Jeha terdiam sejenak. Ia mengamati wajah Ry yang terkesan datar saja.
"Oke, terima kasih ya, Ry. Maaf aku repot in kamu."
"Ya."
Ry terlebih dahulu masuk lalu disusul Jeha.
***
Azan magrib baru selesai berkumandang. Ry memutuskan untuk salat di rumah saja. Sekarang ia sedang mengendarai motornya menuju rumah.
Motor Ry berhenti ketika lampu merah. Disusul motor yang Edo bawa dengan Novi di jok belakang.
Saat lampu sudah hijau, kedua motor itu berpisah. Mereka sama-sama membunyikan klakson tanda perpisahan. Novi melambaikan tangan dengan riang ke arah Jeha yang dibalas Jeha dengan hal serupa.
Jeha melirik ke spion kala laju motor yang Ry kendarai melambat.
"Bentar, ada telefon."
Jeha mengangguk. Padahal tadi Jeha sudah berpikiran jelek. Ia takut Ry menurunkannya di tengah jalan seperti ini.
"Ya, Bun."
Bunda? Ry memanggil ibunya dengan sebutan bunda. Saat kata bunda terlontar dari mulut Ry, Jeha bisa merasakan jika lelaki ini sangat dekat dengan ibunya.
"Oke, Bun. Iya."
Tut!
Ry mengantongi ponselnya kembali. Ia mulai menghidupkan kembali motornya.
"Mampir beli nasi Padang dulu, pesenan nyokap gue."
"Iya, Ry."
Sebagai penumpang yang bahkan tak membayar, Jeha ikut saja ke mana Ry pergi. Nanti juga akan diantar pulang.
Eh, tapi jika Ry akan mengantarnya pulang itu berarti lelaki ini akan tahu jika mereka bertetangga. Yang tadinya ia duduk dengan nyaman kini jadi gelisah. Kira-kira alasan apa lagi yang harus Jeha katakan pada Ry.
Sibuk dengan pikirannya, Jeha sampai tak sadar jika motor Ry telah berhenti.
"Turun dulu, Je. Itu ada kerumunan."
"Eh, iya." Jeha turun. Lalu diikuti Ry yang turun setelah mematikan mesin motor dan mencopot helm.
Jeha mengikuti arah Ry berjalan. Ternyata di depan sana ada kerumunan. Sepertinya baru saja terjadi kecelakaan tapi kenapa orang-orang di sana berteriak, teriakannya pun seakan memaki seseorang.
Ry berjalan mendekat. Ia ingin mengetahui apa yang sedang dikerubungi oleh warga di pinggir jalan. Beberapa pengendara tampak memelankan laju kendaraannya karena mereka juga penasaran apa yang sedang terjadi.
"Bawa ke kantor polisi saja!"
"Iya, bawa ke kantor polisi. Biar dipenjara! Siapa suruh maling!"
Sumpah serapah juga terdengar.
"Ampun, Pak!" Suara lirih itu membuat Ry tertegun. Dari suaranya yang lemah sepertinya si pelaku sudah lanjut usia.
"Halah! Ampun-ampun! Makanya jangan maling!"
Bugh!
Bugh!
Terdengar suara pukulan, Jeha yang berdiri di dekat motor mendengar suara itu. Ia berlari menuju kerumunan dan mendesak masuk. Bahkan ia melewati Ry yang masih tertegun.
"Stop! Berhenti, Pak!"
Jeha merentangkan tangan, ia berjongkok saat sebuah kepalan tangan seseorang mengenai lengannya. Sedikit ngilu di sana karena pukulannya cukup keras.
"Pak! Tolong jangan main hakim sendiri!"
Entah keberanian dari mana, seorang Jeha bisa berteriak seperti ini.
"Mbak, enggak usah ikut campur ya!"
"Saya perlu ikut campur, saat kalian memukili Kakek ini. Bahkan jika kalian hanya sendiri, Kakek ini tidak bisa melawan."
Air mata Jeha jatuh. Ia tak tega melihat pelipis dan pipi kakek di hadapannya membiru lebam.
"Orang ini pantas menerimanya! Dia telah mencuri makanan, lalu kabur dengan gerobaknya dan menabrak para pedagang ini!"
"Iya, tua bangka ini pantas mendapatkannya! Gara-gara gerobak sialan ini saya dan teman saya tidak bisa berjualan."
Jeha menatap telunjuk lelaki paruh baya yang menunjuk sebuah gerobak bakso dan gerobak bajigur. Kedua gerobak itu ambruk sehingga isinya berceceran di jalan.
"Lebih baik, Mbak minggir! Kami akan bawa orang ini ke kantor polisi."
Tangan Jeha ditarik. Tapi ia tetap mempertahankan posisinya melindungi sang kakek.
Ry berusaha menenangkan warga yang sedang naik pitam ini.
