"Ish, dasar bocah prik! Ogah gue pulang bareng lo." Novi mendelik ke arah Edo. Dan respons Edo hanya mesam-mesem. Sejak pertama melihat Novi, bisa Edo rasa jika cewek ini sangat menarik.
"Duh, cantik galak banget."
"Em, aku pulang sendiri aja." Jeha berjalan cepat meninggalkan depan kelas. Ia tak mau merepotkan banyak pihak. Berjalan adalah pilihan terbaik untuknya.
"Loh, Je!" Novi berseru. Ia akan mengejar tapi tangannya di tarik Edo.
"Jangan urus in rumah tangga orang lain, cantik! Mending urus calon suami sendiri!"
"Geli, woy!"
Novi menyentak tangan Edo yang bertengger manis di atas tangannya.
Melihat temannya berulah kembali, Ry memilih mengikuti Jeha pergi.
"Eh?" Novi ingin menyusul Jeha kembali, tapi Edo kembali menahan langkahnya.
"Sekali lagi lu tahan gue. Gue kasih bogem ke wajah lu!"
***
"Je!"
Jeha sudah sampai di koridor kelas satu yang mana berada di lantai bawah. Ia menoleh dan mendapati Ry yang memanggilnya.
"Jangan bikin gue merasa enggak bertanggung jawab, Je. Gue anter sampe rumah, titik!"
Lalu setelah itu menarik tangan Jeha.
Deg! Deg! Deg!
Mampus!
Jeha sampai lupa bernafas karena pegangan tangan Ry. Lebih parah lagi jalan menuju tempat parkir serasa sangat lama.
Seperti ada ribuan kupu-kupu yang terbang di sekeliling Jeha saat ini.
"Naik!"
Jeha masih diam sambil menatap tangannya yang tadi dipegang Ry.
"Je!"
"Eh? Maaf."
"Naik!"
Perintah Ry sekali lagi. Ia telah duduk di motor tinggal menunggu Jeha untuk naik, ia akan segera melaju dengan motornya karena awan mendung sudah menyelimuti langit.
Jeha naik ke jok belakang. Agak susah karena motor itu sangat tinggi, terlebih tubuh Jeha mungil. Ini bukan ninja hanya motor yang biasa Jeha lihat dipakai orang-orang untuk berkendara di daerah pegunungan. Jeha tak tahu namanya, yang jelas motor ini gagah seperti pemiliknya.
Jeha berpegangan pada tas gendong Ry. Motor yang Ry tumpangi membelah jalanan.
Dan sama seperti tadi, jantung Jeha masih tak bisa berdetak dengan tenang.
Di sisi lain, Novi baru saja sampai di tempat parkir saat motor Ry sudah pergi dari area sekolah.
"Semoga Ry, bawa Jeha selamat sampai rumah."
"Aamiin, tenang aja Ry itu jago bawa motornya. Dia sering ikut balapan. Dulu sih, kalau sekarang ikut balapan siap-siap aja di tendang Tante Evi dari kartu keluarga."
Novi bersedekap dada. Ia pikir, Edo sudah tak berani mengajaknya berbicara setelah tadi ia mengancam lelaki ini.
"Balapan? Balapan liar?"
"Em, enggak kok." Duh, mampus keceplosan. Dasar mulut Edo tak ada remnya. Nyerocos terus padahal Novi berbicara irit nan ketus pada dirinya.
Novi mencibir, ia berlalu menuju motornya. Melihat hal itu Edo segera menyusul. Ia berlari menuju motornya yang terparkir ujung. Ia harus membuntuti Novi agar tahu di mana rumah pujaan hatinya itu.
***
Gerimis menemani perjalanan Ry dan Jeha. Berulang kali, Jeha mencoba melirik Ry dari kaca spion. Jika biasanya si pengendara yang melirik orang di belakang maka lain hanya dengan Jeha.
Jeha melihat wajah serius Ry yang mengemudikan motor dengan kecepatan sedang. Mimpi apa Jeha semalam.
"Rumah lu daerah mana Je?"
"Eh? Itu, belakang Mall Grand."
"Mall Grand." Ry bergumam, bukankah itu satu arah dengan rumahnya.
Motor terus melaju, begitu pun gerimis yang siang ini semakin deras. Jeha mengusap wajahnya yang terkena air hujan. Ia tak memakai helm saudara-saudara. Sebenarnya di atas motor tadi, hal yang dikhawatirkan Jeha adalah bila bertemu polisi.
