"Terima kasih ya, Ren."
"Iya. Em, orang tua kamu sudah lama kerja di sini."
"Iya?"
"Ini rumah majikan orang tua kamu, kan?"
Jeha menggeleng membuat Reni heran.
"Ini rumah Papa sama Mama aku, Ren."
Rumah papa dan mamanya. Itu artinya, Jeha bukan dari keluarga kurang mampu. Tapi kenapa?
"Em, kalau begitu boleh ak-"
"Ren, maaf ya aku harus masuk dulu. Sekali lagi terima kasih."
"Eh?"
Jeha berlari masuk setelah membuka pintu pagar. Meninggalkan Reni yang masih duduk di motornya.
"Hah? Apa ini?"
Jeha memang tak pernah bilang jika ia berasal dari keluarga kurang mampu. Tapi dari penampilan, barang, dan semua yang ia lakukan membuat orang lain pasti mengira jika Jeha dan keluarganya bukan dari kalangan atas.
Reni mengelus tenggorokannya. Di sini terasa kering dan serak.
Ia terlalu berharap lebih pada Jeha. Nyatanya orang itu sama sekali tak peka dengan keadaan Reni. Barang menawarkan minum, bukan menawarkan mampir saja tidak.
Ini kah balasan dari kebaikan Reni selama ini. Bahkan ia harus kehausan karena membayarkan iuran kas anak orang kaya ini.
Reni merasa kesal sendiri. Ia menutup kaca helm dan menyalakan motornya kembali. Lalu meninggalkan depan rumah Jeha dengan kecepatan tinggi.
Orang seperti Jeha memang tak pantas dikasihanni.
***
Jeha berlari masuk rumah. Padahal masih setengah hari tapi ia telah banyak berlari hari ini.
Ia masuk melalui pintu samping. Karena biasanya pintu ini tak dikunci. Sampainya di ruang keluarga, Jeha bertemu papanya yang sedang memakai jaket.
"Papa tunggu di luar." Lalu pergi melewati Jeha begitu saja. Apa tak ada waktu bagi Jeha untuk istirahat sejenak.
Jeha menghembuskan nafasnya, ia kemudian berjalan ke arah kamarnya yang ada di dekat dapur. Ia mengganti seragamnya dengan pakaian biasa dengan cepat.
Sebelum keluar, Jeha menyempatkan diri untuk mengambil botol air minumnya. Ia perlu mengisi perut walah hanya seteguk air.
Begitu Jeha telah masuk ke mobil. Papa segera mengendarainya menuju rumah sakit. Tak ada percakapan di antara keduanya.
Ingin sekali sebenarnya Jeha berbicara santai kepada papa. Tapi Jeha takut jika diabaikan seperti yang sudah-sudah.
Apa anak lain juga seperti ini saat bersama kedua orang tuanya. Sepertinya tidak, sepertinya hanya Jeha yang mengalami ini.
***
Mobil yang Jeha dan papanya tumpangi telah masuk ke area rumah sakit.
Papa terlebih dahulu keluar dari mobil dan langsung masuk ke area rumah sakit. Jeha menusul di belakangnya dengan langkah kecil.
"Pa, lama banget sih." Terdengar suara mama yang kesal karena kedatangan papa. Papa diam saja saat istrinya mengomel.
"Bagaimana, Pak, Bu?"
Dokter Kemal yang biasa menangani kakaknya keluar dari ruang tindakan. Beliau memakai baju hijau dengan penutup kepala.
"Anaknya sudah di sini, Dok." Kata mama seraya mendorong badan Jeha pelan.
"Baik, silakan lewat sini, Jeha."
Jeha mengangguk. Ia mengikuti dokter Kemal dari belakang menuju ruang pemeriksaan.
"Papa kembali ke kantor dulu, Ma. Masih banyak kerjaan."
"Iya, hati-hati, Pa."
***
"Saya cek dulu ya."
Jeha tersenyum, ia sudah melepas cardigan yang tadi melapisi baju lengan pendeknya. Dokter kemal mulai memeriksa tensi darah, detak jantung Jeha.
"Jeha pusing?"
Sontak Jeha menggeleng, ia tak pusing hanya lapar.
"Enggak, Dok."
Dokter Kemal mengernyit, tidak pusing tapi kenapa pucat. Suhu badannya pun tidak panas.
"Sudah makan?"
Jeha kembali menggeleng, ia belum makan dari tadi pagi. Dapat ia dengar helaan nafas dari dokter Kemal.
