Dengan wajah serius, Rini menyaksikan video dari ponsel canggih itu. Ia sudah memutar video yng sama selama beberapa kali. Rini masih tak percaya dengan isi di video ini.
Ceklek!
"Rin, ada saudara Sumatera dari Pakde datang."
Rini menghentikan video yang sedang ia dengar. Saudara dari Bapak datang. Akhirnya rombongan lintas pulau itu datang. Meski jarak memisahkan, untuk acara yang semoga hanya berlangsung sekali seumur hidup mereka rela hadir dan mengubah jadwal pekerjaan masing-masing.
"Oke, Li. Terima kasih ya."
Emilia mengangguk. Ia menutup pintu kamar sepupunya dan pergi dari sana.
Sebelum keluar, Rini terlebih dahulu membenarkan letak jilbabnya. Tadi ia masuk ke kamar karena disuruh istirahat. Rini tak sabar bertemu adik dari bapak. Bapak dan omnya itu memiliki wajah yang mirip, sebenarnya bukan hanya om tapi pakde Rini yang tadi menggantikan tugas bapak juga memiliki wajah mirip.
***
"Ayo, Dik. Silakan diminum."
Ibu Rini sebagai tuan rumah mempersilakan saudara iparnya untuk minum. Yang disuruh langsung menaati perintah, setelah melepas Rindu dan banyak cerita, tenggorokannya kering.
"Om!"
Rini berjalan cepat ke arah lelaki paruh baya yang masih terlihat muda.
"Anak perempuanku cantik sekali."
Rini masuk ke pelukan omnya. Dulu saat om masih berdomisili di jawa, Rini sering sekali diajak ibu untuk bertandang ke rumah.
"Uluh-uluh. Enggak ketemu berapa tahun dah jadi punya orang sajo."
Cara berbicara yang campur aduk itu membuat Rini tertawa.
"Tante!" Kini beralih ke istri omnya. Tante yang satu ini kulitnya putih, wajah tembam karena badan sedikit berisi tapi kecantikannya tak lantas tertutupi.
"Selamat ya sayang." Rini mengangguk dalam pelukannya. Empuk sekali, mungkin ini yang omnya suka.
Kalimat yang diucapkan tante cantik itu telah Rini dengar sejak pagi. Sedikit sedih jika mengingat bagaimana semua ini terjadi.
"Terima kasih, Om, Tante sudah datang jauh-jauh."
"Justru karena jauh dan acara ini juga sekali seumur hidup. Kita harus berusaha untuk datang dong."
Rini tersenyum kecil. Tak yakin dengan kalimat terakhir itu.
"Ngomong-omong, kamu pinter ya cari suami. Ganteng kayak waktu om muda dulu."
Mendengar hal itu, sontak istrinya tk terima. Perasaan ia selalu di samping sang suami dan muka sang suami tak berubah, manis namun tak semenawan mantu iparnya.
"Sudah yuk, duduk lagi. Makanannya siap, jangan dianggur in." Ibu menghentikan kangen-kangenan antara paman dan keponakan tersebut.
"Yuk, Mbak."
***
"Rini, udah malem suami kamu pasti capek. Diajak masuk gih." Ibu menepuk pundak Rini. Ish, padahal memang itu yang sedang Rini hindari. Ia sengaja berlama-lama menahan Emilia untuk mengobrol.
"Bentar, Bu."
"Heh!" Rini terkejut kala ibu memberi pukulan sedikit keras ke punggungnya.
Emilia yang menyaksikan itu terkekeh. Ia sendiri sebenarnya sudah lelah. Besuk sudah mengajar setelah hari ini mengambil cuti karena acara tadi.
"Masuk Rin, aku juga ngantuk besuk ngajar."
Rini berdecih. Memang Emilia bukan gadis yang cocok untuk diajak kerja sama.
"Tuh, masuk sana. Ajak Suami kamu ke kamar. Kalau enggak, bisa sampai subuh Suami kamu diajak ngobrol."
"Sampai subuh juga enggak apa. Biar ketularan jiwa Bapak-Bapak."
Setelah mengatakan itu, Rini berlari menuju dalam rumah. Ia masih sayang punggungnya agar tak terkena pukulan ibu.
"Dasar!" Ibu heran dengan kelakukan anak satu itu. Apa tidak cukup beberapa hari ini memberi kejutan untuknya.
***
Rini mengintip para lelaki yang sedang mengobrol di samping rumah. Ada yang bermain catur, dan yang seru ada yang bermain karambol.
