Terhitung sudah empat hari Jeha bekerja untuk bu Sari. Ini hari Sabtu jadi ia bekerja full day.
Keramaian pasar sejak tadi pagi adalah pemandangan yang Jena lihat.
Orang-orang berlalu lalang sibuk dengan urusannya.
Jeha sedang menyusun kerupuk dan dagangan lain di rak. Sekarang jam lima sore. Baru kali ini ia mandi dan solat di pasar, rasanya agak risih karena mendengar keramaian pasar dari dalam. Beberapa kali, Jeha panik saat ada suara terdengar jelas. Padahal kamar mandi pasar sudah terpisah antara lelaki dan perempuan juga tempatnya bersih.
Cuman ya itu, Jeha terlalu parno. Selama ini hidupnya selalu dihabiskan di rumah.
Selesai dengan menata kerupuk, Jeha kembali berjalan ke belakang. Ke ruangan tempat penyetokan barang. Jeha menata kardus yang isinya telah ia keluarkan dan ia susun tadi.
Lumayan banyak kardus itu, Jeha menumpuk lalu ditali. Jeha membawa satu tumpukan kardus itu keluar. Ia akan membawa kardus ini bersama temannya yang lain.
"Iya, Mbak. Wih, emang anak itu ajaib."
Samar-samar Jeha mendengar percakapan. Ia tak bisa melihat siapa orang yang sedang asyik berbicara dengan bosnya karena terhalang kardus. Tapi sepertinya Jeha mengenali suara ini, kapan kiranya Jeha mendengar suara seperti ini.
"Kamu harus bersyukur punya anak dingin polos begitu." Keduanya lalu tertawa. Jeha sudah berada di belakang warung untuk meletakan kardus. Ia tak lagi mendengar suara percakapan ibu-ibu tadi.
"Kayak suara-"
Dengan penuh rasa penasaran, Jeha mengendap untuk melihat siapa lawan bicara bu Sari.
Ia sukses terkejut kala melihat mama Ry ada di sana.
"Duh, bagaimana ini."
Jika bundanya Ry itu tahu, Jeha ada di sini sudah pasti ibu cantik itu akan mengatakan pada mamanya. Jeha saja pamit pada kak Mira ada kerja kelompok, ia tak pernah pamit pada mama atau papanya. Dua orang tua itu hanya berbicara hal penting pada Jeha. Jadi bisa kalian simpulkan, ke mana pun Jeha pergi bukan masalah besar bagi mereka.
"Kalau Tante cantik tahu, bisa sampai ke Mama dong nanti."
Jeha tak terkejut mengenai kedekatan bu Sari dengan mamanya Ry. Lebih tepatnya, Jeha sudah terkejut saat ia mengetahui jika saudara yang bu Sari maksud adalah mamanya Ry.
Malam itu saat Jeha dan bu Sari pulang bersama, Jeha sampai sedikit begong kala bu Sari dengan santai berbelok ke rumah Ry. Polosnya Jeha masih bertanya, "ini rumah saudara, Ibu?"
Sudah pasti jawaban bu Sari kala itu mengiyakan. Entah saudara seperti apa yang pasti keduanya memang mirip, mirip kondisi keuangannya.
Setelah mendengar fakta itu, Jeha harus kembali bersandiwara. Ia sempat diajak masuk ke rumah Ry dan tentu saja ia menolak. Jeha harus pura-pura berjalan sampai perempatan gang karena bu Sari terus memperhatikan Jeha.
"Dik, ada yang beli!"
Teriakan bu Sari membuat Jeha sadar akan lamunannya. Kenapa harus ada pembeli di saat seperti ini.
Di tengah keadaan genting Jeha berusaha tetap berikir lalu sebuah ide terlintas di otaknya.
"Iya, Bu."
Jeha berjalan dengan langkah pasti. Ia harus bersikap biasa saja jika tak ingin ketahuan. Beberapa kali, ia membenarkan letak masker.
Ide yang terlintas di kepala Jeha adalah menyembunyikan wajah di balik masker.
"Beli apa, Bu?"
Jeha mulai melayani pembeli. Ia mendengar saat mama Ry menanyakan dirinya sebagai karyawan baru bu Sari. Untung saja, bu Sari tak menyebutkan namanya. Selesai melayani pembeli, Jeha kembali masuk ke ruang stok barang.
