Alvarendra

Aku adalah keturunan dari keluarga Pratama. Alvarendra Putra Pratama. Dan aku adalah pewaris tunggal. Kekayaan keluargaku sudah tak usah ditanyakan lagi. Yang pasti harta keluarga ku tidak akan habis sampai tujuh turunan.

Sedari kecil aku memang hidup serba ada. Dan semua kebutuhanku aku hanya meminta disiapkan para pembantu di rumah. Rumahku bak istana. Hingga mungkin ada kurang lebih sekitar dua puluh orang pekerja dirumahku.

Ini masih satu rumah. belum lagi rumah peninggalan kakek ada dimana-mana.

Aku cenderung anak yang egois dan semauku sendiri. Tapi sedari kecil aku sudah berpendidikan sekelas anak luar negeri. Aku punya dispilin yang baik dan yang pasti aku sangat menghormati orang tua. Percuma sekolah pintar tapi gak punya attitude dan tata krama terhadap orang yang lebih tua. Ya kan?

Tapi, entah kenapa aku tidak tertarik dengan wanita yang sekelas denganku. Malah tertarik dengan gadis anak dari rekan kerja Ayah. Sebenarnya orang tuanya cukup kaya. Tapi tidak sebanding denganku. Aku sombong? Yeaah. Orang kaya sombong itu lumrah, karena ada yang patut di sombongkan. Lain lagi kalau miskin tapi sombong, what a shamed!.

Flash back.

"Rendra, besok malam ikut acara makan malam keluarga. Ada hal penting yang akan disampaikan besok. Dan kamu harus tahu akan hal itu," ucap Ayah setelah selesai dengan sarapannya. Aku berdiri dan membungkukkan badan saat Ayah berdiri hendak ke kantor.

"Baik, Ayah," jawabku.

"Dan ingat jangan sampai kamu tidak hadir!" lanjutnya lagi sambil menepuk bahu ku pelan. Dan setelahnya berlalu dari hadapanku.

"Pasti ayah," jawabku sambil menundukkan kepala.

******

Acara makan malam kami ternyata di salah satu restoran mewah di pusat kota. Dan lagi yang tak aku ketahui adalah, bukan hanya Ayah, ibu dan aku saja di atas meja makan, melainkan Ayah juga mengundang rekan kerjanya. Dan lihat siapa gadis manis itu.

Aku memandangnya intens dengan gadis yang duduk di hadapanku. Tapi mungkin dia merasa tak nyaman denganku. Sehingga Aku mengalihkan pandangan darinya. Kami makan bersama dengan santai dan sesekali Ayah mengajak rekan kerjanya berbincang ringan, terkadang tawa menyelimuti percakapan mereka. Aku hanya melirik gadis yang di depanku, namun dia hanya fokus pada makanannya.

Sungguh mungkin ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Entah apa yang membuatku tertarik dengan gadis belia itu. Tapi hatiku sudah terpaut dengannya. Selama ini aku tak pernah mau tahu dengan yang namanya makhluk wanita atau sejenisnya.

Tapi begitu melihat Gadis di depanku, rasanya semua pandangan dan fokusku hanya tertuju padanya. Anaya. Begitu Om Arya memperkenalkannya padaku dan pada kedua orang tuaku. Ayah menyuruhku mengajak jalan-jalan di taman yang ada di belakang restoran. Karena Ayah bilang ia akan membicarakan bisnis. Tapi sepertinya aku tahu kemana arah pembicaraan mereka. Perjodohan dan penggabungan dua perusahaan. Itu yang terlintas dalam benakku.

Sekalipun aku dipaksa menikah dengan Anaya hari ini, aku akan dengan senang hati menerimanya. Melihat betapa cantiknya dan baik hati gadis sepertinya. Pandanganku tak pernah salah. Aku selalu benar dalam menilai seseorang hanya dari mata dan gestur tubuhnya.

"Hai," sapaku sambil berjalan kecil disamping Anaya. Sedang kedua tanganku, kumasukkan dalam kantong celana.

