Weni pergi ketika sore hari, dia tidak memberitahu ke mana dia akan pergi kepada Mutia yang sedang merawat tanaman di teras rumah. Perempuan itu melengos begitu saja mengabaikan Mutia. Memakai dres kuning yang sedikit ketat, Weni berjalan anggun menggunakan sepatu berhak tinggi. Perempuan itu lantas masuk ke dalam mobil yang sudah menunggunya tak jauh dari rumah Ferian.
Kedatangan Weni disambut pelukan hangat oleh seorang pria, tak luput satu kecupan manis di bibir menggoda Weni terenggut begitu saja, meninggalkan satu ukiran senyum bahagia. Weni membelai wajah pria tersebut sambil menatapnya sayu.
"Nanti saja ya, kita jalan-jalan dulu, oke?" Weni mengangguk. Dengan sigap lelaki itu memasangkan sabuk pengaman pada kursi penumpang di sebelahnya. Weni hanya mengamati dalam diam sembari merasakan detak jantungnya yang berdebar.
Meski sering kali dia bepergian bersama lelaki itu, rasa gugup selalu menjalari tubuhnya. Pesona Adam memang tidak bisa dikalahkan siapapun, termasuk Ferian. Weni selalu menunggu saat di mana suaminya itu tahu bahwa dia bermain di belakangnya bersama pria lain. Rasa gugup dan waspada selalu menghantuinya, dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kepadanya jika Ferian sampai tahu perihal tersebut.
Namun, karena rahasia besar inilah, adrenalin Weni terpacu. Debaran jantung yang tiada henti membuatnya bahagia.
Adam membawanya ke sebuah pantai yang cukup jauh dari desa. Sebelumnya Weni telah meminta izin kepada Ferian bahwa ia akan bepergian hingga malam bersama teman sekolahnya. Bisa dibilang acara reuni yang akan Weni hadiri. Ferian dengan mudahnya memberinya izin tanpa bertanya apa-apa lagi.
Mereka menikmati angin sore di pinggir pantai sembari menunggu senja datang. Duduk di pasir sambil berpelukan melepas rindu. Sudah sangat lama Weni tidak bertemu dengan pria yang menjadi cinta pertamanya itu. Lelaki itu sedang sibuk mengurus bisnisnya yang tengah berkembang, beberapa kali bepergian ke luar kota, dan hanya mengirimkan transferan kepada Weni. Namun, kali ini rasa rindu itu perlahan mulai terlepas, terobati oleh rasa bahagia di antara keduanya.
Awan gelap mulai menutupi jagat raya, surya yang telah bertugas kembali ke peraduannya. Weni sudah berada di dalam sebuah villa yang dipesan oleh Adam. Tempat itu akan menjadi surga duniawi untuk mereka melepas kerinduan dan hasrat masing-masing. Weni menginginkan Adam, begitu pun sebaliknya.
"Kamu nggak takut suamimu akan marah?" tanya Adam membelai wajah Weni di atas tubuhnya .
"Aku takut-," ujar Weni merengkuh tangan Adam pada wajahnya, memberinya kecupan ringan. "Tetapi aku lebih takut kehilanganmu, Mas."
Adam tersenyum. Dia menarik tengkuk perempuan itu dan menciumnya dalam.
"Kenapa kamu tidak pergi saja darinya?"
"Nanti. Sekarang bukan waktu yang tepat karena aku belum memiliki hartanya sepeser pun. Di rumah juga masih ada si babu yang susah sekali diusir," ujar Weni menggerutu. Dia memainkan jari telunjuknya pada dada bidang Adam yang terbuka, membuat pola abstrak di sana. "Kamu mau lagi nggak, Mas?"
Adam tersenyum lebar. Dengan cepat ia membalik tubuh kurus Weni agar berada di bawahnya.
Ada kisah di mana lelaki itu tidak bisa menikahi gadis pujaan hatinya, yakni ketika Ferian lebih dulu mengutarakan niatnya dibandingkan dirinya. Adam yang telah mempersiapkan semuanya ternyata masih kalah cepat oleh Ferian. Kesibukannya mengalahkan semua urusan asmara dan membuat Adam mau tidak mau harus menerima Weni sebagai istri orang lain. Meski begitu, rasa cintanya masih sama sejak kali pertama dia merenggut kehormatan perempuan itu.
Adam adalah laki-laki pertama yang berhasil menikmati indahnya sebuah kehormatan bersama Weni. Usia mereka terpaut cukup jauh, sebab Adam lebih tua dibandingkan dengan Ferian. Namun, lelaki itu masih saja terlihat tampan dan semakin dewasa di usianya yang tidak muda lagi. Weni selalu tergila-gila kepada lelaki itu, pelayanannya yang memuaskan, perhatian, dan kasih sayang serta cinta tidak pernah putus untuknya.
