Bertemu dengan hari senin lagi, Jeha masih ada di rumah walau jam sudah menunjukkan pukul enam lebih.
Jeha duduk di sofa ruang tamu saat mama memapah kak Mira turun dari tangga. Jeha berdiri, ia ingin membantu kakaknya juga.
"Pelan-pelan sayang."
Jeha memegang lengan kanan sang kakak dan membantunya untuk duduk di sofa.
"Papa mana sih, lama benget."
Mama berjalan menuju lantai dua lagi. Ia menggerutu karena sng suami terlalu lama turun. Padahal baru beberapa detik yang lalu ia berada di lantai satu.
"Je, maaf ya. Kamu jadi terlambat masuk."
"Enggak apa, Kak." Jeha mengelus lengan kakaknya. Rutinitas cuci darah Mira mengharuskan Jeha izin terlambat masuk.
Meski darah Jeha tak setiap saat dibutuhkan tapi untuk berjaga hari ini Jeha ikut mengantar. Ia juga ingin tahu perkembangan kakaknya.
"Udah, Pa. Ayo cepet! Tenang kita nanti nomor satu, Mama udah janjian sama Dokter Kemal."
Semua telah bersiap, kali ini kakak kembar nomer dua, Deka yang mengantar Mira cuci darah.
***
Sampai di rumah sakit, Mira langsung masuk ke ruang tindakan. Tidak perlu mengantre karena dia nomor urut satu untuk hari ini.
Jeha yang mengenakan baju seragam dengan dilapisi kardigan telah selesai melaksanakan tugasnya. Apa lagi kalau bukan memberikan darahnya pada Mira.
Ia mengelus lengan yang tadi menjadi tempat pengambilan darah. Di sana terasa sedikit nyeri.
"Ma, Pa, Jeha berangkat ke sekolah dulu."
Jeha menyodorkan tangan, papa membalas uluran tangan Jeha sembari meliriknya. Entah apa maksud lirikan itu Jeha tak tahu.
Berbeda dengan mama yang seperti ogah-ogahan memberikan tangannya untuk Jeha cium.
Setelah kedua orang tuanya, kini Jeha beralih ke Deka yang sedang memainkan ponsel. Lelaki itu mempunyai jadwal kuliah agak siang jadi ia bisa mengantar adiknya Mira untuk cuci darah.
"Hati-hati." Katanya lirih, dibalas anggukan oleh Jeha. Masih jam sembilan kurang dan ia telah izin ke wali kelas.
Jeha segera keluar dari area rumah sakit. Hari ini ada ulangan matematika, dan ia sudah belajar tadi malam. Meski nilai yang didapat tak melulu bagus setidaknya Jeha telah berusaha. Jam pertama pelajaran bahasa Indonesia, mungkin tadi dihabiskan untuk presentasi. Pun, tugas kelompoknya sudah selesai tinggal mengumpulkan.
Ia sudah makan tadi jadi Jeha tak terlalu pusing.
Sampai di halte, Jeha mendudukkan diri.
"Bang Deka." Lirihnya. Hanya kalimat hati-hati yang abangnya katakan, nyatanya hal itu membuat hati Jeha menghangat.
Sewaktu kecil, kakak terdekatnya adalah Deka. Ia yang mengajari Jeha bersepeda, berenang, menulis, dan membaca. Tapi entah kenapa semenjak sekolah dasar kelas dua kakaknya itu seakan menjauh.
Jarang mengajaknya berbicara atau bermain.
***
Ulangan matematika sedang berlangsung. Siswa dibagi menjadi dua kloter. Beruntung Jeha ada di kloter pertama, karena jika berlama-lama pelajaran yang tadi malam ia pelajari akan hilang. Meski sekarang pun Jeha sedang menggaruk kepala karena bingung.
"Ini habis di kali gimana ya?" Gumam Jeha. Ia duduk di dekat tembok, bukan tempat duduknya karena diacak.
Rasanya, Jeha ingin tertidur. Ia sedikit pusing mengerjakan soal matematika yang berjumlah lima. Iya, jumlahnya lima tapi semua berupa soal cerita. Mantab!
Ry yang duduk di belakang Jeha mendongak. Ia mengamati Jeha yang kini bersandar ke tembok.
Ry mengamati sekitar, temannya yang lain tampak sibuk dan fokus mengerjakan. Ia memanjangkan kaki dan menggerakannya ke kursi yang sedang Jeha duduki.
Sontak hal itu membuat Jeha menoleh. Ia sedikit mencuri kesempatan agar guri yang sedang duduk di kursinya tak curiga.
