WebNovelJehani5.79%

Kebaikan Ry

"Awas, Ry!"

Sontak Ry mengerem sepeda motornya. Ia yang kurang fokus tak menyadari bahwa mobil di depannya mengerem mendadak.

Jeha mengeratkan pegangannya pada tas Ry. Duduknya maju beberapa senti.

"Lu enggak apa?" Ry menoleh sekilas. Ia bisa merasakan nafas Jeha yang tidak beraturan.

"Aman, Ry."

Dari tadi jawaban Jeha aman-aman saja. Padahal hati dan jiwanya sedang bergejolak. Jeha terkesiap begitu ia sadar posisi duduknya menghimpit Ry. Ia membenarkan letak duduknya.

Ry kembali memfokuskan pandangannya ke depan. Ternyata di depan sana lampu sedang merah. Bodoh, ia sudah berkali-kali melewati jalan ini untuk ke rumah Edo tapi untuk pertama kalinya ia lupa ada lampu merah di sekitar sini.

Saat lampu kembali hijau, kendaraan mulai melanjutkan perjalanannya.

"Maaf, waktu itu aku enggak pamit. Aku cuman enggak mau repot in kamu. Rumah aku udah deket dari sana."

Lebih tepatnya, di samping rumah kamu, batin Jeha.

"Gue enggak keberatan, Je. Kan, dari awal gue yang nawar in lu. Lagi pula kalau berbuat kebaikan jangan jangan setengah-setengah."

Bukannya menjawab, Jeha malah terdiam. Satu sisi ia tak tahu harus menjawab apa dan di sisi lain ia terkejut seorang Ry bisa berbicara panjang lebar ke dirinya.

"Maaf, Ry." Hanya kata maaf yang bisa Jeha ucapkan.

"Oke, Je."

Lalu perjalanan mereka diisi dengan keheningan. Jeha yang canggung dan tak tahu harus berbicara apa dan Ry yang fokus dengan motornya.

***

"Nah, di sini. Sudah beberapa hari tutup karena kelangkaan bahan bakar." Edo melihat ke arah bilik kayu yang biasa diisi botol bahan bakar untuk dijual.

"Aneh ya, gue baru nyadar kalau bahan bakar lagi langka."

Novi mengamati sekitar.

"Tadi gue juga lihat ada pedagang lain yang tokonya harus tutup." Komentar Ry.

Jeha mengiyakan, ia tadi juga mengamati kanan dan kiri jalan. Ada beberapa pedagang yang harus menutup usahanya.

"Beb, beberapa hari ini pun kalau aku ke SPBU harus antre panjang."

"Ya, gue enggak tahulah. Orang Bang Dika yang isi bensin gue." Novi menjawab. Ia tak tahu saja sekarang air muka Edo berubah.

"Bang Dika? Siapa Bang Dika itu?"

Ry jengah dengan Edo. Ia selalu gencar mendekati perempuan tanpa memedulikan situasi. Perasaan tadi Edo yang menyarankan ke mari.

"Do, kita di sini mau survei buat tugas ya. Kalau mau pacaran mending nanti."

"Apa lu, Ry. Pacaran sama Edo? Ogah!"

"Lah, kok gitu, Beb?"

Ry memilih menjauh dari mereka. Ia berjalan ke arah motor lalu mengeluarkan ponsel dan mulai memainkannya.

Jeha masih berdiri di tempatnya. Ia melihat perdebatan Edo dan Novi. Edo, lelaki itu berusaha mencari jawaban tentang siapa si Dika dan Novi yang tak mau memberitahu Edo juga ia tetap kekeh dengan pendiriannya untuk tidak pacaran dengan Edo.

"Bang Dika siapa? Aku bahkan lebih bisa kamu andalkan dari pada si Dika itu. Aku siap kamu suruh beli bensi, bahkan ganti oli, ganti ban."

Novi mengernyit. Ia tak mengerti dengan sikap Edo yang tiba-tiba jadi posesif. Memang ada hubungan apa antara dirinya dengan Edo, sampai dia harus mengandalkan Edo di setiap saat.

"Do, lu kenapa dah? Kok jadi posesif gitu? Btw, gue bukan putri raja yang harus dilayani kayak begitu ya."

"Enggak, Beb. Cuman aku itu maunya kamu mengandalkan aku di setiap saat. Bukan si Dika itu."

"Ya terserah aku dong. Bang Dika aja enggak keberatan kok, kalau aku repot in."

Novi berlalu. Ia mengikuti Ry yang nangkring di atas motor.

"Nov, Nov. Kapan lu ngerti kalau gue sayang sama lu."

Jeha menggigit bibirnya. Ia ingin tertawa melihat wajah dan nada bicara Edo yang memelas.

