Duda bermata ash yang sudah selesai membayar belanjaanya itu menoleh pada sang putra yang menariki lengan bajunya. Belum sempat melihat apa yang ditunjuk Joe, Alan langsung bergerak cepat menyusul langkah cepat bocah kecil yang berlari di antara mata-mata yang memperhatikan bocah cerewet berpipi tembem yang enak dipegang itu berlari.
"Onty...!!"
Nara terkejut meski wajah dinginnya tak berubah sama sekali. Begitupun Carter yang memandangi bocah kecil yang memeluk kaki Nara, bocah kecil yang mendongak menatapi dirinya dengan pandangan penuh tanya, "who are you?"
'Wow, anak yang pemberani,' Carter menjejerkan pandangan matanya dengan Joe lalu menjulurkan tangan, "hei, Young Man, my name Maxime lourne Carter. You can call me Max or Carter."
Joe langsung menjabat tangan besar Carter, "aku Joenathan, you can call me Joe."
Carter mengangguk pada jabatan tangan kecil namun mantab bocah kecil yang lalu menatapi Nara. Wanita dingin yang menoleh pada suara langkah kaki Alan.
"Daddy...!" Panggil Joe pada pria yang mengusap kepalanya sementara tangan satunya membawa kantong coklat berisi belanjaan. Carter berdiri dan bertukar pandangan dengan Alan yang manatap lobi hotel yang petugasnya memperhatikan.
"Kalau begitu saya pamit dulu, Nona Larson," ucap Carter menyalami Nara yang mengangguk.
"Thank you, Carter."
Dokter muda itu merasa sedikit aneh karena wanita dingin ini tidak pernah melupakan panggilan 'Dokter' padanya. Bahkan beberapa saat lalu dan sekarang ia hanya memanggilnya Carter?
Sesaat dokter muda ini menoleh pada lelaki yang Joe panggil daddy. Pria yang memperhatikan dirinya-bukan- tapi, tangannya yang dijabat Nona Larson. Seolah paham, Carter mengangguk lalu pamit pada Joe juga lelaki asing yang masih menatapinya.
"Bye-bye, Max," Joe melambaikan tangan sampai Carter menutup jendela mobil yang ia kendarai. Dari spion ia melihat pria asing itu merangkul pinggang Nara. Sementara bocah kecil yang masih memeluk kaki Nara mulut kecilnya bergerak entah berceloteh apa. Tapi, itu pasti hal yang sangat menarik melihat pancaran sinar dari mata jernih Joe.
"So, ride a bike?"
Alan tersenyum melihat Nara memperhatikan putranya yang memakai pakaian lengkap meski tanpa helm. "Dia memaksa ikut, Darling. But, wa're a good pair, don't you think?"
Wanita dingin yang jadi menatapi Alan dari atas kebawah ini kemudian menatapi bocah kecil yang sungguh split image dari sang ayah. Hanya saja pipi Alan tak setembem fersi kecilnya.
"Onty, we will eat fish tonight."
Nara menunduk saat angin dingin berhembus lalu menggendong bocah kecil yang melingkarkan tangan kecilnya ke leher Nara, "it's sound good, Joe. Tapi, ayo kita masuk dan hangatkan perutmu dengan segelas susu almond."
"Can i have cheesecake to, please?"
Greeter hotel yang mendengar itu bahkan tak bisa menahan senyum lalu membuka pintu untuk mereka bertiga yang masuk dengan celoteh Joe mengiringi langkah. Celoteh bocah cerewet yang mampu membuat ruangan hangat makin dipenuhi senyum siapapun yang mendengar meski di luar cuaca begitu dingin.
"Di mana baju tasmu?" Tanya Alan mendapati Nara tak membawa apapun saat keluar dari hotel, "aku meninggalkannya dengan Iori."
"Juga jas hangatmu?" Alan melepas jaketnya begitupun sarung tangan yang langsung ia pakaikan pada tangan Nara yang menggendong Joe. Bocah kecil ini tidur setelah kenyang makan tiga potong cheesecake dan segelas susu almond hangat.
