Deg!
Tanpa memedulikan Jeha yang kian menunduk. Mama pergi, kembali ke kamarnya yang terletak di lantai dua.
Dengan langkah gontai, Jeha memasuki kamarnya. Kamar yang tak pernah ia kunci bahkan memang tak bisa dikunci itu tempat satu-satunya yang menjadi saksi bisu air mata Jeha selama ini.
Tubuh Jeha merosot begitu ia menutup pintu. Ia bersandar pada pintu dan mendongak menatap langit-langit kamarnya yang sebagian sudah rusak.
Ia sudah terbiasa dengan semua sikap dingin mama, papa, dan kedua kakak kembarnya. Tapi untuk kali ini Jeha tak dapat menahan air mata.
Jual diri.
Bahkan hal itu tak pernah terlintas di pikiran Jeha. Ia masih mempunyai harga diri meski terkadang orang-orang tak memperlakukannya dengan baik. Ia ingat perkataan pak Ustadz, di mana dosa anak bisa berimbas pada orang tua. Jeha tak mau kedua orang tuanya sengsara di akhirat karena dirinya.