"Je, lu ngeledek gue?"

Jeha sontak menggeleng. Dia sudah sekuat tenaga tidak tersenyum apa lagi nyegir tapi sepertinya Edo tahu ia meledek dirinya.

"Do, kalau kamu suka ya bilang langsung aja. Novi, biar pun galak kayak begitu dia tetap wanita. Wanita yang kalau diperjuangkan bakal luluh."

Bukannya menjawab, Edo malah mengerjap.

"Lu puitis banget, Je. Gue kagak nyangka lu anak indie."

Mendengar pujian Edo, Jeha jadi malu. Ia bukan sepuitis itu. Ia hanya sering membaca komik romansa yang kakaknya buat. Jadi kalimat tadi ia copy paste dari sana.

"Soal Bang Dika. Dia itu sepupunya Novi."

"Ha? Serius?"

Jeha mengangguk sebagai jawaban. Dia tahu tentang Dika karena Novi yang biasanya menceritakan lelaki itu. Kata Novi, Dika diberi amanah oleh sang ayah yang ditempatkan di luar Jawa untuk menjaganya. Karena rumah Dika paling dekat dengan Novi dari pada sepupu lain, maka ayah Novi menitipkannya pada Dika.

"Mampus! Jadi gue cemburu sama calon saudara ipar dong."

Baru Edo orang paling narsis yang pernah Jeha kenal.

Menyadari kesalahannya, Edo segera menghampiri sang pujaan hati yang kini asyik bermain ponsel seperti Ry.

***

"Lu, kenapa belok ke sini, Do?"

Ry menghentikan motornya tepat di samping motor Edo.

"Ya kalau ke sini makanlah Ry. Beb, makan dulu yuk. Desertnya baru loh di sini, barang kali kamu butuh yang manis-manis untuk meredakan amarahmu. Padahal kamu sendiri pun sudah manis."

Novi menepuk punggung Edo sedikit keras. Ia ingin muntah jika mendengar Edo menggombal.

"Oke, tapi lu yang bayar."

Novi turun dan masuk begitu saja. Ia bahkan melupakan Jeha yang masih berdiri tanpa melepas helm.

Edo menyusul pujaan hatinya.

"Gue ngintil in orang PDKT. Emang babi si Edo." Ry memaki tapi tak urung ia juga melepas helmnya. Setelah survei tempat dan membuat janji wawancara dengan pedagang ia juga merasa lapar.

Lagi pula sekalian lewat tempat makan ini. Edo memang totalitas dalam mendekati Novi, jika Edo mau ia bisa saja menyuruh Novi menaiki angkutan umum seperti yang biasa Edo lakukan ke teman lain. Tapi ini berbeda, Edo rela mengantar Novi sampai rumah sedangkan rumahnya tinggal belok ke kanan dari tempatnya mensurvei tadi.

Ry menyusul Edo dan Novi. Beberapa langkah ia baru sadar jika Jeha tak bergeming dari tempat berdirinya dekat motor tadi.

Jeha tertunduk kala tatapannya dan Ry bertemu. Kalau masuk ke sana, Jeha tak punya uang untuk membayar makanan. Edo hanya berbicara untuk membayar makanan Novi bukan dirinya.

Lagi pula ia malu jika harus numpang makan lagi.

"Ayo, Je!"

Jeha mendongak. Ia melepas helmnya dan meletakkan pelindung kepala itu di atas motor Ry.

"Em, Ry. Aku langsung pulang saja ya."

Ry menaikkan sebelah alis. Ia melihat ke atas. Ternyata matahari mulai kembali ke peraduan.

"Lu kabar in orang rumah kalau pulang terlambat. Nanti gue yang antar sampai depan rumah."

Lelaki di depan Jeha memang sangat gentle. Jeha menggeleng kala pikiran lain yang menjurus ke arah kepedan hinggap di kepalanya.

"Terima kasih, Ry. Tapi aku-"

"Gue yang bayar nanti."

Seolah mengetahui apa yang Jeha khawatirkan.

"Terim-"

"Terima kasihnya nanti aja. Yuk, masuk! Kan dah gue bilang berbuat baik jangan setengah-setengah."

Oke, Jeha tolong kondisikan dirimu. Batin Jeha berteriak.

Ry memang tipe yang peduli dengan sahabat. Ingat! Sahabat! Jadi Jeha tidak boleh kepedean.

Jangan sampai Jeha terbawa perasaan pada sifat baik yang Ry tunjukkan padanya. Jangan sampai!

Dengar yang Ry bilang, berbuat kebaikan jangan setengah-setengah. Seharusnya dari situ saja Jeha sudah bisa menyimpulkan jika Ry murni ingin membantunya.