Ke kantin bersama Novi memang sudah biasa, tapi jika ke kantin bersama Edo dan Ry itu sesuatu yang langka untuk Jeha. Ia hanya Jeha si gadis lugu yang tak suka menjadi pusat perhatian. Dan sekarang dirinya sedang menjadi pusat perhatian.
Sejak memasuki kantin dengan Novi yang mengapit lengannya serta Edo dan Ry berjalan di belakang mereka semua mata penghuni kantin melihat ke arahnya.
"Nov, aku ke kelas aja ya."
"Ish, Je. Dah gue kasih tahu kalau rezeki kagak boleh ditolak."
Novi seperti biasa, gadis itu cuek dengan sekitar. Ia tak mengambil pusing saat anak lain melihat ke arahnya.
"Emang kenapa kok enggak mau?"
"Malulah, Nov."
"Malu kenapa orang lu enggak buat salah. Dahlah mending lu sebut menu apa yang bakal lu pesen."
Novi menarik Jeha ke meja pojok. Meja itu satu-satunya yang kosong.
"Beb, mau pesan apa?" Edo dengan semangat empat lima menanyakan menu makan Novi.
"Gue mau siomay, sama es jeruk. Je, lu apa? Biar Edo yang pesen in."
Ry melihat raut wajah Edo, temannya itu tampak tak keberatan dengan perintah Novi. Padahal Edo ini anti disuruh, ia hanya manut pada guru dan orang tua selebihnya nol besar.
Sejak presentasi tadi, Edo memang dibuat bekerja keras oleh Novi. Lagi, biasanya Edo hanya terima jadi sekarang dia harus berpikir karena Novi. Sungguh luar biasa Edo, si budak cintanya Novi.
"Em, sama in kayak kamu saja."
"Oke, bentar ya."
"Lah, gue?" Ry protes. Pasalnya hanya dia yang tidak ditawari oleh Edo.
"Ish, ya lu mau apa, Ry?"
Ry menghembuskan nafas pelan. Edo seperti tidak ikhlas.
"Gue pesen sendiri aja." Ry berdiri, ia lebih dulu berjalan.
"Nah, gitu dong. Jangan manja."
***
"Je, gue anter!" Novi dengan semangat mengatakan niat baiknya pada Jeha. Berbeda dengan Jeha, respons anak itu rada gugup.
Sebenarnya bisa saja ia menerima tawaran Novi tapi suatu saat mereka akan melakukan kerja kelompok, nantinya mereka akan tahu jika Jeha dan Ry bertetangga.
"Em, Nov. Terima kasih tapi kayaknya enggak sekarang ya."
Novi cemberut. Susah sekali mengajak Jeha untuk pulang bersama.
"Beb, kita cari materi kelompok yuk." Tiba-tiba Edo sudah duduk di kursi depan Novi.
"Huh, males, Do. Masih lama juga tugasnya." Novi menolak. Ia sedang malas memikirkan tugas.
Jeha melirik Ry yang memainkan ponselnya. Ry masih duduk di tempatnya.
"Jangan gitulah, Beb. Mumpung ada waktu kita nyicil. Soalnya cari berita akurat itu enggak gampang."
"Oke, oke. Mau ke mana kita?"
Edo tampak semringah. Niat terselubungnya yaitu menghabiskan waktu bersama sang pujaan hati akan terlaksana.
"Kemarin gue dengar ada kelangkaan BBM di dekat rumah gue. Pedagang eceran pada ngeluh karena kekurangan pasokan."
Novi mengerti. Sepertinya kejadian ini dapat diangkat menjadi berita yang akurat.
"Gimana, Je. Lu bisa, kan?"
Jeha mengangguk. Ia bersyukur atas traktiran Edo. Uang sakunya masih tersisa, walau hanya ada untuk naik bus umum. Jeha mengenakan seragam, biasanya tarif untuk pelajar akan lebih murah. Jeha hanya berharap semoga daerah rumah Edo tidak jauh dari sini.
"Ya sudah, keburu sore. Berangkat sekarang aja."
"Je, lu sama gue. Oke!"
"Eh, kamu dah punya SIM?" Edo punya ide cemerlang lain di kepalanya.
"Belum. Gue mau buat belum sempet."
Karena kepindahan ayahnya ke luar Jawa, Novi memutuskan tidak ikut dan memilih tinggal di kota ini bersama sang nenek. Jadi ia belum sempat mengurus surat izin mengemudi. Padahal sang ayah janji akan menemaninya membuat surat izin itu.
"Biasanya jam segini ada razia kendaraan sih dekat rumahku. Terus nanti kalau kamu kejaring gimana?"
Novi memutar bola mata malas.
"Ya terus gimana?"
"Gini aja, kamu aku gonceng. Biar Jeha sama Ry? Gimana?"
Novi menoleh pada Jeha. Ia tampak meminta persetujuan.
"Gimana, Je?"
