Baru kali ini Lena membuka matanya dengan amat berat. Mungkin jika hari ini tidak kuliah, Lena tidak akan bangun dari kasurnya, ia akan melanjutkan tidurnya hingga siang nanti. Lena membangkitkan tubuhnya, terduduk dengan rasa kantuk yang masih ada. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri untuk meregangkan otot lehernya, terdengar suara gemeretak. Lehernya terasa pegal sekali. Ini pasti karena ia terlalu lama menunduk saat mencuci piring kemarin. Bukan hanya lehernya, pundak dan tangannya juga terasa sangat pegal. Dia belum pernah mencuci piring sebanyak itu.
Diam beberapa menit dengan pandangan yang kosong, Lena tengah mempersiapkan dirinya untuk bergerak. Dia memulainya dengan merapikan tempat tidurnya dan membersihkan area sekitar kamarnya. Usai melakukan itu, barulah dia bergegas menuju kamar mandi. Seperti kemarin, ia akan berangkat menuju kampusnya, dan setelah itu menuju kafe milik Jay untuk melakukan pekerjaannya. Semalam Lena jadi memikirkan tentang posisinya di kafe itu. Kemarin ia mencuci banyak piring, dan bahkan disuruh menjaga kasir juga. Padahal karyawan lainnya juga banyak yang sedang beristirahat setelah melakukan pekerjaan berat.
Memang tidak penting juga juga dipikirkan, toh dia baru bekerja satu hari di kafe itu. Siapa tahu, memang untuk pekerja awal diharuskan bisa melakukan pekerjaannya di bagian apapun, dan tidak terkejut saat diletakkan pada bagian itu sendiri.
Lena akhirnya selesai berpakaian dan saat ini berdiri didepan cermin guna merapikan penampilannya. Ia mengikat rambutnya dan berjalan keluar kamar. Namun, ia terkejut saat melihat tantenya yang sedang berada di sana dan mengobrol dengan beberapa teman kos-nya ini. Baru kali ini tantenya itu mau berbincang dengan penghuni kos-nya. Biasanya saja, dia enggan untuk sekedar menerima sapaan dari penghuni kos ini.
Tanpa sengaja, matanya dan juga tantenya saling bertemu, membuat Lena tertawa canggung. Apalagi, tantenya ini tengah berjalan menghampirinya. Lena hanya terdiam di tempat saat ia juga mendapat senyuman dari wanita itu. Dunia tidak baik-baik saja.
"Bagaimana tidurmu tadi malam, Lena? Pasti nyenyak," tanyanya yang seolah sedang memberikan perhatiannya.
Lena mengangguk kecil, dia juga tersenyum guna menjawab pertanyaan tantenya itu. Tak dipungkiri, Lena itu merasa yang aneh dengan tantenya diwaktu sepagi ini. Dan saat ini, tantenya itu menggandeng dirinya menuju teras depan kost ini. Kendati begitu, Lena tetap menanggapi tantenya ini dengan sangat sopan. Iya, tantenya itu tetap saja sebagai pengganti ibu kandungnya, walaupun perlakuannya juga terkadang membuat Lena sakit hati.
"Kau sudah bekerja di sana, bukan? Lalu, kapan Rana bisa datang ke sana?"
Lena mengulum bibirnya, pandangannya tertuju pada tangannya yang digenggam erat oleh sang tante. Jujur saja, dia ini sampai kesulitan menelan ludahnya sendiri, lantaran merasa cukup takut jika saja ia salah berbicara. Sekalipun Lena berkata jujur, tetap akan salah dimata tantenya ini.
"Tante," panggilnya dengan nada suara lembut. "Tunggu beberapa hari lagi ya, karena Lena belum bisa memastikan keadaan kafe. Kemarin, dihari pertama bekerja, kafe sudah penuh akan pengunjung yang datang karena undangan ulang tahun anak," jelasnya.
