"Argh.. Akhirnya selesai juga,"
Suara erangan dan keluhan itu adalah milik Lena yang baru saja keluar dari kelasnya. Entah kenapa tubuhnya terasa sangat lelah, menimbulkan adanya rasa malas untuk bekerja. Namun, jika Lena nekat untuk bolos bekerja, maka ia akan menambah masalah dihidupnya. Apalagi saat ini dia membutuhkan banyak uang untuk ganti rugi pada Jay.
"Orang kaya memang suka menindas rakyat kecil," cicitnya.
Kakinya baru saja menapak pada eskalator, dan dia hampir terhuyung ke depan saat Doni mengejutkannya. Lena berdecak, namun karena dirinya juga tidak memiliki tenaga yang cukup untuk berdebat, akhirnya gadis itu abai dan tetap memandang ke arah depan. Lagipula, Doni sangat menyebalkan, sudah tahu Lena sedang berada di eskalator, malah dia mengejutkan tanpa rasa bersalah. Tidak lucu jika mereka terjatuh dari sini.
Presensi yang mengejutkan Lena itu sedikit heran lantaran temannya sama sekali tidak bereaksi saat dikejutkan seperti tadi. Selama berada di eskalator, Doni terus menatap wajah Lena tanpa henti. Sampai-sampai Doni melambaikan tangannya tepat di depan wajah Lena.
"Apa ada sesuatu yang kau pikirkan, hm?" tanya Doni.
"Tidak," jawab Lena tanpa ragu.
Tidak semudah itu untuk Doni mempercayai Lena. Dari wajah saja Doni bisa mengetahuinya jika ada sesuatu yang sedang Lena pendam. Sayangnya, Lena tidak pernah mengizinkannya untuk ikut campur dalam masalah pribadinya. Padahal, niat Doni itu hanya ingin membantu. Dan karena dia tidak bisa membantu Lena, Doni ingin menjadi tempat pertama untuk Lena mengeluh. Tetapi balik lagi, Lena tidak pernah melakukannya.
Mereka keluar dari gedung dan Doni menahan pergelangan tangan gadis itu. Rencananya, Doni itu ingin mengajak Lena untuk pulang bersama. Tidak, lebih tepatnya ia ingin mengantarkan gadis itu menuju tempat kerjanya. Namun, ajakan itu belum saja keluar dari bibirnya, Lena lebih dulu melepaskan pergelangan tangannya dan menolak ajakan Doni.
"Kau pulang saja lebih dulu," kata Lena.
Tidak tahu kenapa, secara mendadak hati Doni terasa sedikit memanas. Rasanya seperti baru saja ditancapkan oleh pedang panas tepat di hatinya. Dia hanya mampu tersenyum getir saat melihat Lena pergi meninggalkannya seorang diri. Selalu saja begini, dan selalu saja Doni yang harus mengalah. Pun akhirnya laki-laki itu menuju di mana dia memarkirkan motornya.
Sedangkan Lena, baru beberapa meter dia berjalan dari tempat ia berdiri bersama dengan Doni, dia kembali dikejutan dengan kedatangan Steve yang berdiri di pohon rindang dekat dengan gedung fakultasnya. Ini adalah situasi yang membingungkan dan menyulitkan bagi Lena. Jika dia kabur begitu saja, maka Steve akan mengejarnya. Bahkan, jika Lena bisa lolos dari laki-laki itu, sudah pasti akan ada laki-laki lain yang juga akan mengejarnya. Namun, jika Lena berdiam diri, maka sama saja dia harus menuruti keinginan dari Steve ataupun Jay.
"Akhirnya kau keluar juga," ucap Steve.
Dari kalimat yang dikeluarkan laki-laki itu, Lena bisa menebak jika Steve memang sengaja menunggunya sejak tadi di sana. Dirinya memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaketnya, melihat Steve yang berjalan menghampiri.
Bertemu dengannya begini, Lena sudah memiliki prasangka. Kesal memang, selalu dihantui oleh dua orang yang baru ditemui beberapa hari. Dia serasa tidak memiliki ruang gerak akibat Steve dan Jay.
"Aku sudah menghubungi Jay," kata Steve lagi.
Lena berjalan ke arah pohon yang menjadi tempat Steve berteduh tadi. Sinar matahari terlalu menyengat, Lena tidak suka. Dia akhirnya bersandar melihat ke atas pohon. Daun yang bergoyang ke kanan dan kiri akibat tertiup angin, membuat Nara tersenyum miring.
Tak lama setelahnya, mobil yang tadi pagi ia kendarai datang. Dia melihat Steve langsung memasuki mobil itu tanpa berpikir panjang, namun Lena masih berdiri di tempatnya saat ini. Barulah dia berjalan saat setelah mendapat tatapan dari Steve. Ini tidak ada bedanya dengan penculikan.
