WebNovelJehani2.11%

Teman Baru

Hari selasa, hari kedua sekolah kembali. Jeha dapat bernafas lega karena bibi telah sampai di rumah sejak kemarin sore. Huh, untung urusan bibi telah selesai jadi beliau segera kembali untuk bekerja.

Jeha telah membersihkan ruang depan, ruang tengah, dan juga mencuci peralatan dapur. Sebenarnya bibi sudah melarang tapi Jeha tetap melakukan tugas itu. Ia harus berangkat pagi untuk hari ini karena ia akan berjalan kaki.

"Bi, Jeha berangkat dulu ya."

"Hati-hati ya, Mbak."

Jeha mengangguk. Ini masih pukul enam lebih sedikit, para penghuni rumah lainnya belum selesai bersiap.

Sebelum berangkat, Jeha lebih dulu menemui mamanya di kamar lantai atas. Ia harus meminta uang saku untuk hari ini.

Tok! Tok! Tok!

"Sebentar!"

Suara mama terdengar, lalu tak lama pintu di depan Jeha terbuka. Menampilkan raut wajah mama yang datar. Mama hanya menaikkan alisnya sebagai ungkapan tanya, ada perlu apa anak ini mengetuk pintu kamar.

"Maaf, Ma. Jeha mau pamit berangkat sekolah."

"Oh, ya sudah berangkat saja!"

Pintu akan tertutup kembali sebelum Jeha mengutarakan maksud lainnya.

"Ma, Jeha minta uang saku."

Hening beberapa detik. Mama menatap Jeha dari atas hingga bawah. Anak itu menunduk takut.

Mama berjalan ke dalam kamar. Tak berselang lama, ia kembali dengan menyodorkan uang lima ribu untuk Jeha.

"Ini." Jeha segera mengambilnya sebelum uang itu jatuh karena mama seperti melemparnya.

"Terima kasi-"

Blam!

Pintu di depannya tertutup keras. Jeha sampai terlonjak karena kaget.

Ia menatap uang yang ada di tangannya. Ini hanya cukup untuk membayar iuran kelas, untung saja Jeha sudah siap sedia berjalan sampai sekolahan.

"Terima kasih, Mama."

Jeha turun ke lantai satu. Ia mengingat kembali ucapan dokter Kemal agar ia menjaga pola makan. Jangan lupa ia juga harus meminum obat dua jam sebelum makan.

"Jeha?"

Jeha menoleh ke arah dapur karena mendengar suara kakaknya.

"Kak Mira?" Jeha mendekat.

"Ini, nanti dimakan ya."

Sembari menyodorkan kotak bekal untuk Jeha. Karena tutupnya yang bening, Jeha bisa melihat isi di dalamnya. Roti sandwich telah kakaknya siapkan.

"Kakak ih, repot-repot."

"Repot apa? Sudah sana berangkat."

Kapan roti ini dibuat, perasaan tadi Jeha terus berada di dapur. Ia hanya meninggalkan dapur saat mengambil tas dan menuju ke lantai atas.

"Terima kasih ya, Kak." Jeha mengambil alih kotak bekal tersebut dan meraih tangan kakaknya.

"Hati-hati sayang."

Jeha mengangguk. Kakaknya yang satu itu sangat perhatian, ia tak bisa membayangkan jika tak ada kakaknya di rumah ini.

***

Jeha menutup kembali pintu pagar rumahnya. Masih pagi jadi ia santai saja. Butuh sekitar setengah jam agar sampai di sekolah jika berjalan kaki. Sepertinya waktu yang Jeha punya cukup untuk sampai di sana tepat waktu.

Ia menoleh saat terdapat suara mobil dari rumah sebelah. Pintu pagar hitam yang menjulang tinggi itu menghalangi pandangan Jeha. Sepertinya tetangga barunya sedang menyiapkan mobil.

"Sekaya itu kah?"

***

Jeha langsung memburu ke meja bendahara begitu ia sampai di kelas. Teman sekelasnya sudah banyak yang datang, termasuk si bendahara.

"Ini, iuran aku kemarin."

Bendahara kelas yang sedang memperbaiki penampilannya melalui cermin mengalihkan pandangan ke Jeha. Jeha heran karena dia tak langsung menerima uluran uang Jeha, malah uang itu hanya dilihat saja.

"Iuran lu kemarin dah dibayar Reni."

"Hah?"

Jeha menoleh ke bangku samping tempat duduk si bendahara yang kosong. Hanya tas sekolah Reni yang ada di sana.

"Reni ke mana ya?"

