10. Deep talk

Kanzo menundukkan wajahnya sedalam mungkin, bahkan jika ia mampu, ia ingin pergi ke perkampungan Badui atau kutub Utara agar wujudnya hilang dari depan sang Abi.

"Kak Kanzo keberatan buat cerita, Abi. Dia malu," celetuk Kahlil dengan nada tinggi.

"Bisakah kau menutup mulutmu untuk saat ini. Kahlil?" desis Kanzo yang sedikit emosi.

"Kanzo, aku abimu dan kau anakku. Itu bisa dijadikan alasan kuat untukku memintamu menceritakan yang sebenarnya padaku, kan? Pada Abi yang katanya paling tampan di dunia ini?" tanya Khaidar setengah bercanda, membuat putra-putrinya ikut tertawa.

"I.. itu.. itu ." Kanzo menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak terasa gatal, ia bisa saja menjelaskannya, tapi ia tak tahu harus dimulai dari mana.

"Itu?" tanya Khaidar meminta penjelasan lebih lanjut.

"Itu.." Kanzo menelan ludahnya susah payah. Tatapan intimidasi dari sang Abi, serta tatapan menuntut dari para saudaranya membuat lidahnya kelu, meskipun tatapan itu disertai senyum hangat.

"Duh Kanzo.. kelamaan!" gerutu Aya yang sedari tadi memang berusaha menahan rasa ingin tahunya.

Begitu juga dengan Aleeya yang mulai kehabisan stok kesabarannya.

"Namanya, Atha Jeremia Stasya, bukan?" Akihiro angkat suara, tapi tatapan matanya terarah ke layar ponselnya. Agaknya, dia baru saja membaca data anak-anak yang tinggal di panti.

Akihiko yang mendengar itu meringis samar, "Terdengar seperti, maaf.. nama seorang non muslim," lirih Akihiko.

"Atha memang mualaf," bisik Kanzo lirih di tengah keheningan yang memporak-porandakan tatanan hatinya.

Saudara-saudaranya terpekik kaget, berbeda dengan reaksi sang Abi yang hanya tersenyum kalem seolah sudah bisa menebak apa yang terjadi. Tatapannya bahkan tak beralih drai Kanzo yang saat ini bertingkah seolah pencuri yang baru saja tertangkap membawa kabur suatu barang yang amat berharga.

"Apa kau tertarik padanya, Kanzo?" tanya Khaidar hati-hati.

Kanzo menghembuskan nafasnya sepelan mungkin, berusaha agar tak tampak sesak di depan sang Abi. Sedangkan di saat yang sama, wajah cantik Atha terbayang. Mata merahnya, hidung mancungnya, bulu mata lentiknya, dan..

Kanzo menggeleng pelan, berusaha menghilangkan bayang-bayang tersebut.

Suara kekehan pelan dari arah Khaidar duduk, benar-benar membuat bayangannya tentang Atha terhapus. Kanzo menatap Khaidar gamang, perasaannya sulit digambarkan sekarang.

"Abi marah?" tanya Kanzo hati-hati.

Khaidar menggeleng dengan tawa yang tertahan, "Tidak, tidak! Aku tidak akan marah hanya karena masalah sepele ini."

Ai menutup mulutnya, "Apanya yang sepele, Bi? Kanzo menyukai seorang gadis itu masalah besar!" sorak Ai tak terima.

Khaidar menggeleng lagi. "Aku justru bersyukur karena itu, Ai. Itu artinya, esok hari aku tak akan repot mencarikan jodoh yang pantas untuknya, dia sudah punya pilihannya sendiri," kelakar Khaidar tetap dengan tawa di ujungnya.

"Abi.." lirih Kanzo memelas, berharap sang Abi menghentikan candaannya, ia sudah kelewat malu.

Khaidar mengangguk-angguk, "Jelaskan padaku sedikit tentang Atha, jika kau tak keberatan," pinta Khaidar.

"Atha seumuran denganku, Abi. Masuk panti ini sejak dua tahun yang lalu, ayahnya orang Roma, dan ibunya asli China. Atha juga penghafal Qur'an dan hadist-hadist. Cantik kok anaknya, albino," cerocos Kahlil panjang lebar.

Membuat Aleeya yang mendengarkan, berdecak takjub.

"Boleh aku menemuinya?!" Pertanyaan yang sebenarnya ingin dilontarkan Aleeya terlebih dahulu diucapkan Ai.

Kanzo menggeleng spontan, "Atha lagi sakit."

"Sakit apa?" tanya Khaidar.

"Iya Abi, Atha sakit. Kakinya terkilir, habis jatuh di belakang sana. Entah kenapa, tapi yang pasti, waktu itu, Atha bareng sama kak Kanzo. Terus, kak Kanzo gendong deh, Atha ke klinik," sahut Kahlil menjelaskan sejelas-jelasnya.