Jeha menggerakan mulut seakan meminta Ry mengutarakan niatnya. Tak mungkin Ry mau memcontek dirinya karena lelaki itu jauh lebih pintar dari Jeha. Ingat! Jauh lebih pintar.
"Habis dikali, lu buat jadi bentuk pecahan desimal."
Jeha tertegun sebentar, apa lelaki ini mendengar suara Jeha tadi.
"Eh? Iya, terima kasih."
Sebelum mengerjakan soal itu kembali. Jeha mengulum senyuman. Suaranya sekecil tadi bisa didengar Ry dan kenapa lelaki itu berinisiatif membantunya.
Duh, Jeha benar-benar terlalu pede. Ia menepuk pelan pipinya dan segera mengerjakan soal seperti arahan Ry.
Semua yang terjadi tak luput dari perhatian Selsa. Ia mendengus sebal karena Ry mencuri waktu berbicara dengan Jeha. Apa ia melewatkan sesuatu. Tapi kenapa wanita itu harus Jeha?
"Dasar, rubah kecil! Gue harus waspada."
Yang lugu seperti itu memang lebih berbahaya.
***
Kloter satu telah menyelesaikan soal kini giliran kloter dua. Novi yang ikut dalam kloter itu tampak santai mengerjakan soal. Ada Edo yang duduk di bangku seberangnya. Oh ya, setiap meja hanya diisi satu siswa.
"Je, tolong ambil in minyak kayu putih di UKS dong."
Selsa mendekati Jeha yang sedang duduk di lantai depan kelas.
Jeha mengangguk. Sudah lama sejak terakhir kali Selsa menyuruh dirinya. Karena setiap Selsa akan membuat Jeha menjadi pesuruh ada Novi yang melarang Jeha untuk mematuhi perintah Selsa.
Tapi kali ini bukan karena Jeha takut, ia hanya mau membantu.
Jeha berjalan ke UKS yang ada di lantai satu. Ia menuruni tangga dan belok kanan. Sampai di ruangan kesehatan itu, Jeha mengetuk pintu sebelum masuk. Karena tidak sopan jika ia langsung masuk dan ada orang di dalamnya.
Ternyata tak ada orang di dalam ruangan itu, petugas kesehatan juga tak ada di sana. Jeha berjalan mendekat ke arah kotak kesehatan dan segera mengambil minyak kayu putih.
Sebelum kembali ke kelas, Jeha mampir ke kamar mandi terlebih dahulu. Ia ingin menuntaskan hasrat buang air kecilnya.
Lagi-lagi kamar mandi dekat ruang kesehatan itu sepi. Jeha masuk ke salah satu bilik yang kosong.
Selesai dengan urusannya, Jeha membuka pintu. Tapi-
"Loh, pintunya."
Jeha mencoba menurunkan kembali gagang pintu itu tapi tetap pintu kamar mandi itu tak bisa dibuka.
Terdengar suara cekikikan dari luar. Jeha menunduk dan melihat bayangan sepatu dari celah pintu.
"Tolong! Siapa pun itu!"
"Apa? Mau gue tolong in? Mimpi lu!"
Lalu terdengar suara tawa beberapa orang. Jeha tahu siapa pemilik suara itu.
"Sel, kamu kenapa kunci in aku."
"Huh, siapa suruh genit sama Ry."
"Genit." Kata Jeha lirih. Sejak kapan Jeha genit.
"Ya ampun, Sel. Sejak kapan aku genit sama cowok bahkan sama Ry."
"Halah, dasar muna. Pokoknya ini belum seberapa ya. Awas kalau lu macam-macam."
"Ayo, girls! Kita cabut!"
Lalu suara langkah kaki meninggalkan kamar mandi terdengar. Jeha duduk di atas toilet duduk. Jam istirahat masih lama dan jarang siswa yang masuk ke kamar mandi dekat ruang kesehatan ini.
Entah karena panik atau bagaimana pandangan Jeha menjadi kabur. Ia merogoh saku baju seragam dan mengambil minyak kayu putih tadi.
Baru saja tangannya ingin menbuka tutup benda itu, tak sengaja botol itu jatuh dan menggelinding melewati celah pintu.
Jeha semakin panik apa lagi kini tangan dan kakinya gemetar. Pandangannya semakin kabur dan yang Jeha lihat terakhir kali adalah pintu kamar mandi yang masih tertutup.
Jeha pingsan! Pingsan untuk kesekian kalinya.