Jeha mengedipkan matanya berulang kali. Sebenarnya dibonceng Ry tidak ada salahnya hanya terkadang Jeha saja yang lebai. Ia takut semakin terpesona.
"I-ya."
"Yes! Oke, let's go!"
Edo menjadi yang paling semangat. Ia berjalan lebih dulu ke tempat parkir.
"Helmnya Jeha gimana? Katanya ada razia nanti?"
"Tenang, aku bawa helm dua, Beb. Tapi tuh helm punya adik jadi gambarnya prozen."
Setiap hari tugas Edo sebelum berangkat ke sekolah ada mengantar adiknya terlebih dahulu. Sang mama telah menyiapkan sopir untuk si anak bungsu. Tapi gadis kecil yang masih sekolah dasar itu memilih diantar abangnya.
"Emang muat di Jeha?"
"Muat, Jeha mungil begini kok."
Jeha meringis. Bukan mungil lagi lebih tepatnya ceking dan kurus.
"Yuk, Ry!"
Ry berdiri, ia memasukkan ponselnya ke saku jaket.
***
Jeha, Ry, Novi, dan Edo telah sampai di tempat parkir. Ry lebih dahulu mengambil motornya lalu diikuti Edo.
"Nov, aku kabari orang rumah dulu ya."
"Oh iya, gue juga nanti Nenek gue nyari."
Jeha dan Novi kompak mengeluarkan ponsel mereka. Novi yang langsung menelefon sang nenek, dan Jeha yang mengirim pesan ke Mira. Ternyata sebelum itu ada pesan dari Mira yang menanyakan kepulangan Jeha.
"Ayo, Je!"
Jeha memasukkan ponselnya ke tas. Ia menerima uluran helm bergambar kartun itu.
"Ih, Je. Gemes banget!"
Novi tertawa melihat Jeha mengenakan helm itu. Walau ukurannya untuk anak kecil tapi saat Jeha gunakan masih bisa.
"Tuh kan, apa gue bilang. Pasti muat kok. Ayo, Beb. Naik!"
"Bab, Beb. Gue bukan Baby lu!"
Novi memukul lengan Edo. Ia bersiap naik ke motor Edo.
Ry hanya diam. Ia menunggu Jeha yang sedang berusaha mengaitkan kunci helm.
"Bisa?" Ry bertanya karena melihat Jeha yang kesusahan.
"Eh, bisa kok."
Klik!
"Yok!"
Jeha mengangguk. Dalam hati mengutuk desain motor Ry, jok belakang motor ini bahkan sangat sempit. Jika Jeha terlalu duduk ke belakang, ia takut jatuh tapi terlaku ke depan takut Ry tidak nyaman.
Motor Edo lebih dahulu keluar dari halaman sekolah. Sebagai penunjuk jalan Edo berada di depan.
Beberapa kali Jeha melirik ke spion. Ry tampak serius mengendarai motornya.
Ini berarti kali kedua Jeha dibonceng Ry. Sedekat ini dengan Ry membuat Jeha bisa mencium aroma parfum yang lelaki ini gunakan.
Jeha tersenyum kecil. Yang pasti wangi ini belum pernah Jeha cium.
Jeha mendongak. Perbedaan tinggi antara Ry dan dirinya terlihat. Ia merasa kecil jika dekat Ry.
Menatap Ry dari belakang membuat Jeha betah. Ia sampai terkejut saat motor yang dikendarai Ry oleng karena menghindari lubang jalan.
Refleks Jeha berpegangan sisi samping jaket Ry. Rupanya Ry menyadari hal itu. Ia melihat Jeha dari kaca spionnya.
"Lu enggak apa?"
"Aman kok."
Jadilah keduanya bertatapan melalui kaca spion selama beberapa detik. Ry yang lebih dahulu memutuskan kontak mata itu lalu ia memfokuskan diri ke jalan di depannya.
"Waktu itu lu pergi ke mana, Je? Kok enggak pamit."
"Eh?"
Jeha ngelag sebentar. Ingatannya jauh melayang ke sebulan yang lalu. Saat itu ia terkena bola basket yang Ry lempar ke Edo. Sebagai bentuk rasa tanggung jawab, Ry menawarkan tumpangan. Yang membuat Jeha terkejut adalah kenyataan bahwa Ry dan dirinya bertetangga.
Ry adalah anak pemilik rumah baru yang dibangun tepat di samping rumah Jeha.
Jeha pikir Ry sudah melupakan hal itu. Jeha kira Ry tidak peduli ke mana ia pergi saat itu. Dengan pikiran yang seperti itu, Jeha tak menyiapkan alasan apa pun. Ia bingung mau menjawab apa.
Saat Jeha melirik kaca spion lagi, ternyata Ry juga sedang meliriknya. Jeha dibuat semaking panik.
Kalimat apa yang tepat untuk Jeha gunakan sebagai alasan.