"Hai," jawabnya sambil melirik sebentar kearahku. Aku tersenyum.

"Aku Rendra," ucapku memperkenalkan diri.

"Yah.. Aku sudah mendengarnya tadi," jawab Anaya acuh.

"Ya. Tapi kita belum kenalan secara pribadi."

"Kau sudah tahu namaku."

"Oke. Bolehkah aku mengenalmu lebih jauh lagi?"

"Seperti apa maksudmu?"

"Kita berteman dulu. Coba saja."

"Apa kau tidak takut, jika aku berteman denganmu hanya karena hartamu saja?" tanya Anaya membuatku menghentikan langkah. Aku tersenyum kecut. Lalu menatapnya intens.

"Lakukanlah. Aku tidak keberatan," jawabku menantangnya.

"Hah. Sombong sekali anda," ucap Anaya ketus. Aku tahu Anaya mungkin berpikir aku adalah anak arogan yang hanya menggunakan harta keluargaku saja. Lalu kami kembali berjalan lagi.

"Aku tahu kamu bukan gadis seperti itu," tebakku.

"Terima kasih atas pujiannya."

"Jadi, maukah berteman denganku?" tanyaku lagi.

" Entahlah. Aku takut hanya ingin hartamu saja," jawabnya dingin. Sungguh sepertinya gadis ini sengaja membuatku ilfil dengannya.

Padahal jika ia hanya ingin hartaku saja itu tidak masalah. Akan aku berikan apapun yang dia mau. Aku tersenyum geli karenanya. Membuatku semakin tertarik padanya.

"Oh. Ayolah. Aku tak keberatan jika itu maumu," ucapku sambil menahan tangannya.

"Lepaskan tanganku!" ucapnya mulai marah.

"Oke," kataku cepat melepas tanganku ditangannya.

Aneh bukan? Disaat semua wanita mengejarku, tapi hanya Anaya yang bersikap acuh dan dingin padaku.

Kami kembali menuju orang tua kami karena hari sudah mulai larut. Dan tetiba saja Ayahku dan Om Arya, Ayah dari Anaya sempat menyinggung sesuatu.

"Sampai jumpa lagi, Pak Arya. Semoga kerjasama kita berhasil. Dan kita harus segera mengatur acara untuk putra-putri kita," ucap Ayah saat bersalaman dengan Om Arya. Beliau meraihnya dan tertawa sumringah menyambut salam Ayahku.

"Tentu saja, Pak Pratama, dengan senang hati. Kita akan segera mengatur semuanya," jawab Om Arya.

Well!! Dugaanku benar bukan? Aku tersenyum senang sembari melirik Anaya. Tapi tidak dengan gadis itu. Dia memperlihatkan tatapan permusuhan terhadapku. Oh baiklah. Aku suka tantangan itu.

Flash back Off.

" Apa semua sudah beres?!" tanya Rendra pada anak buahnya.

"Sudah beres, Bos. Kami melakukan seperti yang Bos inginkan," jawab anak buahnya.

"Bagaimana keadaanya sekarang?" tanyanya lagi.

"Sesuai dugaan, Pemuda itu sangat terkejut dengan keadaan usahanya, " jawab anak buahnya.

"Bagus. Jangan sampai dia mengetahuinya," ucap Rendra lagi. Lalu melambai tangannya menandakan anak buahnya untuk segera pergi.

"Ini baru permulaan Ardhan Cahyo Aji Pamungkas, tunggu kejutan selanjutnya," ucapnya dengan seringai iblis.

******

Anaya sedang bersiap untuk pulang. Setelah acara pembukaan Toko baru kemarin, Anaya dipindah tempatkan bekerja di Toko Baru. Dan kemarin Anaya diberi amanat menjaga Toko tersebut oleh Bu Bosnya. Alias menjadi Kepala Toko . Awalnya Anaya menolak, karena ia merasa masih pegawai baru. Tapi, Bu Inah mendesak Anaya hingga mau tidak mau Anaya menerimanya.