Ia melepas masker, keringat langsung menetes deras akibat gerah yang tak terkira.
Semoga bunda Ry tak sering-sering ke toko milik saudaranya ini. Jeha tak kuat jika memakai masker yang sumpek itu setiap hari.
Baru kali ini Jeha setuju jika dunia memang sempit.
***
Hari minggu, Jeha sudah izin bu Sari untuk kerja kelompok. Aneh memang kerja kelompok di hari minggu, kan hari minggu harinya bersama keluarga tapi itu tetap tak berlaku untuk Jeha.
Jeha sudah berdiri di halte mall. Ia menunggu bus jurusan daerah rumah Edo.
Begitu bus yang ia tunggu datang, Jeha segera naik. Ia duduk di dekat jendela.
Bus melaju begitu selesai menaikkan penumpang, Jeha mengamati sekitar. Ini masih terhitung pagi, semoga ia tak menjadi anggota terakhir yang datang.
Brum!
Jeha melihat Ry bersama motornya baru saja menyalip bus. Ternyata lelaki itu juga baru saja berangkat.
***
"Huh, selesai tugasnya. Pokoknya edit yang bagus ya, Edo. Muka gue yang kucel karena kepanasan harus lu edit!"
Perintah Novi, yang diperintah hanya mengangguk menyanggupi.
Tugas wawancara selesai dengan Novi sebagai pewawancara. Jeha sudah yakin sejak awal jika Novi pandai public speaking seperti Reni.
"Iya, nanti aku edit yang bagus. Enggak kucel kok, masih cantik seperti pertama bertemu."
Novi segera melayangkan tabokan. Beberapa pengunjung kafe tampak melihat ke arah meja mereka. Jeha cekikikan dan Ry menggeleng jengah.
Jeha melihat jam kafe yang sebentar lagi akan pukul sebelas.
"Em, temen-temen. Aku pamit dulu ya."
"Loh, Je. Cepet banget, mau ke mana sih?" Novi pasti menjadi orang pertama yang tidak setuju Jeha pergi.
Edo dan Ry ikut melihat ke arah Jeha. Jeha menggigit bibir bagian dalamnya.
"Aku harus antar Kakak ke rumah sakit. Maaf ya."
Mendengar alasan Jeha yang menyangkut kakaknya, Novi tak bisa mencegah. Ia bahkan menawarkan diri untuk mengantar Jeha tapi Jeha tak mau.
"Duluan ya."
"Hati-hati, Je!"
Jeha mengangguk.
"Itu tas isi apa? Gede kayak orang bawa bom." Edo berkomentar mengenai tas punggung milik Jeha yang tampak mengembung.
"Iya bom, buat ngebom elu!" Balas Novi sewot.
Ry menyeruput minumannya. Matanya sedari tadi mengikuti pergerakan Jeha yang berjalan keluar dari kafe.
***
"Terima kasih, Mbak."
"Sama-sama, Bu."
Jeha meregangkan otot tangan. Mengangkat satu kardus air mineral gelasan adalah hal mudah bagi Jeha. Ia terbiasa mengangkat galon di rumah.
"Je, salat dulu, Nak."
Jeha terpaku. Nak? Bu Sari memanggilnya.
Sepertinya panggilan bu Sari pada dirinya baru saja berubah, entah kenapa hati Jeha menghangat mendengar panggilan itu.
Seakan Jeha ini sangat diperlukan dan sangat disayangi. Tentu saja mendengar mama memanggilnya dengan sebutan itu adalah kemustahilan. Masih memanggil nama Jeha saja sudah bersyukur.
"Baik, Bu."
Jeha berjalan masuk ke toko. Ia akan mengambil peralatan salatnya terlebih dahulu.
Tak Jeha sadari, sejak tadi seorang lelaki memperhatikannya dari atas motor. Ia sudah mengamati Jeha sejak gadis itu datang dan melayani pembeli pertamanya hari ini.
Lelaki itu memakai kembali helmnya lalu menghidupkan motor dan bersiap pergi dari sana.
Ia benar, mereka adalah gadis yang sama.