Gadis itu menyadari ketika genggaman tangannya dilepas begitu saja oleh tantenya. Iya, dia tahu jika jawabannya ini bukanlah jawaban yang diharapkan oleh tantenya itu. Namun, hanya itu jawaban yang bisa diberikan oleh Lena. Dan menurutnya, ekspektasi tandanya itu terlalu cepat, Lena tidak bisa mengimbangi apa yang diinginkan oleh tantenya. Dirinya juga mendengar adanya helaan kasar yang keluar.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, tantenya pergi begitu saja. Lena sudah memperkirakan hal ini beberapa menit lalu sebelum ia menjelaskan. Dirinya memijat pelipisnya sebelum berangkat kuliah. Berjalan keluar dari gerbang, ia menjumpai Rana yang melihat ibunya pergi. Dan lagi-lagi firasat Lena mulai tidak enak, sepertinya tidak akan jauh berbeda dengan situasi sebelumnya. Lena sudah siap menghadapinya.
"Ada apa dengan ibuku?" tanya Rana.
Kedua tangan Lena sengaja ia masukkan ke dalam saku celana, dia menjawab dengan menaikkan bahunya singkat. Dengan posisinya yang seperti ini, membuat atensi Rana memindai Lena dari ujung kepala hingga kaki. Kedua bola matanya nampak menyipit, mengisyaratkan bahwa dirinya tidak suka terhadap sepupunya. Lena sendiri juga memilih abai, dan tidak peduli dengan pemikiran seperti itu.
Lena tak kunjung pergi dari sana, karena dirinya yakin jika Rana ingin membicarakan hal yang sama padanya. Itu karena Lena tidak suka orang yang bertele-tele. Terlalu menguras banyak waktu.
"Cepat katakan saja apa yang ingin kau ketahui. Aku tidak akan melihat ke belakang setelah kakiku berjalan," kata Lena.
Terdengar suara Rana yang menetralkan tenggorokannya. Dia sedikit menaikkan dagunya sebelum mulai berbicara. "Eum, bagaima—" ucapan Rana langsung terpotong.
"Tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat. Yang ada Jay dan Steve tidak akan menyukaimu," katanya sembari berjalan meninggalkan Rana dengan bukaan mulutnya.
Rana mendengus kesal, lantaran sikap Lena terhadapnya itu terlihat seenaknya saja. Apalagi tadi saat dia belum selesai berbicara, Lena sudah langsung memotong pembicaraannya. Dia berkacak pinggang dan berjalan kembali ke rumahnya. Percuma dirinya mendatangi kost Lena jika pada akhirnya yang ia dapati hanya begini saja. Akhirnya, gadis itu berjalan kembali ke rumahnya, karena kedatangannya ke sini hanya untuk menemui Lena.
Sedangkan Lena, gadis itu memasang earphone dikedua telinganya. Ia menikmati langkah paginya menuju halte ditemani dengan lagu. Salah satu caranya membuat hidup agar tidak bosan. Entah kenapa, secara tiba-tiba ia memikirkan Mina. Sejak kemarin, ia tak melihatnya. Atau mungkin karena Lena yang sekarang bekerja di tempat jauh, membuat dia tak melihat gadis itu.
Dia duduk di halte dengan memegang ponselnya sembari menunggu kedatangan bus. Saking seriusnya, dia sampai tidak tahu jika temannya menghentikan motor tepat didepan halte itu. Kedua matanya masih memandang layar ponsel yang berdenyar. Barulah dia menyadari keberadaan Doni saat laki-laki itu menekan klakson panjang untuk menyadari Lena.
"Hei! Kau berisik sekali," tegur Lena. Dia berjalan menghampiri Doni dan menjauhkan tangannya dari klakson motornya.
"Bukan aku yang berisik, tapi kau yang tuli," balas Doni.
Doni memberikan helm pada Lena dan menyuruhnya untuk naik ke atas motornya. Iya, dia memang sengaja menjemput Lena agar mereka bisa berangkat kuliah bersama. Ditambah, rasa kesalnya pada Lena sudah memudar. Singkatnya, Doni kesepian tanpa adanya Lena.
Setelah Lena menaiki motornya, mereka berdua berangkat dari halte itu. Beberapa meter dari halte, Lena sudah menepuk bahu Doni. Dia membuka kaca helm dan mengeluarkan suaranya.
"Don, kau sudah tidak kesal padaku?" tanya Lena dengan suara yang sedikit tinggi, lantaran bersamaan dengan suara kendaraan lain yang melintas.
"Tidak. Karena aku merindukanmu," jawabnya dengan satu tarikan nafas.