Berhubung sepeda motor Anaya sedang berada di bengkel. Anaya berjalan menuju Halte Bis. Saat sedang berjalan, tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat disisinya. Anaya bingung dan bertanya-tanya

"Mobil siapa ini?" gumamnya.

Anaya berhenti dan memperhatikan mobil tersebut. Lalu tetiba saja seseorang keluar dari mobil tersebut. Anaya terkejut dan menegang saat melihat pria di depannya. Anaya bersiap hendak meninggalkannya. Namun, pria itu sudah lebih dulu mencekal tangannya.

"Hai, Cantik? Lama tak bertemu," ucap pria itu sembari tersenyum.

"Lepaskan tanganku!" ucap Anaya geram.

"Akan aku lepaskan, jika kau ikut denganku," ucap Rendra sinis serta mendorong Anaya agar masuk ke mobil. Dan segera mengunci otomatis sebelum ia naik ke mobil.

"Buka mobilnya, atau aku akan teriak!" cecar Anaya saat Rendra sudah duduk di balik kemudinya.

"Hahaha, ... Berteriak lah sesukamu sayang. Tak akan ada yang mendengarmu," seringai Rendra dan segera melesat membelah jalanan. Dari kejauhan Ardhan melihat Anaya bersama seorang lelaki menaiki mobil yang membuatnya terbakar cemburu.

"Apa maumu, Tuan Rendra yang terhormat!" tanya Anaya dingin.

" Jangan terlalu formal begitu. Aku ini calon suamimu sayang," ucap Rendra dengan tetap fokus pada kemudinya.

"Dalam mimpimu!"

" Diamlah. Kalau kau menurut, aku tak akan menyakitimu. Sudah cukup sabar aku selama ini. Kau pikir aku tidak tahu dimana kamu selama ini?!" tanya Rendra geram. Ia sudah tak sabar lagi.

"Kau mengikutiku?!"

"Aku hanya memberimu waktu sampai kau siap. Tapi apa? Kamu malah asyik dengan lelaki brengsek itu?!"

"Brengsek siapa maksudmu?!"

"Lihat saja, apa yang akan aku lakukan padanya jika kau tak menurut padaku!!" Ancam Rendra pada Anaya.

" Jangan berani macam-macam pada Ardhan. Atau..."

"Atau apa?!!!" Rendra berhenti mendadak lalu menatap Anaya bengis.

"Kau bisa melindunginya?!!" tanya Rendra lagi. Anaya mulai merasa tidak aman berada di sisi Rendra. Anaya takut. Dan ia mulai menangis.

" Please, turunkan aku. Aku mau pulang." Anaya terisak.

Rendra menghela napas panjang. Meraup muka kasar dan memukul setirnya.

" Sorry, Nay. Aku terlalu emosi. Maaf," ucap Rendra mulai melunak.

"Kau mengerikan!" lirih Anaya.

"Aku tak akan begini jika dulu kau mau menikah denganku Anaya Paramitha!" kata Rendra sambil melajukan kembali mobilnya. Hati yang melunak tadi hilang entah kemana. Saat ini dirinya hanya ingin Anaya.

"Akan aku tunjukkan sesuatu, agar kau berpikir kembali untuk mau menikah denganku," ucap Rendra sinis.

"Jangan macam-macam, Rendra!" Anaya takut karena Rendra membawa mobil dengan kecepatan tinggi. Membuat Anaya mengeratkan pegangan pada seat belt dan kursinya.

"Rendra Stop!!!" Anaya berteriak. Perutnya serasa mual karena Rendra mengemudi bak orang kesetanan.

"Stooopppp!" Anaya berteriak kencang untuk menghentikan Rendra.

Rendra menginjak rem nya saat Anaya berteriak. Nafasnya tersengal karena amarah yang menggebu.

"Apa kau mau membunuhku?!!!!" teriak Anaya kesal.

"Ya!!! Akan aku lakukan itu jika perlu! Agar tak ada satupun yang bisa memilikimu!!!" ucap Rendra seraya menatap tepat di bola mata Anaya.