"Aku tak percaya kau naik motor dalam cuaca seperti ini."
Alan hanya tersenyum sambil merekatkan perekat di sarung tangannya yang sudah dipakai Nara, "it's faster, Darling."
"Dan dingin."
Alan langsung mengecup bibir Nara dengan senyum dibibirnya. Namun, kecupan sekali tak cukup dan ia terus mengecupi bibir wanita dingin yang ternyata lebih hangat dari gadis-gadis yang ia kencani. Bahkan saat taxy yang mereka pesan datang, bibir Alan masih ingin terus menempel pada bibir Nara, "kamu tak ingin pulang dengan kami?"
Suara Alan yang wajahnya masih begitu dekat dengan wajah Nara, membuat Nara diam sampai ia mengecup bibir Alan, "aku akan pulang kerumahmu saat urusanku selesai, Tuan Sulivan. And let's eat your fish," Alan menatapi wanita yang menggendong putranya ini, "dan tinggalkan saja motormu lalu masuklah ke taxy yang sudah menunggu itu."
"Kenapa kau terlihat sekali membenci motorku, Nona Larson? Apa karena kau tak bisa mengendarainya?"
Wajah Nara bahkan tak berubah pada lelucon Alan yang penuh ejekan, "well, aku memang tak bisa mengendarai motormu, tapi aku tak membencinya."
"Well, setidaknya kamu sudah mengendaraiku, Nona."
Manik mata hitam pekat Nara sedikit membesar mendengar bisikan Alan yang mengecup telinganya dengan tawa, "dia pasti berat, bukan?" Lalu mengangkat tubuh lelap Joe dari gendongan Nara yang masih mematung. Alan mengecup sekali lagi tapi kali ini di pipi Nara, "aku pulang dulu."
Nara menutup pintu taxy yang ia buka lalu melambaikan tangan pada jendela yang dibuka Alan. Wanita dingin itu, tetap berdiri di tempat sama sampai taxy yang melaju bahkan derunya tak lagi terdengar.
*
Aroma Alan masih tercium bahkan saat jaket Alan sudah tak menempel di badan dan ia gantungkan. Mata Nara menatapi Rei yang duduk diam disamping Iori yang menganggukkan kepala, bocah kecil itu sudah duduk di sofa meski tubuh kecilnya tampak kaku tak terbiasa.
Nara menarik nafasnya dalam sebelum melangkah dan duduk. Rey masih diam menatapi ubin sampai Nara menggeser duduknya dalam diam sambil membuka ponsel. Sementara Iori tersenyum melihat sang majikan sesekali melirik bocah kecil yang nampak nyaman berada di samping Nara. Meskipun tak bicara sepatah kata pun.
"Apa hidup mereka buruk, Iori?"
Iori menoleh pada sang majikan yang masih membaca artikel tentang trauma, "itu bukan hidup yang dibayangkan nona Ais, Nona Besar. Ataupun kita semua."
"Seburuk itu?"
"Indeed, Ma'am."
Nara yang jadi diam meski matanya menatapi layar ponsel merasakan lengannya makin berat lalu menoleh pada tubuh kecil yang bersender padanya, "biar saya."
"Tak apa," ucap Nara membuat Iori yang hendak mengangkat tubuh lelap Rei berhenti. Meski pelayan setia ini tetap mengubah posisi Rei supaya posisi tidurnya lebih nyaman dengan berbantal paha wanita dingin yang menatapi anak dari adik dan mantan tunangannya.
Apa yang sedang Nara pikirkan atau rasakan saat ini? Iori bahkan tak ingin menebak ataupun menerka, "anda mau minum teh, Nona?" Lalu tersenyum saat Nara mengangguk.
Iori menghampiri dapur kecil dalam kamar hotel luas yang pemandangan dari balkonnya begitu indah. Tapi, saat kembali dengan teh hangat yang selalu bisa membuat Nara merasa lebih baik hanya dengan menyesap aromanya saja, senyum Iori tercetak melihat sang majikan juga ikut memejamkan mata.
