Berjalan dengan pelan, Ry memasuki kamarnya. Ia melepas jaket kulitnya dan meletakkan benda itu di tangan.
Sebelum menaiki tangga, Ry lebih dahulu memastikan situasi. Ia mengedarkan pandangannya ke ruang tamu dan ruang keluarga. Lalu celingukan berusaha melihat ke atas guna memastikan bundanya belum pulang.
Tapi seharusnya memang belum pulang. Merasa aman, Ry melanjutkan langkah kaki dengan santai.
"Aman."
"Den, Ry!"
Ry hampir berteriak jika saja ia tak bisa mengontrol mulutnya. Ry mengelus dada melihat bibi berdiri di dekat sofa.
Huh, siapa lagi memang yang memanggil dirinya Aden?
Bibi tersenyum kikuk karena tak sengaja mengagetkan tuan mudanya. Ia tadi melihat bagaimana Ry berjalan mengendap masuk rumah.
"Iya, Bi?"
"Aden, habis keluar ya?"
"Iya, Bi. Biasa habis nongkrong sama Edo." Ry berusaha bicara sesantai mungkin.
"Den Edo tadi dari sini. Nyari Den Ry, terus Bibi ke kamar Aden. Adennya enggak ada."
Bibir Ry berkedut. Sial, sekali berbohong kenapa tidak berjalan dengan mulus.
"Itu, tadi ketemu di tongkrongan kok, Bi."
Bibi mengangguk paham. Ry lega karena bibi sepertinya percaya. Dalam hati ia merutuki dirinya sendiri, benar kata orang jika kita berbohong maka kita akan membuat kebohongan lain untuk menutupi kebohongan kita.
"Bunda belum pulang, Bi?"
"Belum, Den. Paling sebentar lagi."
"Kalau begitu, Ry ke atas dulu, Bi."
Ry harus membersihkan diri dan berganti baju. Ia gerah setelah dari kerumunan tadi.
"Baik, Aden. Bibi juga mau balik ke belakang."
Ry melanjutkan langkahnya. Ia segera masuk ke kamar tapi sebelum mengambil baju di lemari, ia duduk dan mengutak-atik ponselnya terlebih dahulu.
Ia berterima kasih pada kawannya yang tadi telah membantu. Meski telah membagi hadiah dengan temannya itu. Ry tetap berulang kali mengucapkan terima kasih.
Jika bukan bantuan darinya, mungkin Ry tidak bisa menyiapkan diri dengan baik.
Ry masuk ke kamar mandi, ia meletakkan ponselnya di atas ranjang.
Drrt!
Sebuah pesan masuk bertepatan Ry menutup pintu kamar mandi.
Drrt!
Disusul pesan selanjutnya dari pengirim yang sama.
***
Jeha siap pergi dengan tas selempangnya. Ia memakai jaket untuk menghindari kulitnya dari udara malam yang dingin.
Sebenarnya ia ingin pergi sejak tadi tapi karena harus menemani sang kakak menyelesaikan komik, Jeha harus bertahan lama di kamar kakaknya.
Saat ini Jeha berjalan mengendap. Ia tak mau ada orang rumah yang tahu tentang kepergiannya. Meski tak akan ada yang menyadari kepergiannya selain sang kakak, Mira.
Setelah berhasil melewati pagar, Jeha bisa bernafas lega. Sekarang ia harus menyetop bus di halte. Belum terlalu malam karena bus terakhir ada di jam sepuluh nanti. Semoga urusannya segera selesai.
***
"Pak!" Jeha memanggil pedangan yang tempo hari dagangannya dirusakkan oleh kakek. Tampak lelaki paruh baya itu berdiri. Ia sedang ngopi bersama temannya termasuk si penjual bajigur.
Mereka tak bisa berjualan karena gerobak serta peralatan yang rusak. Oleh karena itu, meski mereka meminta uang ganti rugi yang tak wajar Jeha tetap menyanggupi membayar sebesar yang mereka minta.
Kawasan ini memang digunakan untuk berjualan aneka makanan dan minuman. Mudah bagi Jeha untuk menemukan keduanya karena mereka sendiri yang bilang akan menunggu Jeha membayar uang ganti rugi di sini.
Kedua pedagang itu datang menghampiri Jeha.
"Pak, sebelumnya saya min-"
Jeha merogoh amplop yang berisi sejumlah uang di dalam tas selempang.