Rini jadi sungkan untuk memanggil lelaki itu. Eh, suaminya. Ia tersenyum sendiri kala mengingat jika sekarang statusnya sudah berganti. Meski hanya sebuah kesepakatan, Rini tetap memperoleh banyak keberkahan. Buktinya nenek dan para pengikut tukang gosipnya, sudah tak berani membicarakan Rini lagi.
Ia jadi teringat bagaimana raut wajah kaget neneknya karena Rini menerima pinangan Estu.
Lelaki itu bernama Estu, satu hal yang baru Rini ketahui baru-baru ini.
"Loh, Rin? Kenapa?" Om Rini melihatnya. Karena ketahuan mengintip, Rini jadi menunjukkan diri. Ia berjalan mendekat ke arah para lelaki itu. Semua mata tertuju ke arahnya, tak terkecuali Estu.
"Walah, Om. Kayak enggak tahu saja, Tu dijemput Istrimu itu!"
Suami budhe Rini berkomentar. Ia mengkode Estu yang membuat Rini malu. Padahal bukan itu maksud Rini. Dia ke mari karena utusan ibu.
"Buka-"
"Om, Pakde, Mas. Saya ke dalam dulu. Permisi dan terima kasih."
Kalimat Rini terputus karena kalimat suaminya. Cielah suami. Rini geli sendiri.
"Woke, Tu. Tadi sudah tak kasih materi, kan? Jangan lupa dipraktik in." Para bapak yang ada di sana tertawa renyah. Rini malu bukan main. Yang diperintah hanya tersenyum kecil lalu turun berjalan mendekat ke arah Rini.
"Ayo!"
Rini memilih berjalan dulu, ia malu wajahnya saja sudah memerah seperti kepiting rebus.
Mereka berjalan beriringan dengan Rini yang di depan. Saat akan sampai di kamar, Rini membalikkan badan alhasil hampir saja tubuh Estu menabrak Rini.
"Tuan masih hutang penjelasan sama saya." Kalimat Rini masih kaku, ia kembali menggunakan saya dan tuan sebagai kata ganti.
Yang diajak bicara hanya mesem lalu membuka pintu kamar di belakang Rini.
"Ya, aku enggak lupa, Istri. Masuk yuk!" Dengan mendorong pelan badan Rini agar masuk ke kamar. Apa tadi, istri?
"Tuan jangan panggil Istri gitu!" Rini protes. Gelilah!
"Terus apa? Sayang?" Katanya seraya membaringkan badan di atas ranjang Rini.
"Ish, jangan tidur di situ!"
Rini berusaha menarik tangan Estu tapi lelaki itu tak bergeser sedikit pun. Belum ada lelaki yang naik ke atas ranjang miliknya. Gawat!
Estu akhirnya mendudukkan diri. Ia memandang Rini yang berdiri masih dengan memegang tangan kanannya.
"Sini duduk!"
Rini ditarik, lalu mendudukkan Rini dipangkuannya. Woi, dipangkukan!
"Eh, apa ini! Inget kesepakatan kita!"
"Inget kok, tidak ada hubungan badan. Hubungan badan itu yang celap-celup berhadiah, kan?"
Rini refleks menutup mulut tak berakhlak Estu. Ruangan di rumah ini berdekata. Ya, namanya juga rumah yang hanya seluas kamar mandi rumah Estu. Bahkan nanti om dan pakdenya harus tidur di ruang tamu.
"Ish, kok jorok banget ngomongnya!" Rini melotot. Ia berusaha mengintimidasi Estu tapi tak mempan.
Estu menurunkan tangan Rini. Lalu membawa tangan itu untuk terus digenggam.
"Pangku masih boleh sayang. Kan, bukan hubungan badan."
"Aw!" Rini mencubit lengan Estu dengan satu tangan yang bebas.
"Enggak ada!" Rini berusaha beranjak dari pangkuan Estu tapi suaminya itu menahan.
"Katanya mau dengar penjelasan."
Akhirnya Rini mengalah, demi penjelasan yang perlu ia dengar.
"Tapi sebelum itu, ubah panggilan kamu. Masa manggil Tuan terus."
Rini berdecak tapi tak urung mengangguk.
"Udah jangan kelamaan, cepat jelas in!" Rini tak sabar.
"Jadi-"
Tok!
Tok!
Tok!
Pembicaraan mereka terinterupsi. Keduanya menoleh ke arah pintu. Siapa yang mengganggu itu?