"Aku membawanya dengan kursi roda, Kahlil," ralat Kanzo mulai geregetan.

Kahlil mengangkat kedua bahunya dengan senyum santai tanpa dosa, "Sama saja, sebelumnya, kau sempat menggendongnya, kan?"

Kanzo yang di sampingnya, berusaha untuk tak menjahit mulut adiknya.

"Aku hanya kebetulan berada di sana, Kahlil. Jangan membuat Abi berpikir aneh-aneh tentangku," ketus Kanzo jengkel.

Kahlil terbahak, "Aku hanya mengatakan apa adanya, Kak! Aku kan tidak menceritakan kamu yang cemas tentang Atha sudah tidur atau belum, sedang apa, dan bersama siapa, lalu bagaimana jika ia sendirian sedang ia butuh sesuatu. Lalu bilang, kalo ga sabar bakal ke sana buat jenguk? Aku kan-"

Kanzo bangkit berdiri, membuat Kahlil terdiam dan sadar apa yang diucapkannya.

"Afwan,"¹ cicit Kahlil takut.

Kanzo menatap Kahlil penuh amarah. Namun, tawa sang Abi membuat atensinya teralih.

"Aku tak tahu harus ikut meledekmu atau mendukungmu, Kanzo. Tapi, benar-benar ingin tahu bagaimana Atha, kalau tidak, bagaimana aku bisa merestuimu?" sela Khaidar membuat Kanzo benar-benar merasa terjepit.

"Ya! Aku sebagai calok iparnya sudah seharusnya menemuinya untuk menentukan apakah ia lulus seleksi atau tidak," sahut Ai, diimbuhi sorakan antusias dari saudara-saudaranya yang lain.

[{}{}{}]

"Kalau seandainya peri itu benar-benar ada, di mana ia tinggal?"

Pertanyaan Maise membuat senyum Atha kembali. Atha menolehkan kepalanya ke arah kanan, di mana Maise duduk.

"Kenapa Bibi bertanya seperti anak kecil, sih?" tanya Atha di sela-sela tawanya. Di matanya, Maise saat ini seperti anak kecil berumur 4 tahun yang bertanya pada ibunya mengenai film fantasi yang baru saja ia tonton.

Maise mengangguk dan menatap Atha dengan wajah polos. "Aku memang sudah tua, Nak, tapi entah kenapa, otak ini tak bisa berpikir statis seperti orang-orang tua kebanyakan," adu Maise dengan nada yang terdengar menggemaskan.

Atha mengangguk-angguk dan tersenyum. "Entah mereka benar-benar nyata atau tidak, aku bisa menebak mereka berkemungkinan besar akan tinggal di mana," balas Atha.

Maise mengangkat pandangannya ke arah Atha, lalu menyatukan kedua alisnya. "Apakah kau percaya bahwa mereka benar-benar ada?" tanya Maise.

Atha menghela napas pelan, ia menatap Maise dengan sorot mata redup, ingatan masa lalunya mengenai hal semacam ini kembali menghampirinya. "Aku tak tahu harus percaya atau tidak, masalahnya, sejak kecil aku dididik untuk berpikir realistis. Aku tak punya waktu untuk berkhayal tentang vampir, putri duyung atau apa lah yang biasanya anak-anak lain pikirkan."

Mendengar itu, Maise mengangguk faham. Selama ia mengenal Atha, ia sendiri tak mendapati gadis itu berfantasi mengenai makhluk mitos. Jika Atha mengkhayal, ia hanya akan berpikir mengenai rahasia bumi, konspirasi alam semesta, dan isi-isi serta makna lain yang tersembunyi dalam Al-Qur'an.

Seekor kupu-kupu dengan sayap tembus pandang, terbang melintas di antara mereka.

"Subhanallah," ucap Maise dengan tatapan yang tak lepas dari kupu-kupu tersebut.

Atha tersenyum kecil pada kupu-kupu yang terbang rendah ke arahnya. "Glasswinged butterfly, begitu orang-orang di negeriku dahulu menyebutnya," celetuk Atha memberi tahu.

"Kau mempelajarinya?" tanya Maise.

Atha menggeleng. "Aku hanya tak sengaja melihat kupu-kupu jenis ini saat aku tur di museum dulu."

Kupu-kupu tersebut terbang semakin dekat ke arah Atha, lalu hinggap di jari lentik Atha. Maise menatapnya semakin lekat, mengagumi setiap inci sayap kupu-kupu itu.

Atha menggerakkan jarinya pelan, membuat kupu-kupu itu mengepakkan sayapnya dan terbang menjauh.

"Kenapa tak membiarkannya hinggap lebih lama?" tanya Maise penasaran.