"Saya tidak bisa ambil darah kamu, kalau kamu tidak dalam kondisi fit."
Lalu, Jeha harus apa?
"Suster, tolong ambilkan makanan di pantry."
Suster mengangguk, dan segera keluar dari ruangan.
"Tapi, Dokter? Bukannya akan lama jika menunggu saya makan dulu."
Dokter kembali memusatkan perhatiannya ke Jeha.
"Saya tidak mau ambil risiko, Jeha. Bukannya saya sudah bilang, sebagai pendonor kamu harus selalu menjaga pola makan."
Jeha menunduk. Pola makanannya berantakan. Semoga kakaknya dapat menunggu sampai ia selesai makan.
Pintu diketuk dan suster datang dengan pegawai rumah sakit yang bertugas di pantry. Di sana ada makanan bergizi untuk Jeha makan.
"Habiskan Jeha! Atau saya tidak bisa ambil darah kamu."
Jeha menurut saja. Bahkan dokter Kemal duduk menunggunya makan. Jeha jadi tak enak karena merepotkan.
Dokter muda itu terus menatap ke arah Jeha.
***
"Hati-hati sayang."
Miranti, atau akrab disapa Mira dituntun sang mama untuk turun dari tempat tidur pasien. Ia telah selesai melakukan cuci darah yang selalu rutin dilakukan setiap senin.
"Semangat ya, Mira." Dokter Kemal memberi dukungan serta senyum untuk pasiennya.
"Pasti, Dok. Terima kasih."
"Sama-sama. Mari saya antar."
Suster membuka pintu ruangan. Jeha yang duduk di kursi tunggu depan ruangan berusaha berdiri. Pandangannya sedikit kabur kala ia mencoba bangkit dari duduknya.
"Ayo sayang, pelan-pelan. Nah, itu Abang Dika sudah datang."
Jeha menoleh mendengar nama kakak pertamanya disebut. Lelaki yang sedang menempuh pendidikan sarjana dua itu berjalan menuju ke arah mereka.
Sampai di sana, abang menyapa dokter Kemal.
"Terima kasih, Dokter Kemal."
Mereka adalah senior dan junior di kampus. Pasien pertama dokter Kemal semenjak ia berada di rumah sakit ini adalah Mira. Dan Mira telah berganti dokter sebanyak tiga kali.
"Siap, Bro. Lancar, kan?"
"Doanya, Bang."
Mereka sama-sama tersenyum.
"Kalau begitu, kami pamit dulu Dokter. Terima kasih sekali lagi."
"Sama-sama Ibu. Hati-hati."
Mira dituntun oleh abang dan mamanya. Jeha giliran pamit pada dokter Kemal.
"Mari, Dokter."
Jeha sudah beberapa langkah, tapi panggilan dokter Kemal menghentikan langkahnya.
"Jeha!"
"Ya, Dok?"
"Ingat pesan saya. Kamu harus menjaga pola makan."
"Baik, Dok."
"Satu lagi, jangan lupa diminum obat penambah darahnya."
Jeha mengangguk dan segera berlalu mengukuti keluarganya menuju tempat parkir. Pandangannya sedikit berkunang-kunang karena hal ini.
Saat melewati lorong ruang melati, ia duduk sebentar karena merasa lemas.
"Aduh." Ia memegang kepalanya yang berdenyut. Jeha membuka botol minumnya yang tersisa setengah.
Setelah merasa cukup beristirahat, Jeha kembali melangkah. Ia takut jika ditinggal oleh mamanya.
***
"Mana ini anak. Lelet banget." Mama menggetutu kala Jeha tak kunjung keluar.
"Ayo, Dik. Tinggal saja anak itu!"
"Jangan, Ma. Tunggu sebentar, Ma. Mungkin Jeha sedang ke kamar mandi, Ma."
Mira tak tega meninggalkan adiknya. Pasti gadis kecil kesayangannya itu merasa pusing akibat pengambilan darah tadi.
Dalam hatinya Mira berterima kasih sekaligus minta maaf karena selalu menyusahkan orang di sekitarnya, terutama Jeha.
"Nah, itu Jeha."
"Kenapa enggak sekalian nginep!"
Kalimat pedas mamanya menyambut Jeha. Jeha meminta maaf, dan segera membuka pintu jok samping sopir.
Mobil yang dibawa abangnya keluar dari area rumah sakit.