Tangan Nara menyentuh tangan kecil yang juga terlelap sementara ponsel Nara tergeletak, "saya akan bangunkan anda satu jam lagi, Nona besar," ucap pelayan tua yang melihat jam tangannya.
*
Nara membasuh mukanya dengan air dingin setelah dibangunkan. Sementara Rei sudah di pindahkan Iori ke dalam kamar. Ditatapinya tangan kanannya sendiri beberapa lama sampai ia menarik nafasnya dalam. "Ais, kamu benar-benar sudah mati, ya?"
Nara meremas tangan kanannya erat dengan mata tertutup, lalu menarik nafas dalam sekali lagi. Saat manik hitam pekatnya terlihat Nara menatapi pantulan diri yang terlihat begitu kesepian.
"Anda mau kembali sekarang, Nona?" tanya Iori menyerahkan handuk yang lalu Nara gunakan untuk mengelap wajah. Tak berselang lama ia menerima kembali handuk dari wanita dingin yang menatap pintu kamar yang rapat tertutup.
"Mungkin sebentar lagi."
Jawaban Nara membuat Iori mengangguk dengan senyum, "kalau begitu saya akan buatkan anda teh."
Nara hanya mengangguk pada pelayan tua yang meninggalkannya. Wanita dingin yang jadi diam itu kemudian menghampiri kamar gelap yang lampunya sengaja dimatikan Iori supaya mata Rei tak silau saat bangun nanti.
Mata Nara yang mulai terbiasa dengan cahaya remang kamar membuka pintu tapi, ia tak melihat tubuh kecil yang seharusnya berbaring di atas kasur dengan selimut hangat. Matanya berkeliling menyusuri kamar luas juga tiap sudutnya.
Sampai ia melihat kilauan mata yang membuat Nara bisu.
Rei yang seharusnya tidur, duduk di lantai menatapi jendela begitu fokus. Bahkan, saat Nara menyalakan lampu Rei tetap duduk di pojok ruangan dengan mata lebar terbuka tanpa berkedip. Seolah seluruh dirinya terhipnotis dan tak bisa kembali. Bahkan saat Nara mendekat lalu memanggil Rei, bocah kecil itu sama sekali tak merespon apapun.
"Rei?"
Panggilan Nara sama sekali tak masuk pada telinga Rei sampai Nara berteriak keras memanggil Iori yang langsung datang dengan berlari, "IORI!"
"Nona?" Iori yang melihat majikannya bingung tak tau harus berbuat apa, melihat bocah kecil yang diam kaku dengan mata lebar. Ia menoleh pada arah pandangan Rei.
Jendela? Ada apa di sana-- 'tali?' saat tangan Iori menyibak gordin untuk menutup tali, ia melihat pandangan Rei yang seolah terhipnotis berubah namun tetap diam, membisu, kaku.
SRRRRAAAKKK!!
Iori langsung melepaskan gordin dari jendela yang ia tarik kuat tak perduli jika apa yang ia lakukan akan membuat gordin tebal itu sobek. Iori hanya berpikir ia harus menyingkirkan tali apapun yang menjuntai dalam kamar, segera!
Meskipun itu hanya tebakan. Tapi, potret Cyntia yang tergantung dengan seutas tali di lehernya langsung terbayang dalam benak Iori. Belum lagi, saat bantuan datang Rei ada di kamar sama dengan tubuh Cyntia dan Hans yang sudah kaku.
Nara yang masih bisu hanya bisa memperhatikan gerakan cepat kaki dan tangan Iori sampai Iori menutup mata Rei yang terus diam di hadapannya, "tidak apa, Tuan kecil. Tidak apa, tidak apa, Tuan kecil."
Seperti menenangkan bocah yang menangis, Iori terus menutup mata Rei yang lebar terbuka dalam bisu dan kaku. Sementara Nara hanya berdiri di tempat sama menatapi keduanya.
Nara dan Iori hanya terus menunggu sampai kesadaran Rei kembali.