Malam itu menjadi malam panas bagi mereka yang dimabuk cinta. Tidak ada penyesalan atas apa yang sudah diperbuat oleh keduanya. Weni tidak merasa bersalah kepada siapa pun, baik itu kepada suaminya sendiri. Selagi ia masih bisa menikmati hidupnya dengan cara apa pun, dia tidak akan pernah menyesal. Bersama Adam, dia merasa bagaikan seorang ratu yang dipuja.
***
Ferian berdecak kesal duduk seorang diri di depan meja bar. Segelas minuman berakohol telah ditenggaknya beberapa saat yang lalu. Tangannya sibuk bergulat dengan gawai mencoba menghubungi seseorang yang kunjunh tidak ada jawaban. Dia lantas menuangkan kembali minuman berakohol dari dalam botol, meneguknya cepat. Kini kesadarannya mulai berkurang, kepalanya berputar-putar, dan badannya sempoyongan. Dia berjalan menghampiri seorang teman dan menyuruhnya pulang.
Ferian diantar pulang oleh temannya yang tidak mabuk. Lelaki itu tiba di rumah pada dini hari, di mana semua orang telah terlelap. Dia mengetuk pintu rumahnya kencang sambil berteriak agar seseorang membukakan pintu untuknya.
Mutia yang sudah terlelap akhirnya terbangun dari tidurnya karena mendengar suara gaduh dari luar rumah. Dia bergegas bangun ketika mendengar suara yang dikenalnya. Dengan cepat ia membukakan pintu depan agar Ferian bisa masuk. Betapa terkejutnya ia melihat penampilan suaminya yang berantakan. Kemeja yang dikenakannya sudah terlepas beberapa kancing dan dasinya pun telah berputar sembarangan.
Dia dengan sigap memapah tubuh suaminya yang tidak bisa berjalan dengan benar. Aroma alkohol menguar dari pernapasan Ferian membuat Mutia mengernyitkan keningnya heran. Dia lantas membawa Ferian menuju kamar dan menidurkannya. Mutia memandangi suaminya penuh pertanyaan, sebab yang dia tahu Ferian tidak pernah mabuk seperti itu. Dia lantas menarik selimut untuk menutupi tubuh Ferian yang tertidur. Namun, tangannya justru ditarik oleh suaminya ketika ia hendak keluar, membuat tubuh Mutia terhempas ke ranjang.
Ferian tidak sadarkan diri dengan apa yang dia lakukan kepada Mutia. Mutia meronta agar lelaki itu melepaskan dirinya, namun tenaga Mutia begitu kecil. Dia hanya pasrah menerima sentuhan Ferian untuk pertama kalinya. Ada rasa bahagia yang menjalari tubuhnya setelah sekian lama akhirnya Ferian memenuhi tanggungjawabnya sebagai seorang suami, namun ia sedih karena lelaki itu mengambil kehormatannya dalam keadaan tidak sadar.
"Mas, sudah hentikan!"
Ferian bergeming. Dia masih sibuk dengan aktivitasnya. "Diam! Aku menginginkanmu Mutia!"
Mutia menahan semua gejolak yang merasukinya, dia tidak ingin membangunkan orang-orang rumah dengan suara berisiknya. Sekuat tenaga dia mengunci mulutnya agar tidak mengeluarkan erangan akibat perlakuan Ferian, namun lelaki itu tidak membiarkan Mutia dan terus beraksi hingga satu erangan kecil lolos dari mulutnya.
"Jangan kamu tahan, Sayang! Berteriaklah agar aku senang!"
Paginya, Mutia bangun lebih awal dan bergegas keluar dari kamar Ferian. Dia tidak ingin lelaki itu tahu bahwa semalam mereka telah tidur bersama. Mutia keluar dengan rasa sakit pada tubuhnya. Pukul dua malam dia baru bisa tidur dengan nyenyak setelah kelelahan. Pikirannya pun berkenala memikirkan Weni yang semalaman tidak pulang ke rumah.
Baru saja terlintas akan perempuan itu, seseorang mengetuk pintu rumahnya. Mutia terkesiap, pasalnya masih subuh dan sudah ada orang yang bertamu. Setelah merapikan penampilannya, Mutia pun membukakan pintu dan terkejut melihat Weni yang baru saja pulang.
"Dari mana saja kamu semalam?" tanya Mutia menginterogasi.
Weni berlalu begitu saja melewati Mutia yang masih berdiri dengan raut wajah penasarannya. "Sudah diam, jangan tanya-tanya lagi! Jangan katakan kepada siapa pun kalau aku tidak pulang semalam. Mengerti?" Perempuan itu lantas masuk ke dalam kamarnya.
Mutia tersadar bahwa Ferian masih belum mengenakan pakaiannya. Dia menutup mulutnya yang menganga, rasa gugup dan takut menjalari tubuhnya. Dia takut jika Weni akan menyadari hal tersebut.
Bersambung ...