Tapi jika geremis seperti ini mana ada polisi.
"Eh?"
Jeha menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia tak menyebutkan alamat pastinya tapi kenapa Ry berbelok ke gang rumahnya.
"Gue ambil mobil dulu."
Ry berbelok ke rumah berpagar menjulang itu. Jeha membeku di atas motor, antara kedinginan dan juga kaget.
"Gue ambil kunci dulu."
Ry memberi kode agar Jeha turun. Jeha yang masih ngelag berusaha tetap fokus. Ia turun lalu diikuti Ry yang turun dari motor. Dengan cepat, Ry menuju rumah untuk mengambil kunci mobil sesuai apa yang ia inginkan tadi.
"Hah? Jadi, rumah ini."
Jeha memegang kepala, sedikit berdenyut di sana. Kenapa semua seakan disengaja.
Gawat! Ry tidak boleh tahu jika mereka bertetangga.
Jeha memburu pintu gerbang yang tadi ia lewati. Ia harus menuju rumahnya yang berada tepat di samping rumah Ry.
Bisa-bisanya, rumah baru ini adalah milik keluarga Ry.
Jeha bersandar di tembok pembatas rumahnya dan rumah Ry. Ia memegang dada, di sana jantungnya sedang berdetak dengan kencang.
***
Ry sudah mengambil kunci mobil. Ia juga telah meletakkan tas gendong. Tapi saat dirinya kembali ke teras, ia tak menemukan Jeha di sana. Ry menoleh ke sana ke mari untuk menemukan sosok itu.
"Je?"
Ry mulai memanggil Jeha tapi tak ada balasan.
"Ke mana tuh anak."
Ry berlari kecil menuju gerbang. Tak lupa menoleh ke sekitar halaman rumah barang kali gadis dengan tubuh yang kecil itu sedang melihat-lihat tanaman mamanya yang tersusun rapi di pot.
"Jeha?" Ry sudah berdiri di depan gerbang. Jalanan depan rumah sepi. Ia tak menemukan Jeha di sana.
Jeha yang sedang bersandar di tembok mulai keringat dingin. Seharusnya tadi ia langsung masuk ke rumah saja.
Memastikan Ry tidak berjalan ke arah rumahnya. Jeha ngibrit lari menuju rumah. Gerimis yang berubah menjadi derasnya hujan membuat seragam Jeha semakin basah.
Ry kembali masuk ke rumah. Kali ini ia berpikir untuk mengecek kamera pengawas yang kemarin sudah terpasang di teras.
***
"Huh!"
Jeha merosot terduduk di lantai begitu sampai dapur.
Hari ini begitu banyak kejutan yang menghampirinya. Yang paling mengguncang adalah, kenyataan bahwa Ry merupakan pemilik rumah baru yang berada tepat di sampingnya. Dengan kata lain, Ry adalah tetangga Jeha.
'Jangan malas-malasan! Sapu halaman depan! Udah tahu Bibi repot, malah asyik-asyikan di kamar.'
Jeha memejamkan mata ketika teringat kalimat itu.
'Kamu pikir, kamu ini tuan putri, hah? Ambil cucian di tempat biasa! Tidak perlu belajar, saya tak butuh nilai kamu!'
Rentetan kalimat yang sang ibu lontarkan sering kali terdengar tetangga samping rumah. Setiap kali mereka menatap Jeha dengab tatapan ibu, justru Jeha menjadi risih.
Seakan dunia memang mengakui bahwa dirinya ini lemah.
Jika suatu saat ibunya kembali marah, dengan keadaan Ry tau bahwa yang dimarahi adalah dirinya maka mungkin saat itu juga Jeha tak akan mempunyai wajah untuk berhadapan dengan Ry.
Jeha hanya tidak mau Ry dan seluruh isi sekolah tahu bahwa ia diperlakukan seperti itu oleh ibunya.
Sudah cukup selama ini Jeha dijadikan babu di kelas mau pun di rumah. Jeha tak ingin dicap sebagai manusia paling menderita. Ia hanya ingin lulus lalu keluar dari rumah ini.
"Je? Kok di situ?"
Jeha mendongak. Di sana kakaknya baru saja menuruni tangga.
Jeha memberikan senyum untuk kakaknya, hanya satu orang yang selalu memberikan dukungan kepada Jeha.
"Kakak."