Bocah kecil yang tampak tak menyadari apa yang terjadi pada dirinya ini menoleh pada Iori, pelayan tua yang tersenyum seolah tak terjadi apapun, tangannya turun dari mata Rei yang ia tutup agar tak terus memperhatikan jendela yang juntaian talinya sudah ia singkirkan, "anda sudah bangun, Tuan Kecil?"
Rei hanya mengangguk lalu menatap wanita dingin yang masih berdiri di tempat sama, "Nona, duduklah bersama kami."
Mendengar itu Nara duduk di samping Rei meski kakinya kaku tak biasa, lalu menoleh pada pemilik tangan kecil yang menggenggam tangan kananya tanpa kata.
Meski tangannya jadi bergetar Nara meremas lembut tangan Rei yang terus membisu tak bersuara.
Lega bukalah kalimat yang bisa menggambarkan manik hitam pekat yang dilihat Iori saat ini, "saya akan buatkan teh dan susu coklat untuk anda dan Tuan kecil, Nona." Rei hanya menatapi Iori yang tersenyum.
"Iori-- terimakasih."
Ucapan Nara membuat manik hazel Iori membesar lalu tersenyum dengan anggukan meski saat wajahnya berbalik setelah melihat ekspresi Nara, wajah ramah Iori menghilang dan mengeras.
Semua yang dilakukan Iori hanya tebakan dan respon cepat. Tapi, Iori harus melakukan apa yang ia pikirkan karena Rei sama sekali tak mau bicara. Menolak untuk bicara.
"Jika anda tau hasilnya akan seperti ini, apa anda akan menyesal nona Ais?" ucap Iori pelan mengingat gadis bodoh yang bahkan tak menunjukan penyesalannya setelah hamil dengan tunangan kakaknya sendiri.
[Iori, apa kakak akan datang ke pesta pernikahanku?]
Iori menarik dalam nafasnya lalu menggeleng mengingat ucapan Cyntia dahulu, "mungkin tidak, karena anda sudah mati. Tapi, apa anda tahu, nona ais? anda tetap meninggalkan luka pada yang hidup."
*
"Daddy, Onty Nara come!" seru Joe mendengar deru kendaraan saat Alan masih sibuk di dapur.
"Bisa kau buka pintunya dulu, Sayang?"
"Ng!" Joe langung turun dari kursi kecilnya lalu berlari ke depan dengan semangat. Iaa langsung naik tangga kecil untuk memencet tombol agar kunci pintu terbuka, tangan kecilnya meraih gagang pintu dengan berjinjit, senyum lebar Joe tercipta menyambut onty Nar- "hallo, Darling."
Senyum Joe langsung hilang mendapati siapa yang sedang berdiri di depan pintu. Tangan kecilnya langsung mendorong pintu supaya tertutup lagi tapi, wanita yang gerakan tangannya lebih cepat dari tangan kecil Joe langsung menahan pintu agar terus terbuka, "ow, to bad, Little Devil."
Bibir Joe langsung cemberut apalagi wanita berkaki jenjang yang pakaiannya minim tak perduli pada dinginnya cuaca itu langsung masuk dengan menyeret koper, "di mana daddy-mu, Joe?"
"Tidak ada," bohong Joe, membuat wanita yang topinya begitu lebar ini mengangkat sebelah bibirnya, "kau tahu berbohong itu hal buruk, bukan?"
"Kitchen," jawab Joe dengan suara kecil pada wanita tinggi semampai yang tersenyum lalu mengecup pipi Joe, meninggalkan bekas lipstik yang langsung Joe hapus.
"Don't kiss me."
Bocah kecil ini sangat tak suka dengan kedatangan wanita yang tersenyum dan langsung masuk ke dalam rumah dengan langkah ringan menyeret koper meninggalkan bocah kecil yang masih cemberut menatapi jalanan sepi, "aku tak suka onty Ciara."