"Mbak, terima kasih. Maaf kemarin kami terlalu arogan."
"Eh? Terima kasih apa ya, Pak?"
Jeha belum melakukan apa pun. Serta Jeha belum bisa membayar penuh ganti rugi yang mereka minta. Ini saja uang yang ia dapat dari meminjam bu Sari. Entah Jeha harus berterima kasih dengan cara apa, yang pasti ibu baik itu memberi tawaran Jeha karena mendengar cerita Jeha tentang kejadian kakek tempo hari yang lalu.
Tadi pun, bu Sari ingin ikut bertemu kakek dan ingin membayar uang ganti rugi tapi Jeha menolak. Ia sudah berniat membayarnya walau akan ia cicil.
"Tadi teman, Mbak datang dan sudah membayar ganti rugi untuk kami."
"Teman yang mana, Pak?"
Jeha bingung, Novi? Tak mungkin gadis itu bukan? Bahkan Novi saja tak tahu kalau Jeha sedang bekerja untuk mengganti pendagang ini.
"Itu, Mbak. Yang waktu itu sama Mbak."
"Ry?" Lirih Jeha.
Yang waktu itu bersama dengannya adalah Ry.
"Masnya sudah ganti uang kita, Mbak. Terima kasih, dan maaf karena kejadian waktu itu."
Jeha mengangguk. Ia berjalan menjauhi dua pedagang itu.
Jadi Ry telah membayar ganti rugi. Lalu kenapa lelaki itu tak memberitahukan hal ini pada dirinya. Dan kenapa Ry harus repot-repot melakukan ini untuknya.
***
Ry melihat lawan bicaranya dengan tajam. Ia mendengus kesal, kenapa harus orang ini yang memergoki dirinya.
"Ry, kenapa dah? Lu lihat gue dah kayak mau makan gue aja."
Edo dengan santai meminum es kopinya. Ia ingin jingkrak-jingkrak melihat wajah kesal Ry.
"Emang. Gue mau jadi in lu perkedel."
Edo tak bisa menahan tawanya. Kapan lagi ia melihat Ry yang biasa darat menjadi penuh ekspresi. Ekspresi marah tentu saja.
"Btw, Ry. Lu tadi yang bikin Selsa marah-marah di parkiran, kan?"
Ry menaikkan sebelah alisnya.
"Tuh, kan. Emang elu. Siapa lagi yang bisa bikin nenek lampir jerit-jerit."
Ry memutar bola matanya. Ia meminum es miliknya.
"Ada urusan apa lu sama si nenek lampir?"
"Dia ganggu gue tadi. Ya gue bilang aja kalau gue enggak suka dia."
Edo kembali tergelak. Jika tadi ia lebih cepat datang ke tempat parkir mungkin ia bisa menyaksikan Ry mengeluarkan kalimat pedas.
"Gila lu! Cewek lu gitu in."
Dengan cuek Ry mengangkat kedua bahunya. Ia tak peduli, yang penting ia bisa lepas dari Selsa.
"Lu tahu kenapa Jeha sampai pingsan di kamar mandi tadi?"
Edo menggeleng.
"Ya gara-gara ulah Selsa."
"Wih, psyhco tuh cewek."
Dalam hati Ry membenarkan kalimat Edo. Psycho dan terlalu obsesi, juga merasa superior tampaknya sangat menggambarkan Selsa. Andai gadis itu bisa menjaga perangainya mungkin banyak lelaki yang suka pada dirinya.
Tapi tidak dengan Ry, ia tetap tak suka Selsa meski orang itu berperilaku lembut. Selsa dengan wajah menyebalkan seperti itu mana bisa berubah. Ry melihat wajahnya saja ingin segera pergi dari sana.
"Gue sedikit lega, setelah ini dia menjauh dari gue. Dan gue enggak akan diganggu sama dia. Kalau dia masih aja ganggu gue, kayaknya tuh bocah dah geser otaknya."
Edo tertawa kembali.
"Santai, Ry. Btw, lu lepas dari nenek lampir sekarang lu berurusan sama kakek lampir." Edo cengar-cengir.
"Maksud lu?"
"Hehehe, gue butuh sesuatu yang bisa mengunci mulut gue. Lu enggak mau Tante tahu elu balapan lagi, kan?" Edo tersenyum cerah menampilkan giginya.
"Sialan lu! Dasar kakek lampir!"