"Mohon tenang, Pak! Saya tahu Kakek ini salah tapi kita tidak bisa main hakim."
"Kalau Kakek ini tidak boleh kami bawa ke kantor, maka Kakek ini harus membayar kerugian kami."
Penjual bajigur itu mengancam. Tentu saja ia tak ingin rugi.
"Baik, saya akan tanggung semua biaya itu."
Jeha berdiri. Ia merogoh tas dan mengeluarkan kartu pelajarnya.
"Ini, apa kartu ini bisa menjadi jaminan?"
"Kami tidak perlu kartu. Yang kami butuhkan uang ganti rugi."
Bentak dua pedagang yang merugi itu. Jeha memejamkan mata, ia terkejut dengan suara tinggi. Meski di rumah sering kali dibentak sang ibu.
"Saya belum membawa uangnya, Pak. Secepatnya saya akan memberi uang ganti rugi itu. Bapak bisa membawa kartu ini sebagai jaminan."
"Je?"
Ry menyadarkan Jeha. Apa gadis ini yakin? Tapi sepertinya Jeha yakin dengan apa yang ia lakukan buktinya ia tak menyahuti Ry.
"Oke, awas kalau kamu kabur. Saya cari kamu ke sekolah kamu."
"Ayo, bubar!"
Warga membubarkan diri. Mereka kembali ke kegiatan mereka. Kedua pedagang membersihkan sisa piring dan gelas yang pecah.
"Kakek enggak apa?"
Jeha berjongkok. Ia memegang tangan sang kakek, bahkan nasi bungkus masih ada di genggamannya. Hati Jeha tersayat melihatnya, karena tak mempunyai uang beliau harus mencuri nasi bungkus.
"Ayo, berdiri, Kek!"
Ry membantu kakek itu berdiri, lalu membawa sang kakek ke depan toko yang sudah tutup.
Sang kakek meringis kesakitan. Ia mendudukkan kembali tubuhnya.
"Kakek, mana yang sakit?" Jeha bertanya seraya menangis. Ia tak kuasa melihat tubuh renta ini dipukuli. Tangan Jeha terulur untuk mengelus tangan kakek. Karena ketakutan tubuh kakek sedikit bergetar.
Semua itu tak luput dari perhatian Ry, ia dibuat terkejut dengan keberanian Jeha dan kini dibuat tertegun dengan Jeha yang begitu perhatian.
"Kakek, tenang ya. Nanti biar Jeha yang bayar."
Meski ia tak punya uang setidaknya ia mempunyai peluang mendapatkan sejumlah uang untuk mengganti rugi dari pada kakek ini yang harus mengganti atau bahkan mendekam di penjara.
"Terima kasih." Lirih kakek, matanya berkaca-kaca.
Ry membuka tas. Ia mengambil botol minumnya yang kebetulan masih utuh.
"Je?"
Jeha mengambil botol yang Ry ulurkan. Ia membukanya dan membantu kakek untuk minum.
Ry terus mengamati interaksi Jeha dan sang kakek. Jeha yang berusaha menenangkan sang kakek dan kakek itu perlahan tak gemetar.
***
"Ry, nasi Padang pesanan Bunda kamu!"
Jeha mengingatkan Ry tentang pesanan bundanya. Terlalu fokus membantu sang kakek, Ry sampai lupa nasi Padang itu.
Ia menghentikan motornya. Tepat di halte dekat mall grand, Ry berhenti.
"Aku turun di sini saja, sudah dekat kok."
Ada untungnya Jeha mengingatkan Ry.
"Yakin?"
Jeha mengangguk yakin.
"Itu helm biar gue yang bawa."
Sesuai perintah Ry, Jeha menyerahkan helm milik adik Edo.
"Terima kasih, Ry. Hati-hati."
"Ya."
Ry kembali melajukan motornya. Ia berputar balik menuju restoran nasi Padang yang menjadi langganan sang bunda.
Jeha menatap Ry yang semakin menjauh dengan motornya.
"Huh." Ia melanjutkan perjalanan pulang dengan jalan kaki. Sudah hampir isya, jadi Jeha harus cepat sampai rumah.
Kepalanya terus memikirkan cara agar ia dapat uang.
Jujur, Jeha tak menyesal. Justru jika Jeha berdiam diri, ia tak akan tenang.
"Kakek gimana ya. Maaf ya, Kek. Kalau saja Jeha sudah bekerja dan punya uang banyak. Jeha, bakal ajak Kakek tinggal sama Jeha."
Tadi sang kakek terus berterima kasih pada Jeha. Jeha dan Ry menemukan fakta bahwa kakek tadi terbiasa tidur di jalanan. Beliau tak punya rumah, dan selalu membawa gerobaknya untuk memulung.
Mata Jeha kembali berkaca-kaca. Ia sedih jika teringat hal tadi. Kenapa masih ada manusia yang tidak punya hati menyakiti kakek lemah itu.