Berjalan dengan penuh decakan ia memasuki mobil itu. Namun, didalam sana ia sama sekali tidak mendapati Jay. Dilihat dari pakaian, orang yang berada dibalik setir itu adalah seorang sopir pribadi. Seketika Lena langsung merasa sedikit kesal, jika memang mereka memiliki sopir pribadi, untuk apa repot-repot menyuruh Lena untuk mengendarai? Dengan menggunakan dalih 'hutang' Lena agar dirinya mau melakukannya. Tingkah orang kaya memang selucu itu.
"Kau baik sekali ingin mengantarkan aku ke tempat kerjaku," celetuknya, lantaran merasa heran.
"Aku memang baik, kau saja yang telat menyadarinya," balas Steve.
Lena menyandarkan tubuhnya, melipat kedua tangan didepan dada dan pandangan yang terarah keluar mobil. Ramai jalanan siang ini. Banyak anak sekolah yang berjalan melewati taman, atau mampir ke taman itu untuk menyegarkan pikiran mereka setelah mendapat pelajaran di sekolah tadi. Secara otomatis, membuat Lena tersenyum kecil.
Lepas lima belas menit berlalu, Lena baru menyadari jika mobil ini tidak melaju ke arah minimarket milik tantenya. Dia sendiri juga tidak tahu, akan dibawa kemana dirinya ini. Benar perasaannya tadi, memang ada yang tidak beres saat Steve menunggu dirinya didekat gedung fakultas. Gadis itu melihat ke arah Steve yang tengah tersenyum miring. Ingin sekali Lena mengumpati laki-laki itu.
"Sebenarnya, kau ingin membawaku kemana? Aku harus bekerja," tanya Lena.
"Bertemu dengan Jay," jawabnya santai.
Lena menghela nafas panjang, menyibak rambutnya ke belakang dan memainkan lidahnya didalam mulut. Menahan dirinya agar tidak meledak pada seseorang yang bukan tandingannya. Mengambil ponsel dari tasnya guna memeriksa jam, tersisa satu jam lagi waktu bekerja. Pasti dia tidak akan bisa ke minimarket tepat waktu. Ini saja belum bertemu dengan laki-laki angkuh itu.
Kini sampailah dimana Lena dan Steve berhenti. Sebuah kafe berukuran besar. Lena tidak tahu, siapa pemilik kafe ini. Saat keduanya membuka pintu kaca itu, aroma kopi langsung terhirup ke hidung Lena. Dirinya tersenyum, wangi kopi seperti ini bisa meredakan stresnya. Walaupun tidak berlangsung lama. Dia tetap mengikuti langkah Steve. Lena pikir, mereka akan makan siang di kafe ini, namun Steve malah membawanya ke ruangan yang ia yakini sebagai kantor.
Tak ada siapapun di kantor ini, hanya sebuah laptop yang terbuka serta kacamata yang terletak disebelahnya. Sepertinya, seseorang yang bekerja di kantor ini sedang meninggalkan pekerjaannya. Dan saat menoleh pada laki-laki yang membuatnya berada disini saat ini sudah berbaring santai di sofa. Laki-laki tidak tahu diri.
"Untuk apa kita datang ke sini?" tanya Lena.
Steve yang baru saja memejamkan kedua matanya langsung membukanya kembali, menatap datar ke arah Lena. "Tinggal kau tunggu saja," jawab Steve.
Alis Lena langsung tertekuk, dia kesal karena Steve tidak langsung memberitahunya. Gadis itu menghampiri Steve dan berkacak pinggang. "Apa susahnya kau beritahu? Siapa yang akan kita temui? Dan apa tujuannya?" tanya Lena tidak sabaran. "Aku harus bekerja, jika ingin hutangku pada kalian bisa terbayarkan!" ucapnya dengan nada tegas kali ini.
Suara derapan langkah terdengar memasuki ruangan itu. Melihat keributan dari tempat ia berdiri di ambang pintu. Kedua tangannya terlipat didepan dada dan masih memperhatikan Steve dan Lena. Berjalan menuju kursinya dan mengetukkan pulpen pada meja kaca, sehingga mengalihkan perhatian Lena dan Steve pada sosok yang baru saja duduk disini.
"Aku tidak suka menunggu lama, selesaikan hutangmu dalam waktu satu bulan," ucap Jay.
Detik itu juga, Lena membolakan kedua matanya pada Jay sembari berjalan mendekat ke arah laki-laki itu. "Bagaimana bisa? Bayaranku satu bulan saja masih kurang untuk membayar hutangku pada kalian. Aku tidak mau. Berikan waktu enam bulan,"
"Tidak. Itu terlalu lama," balas Jay.
"Aku juga tidak mau," Lena juga tak mau kalah.
Jay menarik nafasnya, menatap Lena yang melipat kedua tangannya dan mengalihkan pandangannya ke lain arah.
"Kalau begitu, bekerjalah di sini,"