di dalam lemari ini," jawab Dini.
"Bisa jadi ada yang mengambilnya, Mbak, kita kan tidak tahu apa yang terjadi di rumah ini ketika kita semua pergi," kata Weni sambil mengendikkan bahunya. "Coba tanya sama Mutia, mungkin perempuan itu tahu, bukannya dia yang selalu membersihkan rumah?"
Mata Astuti membulat, dia beranjak bangun, dan bergegas menemui Mutia. Perempuan yang ingin ditemuinya menatapnya dengan penuh pertanyaan, sorot matanya menunggu penjelasan.
"Kamu tahu kalung Ibu?"
Mutia menggeleng. "Kalung yang mana ya, Bu? Saya belum pernah melihatnya."
"Jangan pura-pura tidak tahu kamu, Mbak. Setiap hari kamu yang membersihkan rumah ini, siapa tahu kamu ambil kalung Ibu ketika membersihkan kamar kan?" tuduh Weni dengan satu alis yang terangkat.
"Astaghfirullah, mana mungkin aku berani mengambil perhiasan Ibu. Aku hanya sekadar membersihkannya, kamu jangan menuduhku sembarangan, Wen."
Astuti melerai perkelahian antara kedua menantunya. Dia bergegas menuju kamar Mutia untuk mencari kalung kesayangannya sesuai instruksi dari Weni yang menyuruhnya agar mencari di kamar Mutia. Mutia menatap Weni penuh ketidakpercayaan, kedua matanya berkaca-kaca mendengar tuduhan tersebut. Dengan terpaksa, ia mengikuti keluarganya menuju kamar. Mereka mengobrak-abrik semua barang yang ada di kamar Mutia dan menemukan sebuah benda di bawah bantalnya.
"Apa ini?" tanya Dini yang menemukan kalung ibunya di atas ranjang yang tertutup bantal milik Mutia.
Astuti lantas mendekati putrinya, mengambil kalung dari tangan Dini. Wanita itu menggeram marah, dia mendekati Mutia sambil menunjukkan kalung tersebut.
"Jadi kamu mencuri kalungku, Mutia?" tanya Astuti.
"Tidak, Bu, saya bahkan baru melihatnya sekarang. Tadi pagi kalung Ibu belum ada di kamar saya," ujar Mutia ketakutan.
Astuti tidak mendengar perkataan menantunya, amarahnya sudah memuncak, ia melemparkan tangannya menampar pipi Mutia hingga meninggalkan bekas kemerahan di sana.
"Dasar tidak tahu diuntung! Sejak awal aku tidak setuju kalau Ferian menikahimu, ternyata perilakumu sungguh buruk, tidak berbeda jauh dengan orang tuamu!"
Mutia menangis, ia bersimpuh di kaki Astuti. "Ibu, tolong dengarkan saya. Saya tidak mencuri kalung Ibu. Sungguh!"
"Sudah ketahuan mencuri, bukannya meminta maaf malah mengelak. Percuma, Mbak!" Weni menggertak, dia sangat puas dengan rencananya yang berhasil.
"Mas, tolong dengarkan aku. Kamu harus percaya kalau aku tidak mencuri." Kini Mutia berganti bersimpuh di kaki suaminya, berharap lelaki itu mau mendengarkan semua penjelasan dan membelanya.
"Lepaskan! Kamu sudah buat aku kecewa, Mutia!"
Ferian menendang tubuh Mutia hingga terpental menjauh. Lelaki itu keluar dari kamarnya dengan sangat marah, diikuti oleh keluarganya yang lain.
Mutia terisak di dalam kamarnya. Tamparan di pipinya seolah tidak terasa sakit jika dibandingkan dengan fitnah yang dia dapatkan. Ditambah dengan Ferian yang bahkan tidak mau membelanya sedikitpun.
Bersambung ...