Mata Joe langsung melebar saat melihat cahaya terang mobil yang membuatnya tersenyum. Rasa kesalnya langsung hilang saat tau siapa yang turun dari kursi pengemudi. Sementara, pemilik manik mata hitam pekat yang turun memperhatikan bocah kecil yang menarik tangga kecilnya untuk menahan pintu agar tak tertutup lalu terkunci.
"Apa kamu menungguku?"
Joe mengangguk lalu menjulurkan tangannya minta digendong, entah sejak kapan Nara merasa tak keberatan mengangkat tubuh kecil yang langsung melingkarkan tangan di lehernya. Tangan dari anak cerewet yang pipinya enak dipegang.
Mata Nara memperhatikan lipstik merah yang masih tersisa di pipi dan telapak tangan Joe, "apa daddy-mu ada tamu?" Melihat Joe yang mendengus kesal lalu menggembungkan pipi, Nara memilih menghapus noda di pipi merah yang pemiliknya cemberut lalu melingkarkan erat tangan kecilnya di leher Nara.
"Bagaimana kalau sambil menunggu ikan kita matang, kamu main dulu di kamar Onty?"
Joe yang masih melingkarkan tangannya menatap Nara lalu menoleh pada dapur, bocah yang rasanya bisa melihat wanita berkaki jenjang itu sedang bersama Daddy-nya jadi diam lalu mengangguk. Nara tak mengerti apa yang sedang berkecamuk di kepala kecil yang menyandarkan diri pada ceruk lehernya ini. Tapi, itu pasti hal yang tak Joe sukai.
"Onty?" Nara menoleh pada Joe yang duduk di atas kasur, "apa aku boleh tidur bersama Onty?"
Nara yang sedang memilih baju meninggalkan lemari yang masih terbuka, ia melangkah lalu duduk. Joe langsung merebahkan tubuhnya di pangkuan Nara, "kenapa Joe mau tidur dengan Onty?"
"Karena onty Ciara pasti tidur di kamar daddy," Nara diam beberapa saat, menatapi bocah kecil yang matanya begitu berharap.
"Joe, kamu boleh tidur dengan Onty malam ini karena besok Onty harus pulang ke rumah Onty."
"Pulang?" Nara mengangguk, "apa Onty akan datang lagi setelah Onty pulang?" Nara menggeleng. Mata berharap Joe berubah sedih seketika, "apa-- apa aku boleh ikut Onty pulang?"
Tangan Nara terjulur menyentuh kelopak mata bulat nan jernih yang mulai tergenang air, "kalau Joe ikut Onty, nanti daddy kesepian di sini."
"Kan--kan, ada onty Ciara, daddy tidak akan kesepian kalau aku ikut Onty Nara pulang."
Nara memperhatikan wajah kekeh Joe yang lalu dikecupnya, hal ini membuatnya mengingat bocah lain yang membisu menatapi juntaian tali gordin, "tapi, Daddy akan merindukanmu, Joe."
"Kalau Onty pulang, apa Onty tidak akan merindukanku dan daddy?" Nara jadi diam, tangannya menghapus sisa airmata di mata Joe yang menunggu jawabannya.
Seharusnya ia mengatakan ia tak akan merindukan mereka. Tapi, rasanya itu adalah hal salah jika ia ucapkan, "Onty akan merindukanmu dan Onty akan makan cheesecake bersama Iori jika Onty rindu padamu."
Joe jadi diam, menatapi Nara yang memegangi pipi gembil yang enak dipegang, "aku-- aku juga akan makan cheesecake kalau rindu pada Onty." Nara mengangguk lalu manatap Joe dengan manik sedikit membesar karena perut kecil Joe berbunyi.
"Let's have our dinner."
Joe mengangguk lalu turun dan menggandeng tangan Nara. Mereka berjalan menuju dapur yang percakapannya jadi berhenti saat dua orang yang sedang ada di dapur melihat keduanya.
"Daddy, aku dan Onty sudah lapar," semangat Joe berucap pada Alan yang menatap canggung wanita yang menggandeng putranya. Sementara wanita yang pakaiannya minim manik matanya membesar.
'Apa yang wanita dingin ini lakukan di sini?'