"Ke kantin." Jawabnya singkat. Jeha langsung berbalik keluar kelas. Ia harus menemui Reni untuk mengganti uangnya.

Dengan langkah lebar, Jeha menghampiri Reni yang sendiri duduk di meja kantin.

"Reni?"

Reni menoleh, ia menatap datar ke arah Jeha. Jeha merasa ada yang berbeda di sini. Kenapa Reni menatapnya seperti itu?

"Kenapa?" Tanyanya dengan nada yang sedikit ketus. Bukan sedikit sepertinya, tapi banyak.

"Ini, aku mau ganti uang kamu yang kemarin bayar iuran aku. Terima kasih ya, Ren."

Jeha menyodorkan uang lima ribu satu-satunya yang ia miliki.

Reni mengambil uluran uang itu dengan sedikit kasar. Lalu memasukkan uang tersebut ke saku baju seragamnya.

Tangan Jeha belum juga turun karena tertegun dengan sikap Reni kepada dirinya. Kenapa dengan Reni hari ini?

"Apa lagi?"

"Em, enggak. Terima kasih ya."

"Hem."

Jeha berjalan dengan pelan meninggalkan Reni. Suasana kantin cukup sepi karena masih pagi belum banyak yang membeli jajanan.

"Oh ya, sekalian dong kamu ganti bensin aku. Aku sering antar kamu pulang loh. Kamu, kan dari keluarga kaya tuh."

Kalimat Reni membuat Jeha membalikkan badan. Ia tak salah dengar bukan? Dari keluarga kaya?

"Em, iya nanti aku ganti bensin kamu ya, Ren. Terima kasih selama ini sering antar aku."

"Hem. Terima kasih terus, dikasih imbalan enggak." Sindir Reni.

Di mana Reni yang selalu baik padanya? Jeha berusaha mengingat kembali, apakah ia melakukan kesalahan.

***

Bel masuk telah berbunyi, Jeha sudah kembali ke dalam kelas setelah mengucapkan maaf pada Reni. Sepertinya di sini ia yang salah, ia pikir tak perlu mengganti uang bensin Reni karena selama ini Reni diam saja dan juga ia terus mengajak Jeha untuk pulang bersama.

Seharusnya Jeha peka dengan hal itu, tak ada yang gratis di dunia ini bukan.

Dari belakang ini, Jeha melihat Reni yang sedang asyik berbincang dengan teman sebangkunya, si bendahara kelas.

"Selamat pagi!"

Wali kelasnya masuk disusul seorang siswi di belakangnya.

"Pagi, Pak."

"Baik, ini hari kedua kita memasuki semester baru. Di sini sudah ada teman baru kalian. Dia pindahan dari kota hujan."

Jeha melihat siswi baru di kelasnya itu. Untuk ukuran gadis sekolah menengah, wajahnya manis dan lembut.

"Silakan perkenalkan diri kamu."

"Baik, Pak."

"Halo, perkenalkan aku Novian Haryono. Salam kenal semua."

"Halo, Novi." Suara dari anak lelaki di kelas ini mendominasi.

"Novi, bapak kamu namanya Haryono ya." Edo berbicara dengan lantang. Anak lelaki lain mulai menyoraki Edo yang sedang memulai tingkahnya.

"I-iya?" Jawab Novi, si anak baru dengan ragu.

"Aku punya firasat kalau beliau akan jadi mertua aku."

"Cie!"

"Ya! Edo!"

"Huu!!!"

Suara sorakan memenuhi kelas. Edo, si wakil ketua kelas terkenal playboy mulai gencatan senjata.

"Sayangnya gue udah ada calon." Balas Novian.

Kembali mereka menyoraki Edo karena ditolak mentah-mentah.

"Sudah-sudah. Edo, jangan bikin takut temannya dong!"

"Maaf, Pak."

Pak Guru menggelengkan kepala melihat tingkah anak didiknya.

"Novian, silakan duduk. Semoga kamu segera berbaur ya."

"Terima kasih, Pak."

Jeha menatap ke sekeliling. Tidak ada lagi bangku kosong selain yang ada di samping dirinya.

"Halo!"

Jeha menoleh ke arah siswi baru yang berdiri di sampingnya.

"Ha-lo!"

"Boleh gue duduk di situ."

"Silakan."

Novian berjalan menuju ke tempat duduk samping Jeha. Ia melepas tasnya dan duduk di sana.

"Salam kenal, nama gue Novian. Biasa dipanggil Novi." Ia mengulurkan tangan pada Jeha.

Jeha menatap uluran tangan itu, baru kali ini selama berada di sekolah ada yang mengajaknya berkenalan.

"Aku, Jeha. Salam kenal."